Sapto menoleh ke belakang punggungnya. Pada boneka bayi yang tergeletak di atas lantai keramik. Dengan wajah ketakutan Sapto memperhatikan boneka menyeramkan dengan seksama.
"Apa aku salah mendengar, ya!" guman Sapto dengan wajah berpikir. Jelas-jelas beberapa saat lalu ia mendengarkan suara seseorang yang sedang mengaduh. "Mungkin hanya perasaanku saja!" imbuh Sapto lagi.
Hening, tidak ada suara apapun kecuali binatang malam yang sedari tadi berbunyi saling bersahutan. Setelah memastikan semuanya aman, Sapto segera melanjutkan rencananya. Malam ini juga lelaki itu akan menuntaskan tugasnya sebagai seorang suami untuk membuat Indah hamil.
Perlahan Sapto membuka kancing kemejanya satu persatu. "Duh, tapi kenapa aku tidak nafsu sama sekali ya!" decak Sapto kesal pada dirinya sendiri. Sekilas ia melirik pada Indah yang masih terlelap.
"Tenanglah Sapto pasti kamu bisa melakukannya!" Lelaki itu berusaha m
Pemuda kampung itu tidak dapat tertolong. Tidak ditemukan luka ataupun penyakit dalam tubuh Sapto. Membuat para dokter yang menangani lelaki itu sangat heran sekali menangani kasus SaptoSuasana di rumah duka terasa sangat pilu. Apalagi setelah kepergian jenazah Sapto yang telah di kebumikan beberapa waktu lalu. Lek Nar dan Yas tidak kuat untuk mengantarkan putra semata wayangnya ke peristirahatan terakhir. Beberapa kali mereka jatuh pingsan, tidak dapat menerima kenyataan jika putra satu-satunya sudah meninggal dunia."Nar, Yas, saya pamit pulang dulu, ya!" tutur Bibik sebelum meninggalkan rumah duka.Lelaki itu membuang wajahnya dari tatapan wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya. Bahkan Lek Yas sama sekali tidak melihat sedikitpun kepada Bibik Ningsih."Sudah, Bu! Ayo kita pulang!" seru Sari menarik pelan pergelangan tangan ibunya.___"Sepertinya Lek Nar da
Perlahan Lastri membuka kedua netranya, saat kesadaran itu kembali. Tubuh Lastri terasa remuk, tulang-tulang yang serasa terlepas dari persendian. Lastri perlahan membuka netranya, bayangan seorang wanita yang sedang duduk di kursi goyang masuk dalam indra penglihatan wanita itu. Dengan sebuah boneka bayi yang berada di dalam pangkuannya."Indah!" lirih Lastri dengan suara berat. Ingin sekali Lastri berajak dari posisinya. Tapi kepalanya terasa berputar-putar.Wanita yang tengah duduk di kursi goyang di samping jendela rumah itu menoleh menatap pada Lastri. Sorot matanya kosong, dengan mulut terkunci. Wajahnya nampak sangat pucat sekali."Indah!" Lastri mengulurkan tangannya, berharap Indah mau membantunya untuk bangun. "Tolong ibu!" lirihnya lagi.Tiba-tiba Indah terisak. Wajahnya nampak sangat sedih sekali, butiran bening jatuh satu persatu membasahi pipinya."Indah!" Las
Akhirnya ustad Zul menyerah, karena Lastri tetap menutupi kebohongannya dengan kebohongan yang lain. Wanita itu berdiri di ambang pintu rumahnya, menatap pada kepergian Ustaz Zul."Semoga saja Ustaz itu tidak datang ke rumahku lagi!" ucap Lastri memutar tubuhnya masuk ke dalam rumah."Bu!"Lastri menoleh ke balik punggungnya. Wanita paruh baya yang membawa koper itu kini sudah kembali pulang."Bibik!" ucap Lastri menyungingkan ulasan senyuman."Selamat sore, Bu!" ucap Bibik ramah.Lastri segera menarik pergelangan tangan Bibik, lalu menjatuhkan tubuh wanita itu pada bangku sofa yang berada di ruang tamunya."Bik, bagaimana, apakah semuanya aman?" tanya Lastri menjatuhkan tatapan penasaran kepada pembantu rumah tangga itu."Aman, Bu, aman!" balas Bibik tersenyum."Syukurlah!" Wajah Last
Bibik yang ketakutan melihat kedatangan Lastri segera melompat dari pagar pembatas balkon. Niatanya untuk bersembunyi, justru membuat wanita itu terpelanting jatuh dari atas balkon.Bruakk!Suara benda yang terjatuh cukup keras membuat Lastri terkesiap menatap ke arah balkon. Dengan langkah cepat wanita itu berlari melihat ke arah bahwa balkon. Tubuh Bibik mengejang dengan mata membulat penuh, beberapa saat kemudian tubuh wanita paruh baya itu melemas dan tidak bergerak. Darah terlihat menggenang di sekitar kepala Bibik.Lastri masih tercengang, wajahnya terlihat begitu terkejut. Rasa panik itu bersatu dengan ketakutan. "Apa yang harus aku perbuat!" guman Lastri panik, sesekali ia melihat ke arah bawah balkon, panik.Bergegas Lastri memutar tubuhnya keluar dari pintu kamar. Dengan langkah cepat wanita yang mengenakan piyama kimono itu berjalan menuju halaman belakang rumah, untuk memastikan keadaan B
Alat pendeteksi kehamilan itu menunjukkan dua garis merah. Dokter wanita itu menggoyangkan benda itu di depan wajah Lastri yang tercengang."Selamat ya, Bu, anda positif hamil. Usia kandungan Ibu sudah memasuki hampir 6 minggu," tuturnya ramah dengan rona bahagia.Wajah Lastri semakin pias. Tubuhnya bergetar, wanita itu terpaku menatap tespek yang berada di tangan dokter."Dok, saya tidak mau hamil, Dok. Mungkin alat dokter yang salah!" lirih Lastri terbata, menggelengkan kepalanya.Semburat senyuman yang tercermin dari kedua sudut bibir Dokter wanita itu seketika menghilang berganti dengan tatapan terkejut. "Salah, tidak Bu alat ini tidak salah!" cetus Dokter mengeryitkan dahi menatap Lastri.Lastri berusaha menguasai dirinya. 'Aku harus bersikap biasa saja di depan dokter ini. Dia tidak boleh curiga jika aku tidak memiliki suami.'"Ibu Lastri baik-baik saja
Semakin hari keadaan Lastri semakin menyedihkan. Usaha yang ia rintis pun perlahan mulai merosot, karena seringnya kerugian yang ia alami. Lastri yang sedang berbadan dua tidak lagi fokus dengan usahanya. Apalagi Lastri hamil tanpa seorang suami. Semetara Indah, wanita itu menghilang seperti di telan bumi.Lastri menyesap sebatang rokok yang berada di tangannya. Tatapannya menerawang jauh melihat ke arah halaman belakang rumahnya. Temaram sinar senja masuk melalui pantulan jendela kaca kamar Lastri. Sesekali Lastri membuat kepulan asap putih mengudara keluar dari mulutnya, kemudian ia menyesapnya lagi untuk yang kesekian kalinya."Kalau saja dengan meminum racun aku bisa membunuhmu tanpa melukai diriku sendiri. Pasti aku sudah melakukanya!" tutur Lastri menatap pada perutnya yang mulai nampak sedikit menonjol.Lastri kembali menyesap sebatang rokok yang berada di tangannya. Benaknya mengembara jauh menerawang jejak-jejak
Sari bergegas keluar dari kamar. Mencari letak pintu belakang yang berada di dapur untuk sampai ke halaman belakang."Sari!"Langkah Sari terhenti seketika. Tubuhnya mematung di depan pintu dapur."Ibu!" lirih Sari setelah memutar tubuhnya ke arah sumber suara wanita yang baru saja memanggil namanya.Lastri yang tengah membawa gelas kosong menuju dapur berjalan mendekati Lastri. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Sari?" tanya Lastri melihat Sari meletakkan tangannya pada gagang pintu dapur.Sari menggigit bibir bawahnya, wajahnya yang sempat berbinar perlahan memudar. "Aku, aku melihat ibu ada di halaman belakang rumah, Bu!" lirih Sari, menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Apa?" Netra Lastri membulat penuh, wanita itu mengikis jarak antara dirinya dan Sari karena rasa penasaran yang tiba-tiba menyelinap. "Bibik Ningsih maksud kamu?" sergah L
"Ningsih, dia sudah pindah dari sini sejak beberapa waktu yang lalu dan dia juga sudah membawa semua barang-barangnya pergi," tutur pemilik kontrakan.Netra Sari seketika berkaca-kaca. "Apakah ibu saya tidak mengatakan ke mana beliau akan pindah?" Suara Sari terdengar bergetar seperti menahan tangisan.Wajah wanita bertubuh kurus yang berdiri di depan Sari nampak sedang berpikir. "Tidak, Dek, Ningsih tidak mengatakan ke mana ia akan pindah. Tapi ...!" Pemilik kontrakan itu nampak berpikir. Sorot matanya menerawang lurus ke depan, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu."Jangan bilang jika Ningsih pindah ke rumahku!" batin Lastri khawatir, takut jika wanita itu mengatakan yang sebenarnya."Saya memang meminta Ningsih untuk tinggal di rumah saya. Karena saya kasihan melihat Ningsih harus bolak-balik pulang pergi ke kontrakannya. Tapi, beberapa bulan yang lalu, Ningsih berpamitan untuk berhenti bekerja