Alat pendeteksi kehamilan itu menunjukkan dua garis merah. Dokter wanita itu menggoyangkan benda itu di depan wajah Lastri yang tercengang.
"Selamat ya, Bu, anda positif hamil. Usia kandungan Ibu sudah memasuki hampir 6 minggu," tuturnya ramah dengan rona bahagia.
Wajah Lastri semakin pias. Tubuhnya bergetar, wanita itu terpaku menatap tespek yang berada di tangan dokter.
"Dok, saya tidak mau hamil, Dok. Mungkin alat dokter yang salah!" lirih Lastri terbata, menggelengkan kepalanya.
Semburat senyuman yang tercermin dari kedua sudut bibir Dokter wanita itu seketika menghilang berganti dengan tatapan terkejut. "Salah, tidak Bu alat ini tidak salah!" cetus Dokter mengeryitkan dahi menatap Lastri.
Lastri berusaha menguasai dirinya. 'Aku harus bersikap biasa saja di depan dokter ini. Dia tidak boleh curiga jika aku tidak memiliki suami.'
"Ibu Lastri baik-baik saja
Semakin hari keadaan Lastri semakin menyedihkan. Usaha yang ia rintis pun perlahan mulai merosot, karena seringnya kerugian yang ia alami. Lastri yang sedang berbadan dua tidak lagi fokus dengan usahanya. Apalagi Lastri hamil tanpa seorang suami. Semetara Indah, wanita itu menghilang seperti di telan bumi.Lastri menyesap sebatang rokok yang berada di tangannya. Tatapannya menerawang jauh melihat ke arah halaman belakang rumahnya. Temaram sinar senja masuk melalui pantulan jendela kaca kamar Lastri. Sesekali Lastri membuat kepulan asap putih mengudara keluar dari mulutnya, kemudian ia menyesapnya lagi untuk yang kesekian kalinya."Kalau saja dengan meminum racun aku bisa membunuhmu tanpa melukai diriku sendiri. Pasti aku sudah melakukanya!" tutur Lastri menatap pada perutnya yang mulai nampak sedikit menonjol.Lastri kembali menyesap sebatang rokok yang berada di tangannya. Benaknya mengembara jauh menerawang jejak-jejak
Sari bergegas keluar dari kamar. Mencari letak pintu belakang yang berada di dapur untuk sampai ke halaman belakang."Sari!"Langkah Sari terhenti seketika. Tubuhnya mematung di depan pintu dapur."Ibu!" lirih Sari setelah memutar tubuhnya ke arah sumber suara wanita yang baru saja memanggil namanya.Lastri yang tengah membawa gelas kosong menuju dapur berjalan mendekati Lastri. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Sari?" tanya Lastri melihat Sari meletakkan tangannya pada gagang pintu dapur.Sari menggigit bibir bawahnya, wajahnya yang sempat berbinar perlahan memudar. "Aku, aku melihat ibu ada di halaman belakang rumah, Bu!" lirih Sari, menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Apa?" Netra Lastri membulat penuh, wanita itu mengikis jarak antara dirinya dan Sari karena rasa penasaran yang tiba-tiba menyelinap. "Bibik Ningsih maksud kamu?" sergah L
"Ningsih, dia sudah pindah dari sini sejak beberapa waktu yang lalu dan dia juga sudah membawa semua barang-barangnya pergi," tutur pemilik kontrakan.Netra Sari seketika berkaca-kaca. "Apakah ibu saya tidak mengatakan ke mana beliau akan pindah?" Suara Sari terdengar bergetar seperti menahan tangisan.Wajah wanita bertubuh kurus yang berdiri di depan Sari nampak sedang berpikir. "Tidak, Dek, Ningsih tidak mengatakan ke mana ia akan pindah. Tapi ...!" Pemilik kontrakan itu nampak berpikir. Sorot matanya menerawang lurus ke depan, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu."Jangan bilang jika Ningsih pindah ke rumahku!" batin Lastri khawatir, takut jika wanita itu mengatakan yang sebenarnya."Saya memang meminta Ningsih untuk tinggal di rumah saya. Karena saya kasihan melihat Ningsih harus bolak-balik pulang pergi ke kontrakannya. Tapi, beberapa bulan yang lalu, Ningsih berpamitan untuk berhenti bekerja
Berita kehamilan Lastri sudah menyebar ke seluruh kampung Ranupani. Dari kecurigaan beberapa warga yang melihat perut Lastri semakin membesar justru semakin memperpanas suasana. Berbagai terkaan justru semakin memperkeruh berita tentang Lastri si pengabdi setan."Kita harus melaporkan wanita itu ke RT!" cetus wanita bertubuh gemuk itu pada para ibu-ibu yang sedang berkumpul di warung Mang Parlin."Benar sekali, wanita itu sudah bersekutu dengan iblis!" cetus Bu Wati selaku biang gosip yang berada di kampung Ranupani."Sabar ibu-ibu, lebih baik kita dengarkan saja dulu bagaimana penjelasan Mbak Lastri dan kita tanyakan langsung dengan beliau siapakah ayah dari bayi yang berada di perutnya," sela Bu Tari, wanita yang mengenakan kerudung berwarna biru itu berusaha untuk menenangkan suasana."Bu Tari, Lastri itu tidak akan pernah mau mengaku jika ia sudah melakukan hubungan gelap dengan pesugihan genderu
Lastri meradang, menjatuhkan tatapan nyalang pada beberapa para ibu-ibu yang sedang berkumpul di depan rumahnya."Lastri, sudah cukup lama kamu menjadi benalu di kampung ini dan sepertinya kami sudah cukup memberikan kamu toleransi selama ini." Bu Wati menaikan nada suaranya. Sorot matanya membalas tajam pada Lastri yang nampak juga sedang marah."Betul itu!" balas Ibu-ibu yang lainnya dengan wajah tidak kalah kesalnya pada Lastri."Kami masih membiarkan kamu mengambil pesugihan di lereng Semeru. Tapi untuk berzina, kami tidak akan membiarkannya lagi!" cetus Ibu Diana membeliakan matanya."Memangnya siapa yang sudah berzina!" desis Lastri semakin kesal. Sedari tadi ia hanya mampu terdiam dan membiarkan pada penyebar berita itu memfitnahnya."Haha ... Lastri, Lastri, sekalipun kamu mengenakan baju karung, kehamilan kamu akan tetap terlihat. Itu apa namanya kalau bukan zina!"
Semeru 1 Agustus 2010, Tiga Tahun kemudianRintik hujan masih membahasi dedaunan dan pohon-pohon yang berada di sekitar lereng Semeru. Meskipun tak sederas beberapa waktu yang lalu. Namun hujan sudah mampu membuat beberapa pendaki menghentikan langkah mereka. Selain medan yang cukup licin dan rawan sekali insiden, pemimpin pendaki memutuskan untuk menghentikan perjalanan mereka. Karena sebentar lagi, malam pun akan segera menjelang."Baiklah, lebih baik kita bermalam di sini saja dulu! Besok pagi-pagi sekali kita akan melanjutkan perjalanan sampai puncak Semeru untuk menikmati keindahan matahari terbit di sana," seru lelaki berwajah tampan, pemimpin pendakian kali ini."Wah, ini tidak seru sekali!" gerutu lelaki yang mengandalkan kupluk kepala itu berdecak kesal. "Harusnya kita lanjutkan saja pendakian, lagi pula ini kan hanya gerimis kecil," protesnya lagi."Zaki, apakah kamu tadi tidak dengar apa k
Zaki terpelanting. Tiba-tiba saja lelaki bertubuh tegap itu menghujani Zaki dengan tinjuan."Zaki!" Hanum yang melihat segera berhambur menolong kekasihnya. Bagitu juga dengan Rani dan Siska yang terkejut."Apa maksud kamu, Angga?" Zaki meradang, menyeka sudut bibirnya yang terasa perih."Siapa yang menyuruh kamu mengambil ikan di Ranu Kumbolo?" Angga meradang menatap tajam pada Zaki."Ikan!" Zaki mengeryitkan dahi menatap keheranan pada Angga.Angga mendengus berat, "Tolong! Tolong, berapa kali aku mengingatkan pada kalian untuk mematuhi peraturan yang ada di tempat ini. Ini bukan tempat kita, bersikaplah sopan dan jangan pernah mengusik apapun milik mereka," cetus Angga menaikkan ada suaranya dengan penuh penekanan. Netranya memicing pada Zaki.Mendengar keramaian yang sedang terjadi Dimas dan Yuda pun keluar dari dalam tenda."Tapi aku
"Memangnya apa yang kamu lihat, Yuda?" Angga menatap penasaran kepada Yuda yang berdiri di belakang punggung Dimas.Wajah pemuda dengan gaya rambut belah pinggir itu tercekat untuk sesaat. "Aku melihat po-pohon!" ucapnya dengan nada terbata.Angga menghela nafas panjang, bagitu juga dengan Siska dan Rani."Sudah-sudah! Ayo kita lanjutkan perjalanan lagi!" seru Angga.Tubuh Dimas semakin bergetar, dengan berat, lelaki itu melangkahkan kakinya mengikuti rombongan pendaki. Kedua lelaki yang mengenakan baju kerajaan itu terus mengawasinya saat Dimas melintasinya. Sorot matanya tajam melihat pada Dimas dan Yuda."Sudah, ayo jalan!" seru Yuda yang berada di belakang Dimas, sedikit memberikan dorongan kecil pada Dimas untuk mempercepat langkah kakinya._____Kampung Ranu Pani tidak seramai dulu. Semenjak pembunuhan masal Lastri yang dilakukan oleh pada warga. Hanya ada beberapa kepala keluarga yang masih tetap tinggal di kampung itu. Rumah-rum