Share

6.

last update Last Updated: 2024-10-30 23:14:00

Seharian ini aku termenung di balkon sambil mengepulkan asap rokok untuk mengurangi stress. Ucapan Ratu Anyelir masih saja terngiang, bahwa dirinya tengah meminta tumbal dua janin sebelum usia tujuh bulan.

Waktu untuk memberikan persembahan masih lumayan lama untukku berusaha. Ah, pasti bisa persyaratan itu kupenuhi. Kucari Riani sambil memanggilnya dengan riang. Tak ingin lagi kubuat istriku itu sedih dan menderita.

Baru melangkah dari balkon dan melewati lorong kamar khusus untuk Ratu Anyelir, perhatianku berpusat pada pintu kamar itu yang terbuka sedikit. Riani pasti lupa menutupnya setelah membersihkan kamar itu tadi pagi.

Semakin dekat, telingaku mendengar senandung merdu dari kamar itu. Kubuka lebar pintunya lalu menghela napas lega. Ternyata Riani tengah berdiri di depan cermin besar membelakangiku sembari menyisir rambutnya. Karena dari arah pintu langsung berhadapan dengan cermin, dapat kulihat wajah cantik Riani yang kini tersenyum.

Kudekati istriku itu. Pagi ini aku merasa Riani sangat cantik, pipinya pun berseri-seri. Aku bahagia jika kesedihan telah sirna dari hatinya.

Tanganku mengusap lengan kanannya dengan daguku yang berada di pundak sebelah kiri menatap bayangnya di depan cermin. Kukecup pipinya.

"Mas cinta sama kamu, Sayang. Sampai maut memisahkan, Mas nggak akan berpaling," rayuku, kemudian memeluknya.

Riani hanya diam. Ia berbalik dan tersenyum sambil mengangguk. Aku duduk di pinggir ranjang, sedangkan Riani kini pergi dari kamar khusus ini.

"Mas! Masakanku udah mateng!"

Senyumku merekah. Ternyata Riani tengah memasak dan meninggalkanku ke bawah. Pastilah setelah itu dia meminta yang iya-iya padaku mengingat wajahnya yang berseri dan memandangku penuh gairah.

Aku duduk di meja makan, menatap hidangan yang menggugah selera. Ada cah kangkung dengan telur puyuh. Ayam goreng lengkuas beserta sambalnya. Wah, bagaimana aku akan berpaling jika istriku sepandai ini membuat perutku kenyang?

Riani menyembul dari arah dapur dengan wajah lelahnya. Daster yang ia kenakan pun berwarna pink pudar. Keningku sudah pasti mengernyit. Perasaan, baru tiga menit lalu ia kulihat tengah menyisir rambutnya yang basah dengan dress ketatnya berwarna merah.

"Kamu kenapa ganti baju?"

"Apanya yang ganti baju? Aku dari jam lima pagi masak. Ini baru mateng."

Yang benar saja? Kupegang tengkuk yang kini merinding. Kupandangi Riani beberapa menit sambil memegang piring. Jika wajahnya berubah, aku bisa langsung lari dan melemparnya dengan piring yang kupegang.

"Kenapa, Mas? Ambil nasinya, kita makan bareng-bareng."

Wajah Riani heran.

"I-iya." Aku tergagap. Tangannya cekatan mengambilkan aku nasi panas juga beberapa lauk pauk.

***

Seharian aku termenung sembari menyalakan sebatang rokok. Mengapa hal seperti kemarin bisa terjadi? Apa Riani ada dua? atau mataku yang salah melihatnya? Memikirkannya membuatku ingin menjambak rambut sendiri.

Derak langkah membuatku menoleh ke arah teras sana. Oh, tidak. Mbak Nuri -- Mbak cerewet musuh bebuyutan Riani datang kemari. Apa tidak bisa nanti saja tunggu saat hari raya aku pulang kampung? Wajahnya semringah melihatku tengah duduk memakai sarung didekat kolam ikan.

"Eh, Ndri, baru mau ketok pintu ternyata kamu di sini."

Kumatikan rokok dan menaruhnya ke asbak, kemudian baru mengambil tangannya untuk kucium. 

"Ada apa Mbak Nuri kemari? Kayak deket aja Mbak sampe mampir."

Dia tertawa mendengar nada sinisku. "Ah, kamu Ndri, sama Mbak sendiri aja begitu." Ia menepuk pundakku hingga tubuhku sedikit bergerak ke samping. "Mbak nginep ya?"

Ish, menginap? Riani saja baru kembali moodnya, sudah dirusak saja sama Mbak Nuri. Menolak pun tak enak. 

"Eh, itu Riani. Idih, mobil baru nih."

Sontak aku menoleh ke arah pandang Mbak Nuri. Riani menenteng plastik berlogo supermarket. Ternyata ia menghilang sejak pagi untuk memenuhi isi kulkas. Sorot mata Riani ia arahkan padaku, mungkin ia bertanya-tanya kenapa ada Mbak Nuri di sini.

"Riani, ini barang-barang Mbak bawa ke kamar tamu yang biasa ya. Mbak nginep di sini seminggu, karena nunggu Mas Rudi cuti baru dia ke sini."

"E-eh, Mbak, jangan ke kamar tamu yang biasa! Kamar itu, kamar itu lagi bocor parah. Jangan ke sana. Ke kamar tamu satu lagi aja yang di lantai satu."

"Ish, masa Mbak nggak nginep di lantai atas? Tau sendiri di rumah ibu nggak ada tangga, kan pengen punya kamar yang ada balkonnya."

Bisa gawat kalau kamar itu dibuka sama Mbak Nuri. Berbagai sesembahan ada di sana semua. Riani agaknya malas menanggapi Mbak Nuri, ia berjalan lurus ke arah pintu masuk hanya membawa belanjaannya tanpa mematuhi titah Mbak Nuri.

Biasanya, ia masih ada rasa tak enak dan terus saja patuh meski diolok-olok oleh Mbak Nuri. Sepertinya rasa sakit hatinya sudah terlalu tebal sehingga ia memilih tak lagi mempedulikan Mbak Nuri.

**

Menjelang magrib, Riani sudah banyak memasak berbagai makanan yang ia taruh di meja. Sekarang istriku tengah mandi dulu sedangkan Mbak Nuri berbinar menatap berbagai lauk pauk yang disajikan.

"Riani, padahal kalo kamu punya anak udah siap banget loh, pinter masak gini, pasti anak kamu bakal gendut lucu."

Aku menoleh ke arah tangga melihat Riani tengah berdiri dengan memandang ke arah aku dan Mbak Nuri. Ruang makan di rumahku memang berhadapan dengan tangga.

"Sayang, kamu pake parfum apa, sih, kok, nyengat banget?"

Aku sampai menutup hidung, karena lagi makan begini mencium parfum sewangi ini membuatku tak selera. Bukannya menjawab, Riani berdiri di samping Mbak Nuri. Astaga!

"Gila kamu ya, Riani! Heh, lepasin!"

Riani mencengkram dagu Mbak Nuri. Aku sibuk melerai atau melepaskan tangan Riani dari dagu Mbak Nuri, tapi tenagaku tak cukup kuat.

"Ada anak atau tidak, apa urusanmu, Nur? Anakmu itu loh bisa hilang sekejap. Sombongmu bisa jadi dukamu."

Setelah mengatakan itu, tangan Riani ia lepas dari dagu Mbak Nuri. Aku sibuk melihat dagu Mbak Nuri yang sampai memerah.

"Dasar wedos gabug! (Dasar kambing mandul!)" maki Mbak Nuri. Mata wanita itu sampai memerah dengan napas tersengal.

"Mbak Nuri kenapa?"

Aku mengernyit. Riani datang dari arah tangga dengan memakai setelan berwarna cokelat. Ia mengambil piring dan segera mengambil nasi serta lauk pauk. Ia bertanya kenapa seperti bukan salahnya?

"Wong edan! Jelas-jelas ini ulahmu! Kenapa, kamu nggak terima kan kalau Mbak bilang kalau kamu itu gabug?"

Mata Riani mengerjap. Aku mengusap bahunya, gerakan tangannya yang memegang sendok terhenti.

"Mbak Nuri, aku baru aja turun. Gimana bisa luka yang Mbak dapat ini aku yang lakuin? Mbak Nuri boleh benci aku karena susah dapat keturunan, tapi aku nggak akan sampai melakukan hal sebrutal ini."

Saat kuperhatikan, penampilan Riani memang berbeda. Ada apa ini? Seperti kemarin di mana Riani tengah memasak dan memakai daster pink dan aku bertemu Riani di salah satu ruangan tengah sisiran dengan baju merah seperti tadi? Memikirkannya membuatku merinding.

Related chapters

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    1.

    "Mas, jangan lakukan ini, kasihan anak kita," ucap Riani sambil mengguncang lenganku yang tengah menatap bayangnya di cermin tempatku berdiri."Apa Mas lupa? Kita menginginkan adanya anak sudah lama, Mas! Ini pertama kalinya aku mengandung dan akan memberimu gelar sebagai seorang ayah!" Kini ia luruh, memegangi kakiku bahkan tendangan halus dari perutnya yang mulai membesar kurasakan. Kuhela napasku, menatap wajah yang payah dan putus asa di cermin. Sudah mati kah nuraniku?Riani bangkit dari kakiku, mengusap air matanya yang membasahi wajah. Ia melangkah ke luar kamar tanpa menoleh kembali ke arahku. Bukan pura-pura tak punya hati. Bukan tak ingin memiliki buah hati. Namun, bagaimana jika memiliki anak tanpa memiliki harta benda? Sedangkan Pak Sujatmiko tengah mencecarku perihal hutang tiga ratus juta yang kupinjam beberapa bulan lalu.Kurebahkan diri di ranjang. Menangis dengan sesak karena tengah terjadinya pergolakan batin. Pernikahan kami sudah 7 tahun dan baru ini pula Riani me

    Last Updated : 2024-02-26
  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    2.

    Setelah mengatakan itu, Riani membalik badan memunggungiku duduk di sofa. Yang kulihat, ia tengah menangis karena bahunya bergetar dengan kedua tangan sesekali seperti mengusap pipi. Aku tahu, ini keputusan yang sangat tidak mudah baginya."Kamu puas, Mas? Ini mimpiku ingin menjadi seorang ibu. Baru ini aku mengandung hingga membuatku sangat bahagia. Mbak Nuri yang selalu mengataiku mandul pun akan bungkam jika melihatku berbadan dua seperti sekarang. Ternyata, maksudmu agar aku tak sesumbar karena kamu memiliki tujuan keji biar adanya kita melakukan pesugihan ini, keluargamu tak curiga!"Mataku berkaca-kaca dituduh oleh istriku sendiri. Aku pun menginginkan keturunan pada rumah tangga kami. Maksudku agar tak sesumbar karena itu dianggap pamali bagi orang Jawa. Tak baik jika belum mituni atau tujuh bulan, kata ibuku.Kuusap keringat dan dada yang sesak. Akibat pukulan Baron dan Torso, dadaku seolah dihimpit beban berat. Aku memegang tembok untuk bisa bangkit dari lantai teras."Riani,

    Last Updated : 2024-02-29
  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    3.

    Riani langsung berbalik badan, menggeret koper yang sudah ia siapkan tadi. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun, dari wajahnya sudah terlihat jelas amarah yang terpendam. Rasa bersalah merajai hati. Ingin kupeluk ia, tapi takut jika istriku itu menolak. Akhirnya, aku menyusul Riani setelah lebih dulu mengunci pintu. Mobil kami pun sudah tidak ada di garasi karena sudah dijual. Riani berdiri di samping koper sambil mengusap perutnya yang buncit. Tangisnya sudah reda. "Mau ke mana, Mbak Riani?" Mbak Anis, tetangga yang rumahnya berhadapan dengan kami berdua menyapa. Aku tersenyum sambil mengangguk. Wanita itu kulihat baru saja ke luar rumah."Saya titip rumah ya, Mbak. Mau ada urusan dulu di luar beberapa hari," jawab Riani. Napasku sudah tertahan tadinya, takut Riani akan berkata seiya-iyanya karena tengah menahan amarah. "Hati-hati ya, Mbak Riani," kata Mbak Anis.Taksi online sudah datang ke hadapan kami. Aku angkat koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil.

    Last Updated : 2024-03-05
  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    4.

    "Ini orang yang saya bilang, Romo."Aku dan istriku saling berpandangan. Sigit nyatanya sudah mengatakan tentang kedatangan kami. Lelaki paruh baya yang dia panggil Romo, rambutnya sudah memutih dan tertutup blangkon. Namun, masih terlihat segar di usia yang tak lagi muda. Satu matanya berwarna lain.Kami semua duduk di kursi kayu panjang. Rumahnya sederhana, akan tetapi terasa lain, terlebih dengan hiasan dinding dari tulang kepala kambing lengkap dengan tanduknya. Matanya seolah hidup."Aku tau waktumu ndak banyak."Terkesiap, aku memandang Romo mengalihkan perhatian dari kepala kambing itu. Aku menunduk dan mengangguk."Nggeh, Romo. Kami sedang terlilit hutang dan harus dibayar sepulangnya kami dari sini. Mohon bantuannya," paparku."Sebelum melakukan ritual, hilangkan dulu keraguanmu, Nduk. Yang diminta hanya anak pertama, dirimu bisa hamil lagi setelah itu."Mataku membulat. Romo berbicara pada Riani. Hebat juga orang ini dapat membaca keraguan istriku."Bukankah memiliki anak ju

    Last Updated : 2024-03-28
  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    5.

    Mendengar hal itu, kubalik tubuh istriku dan mengusap perutnya. Benar, perutnya kembali rata seperti sebelum hamil. Telingaku kudekatkan pada perutnya, tak lagi ada tanda-tanda jika anakku masih bersemayam di sana.Segera kulompat ke lantai dan berjongkok untuk mengambil peti yang diberikan oleh Romo. Aku berteriak girang ketika membukanya, di sana secara ajaib berhamburan uang lembaran merah lengkap dengan emas batangan. Mataku sudah pasti berbinar menatap lembaran duniawi yang akan membuat hidupku sejahtera.Aku ambil uang-uang yang berhamburan di bawah ranjang, hingga peti itu tak mampu menampung. Agar lebih cepat, kuambil beberapa emas batangan bersiap menemui Baron dan Torso. Pintu masih di ketuk di bawah sana."Andrianto! Buka pintunya! Ini udah 3 hari dari janji istrimu!"Dagu kuangkat tinggi menyambut kedua wajah preman jelek itu. Dengan senyum meremehkan keduanya, aku memberikan emas-emas itu untuk ia bawa pergi."Bilang pada Sujatmiko, nilai emas ini lebih dari hutang-hutang

    Last Updated : 2024-03-28

Latest chapter

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    6.

    Seharian ini aku termenung di balkon sambil mengepulkan asap rokok untuk mengurangi stress. Ucapan Ratu Anyelir masih saja terngiang, bahwa dirinya tengah meminta tumbal dua janin sebelum usia tujuh bulan.Waktu untuk memberikan persembahan masih lumayan lama untukku berusaha. Ah, pasti bisa persyaratan itu kupenuhi. Kucari Riani sambil memanggilnya dengan riang. Tak ingin lagi kubuat istriku itu sedih dan menderita.Baru melangkah dari balkon dan melewati lorong kamar khusus untuk Ratu Anyelir, perhatianku berpusat pada pintu kamar itu yang terbuka sedikit. Riani pasti lupa menutupnya setelah membersihkan kamar itu tadi pagi.Semakin dekat, telingaku mendengar senandung merdu dari kamar itu. Kubuka lebar pintunya lalu menghela napas lega. Ternyata Riani tengah berdiri di depan cermin besar membelakangiku sembari menyisir rambutnya. Karena dari arah pintu langsung berhadapan dengan cermin, dapat kulihat wajah cantik Riani yang kini tersenyum.Kudekati istriku itu. Pagi ini aku merasa

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    5.

    Mendengar hal itu, kubalik tubuh istriku dan mengusap perutnya. Benar, perutnya kembali rata seperti sebelum hamil. Telingaku kudekatkan pada perutnya, tak lagi ada tanda-tanda jika anakku masih bersemayam di sana.Segera kulompat ke lantai dan berjongkok untuk mengambil peti yang diberikan oleh Romo. Aku berteriak girang ketika membukanya, di sana secara ajaib berhamburan uang lembaran merah lengkap dengan emas batangan. Mataku sudah pasti berbinar menatap lembaran duniawi yang akan membuat hidupku sejahtera.Aku ambil uang-uang yang berhamburan di bawah ranjang, hingga peti itu tak mampu menampung. Agar lebih cepat, kuambil beberapa emas batangan bersiap menemui Baron dan Torso. Pintu masih di ketuk di bawah sana."Andrianto! Buka pintunya! Ini udah 3 hari dari janji istrimu!"Dagu kuangkat tinggi menyambut kedua wajah preman jelek itu. Dengan senyum meremehkan keduanya, aku memberikan emas-emas itu untuk ia bawa pergi."Bilang pada Sujatmiko, nilai emas ini lebih dari hutang-hutang

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    4.

    "Ini orang yang saya bilang, Romo."Aku dan istriku saling berpandangan. Sigit nyatanya sudah mengatakan tentang kedatangan kami. Lelaki paruh baya yang dia panggil Romo, rambutnya sudah memutih dan tertutup blangkon. Namun, masih terlihat segar di usia yang tak lagi muda. Satu matanya berwarna lain.Kami semua duduk di kursi kayu panjang. Rumahnya sederhana, akan tetapi terasa lain, terlebih dengan hiasan dinding dari tulang kepala kambing lengkap dengan tanduknya. Matanya seolah hidup."Aku tau waktumu ndak banyak."Terkesiap, aku memandang Romo mengalihkan perhatian dari kepala kambing itu. Aku menunduk dan mengangguk."Nggeh, Romo. Kami sedang terlilit hutang dan harus dibayar sepulangnya kami dari sini. Mohon bantuannya," paparku."Sebelum melakukan ritual, hilangkan dulu keraguanmu, Nduk. Yang diminta hanya anak pertama, dirimu bisa hamil lagi setelah itu."Mataku membulat. Romo berbicara pada Riani. Hebat juga orang ini dapat membaca keraguan istriku."Bukankah memiliki anak ju

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    3.

    Riani langsung berbalik badan, menggeret koper yang sudah ia siapkan tadi. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun, dari wajahnya sudah terlihat jelas amarah yang terpendam. Rasa bersalah merajai hati. Ingin kupeluk ia, tapi takut jika istriku itu menolak. Akhirnya, aku menyusul Riani setelah lebih dulu mengunci pintu. Mobil kami pun sudah tidak ada di garasi karena sudah dijual. Riani berdiri di samping koper sambil mengusap perutnya yang buncit. Tangisnya sudah reda. "Mau ke mana, Mbak Riani?" Mbak Anis, tetangga yang rumahnya berhadapan dengan kami berdua menyapa. Aku tersenyum sambil mengangguk. Wanita itu kulihat baru saja ke luar rumah."Saya titip rumah ya, Mbak. Mau ada urusan dulu di luar beberapa hari," jawab Riani. Napasku sudah tertahan tadinya, takut Riani akan berkata seiya-iyanya karena tengah menahan amarah. "Hati-hati ya, Mbak Riani," kata Mbak Anis.Taksi online sudah datang ke hadapan kami. Aku angkat koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil.

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    2.

    Setelah mengatakan itu, Riani membalik badan memunggungiku duduk di sofa. Yang kulihat, ia tengah menangis karena bahunya bergetar dengan kedua tangan sesekali seperti mengusap pipi. Aku tahu, ini keputusan yang sangat tidak mudah baginya."Kamu puas, Mas? Ini mimpiku ingin menjadi seorang ibu. Baru ini aku mengandung hingga membuatku sangat bahagia. Mbak Nuri yang selalu mengataiku mandul pun akan bungkam jika melihatku berbadan dua seperti sekarang. Ternyata, maksudmu agar aku tak sesumbar karena kamu memiliki tujuan keji biar adanya kita melakukan pesugihan ini, keluargamu tak curiga!"Mataku berkaca-kaca dituduh oleh istriku sendiri. Aku pun menginginkan keturunan pada rumah tangga kami. Maksudku agar tak sesumbar karena itu dianggap pamali bagi orang Jawa. Tak baik jika belum mituni atau tujuh bulan, kata ibuku.Kuusap keringat dan dada yang sesak. Akibat pukulan Baron dan Torso, dadaku seolah dihimpit beban berat. Aku memegang tembok untuk bisa bangkit dari lantai teras."Riani,

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    1.

    "Mas, jangan lakukan ini, kasihan anak kita," ucap Riani sambil mengguncang lenganku yang tengah menatap bayangnya di cermin tempatku berdiri."Apa Mas lupa? Kita menginginkan adanya anak sudah lama, Mas! Ini pertama kalinya aku mengandung dan akan memberimu gelar sebagai seorang ayah!" Kini ia luruh, memegangi kakiku bahkan tendangan halus dari perutnya yang mulai membesar kurasakan. Kuhela napasku, menatap wajah yang payah dan putus asa di cermin. Sudah mati kah nuraniku?Riani bangkit dari kakiku, mengusap air matanya yang membasahi wajah. Ia melangkah ke luar kamar tanpa menoleh kembali ke arahku. Bukan pura-pura tak punya hati. Bukan tak ingin memiliki buah hati. Namun, bagaimana jika memiliki anak tanpa memiliki harta benda? Sedangkan Pak Sujatmiko tengah mencecarku perihal hutang tiga ratus juta yang kupinjam beberapa bulan lalu.Kurebahkan diri di ranjang. Menangis dengan sesak karena tengah terjadinya pergolakan batin. Pernikahan kami sudah 7 tahun dan baru ini pula Riani me

DMCA.com Protection Status