Lastri menarik pelan pergelangan tangan Bibik masuk ke dalam rumah. Tubuh wanita yang basah kuyup itu hanya mampu menurut mengekori langkah kaki Lastri. Persendiannya terasa lemas tidak dapat melawan.
"Lihat, Indah ada di dalam kamar, Bik?" Lastri mengacungkan jari telunjuknya ke arah Indah yang tengah meringkuk di atas pembaringan.
"Apa?" Bibik tercekat, mengusap lembut kedua matanya seperti tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat saat ini.
"Tapi tadi Non Indah benar-benar tidak ada di sana, Bu!" tegas Bibik berusaha meyakinkan Lastri.
"Kalau Ibu tidak percaya lihatlah alat kompres yang sudah saya siapkan di atas meja nakas." Seketika Bibik mengarahkan tatapannya pada nakas yang berada di samping ujung ranjang. Di mana ia meletakan alat kompres untuk Indah.
"Apa?" Lagi, wanita itu kembali terkejut, Bibik tidak menemukan baskom yang sudah ia siapkan untuk mengompres I
Wanita paruh baya yang mengenakan kerudung berwarna nude itu menarik pergelangan tangan Lek Nar sedikit menjauh dari putranya, Sapto.Bibik memperhatikan ke sekeliling, pada Sapto yang terlihat penasaran. "Aku bisa memberikan uang berapapun yang kamu minta, Nar!" bisik Bibik mendekatkan wajahnya ke telinga Lek Nar.Lelaki dengan baju lusuh itu mengeryitkan dahi menatap pada Bibik. "Bagaimana caranya?" lek Nar semakin penasaran."Gampang! Sangat gampang sekali!" Bibik menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil. "Juraganku di kota sedang mencari calon suami untuk anaknya. Bagaimana kalau anak kamu si Sapto itu menjadi calon suami anak juraganku itu," ucap Bibik dengan nada berbisik.Wajah' Lek Nar terlihat ragu, sekilas ia melirik kepada putranya yang sedari tadi mengawasinya."Sekarang tidak ada pilihan lain Nar yang bisa kamu lakukan. Uang 20 juta itu sangat banyak
Plak!Bibik menepuk bahu Sapto. Sesaat lelaki itu meringis kesakitan satu tangannya mengusap bahunya yang terasa memanas."Kamu tidak bisa ingkar dengan perjanjian yang sudah dibuat. Kamu harus tetap menikahi Non Indah," desak Bibik dengan netra membulat."Tapi Bude tidak pernah bilang kalau wanita itu ternyata gila. Kalau aku tahu dia gila mungkin aku bisa mempertimbangkannya lagi, Bude," balas Sapto dengan wajah kesal."Sudah, sudah, semuanya sudah terjadi, yang terpenting saat ini kamu harus menurut apapun perintah Bu Lastri jika kamu tidak ingin dalam keadaan bahaya." Wanita paruh baya itu terus saja mendesak Sapto. "Apalagi jika Bu Lastri sudah marah, ia pasti akan melipat gandakan hutang-hutang kamu," seloroh Bibik.Pemuda berkulit sawo matang itu nampak berpikir sesaat dengan wajah yang terlihat kesal. "Tapi Bude!" Sapto diliputi dengan kebimbangan. Jika saja pemuda itu me
Pesta besar siap digelar di rumah Lastri. Tidak Lastri namanya jika tidak ingin terlihat paling kaya di kampung Ranu Pani. Sekalipun Indah memiliki gangguan kejiwaan, tapi ia ingin semua orang tahu bahwa masih ada lelaki yang mau menikahi putrinya. Lastri sudah menyiapkan seorang dokter, takut jika sewaktu-waktu Indah, putrinya mengamuk saat pesta pernikahan dimulai. Beberapa polisi pun terlihat berjaga-jaga di sekeliling rumah Lastri."Sudah, Bu!" ucap seorang penata rias setelah selesai merias Lastri.Wanita yang masih terlihat muda itu memalingkan wajahnya ke kiri dan ke kanan. Menatap pantulan diri pada cermin yang berada di hadapannya. Semburat senyuman tersungging dari kedua sudut bibirnya, saat melihat dirinya jauh lebih cantik dan muda dengan riasan."Pukul berapa acara akad akan dimulai?" tanya Lastri pada penata rias yang berdiri di belakang punggungnya."Setengah jam lagi acara akad akan d
Sapto menoleh ke belakang punggungnya. Pada boneka bayi yang tergeletak di atas lantai keramik. Dengan wajah ketakutan Sapto memperhatikan boneka menyeramkan dengan seksama."Apa aku salah mendengar, ya!" guman Sapto dengan wajah berpikir. Jelas-jelas beberapa saat lalu ia mendengarkan suara seseorang yang sedang mengaduh. "Mungkin hanya perasaanku saja!" imbuh Sapto lagi.Hening, tidak ada suara apapun kecuali binatang malam yang sedari tadi berbunyi saling bersahutan. Setelah memastikan semuanya aman, Sapto segera melanjutkan rencananya. Malam ini juga lelaki itu akan menuntaskan tugasnya sebagai seorang suami untuk membuat Indah hamil.Perlahan Sapto membuka kancing kemejanya satu persatu. "Duh, tapi kenapa aku tidak nafsu sama sekali ya!" decak Sapto kesal pada dirinya sendiri. Sekilas ia melirik pada Indah yang masih terlelap."Tenanglah Sapto pasti kamu bisa melakukannya!" Lelaki itu berusaha m
Pemuda kampung itu tidak dapat tertolong. Tidak ditemukan luka ataupun penyakit dalam tubuh Sapto. Membuat para dokter yang menangani lelaki itu sangat heran sekali menangani kasus SaptoSuasana di rumah duka terasa sangat pilu. Apalagi setelah kepergian jenazah Sapto yang telah di kebumikan beberapa waktu lalu. Lek Nar dan Yas tidak kuat untuk mengantarkan putra semata wayangnya ke peristirahatan terakhir. Beberapa kali mereka jatuh pingsan, tidak dapat menerima kenyataan jika putra satu-satunya sudah meninggal dunia."Nar, Yas, saya pamit pulang dulu, ya!" tutur Bibik sebelum meninggalkan rumah duka.Lelaki itu membuang wajahnya dari tatapan wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya. Bahkan Lek Yas sama sekali tidak melihat sedikitpun kepada Bibik Ningsih."Sudah, Bu! Ayo kita pulang!" seru Sari menarik pelan pergelangan tangan ibunya.___"Sepertinya Lek Nar da
Perlahan Lastri membuka kedua netranya, saat kesadaran itu kembali. Tubuh Lastri terasa remuk, tulang-tulang yang serasa terlepas dari persendian. Lastri perlahan membuka netranya, bayangan seorang wanita yang sedang duduk di kursi goyang masuk dalam indra penglihatan wanita itu. Dengan sebuah boneka bayi yang berada di dalam pangkuannya."Indah!" lirih Lastri dengan suara berat. Ingin sekali Lastri berajak dari posisinya. Tapi kepalanya terasa berputar-putar.Wanita yang tengah duduk di kursi goyang di samping jendela rumah itu menoleh menatap pada Lastri. Sorot matanya kosong, dengan mulut terkunci. Wajahnya nampak sangat pucat sekali."Indah!" Lastri mengulurkan tangannya, berharap Indah mau membantunya untuk bangun. "Tolong ibu!" lirihnya lagi.Tiba-tiba Indah terisak. Wajahnya nampak sangat sedih sekali, butiran bening jatuh satu persatu membasahi pipinya."Indah!" Las
Akhirnya ustad Zul menyerah, karena Lastri tetap menutupi kebohongannya dengan kebohongan yang lain. Wanita itu berdiri di ambang pintu rumahnya, menatap pada kepergian Ustaz Zul."Semoga saja Ustaz itu tidak datang ke rumahku lagi!" ucap Lastri memutar tubuhnya masuk ke dalam rumah."Bu!"Lastri menoleh ke balik punggungnya. Wanita paruh baya yang membawa koper itu kini sudah kembali pulang."Bibik!" ucap Lastri menyungingkan ulasan senyuman."Selamat sore, Bu!" ucap Bibik ramah.Lastri segera menarik pergelangan tangan Bibik, lalu menjatuhkan tubuh wanita itu pada bangku sofa yang berada di ruang tamunya."Bik, bagaimana, apakah semuanya aman?" tanya Lastri menjatuhkan tatapan penasaran kepada pembantu rumah tangga itu."Aman, Bu, aman!" balas Bibik tersenyum."Syukurlah!" Wajah Last
Bibik yang ketakutan melihat kedatangan Lastri segera melompat dari pagar pembatas balkon. Niatanya untuk bersembunyi, justru membuat wanita itu terpelanting jatuh dari atas balkon.Bruakk!Suara benda yang terjatuh cukup keras membuat Lastri terkesiap menatap ke arah balkon. Dengan langkah cepat wanita itu berlari melihat ke arah bahwa balkon. Tubuh Bibik mengejang dengan mata membulat penuh, beberapa saat kemudian tubuh wanita paruh baya itu melemas dan tidak bergerak. Darah terlihat menggenang di sekitar kepala Bibik.Lastri masih tercengang, wajahnya terlihat begitu terkejut. Rasa panik itu bersatu dengan ketakutan. "Apa yang harus aku perbuat!" guman Lastri panik, sesekali ia melihat ke arah bawah balkon, panik.Bergegas Lastri memutar tubuhnya keluar dari pintu kamar. Dengan langkah cepat wanita yang mengenakan piyama kimono itu berjalan menuju halaman belakang rumah, untuk memastikan keadaan B