Share

2.

Penulis: Syiffa Natasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah mengatakan itu, Riani membalik badan memunggungiku duduk di sofa. Yang kulihat, ia tengah menangis karena bahunya bergetar dengan kedua tangan sesekali seperti mengusap pipi. Aku tahu, ini keputusan yang sangat tidak mudah baginya.

"Kamu puas, Mas? Ini mimpiku ingin menjadi seorang ibu. Baru ini aku mengandung hingga membuatku sangat bahagia. Mbak Nuri yang selalu mengataiku mandul pun akan bungkam jika melihatku berbadan dua seperti sekarang. Ternyata, maksudmu agar aku tak sesumbar karena kamu memiliki tujuan keji biar adanya kita melakukan pesugihan ini, keluargamu tak curiga!"

Mataku berkaca-kaca dituduh oleh istriku sendiri. Aku pun menginginkan keturunan pada rumah tangga kami. Maksudku agar tak sesumbar karena itu dianggap pamali bagi orang Jawa. Tak baik jika belum mituni atau tujuh bulan, kata ibuku.

Kuusap keringat dan dada yang sesak. Akibat pukulan Baron dan Torso, dadaku seolah dihimpit beban berat. Aku memegang tembok untuk bisa bangkit dari lantai teras.

"Riani, Sayang," panggilku.

"Andaikan kata sayangmu dapat dibuktikan, Mas! Masalah keuangan saja kamu memilih merenggut kebahagiaanku," jawabnya.

Suaranya melirih dan bergetar. Aku menatapnya nelangsa. Andai bukan bunga yang sudah mengenai angka lima ratus juta beserta hutang, aku tak akan kepikiran untuk melakukan pesugihan tumbal janin. Ide gila ini pun aku peroleh dari Sigit dua bulan lalu.

"Pusing kali kutengok kau, Ndri."

Aku menoleh, rupanya Sigit datang dengan dua cewek cantik berpakaian seksi menggelayuti kedua lengannya. Kini aku menumpahkan segala susah deritaku ke club malam.

"Sejahtera rupanya kau, Git," balasku sambil terkekeh.

Lelaki bertubuh tambun itu menggeser kursi dan memesan minuman pada bartender. Dilihat dari caranya berbicara dengan kedua cewek seksi itu, kupastikan Sigit termasuk langganan di sini. Cara berpakaiannya sungguh parlente, menegaskan ia beruang.

"Restoranmu kenapa disita, Ndri? Rupanya, pelik sekali kehidupanmu hingga kau tenggak 3 botol minuman." Lalu Sigit tertawa kemudian menenggak air yang ia pesan.

"Narendra. Nggak nyangka aku Git, dia akan menipuku. Setiap hari dirinya lapor jika keuangan restoran merosot. Istriku ke sana untuk mengeceknya sendiri, sedangkan restoran dalam keadaan ramai hanya saja banyak menu yang tak bisa disajikan. Setoran selalu minus, tapi pengeluaran semakin banyak seperti biasa saat restoran banyak pelanggan. Terpaksa aku menghutang ke rentenir dan bank untuk menutup kerugian yang disebabkan Narendra karena ternyata, restoranku ia gadaikan."

Aku menghela napas. Nyatanya tiga botol minuman belum membuatku mabuk.

"Aku dan dia memang sepakat untuk bekerja sama. Tapi kenapa dia seperti ini setelah kuberi kepercayaan? Sekarang dia kabur, entah ke mana." Kutenggak lagi minuman haram ini hingga tetes terakhir.

Kudengar Sigit mengurungkan niat untuk menenggak air yang baru dituang. Ia kembali mendekatkan kursinya padaku sambil mencondongkan badan.

"Kenapa kau? Bisa kau pinjami aku duit, Git? Aku tak mau dipenjara terlebih gara-gara hutang."

Sigit tertawa. "Nggak akan kupinjami kau hutang, sudah pasti kau sulit untuk bayar. Tapi ... aku akan memberimu cara untuk mendapatkan duit secara cepat."

Kutegakkan badanku dan bersiap menunggunya berbicara.

"Aku bisa jaya begini karena melakukan pesugihan tumbal janin, Ndri. Kalau janin kan kita masih belum sayang. Dia masih nggak berbentuk, jadi kita nggak begitu kehilanganlah kalau pun menumbalkan. Dari pada kau dipenjara gara-gara hutang, lebih baik lakukan ini saja. Beristri banyak-banyak, biar mereka bisa memberi tumbal untukmu."

Saat itu, aku hanya tertawa mendengar usul nyeleneh Sigit. Namun, saat beberapa kali dipukuli, ucapan Sigit ada benarnya. Aku datangi Riani setelah dua bulan pertemuan dengan Sigit.

Kucari Riani yang sudah menghilang dari ruang tamu. Jika memang ia sudah setuju melakukan pesugihan ini denganku, perjalanan harus dimulai sore ini. Aku berjalan sempoyongan ke kamar, Riani ada di sana masih dengan tangis yang belum reda sedang mengusap perut.

"Anakku sayang, jangan merasa Ibu nggak sayang kamu. Meski kita belum bertemu, nyatanya rasa sayang ibu nyata. Kasih sayang ibu akan abadi, Nak."

Pilu, sangat pilu. Aku luruh di pintu kamar sambil menangis dan memegangi dada. Ya Tuhan, mengapa tak diberikannya solusi untuk masalahku ini? Bukankah katamu pernikahan itu meluaskan rezeki? Sekarang bahkan istriku tengah mengandung, tak adakah rezeki untuk anak kami ini?

Kuurut dada yang begitu sesak. Pepatah bilang, lelaki menangis hanya dalam hati, tapi sekarang air mataku tumpah ruah membasahi pipi. Sesak. Nyatanya nurani dan bisikan setan masih bergejolak di dalam sana. Masih terjadi perdebatan batin.

Suara tangis Riani menggema. Ia bahkan menutup pintu kamar. Dapat kurasakan apa yang ia rasakan. Bayi yang ia tunggu tujuh tahun, harus ia relakan kurang dari seminggu. Kuhela napas kasar, mencari ponsel untuk menghubungi Narendra. Namun, begitu menemukan, kutelepon ia, hanya suara operator saja.

Brak!

Riani kini buka lagi pintu kamar dengan satu koper yang ia bawa. Tangisnya kini tak ada. Namun, wajahnya begitu dingin menatapku. Rambut sebahunya ia ikat alakadarnya.

"Aku sudah puas menangis, Mas. Aku sudah puas mencari jawabannya sendiri, tapi tetap tak bisa. Hati kecilku bertanya-tanya, sepenting inikah uang? Aku ingin bercerai darimu, tapi terkesan aku yang penjahatnya di sini karena meninggalkan dirimu saat kesulitan karena masa jayamu pun aku nikmati.

Tapi ... apa benarkah langkah kita esok? Jahatkah aku yang tadinya menginginkan hadirnya anak justru kini membunuhnya? Mas-"

Napas Riani tersengal, kata terakhir yang ia ucapkan sambil menjerit. Lelah yang ia rasakan sangat aku pahami. Tangisnya lolos dari mata kirinya langsung ia hapus dengan punggung tangan. Bibirnya yang ranum bergetar, sedangkan tangannya meremas daster yang ia kenakan. Kini, ia yang berusaha mati-matian berdiri di hadapanku dengan kata sudah puas menangisnya, tetap saja ia hanya wanita yang ingin menjadi ibu. Rianiku luruh beserta koper yang jatuh.

"Baru setengah bulan ini tendangan anakmu dalam perut kurasakan, Mas Andri. Aku sangat menikmati setiap paginya mengalami mual muntah tanda aku hamil benar adanya. Sama sekali aku tak merasa adanya anak hanya menambah beban. Tapi," ucapnya terjeda.

Ia menangis lagi, kali ini lebih kencang.

"Jika kita berhasil dalam pesugihan ini, kurang dari seminggu, tendangan itu tak akan kurasakan lagi."

Suaranya melirih. Kini aku hanya memilih diam. Sudah 7 tahun pernikahan, aku tahu peliknya hubungan antara ibu dan istriku bagaimana perihal anak. Tak tuli dan tak lupa juga tangis Riani kala dicemooh Mbak Nuri dan Ibu karena tak kunjung hamil.

"Sudahi tangismu, Riani. Berduka barang sebentar boleh, tapi jangan berlarut-larut. Kita harus pergi sore ini agar tiga hari yang akan datang, kita bisa melunasi semua hutang piutang. Kamu nggak akan mau kan lihat aku dipukuli lagi?"

Tiba-tiba tangis Riani berhenti, matanya menatapku tak berkedip. Padahal aku hanya ingin membantunya agar tak berlarut-larut untuk memutuskan sesuatu.

Bab terkait

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    3.

    Riani langsung berbalik badan, menggeret koper yang sudah ia siapkan tadi. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun, dari wajahnya sudah terlihat jelas amarah yang terpendam. Rasa bersalah merajai hati. Ingin kupeluk ia, tapi takut jika istriku itu menolak. Akhirnya, aku menyusul Riani setelah lebih dulu mengunci pintu. Mobil kami pun sudah tidak ada di garasi karena sudah dijual. Riani berdiri di samping koper sambil mengusap perutnya yang buncit. Tangisnya sudah reda. "Mau ke mana, Mbak Riani?" Mbak Anis, tetangga yang rumahnya berhadapan dengan kami berdua menyapa. Aku tersenyum sambil mengangguk. Wanita itu kulihat baru saja ke luar rumah."Saya titip rumah ya, Mbak. Mau ada urusan dulu di luar beberapa hari," jawab Riani. Napasku sudah tertahan tadinya, takut Riani akan berkata seiya-iyanya karena tengah menahan amarah. "Hati-hati ya, Mbak Riani," kata Mbak Anis.Taksi online sudah datang ke hadapan kami. Aku angkat koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil.

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    4.

    "Ini orang yang saya bilang, Romo."Aku dan istriku saling berpandangan. Sigit nyatanya sudah mengatakan tentang kedatangan kami. Lelaki paruh baya yang dia panggil Romo, rambutnya sudah memutih dan tertutup blangkon. Namun, masih terlihat segar di usia yang tak lagi muda. Satu matanya berwarna lain.Kami semua duduk di kursi kayu panjang. Rumahnya sederhana, akan tetapi terasa lain, terlebih dengan hiasan dinding dari tulang kepala kambing lengkap dengan tanduknya. Matanya seolah hidup."Aku tau waktumu ndak banyak."Terkesiap, aku memandang Romo mengalihkan perhatian dari kepala kambing itu. Aku menunduk dan mengangguk."Nggeh, Romo. Kami sedang terlilit hutang dan harus dibayar sepulangnya kami dari sini. Mohon bantuannya," paparku."Sebelum melakukan ritual, hilangkan dulu keraguanmu, Nduk. Yang diminta hanya anak pertama, dirimu bisa hamil lagi setelah itu."Mataku membulat. Romo berbicara pada Riani. Hebat juga orang ini dapat membaca keraguan istriku."Bukankah memiliki anak ju

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    5.

    Mendengar hal itu, kubalik tubuh istriku dan mengusap perutnya. Benar, perutnya kembali rata seperti sebelum hamil. Telingaku kudekatkan pada perutnya, tak lagi ada tanda-tanda jika anakku masih bersemayam di sana.Segera kulompat ke lantai dan berjongkok untuk mengambil peti yang diberikan oleh Romo. Aku berteriak girang ketika membukanya, di sana secara ajaib berhamburan uang lembaran merah lengkap dengan emas batangan. Mataku sudah pasti berbinar menatap lembaran duniawi yang akan membuat hidupku sejahtera.Aku ambil uang-uang yang berhamburan di bawah ranjang, hingga peti itu tak mampu menampung. Agar lebih cepat, kuambil beberapa emas batangan bersiap menemui Baron dan Torso. Pintu masih di ketuk di bawah sana."Andrianto! Buka pintunya! Ini udah 3 hari dari janji istrimu!"Dagu kuangkat tinggi menyambut kedua wajah preman jelek itu. Dengan senyum meremehkan keduanya, aku memberikan emas-emas itu untuk ia bawa pergi."Bilang pada Sujatmiko, nilai emas ini lebih dari hutang-hutang

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    6.

    Seharian ini aku termenung di balkon sambil mengepulkan asap rokok untuk mengurangi stress. Ucapan Ratu Anyelir masih saja terngiang, bahwa dirinya tengah meminta tumbal dua janin sebelum usia tujuh bulan.Waktu untuk memberikan persembahan masih lumayan lama untukku berusaha. Ah, pasti bisa persyaratan itu kupenuhi. Kucari Riani sambil memanggilnya dengan riang. Tak ingin lagi kubuat istriku itu sedih dan menderita.Baru melangkah dari balkon dan melewati lorong kamar khusus untuk Ratu Anyelir, perhatianku berpusat pada pintu kamar itu yang terbuka sedikit. Riani pasti lupa menutupnya setelah membersihkan kamar itu tadi pagi.Semakin dekat, telingaku mendengar senandung merdu dari kamar itu. Kubuka lebar pintunya lalu menghela napas lega. Ternyata Riani tengah berdiri di depan cermin besar membelakangiku sembari menyisir rambutnya. Karena dari arah pintu langsung berhadapan dengan cermin, dapat kulihat wajah cantik Riani yang kini tersenyum.Kudekati istriku itu. Pagi ini aku merasa

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    1.

    "Mas, jangan lakukan ini, kasihan anak kita," ucap Riani sambil mengguncang lenganku yang tengah menatap bayangnya di cermin tempatku berdiri."Apa Mas lupa? Kita menginginkan adanya anak sudah lama, Mas! Ini pertama kalinya aku mengandung dan akan memberimu gelar sebagai seorang ayah!" Kini ia luruh, memegangi kakiku bahkan tendangan halus dari perutnya yang mulai membesar kurasakan. Kuhela napasku, menatap wajah yang payah dan putus asa di cermin. Sudah mati kah nuraniku?Riani bangkit dari kakiku, mengusap air matanya yang membasahi wajah. Ia melangkah ke luar kamar tanpa menoleh kembali ke arahku. Bukan pura-pura tak punya hati. Bukan tak ingin memiliki buah hati. Namun, bagaimana jika memiliki anak tanpa memiliki harta benda? Sedangkan Pak Sujatmiko tengah mencecarku perihal hutang tiga ratus juta yang kupinjam beberapa bulan lalu.Kurebahkan diri di ranjang. Menangis dengan sesak karena tengah terjadinya pergolakan batin. Pernikahan kami sudah 7 tahun dan baru ini pula Riani me

Bab terbaru

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    6.

    Seharian ini aku termenung di balkon sambil mengepulkan asap rokok untuk mengurangi stress. Ucapan Ratu Anyelir masih saja terngiang, bahwa dirinya tengah meminta tumbal dua janin sebelum usia tujuh bulan.Waktu untuk memberikan persembahan masih lumayan lama untukku berusaha. Ah, pasti bisa persyaratan itu kupenuhi. Kucari Riani sambil memanggilnya dengan riang. Tak ingin lagi kubuat istriku itu sedih dan menderita.Baru melangkah dari balkon dan melewati lorong kamar khusus untuk Ratu Anyelir, perhatianku berpusat pada pintu kamar itu yang terbuka sedikit. Riani pasti lupa menutupnya setelah membersihkan kamar itu tadi pagi.Semakin dekat, telingaku mendengar senandung merdu dari kamar itu. Kubuka lebar pintunya lalu menghela napas lega. Ternyata Riani tengah berdiri di depan cermin besar membelakangiku sembari menyisir rambutnya. Karena dari arah pintu langsung berhadapan dengan cermin, dapat kulihat wajah cantik Riani yang kini tersenyum.Kudekati istriku itu. Pagi ini aku merasa

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    5.

    Mendengar hal itu, kubalik tubuh istriku dan mengusap perutnya. Benar, perutnya kembali rata seperti sebelum hamil. Telingaku kudekatkan pada perutnya, tak lagi ada tanda-tanda jika anakku masih bersemayam di sana.Segera kulompat ke lantai dan berjongkok untuk mengambil peti yang diberikan oleh Romo. Aku berteriak girang ketika membukanya, di sana secara ajaib berhamburan uang lembaran merah lengkap dengan emas batangan. Mataku sudah pasti berbinar menatap lembaran duniawi yang akan membuat hidupku sejahtera.Aku ambil uang-uang yang berhamburan di bawah ranjang, hingga peti itu tak mampu menampung. Agar lebih cepat, kuambil beberapa emas batangan bersiap menemui Baron dan Torso. Pintu masih di ketuk di bawah sana."Andrianto! Buka pintunya! Ini udah 3 hari dari janji istrimu!"Dagu kuangkat tinggi menyambut kedua wajah preman jelek itu. Dengan senyum meremehkan keduanya, aku memberikan emas-emas itu untuk ia bawa pergi."Bilang pada Sujatmiko, nilai emas ini lebih dari hutang-hutang

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    4.

    "Ini orang yang saya bilang, Romo."Aku dan istriku saling berpandangan. Sigit nyatanya sudah mengatakan tentang kedatangan kami. Lelaki paruh baya yang dia panggil Romo, rambutnya sudah memutih dan tertutup blangkon. Namun, masih terlihat segar di usia yang tak lagi muda. Satu matanya berwarna lain.Kami semua duduk di kursi kayu panjang. Rumahnya sederhana, akan tetapi terasa lain, terlebih dengan hiasan dinding dari tulang kepala kambing lengkap dengan tanduknya. Matanya seolah hidup."Aku tau waktumu ndak banyak."Terkesiap, aku memandang Romo mengalihkan perhatian dari kepala kambing itu. Aku menunduk dan mengangguk."Nggeh, Romo. Kami sedang terlilit hutang dan harus dibayar sepulangnya kami dari sini. Mohon bantuannya," paparku."Sebelum melakukan ritual, hilangkan dulu keraguanmu, Nduk. Yang diminta hanya anak pertama, dirimu bisa hamil lagi setelah itu."Mataku membulat. Romo berbicara pada Riani. Hebat juga orang ini dapat membaca keraguan istriku."Bukankah memiliki anak ju

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    3.

    Riani langsung berbalik badan, menggeret koper yang sudah ia siapkan tadi. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun, dari wajahnya sudah terlihat jelas amarah yang terpendam. Rasa bersalah merajai hati. Ingin kupeluk ia, tapi takut jika istriku itu menolak. Akhirnya, aku menyusul Riani setelah lebih dulu mengunci pintu. Mobil kami pun sudah tidak ada di garasi karena sudah dijual. Riani berdiri di samping koper sambil mengusap perutnya yang buncit. Tangisnya sudah reda. "Mau ke mana, Mbak Riani?" Mbak Anis, tetangga yang rumahnya berhadapan dengan kami berdua menyapa. Aku tersenyum sambil mengangguk. Wanita itu kulihat baru saja ke luar rumah."Saya titip rumah ya, Mbak. Mau ada urusan dulu di luar beberapa hari," jawab Riani. Napasku sudah tertahan tadinya, takut Riani akan berkata seiya-iyanya karena tengah menahan amarah. "Hati-hati ya, Mbak Riani," kata Mbak Anis.Taksi online sudah datang ke hadapan kami. Aku angkat koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil.

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    2.

    Setelah mengatakan itu, Riani membalik badan memunggungiku duduk di sofa. Yang kulihat, ia tengah menangis karena bahunya bergetar dengan kedua tangan sesekali seperti mengusap pipi. Aku tahu, ini keputusan yang sangat tidak mudah baginya."Kamu puas, Mas? Ini mimpiku ingin menjadi seorang ibu. Baru ini aku mengandung hingga membuatku sangat bahagia. Mbak Nuri yang selalu mengataiku mandul pun akan bungkam jika melihatku berbadan dua seperti sekarang. Ternyata, maksudmu agar aku tak sesumbar karena kamu memiliki tujuan keji biar adanya kita melakukan pesugihan ini, keluargamu tak curiga!"Mataku berkaca-kaca dituduh oleh istriku sendiri. Aku pun menginginkan keturunan pada rumah tangga kami. Maksudku agar tak sesumbar karena itu dianggap pamali bagi orang Jawa. Tak baik jika belum mituni atau tujuh bulan, kata ibuku.Kuusap keringat dan dada yang sesak. Akibat pukulan Baron dan Torso, dadaku seolah dihimpit beban berat. Aku memegang tembok untuk bisa bangkit dari lantai teras."Riani,

  • PESUGIHAN TUMBAL JANIN    1.

    "Mas, jangan lakukan ini, kasihan anak kita," ucap Riani sambil mengguncang lenganku yang tengah menatap bayangnya di cermin tempatku berdiri."Apa Mas lupa? Kita menginginkan adanya anak sudah lama, Mas! Ini pertama kalinya aku mengandung dan akan memberimu gelar sebagai seorang ayah!" Kini ia luruh, memegangi kakiku bahkan tendangan halus dari perutnya yang mulai membesar kurasakan. Kuhela napasku, menatap wajah yang payah dan putus asa di cermin. Sudah mati kah nuraniku?Riani bangkit dari kakiku, mengusap air matanya yang membasahi wajah. Ia melangkah ke luar kamar tanpa menoleh kembali ke arahku. Bukan pura-pura tak punya hati. Bukan tak ingin memiliki buah hati. Namun, bagaimana jika memiliki anak tanpa memiliki harta benda? Sedangkan Pak Sujatmiko tengah mencecarku perihal hutang tiga ratus juta yang kupinjam beberapa bulan lalu.Kurebahkan diri di ranjang. Menangis dengan sesak karena tengah terjadinya pergolakan batin. Pernikahan kami sudah 7 tahun dan baru ini pula Riani me

DMCA.com Protection Status