Sorot mata Indah menatap lekat pada Prapto yang berkaca-kaca. Sepersekian detik Indah dan Prapto saling bersitatap dalam pikiran mereka masing-masing.
"Dek, apakah kamu sudah mengingat aku?" seloroh Prapto dengan wajah senang. Baru kali ini Indah merespon ucapan Prapto meskipun bukan dengan sebuah tatapan.
"Tak lelo lelo ledung, cup menengo ...!"
Prapto terduduk lesu. Ternyata Indah masih saja sama. Wanita itu memalingkan wajahnya menatap kepada boneka yang berada di pangkuannya, lalu menembangkan lagu jawa khas untuk menidurkan bayi.
Prapto tergugu. Lelaki itu menengelamkan wajahnya pada kedua kakinya yang di tekuk di hadapan Indah. Wanita dengan dress merah itu sama sekali tidak peduli, Indah justru semakin merdu menyanyikan tembang jawa untuk boneka bayi yang berada di pangkuannya.
"Aku harus bagaimana, Dek!" isak Prapto. "Sebenarnya Mas sangat menyayangimu, tapi di sini sangat bahaya sekali untuk kita, Dek!" Prapto mengangkat wajahnya men
Kerongkongan Prapto terasa tercekat. Entah mengapa perutnya terasa sudah penuh. Lingkar hitam di sekitar netranya pun nampak begitu jelas. Prapto hanya mengaduk-aduk makanan yang berada di dalam piring. Sesekali ia menyuapkannya ke dalam mulut hanya seujung sendok."Den, kenapa tidak di makan? Masakan Bibik tidak enak?" seloroh Bibik membuyarkan lamunan Prapto."Eh, Bik, engak kok, engak ada apa-apa!" balas Prapto tergeragap."Ada apa, Bik?" Lastri yang baru datang bergegas menghampiri Prapto yang sedang menikmati sarapan pagi. Wanita itu menarik bangku yang berada tepat di hadapan Prapto."Enggak, Bu, Enggak apa-apa kok!" sela Prapto sebelum Bibik menjawab pertanyaan Lastri.Lastri meraih piring kemudian mengisinya dengan nasi dan beberapa lauk pauk yang terhidang di atas meja. "Prapto di mana, Indah?" tanya Lastri yang tidak menemukan keberadaan putrinya di meja makan.
Bibik menatap lekat pada Prapto. Bibir lelaki itu bergetar hebat dengan wajah menegang."Ada apa, Den?" Bibik mengulangi pertanyaannya. Wanita itu berusaha untuk membantu Indah bangkit. Namun, sorot matanya tertuju pada Prapto yang nampak masih syok."Sebenernya Indah adalah korban ...!" Prapto yang kalut ingin mengucapkan semua beban yang menyiksa batinnya pada Bibik. Namun, tiba-tiba Lastri muncul dari ambang pintu kamar Indah."Indah!" Lastri tercekat, wanita itu mempercepat langkah kakinya menghampiri Indah yang masih tergulai di atas lantai."Ada apa ini, Bik?" sergah Lastri membantu Bibik membopong tubuh Indah pada bagaian kepalanya dan meletakannya di atas pangkuan."Indah, bangun!" Lastri menepuk lembut pipi Indah, sorot matanya penuh kekhawatiran pada Indah yang masih pingsan."Prapto, apa yang sudah terjadi?" sergah Lastri mengalihkan tatapann
"Halo Mbak Indah, perkenalkan nama saya Puspita. Bagaimana kabar Mbak Indah?" tutur wanita berseragam putih yang bernama Puspita itu dengan sangat ramah sekali.Indah masih saja tidak bergeming. Sorot matanya tertuju pada boneka bayi menyeramkan yang ada di pangkuannya."Dulu, saya juga pernah kehilangan bayi sama seperti yang Mbak Indah alami. Saya tahu itu adalah hal yang sangat sulit sekali. Tapi saya yakin, akan selalu ada pelangi yang datang setelah badai hujan yang lebat. Mbak Indah harus tetap semangat ya." Psikiater wanita itu berusaha untuk memancing perhatian Indah."Dek, ayolah bicaralah sesuatu!" Prapto berusaha mengoyangkan bahu Indah. Indah mengelak, ia menepis tangan Prapto dari atas bahunya."Pelan-pelan saja, Pak!" tutur Dokter Puspita melemparkan senyuman kecil pada Prapto kemudian kembali mengalihkan tatapannya pada Indah."Saya boleh lihat boneka bayi, I
Rahang Lastri mengeras. Sorot matanya berubah menakutkan pada Prapto. Wanita itupun bangkit mensejajari Prapto."Maksud kamu apa?" cetus Lastri dengan wajah merah menyala. Dadanya bergemuruh bergerak naik turun, menahan amarah yang ingin sekali meletus.Prapto menyugar rambutnya kasar, sesaat ia memalingkan wajahnya dari tatapan nyalang Lastri. "Jika Ibu terus memaksaku untuk memberikan Indah keturunan, aku memilih mundur dari pernikahan ini, Bu!" Prapto mengulangi ucapannya dengan penuh penekanan. Sorot matanya membalas tatapan nyalang Lastri."Apa? Apakah aku tidak salah mendengar? Kamu ingin menceraikan Indah, seperti itu?" decih Lastri dengan nada sinis. Lastri menarik kedua sudut bibirnya tersenyum sinis. "Hey, Prapto apakah ini adalah balasanmu pada keluargaku?" decih Lastrimenaikkan nada suaranya. Rahangnya mengeras dengan gigi bergerutuk."Dari hidupmu susah dan sekarang aku memberikan kamu segalanya tapi kamu justru ingin meninggalkan
"Sialan!" Lastri mengamuk. Ia membuang semua bantal-bantal yang berada di atas ranjang ke sembarang tempat. Wanita itu meremas kuat seprai yang membungkus kasur berukuran king size yang berada di kamarnya hingga berantakan."Apakah kamu pikir aku tidak bisa mencarikan anakku suami. Dasar tidak berguna!" hardik Lastri dengan bahu bergerak naik turun menahan gemuruh amarah yang meletup-letup di dadanya. Keputusan Prapto meninggalkan Indah seperti penghinaan bagi Lastri.Lastri bangkit dari pembaringan, berdiri sesaat di depan cermin meja rias yang berada di dalam kamarnya. Membenarkan pakaian yang ia kenakan. Lalu berjalan menuju pintu keluar."Bik, Bibik!" teriak Lastri seraya menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Wanita itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan di lantai bawah."Iya, Bu!" sahut Bibik yang muncul dari arah dapur."Ada apa, Bu?" tanya Bibik meletakan k
Lastri menarik pelan pergelangan tangan Bibik masuk ke dalam rumah. Tubuh wanita yang basah kuyup itu hanya mampu menurut mengekori langkah kaki Lastri. Persendiannya terasa lemas tidak dapat melawan."Lihat, Indah ada di dalam kamar, Bik?" Lastri mengacungkan jari telunjuknya ke arah Indah yang tengah meringkuk di atas pembaringan."Apa?" Bibik tercekat, mengusap lembut kedua matanya seperti tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat saat ini."Tapi tadi Non Indah benar-benar tidak ada di sana, Bu!" tegas Bibik berusaha meyakinkan Lastri."Kalau Ibu tidak percaya lihatlah alat kompres yang sudah saya siapkan di atas meja nakas." Seketika Bibik mengarahkan tatapannya pada nakas yang berada di samping ujung ranjang. Di mana ia meletakan alat kompres untuk Indah."Apa?" Lagi, wanita itu kembali terkejut, Bibik tidak menemukan baskom yang sudah ia siapkan untuk mengompres I
Wanita paruh baya yang mengenakan kerudung berwarna nude itu menarik pergelangan tangan Lek Nar sedikit menjauh dari putranya, Sapto.Bibik memperhatikan ke sekeliling, pada Sapto yang terlihat penasaran. "Aku bisa memberikan uang berapapun yang kamu minta, Nar!" bisik Bibik mendekatkan wajahnya ke telinga Lek Nar.Lelaki dengan baju lusuh itu mengeryitkan dahi menatap pada Bibik. "Bagaimana caranya?" lek Nar semakin penasaran."Gampang! Sangat gampang sekali!" Bibik menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil. "Juraganku di kota sedang mencari calon suami untuk anaknya. Bagaimana kalau anak kamu si Sapto itu menjadi calon suami anak juraganku itu," ucap Bibik dengan nada berbisik.Wajah' Lek Nar terlihat ragu, sekilas ia melirik kepada putranya yang sedari tadi mengawasinya."Sekarang tidak ada pilihan lain Nar yang bisa kamu lakukan. Uang 20 juta itu sangat banyak
Plak!Bibik menepuk bahu Sapto. Sesaat lelaki itu meringis kesakitan satu tangannya mengusap bahunya yang terasa memanas."Kamu tidak bisa ingkar dengan perjanjian yang sudah dibuat. Kamu harus tetap menikahi Non Indah," desak Bibik dengan netra membulat."Tapi Bude tidak pernah bilang kalau wanita itu ternyata gila. Kalau aku tahu dia gila mungkin aku bisa mempertimbangkannya lagi, Bude," balas Sapto dengan wajah kesal."Sudah, sudah, semuanya sudah terjadi, yang terpenting saat ini kamu harus menurut apapun perintah Bu Lastri jika kamu tidak ingin dalam keadaan bahaya." Wanita paruh baya itu terus saja mendesak Sapto. "Apalagi jika Bu Lastri sudah marah, ia pasti akan melipat gandakan hutang-hutang kamu," seloroh Bibik.Pemuda berkulit sawo matang itu nampak berpikir sesaat dengan wajah yang terlihat kesal. "Tapi Bude!" Sapto diliputi dengan kebimbangan. Jika saja pemuda itu me
Langkah Zaki seketika terhenti, saat lirih suara Indah memanggil namanya. Begitu juga dengan Angga dan Dimas yang nampak terkejut melihat tatapan Indah hampir sama dengan Sekar."Dek, kamu manggil, Mas Zaki?" Prapto yang hendak beranjak kembali terduduk menatap serius pada Indah."Zaki!" lirih Indah lagi.Perlahan Zaki menyeret langkah kakinya berat menghampiri Indah. Tatapannya menerawang pada wanita yang duduk di hadapannya."Hati-hati di jalan! Jaga teman-teman!" lirih Indah dengan suara berat, seperti sedang menahan tangis.Tubuh Zaki gemetaran, ia merasa jika seseorang yang berada dalam diri wanita gila itu bukanlah Indah lagi."Siapa kamu?" lirih Zaki.Indah yang sempat menjatuhkan tatapan pada Zaki, kini kembali terdiam dengan tatapan kosong. Sorot mata itu seketika berubah."Jawab siapa kamu?" Zaki menai
Zaki menerobos tubuh Angga dan Dimas. Mendekat pada wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum, netranya yang jeli begitu juga dengan suaranya."Hanum! Apakah itu kamu?" lirih Zaki menyentuh pada kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh atletis itu sama sekali tidak dapat menyembunyikan kerinduan dan kesedihannya pada kekasihnya yang sudah meninggal."Dek, siapa?"Deg!Wajah Zaki seketika berubah pias saat mendengar suara lelaki dari dalam rumah. Sepertinya panggilan itu di tunjukkan pada wanita di hadapan Zaki. Dimas menyambar tangan Zaki dan menarik tubuh lelaki itu sedikit menjauh dari wanita yang berada di dalam pintu. Wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum itu nampak tercengang."Maaf, mbak!" ucap Dimas menyungingkan senyuman."Siapa, dek?" Lelaki berkulit sawo matang itu muncul dari dalam rumah. "Oh, kalian!" Semburat
Zaki tergeragap, menoleh pada pria berseragam petugas kebersihan yang berdiri di belakang punggungnya menenteng ember dan alat pel di tangannya."Itu Mas, ehm ... Tadi saya mendengar ada orang menangis di dalam kamar ini!" ucap Zaki gugup."Menangis?" Lelaki yang mengenakan seragam kebersihan itu mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan heran pada Zaki."Mas, yakin ngak salah dengar kan?" cetus petugas kebersihan nampak ragu dengan ucapan Zaki."Iya, Mas, benar, saya mendengar orang menangis dari dalam, makanya saya ingin melihatnya," ucap Zaki penuh keyakinan.Wajah petugas kebersihan itu seketika berubah menjadi takut. "Mas, jangan nakut-nakutin saya deh!" protesnya."Tidak, Mas, saya tidak tahu nakutin Mas," seloroh Zaki. "Tadi saya benar-benar mendengar orang sedang menangis dari dalam situ," imbuhnya."Tapi Mas, di dalam kamar itu suda
Dimas dan Zaki mendengarkan cerita Angga dengan seksama. Mereka nampak tenggelam dengan cerita yang Angga sampaikan."Lalu siapa wanita buruk rupa itu?" celetuk Dimas dengan wajah penasaran."Dia adalah ibu Yuda,"jawab Angga melirik pada Zaki."Apa?" Lagi-lagi Dimas dan Zaki terhenyak serentak. Mereka menggeleng bersama."Iya, wanita yang aku lihat saat aku berusia tujuh tahun itu adalah ibu Yuda," tegas Angga dengan sorot mata menerawang jauh."Jadi ibu kamu adalah istri nomor ...?" Dimas kelepasan, satu tangannya segera membungkam mulutnya menghentikan ucapannya. Wajahnya meringis saat Angga menoleh padanya."Ternyata ibuku adalah istri kedua ayahku. Jadi aku dan Yuda miliki ayah yang sama dengan ibu yang berbeda. Semenjak itu aku tinggal bersama Yuda, tapi entah mengapa Ayah lebih perhatian padaku, semua ayah lakukan untuk aku. Seolah Yuda dan ibunya tidak
Wajah Yuda yang meradang tidak tinggal diam. Hati yang sakit dengan dendam yang menguasai membuat pemuda itu menjadi lepas kendali. Yuda melompati meja, menjatuhkan tinjauan tepat pada hidung Angga.Bruk!Tubuh Angga hampir terjatuh, beruntungnya ada Zaki yang menopang tubuh pemuda tampan itu. Meskipun hidungnya tetap saja terasa sakit sekali."Hay ... Apa yang kamu lakukan!" sentak seorang lelaki.Petugas penjaga segera menghampiri Yuda. Ia menarik tubuh lelaki itu menjauh dari Angga.Satu tangan Angga memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah segar. Wajahnya meringis menahan sakit. Sementara Yuda, netranya memicing pada Angga dengan dada bergerak naik turun."Angga, kamu nggak apa-apa, kan?" sergah Zaki panik.Beberapa saat Angga tidak menjawab. Hidungnya terasa sangat pedih sekali. "Aku baik-baik saja!" lirih Angga menatap pada telap
"Zak, ada apa?" seloroh Dimas membuat Zaki tergeragap."Tidak!" balas Zaki mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara yang tidak asing itu masih terus mendengung dalam indera pendengarannya."Kamu mencari apa, Zaki?" ucap Dimas menatap aneh pada sikap Zaki yang ada di belakang punggungnya.Zaki nampak gelisah. "Tidak, aku tidak sedang mencari apapun. Mungkin aku tadi hanya salah dengar saja!" imbuh Zaki menarik sebelah sudut bibirnya. "Ayo masuk!" ajak Zaki melingkarkan tangannya pada bahu Dimas masuk ke dalam ruangan Angga.____Jangan pernah menanyakan sinar matahari di lereng Semeru. Sekalipun ia menampakkan cahayanya, ia tidak akan pernah membuatmu terasa panas. Justru yang ada ia akan memberi kehangatan dalam dinginnya udara yang membekukan. Semejak semalam, gerimis masih turun seperti biasa, soalnya hujan tidak memiliki jeda di daerah pegunungan itu. Beberapa kali Dimas berjalan monda
Zaki beranjak bangun karena terkejut, sesaat lelaki yang mengenakan topeng itupun juga menatap ke arahnya. Dengan gerakan cepat lelaki yang mengenakan topeng itu berhambur lari menuju ke arah pintu."Angga!" teriak Dimas terkejut melihat Angga tengah sekarat bersimbah dengan darah.Zaki bingung, hendak menyelamatkan Angga atau menangkap lelaki bertopeng itu. Zaki memutuskan untuk mengejar lelaki yang mengenakan topeng itu hingga menuju pintu keluar rumah Pak Samsul.Lengan kekar Zaki menyambar jaket kupluk yang lelaki itu kenakan. Tubuh lelaki terpelanting dan terjatuh."Ough!" Suara lelaki yang mengenakan topeng itu mengaduh kesakitan, karena benturan yang cukup keras.Zaki segera mengambil kesempatan untuk menangkap tubuh lelaki itu. Sayangnya lelaki itu menendang tubuh Zaki hingga terjatuh. Saat Zaki hendak melakukan penyerang padanya. Tubuh Zaki tersungkur dengan wajah mering
"Hey, tunggu!" teriak Angga dari ambang jendela.Menyadari jika Angga dan Zaki melihat kehadirannya. Lelaki yang bersembunyi di balik pohon pisang itu segera berlari masuk ke dalam kebun pisang."Tunggu!" teriak Zaki terus mempercepat langkah kakinya mengejar lelaki yang mengenakan jaket hitam dan berlari sangat cepat sekali.Mantan jawara beladiri itu tidak kesulitan untuk menangkap lelaki yang mengintai rumah Pak Samsul. Satu tangannya menyambar jaket yang lelaki itu kenakan hingga terjatuh. Secepatnya Zaki, mengunci tubuh lelaki itu, dengan kaki yang menindih pada bagian perut dan tangan yang mencengkeram kuat pada kedua pergelangan tangan lelaki tersebut."Ampun Mas, ampun!" lirih lelaki itu dengan wajah ketakutan."Apa?" Seketika Zaki terkesiap. Melihat sosok lelaki yang berada di bawah tubuhnya bukanlah Yuda. Sahabat yang ia kira sedang mengintai rumah Pak Samsul.&n
Lelaki yang mengenakan topeng itu terus menyerang Dimas. Dimas tidak bisa berkutik, karena lelaki itu menindih tubuh Dimas dari belakang punggungnya."Le-lepaskan!" lirih Dimas, satu tangannya hendak meraih penutup topeng yang lelaki itu kenakan.Plak!Lelaki yang menindih tubuh Dimas itu memberikan tamparan tepat pada pipi Dimas. Seketika wajah Dimas pun berpaling hingga kacamata yang ia kenakan pun terlepas. Saat itu juga meramunlah penglihatan Dimas. Ia tidak bisa lagi melihat siapa yang sudah menyerangnya, apalagi gelap malam semakin membuatnya hampir seperti orang buta.Dimas semakin panik, ia tahu lelaki itu bisa leluasa menyakitinya karena kini dirinya hampir tidak dapat melihat sama sekali."Tolong!" teriak Dimas memberontak. Sayangnya tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. Beberapa kali lelaki itu menjatuhkan tinjuan pada Dimas."Hentikan!"&n