"Paman!" Pak Karman bersama Bu Siti berada di ambang pintu. Pak Karman mendekat, setelah Bu Siti membisikkan sesuatu di telinga sang suami. "Paman dengar, ada yang akan pergi. Dan apa benar, selama ini kamu masih belum menerima suamimu, Aya?" tanyanya lembut. Kanaya menunduk. Ia harus berani mengakui di depan pamannya keadaan yang sebenarnya. "Benar, Paman," jawabnya pelan. "Tapi kenapa, Ndhuk?" Kanaya menatap Pak Karman yang ikut duduk. Pamannya, yang sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri. "Paman pikir, kamu sudah berlaku baik kepadanya seperti yang Paman sarankan padamu. Ternyata, anggapan Paman salah. Sudah tiga bulan, Aya. Dan selama itu, kamu sudah mempermainkan perasaan suamimu. Mulai sekarang, Paman tidak akan memintamu menerimanya, semua terserah padamu. Tapi jika tidak ingin melanjutkan pernikahan dengan Devan, sebaiknya putuskan hari ini juga! Sebagai sesama lelaki, Paman tahu bagaimana perasaan suamimu. Jangan lagi menggantungnya, jika memang tid
Rasanya sangat sakit ketika ditinggalkan oleh orang yang selalu ada untuk kita. Sayangnya, aku baru menyadari betapa kehadirannya begitu berarti dalam hidupku, saat ia telah pergi. ~Kanaya~ *** Kanaya bergegas menuju rumahnya. Ia tidak pedulikan tas yang ia pegang, ia jatuhkan di depan pintu. Ia berlari ke dalam, ke belakang, ke samping. Berharap menemukan orang yang ia cari, tapi tidak ada. Ia kembali ke depan dan tidak menemukan motor Devan. Ia masih berpikir positif. 'Barang kali saja, dia sedang narik ojek.' Tapi ia penasaran dengan kamar Devan. Ia bergegas kembali masuk dan memberanikan diri membuka kamar sang ayah yang sudah tiga bulan ditempati oleh Devan. Ia berharap baju-baju Devan masih ada di sana. Sesampainya di dalam kamar, Kanaya menatap isi ruangan tersebut. "Masih sama seperti dulu, saat masih ada Ayah." Kanaya kembali memindai isi ruangan itu, lalu membuka almari baju. Baju Pak Ali yang sempat dipakai oleh Devan, sudah tertata rapi
"Silakan, Bu. Maaf, hanya makanan sederhana." "Tidak apa-apa, Kanaya. Ini terlihat menggugah selera." Bu Herlin duduk, kemudian mengambil sayur lodeh dan ikan asap yang dipenyet di atas cobek kayu berisi sambal terasi. "Hmm, ini nikmat sekali. Menu sederhana, tapi terasa sangat pas di lidah. Kamu pandai memasak juga, ya." "Bu Herlin terlalu berlebihan, ini hanya masakan kampung sederhana." "No no no! Ini makanan istimewa sekali. Karena ini adalah masakan dari me--" Bu Herlin memotong ucapannya, "Maksudku, ini makanan yang sangat jarang saya jumpai. Sangat susah mencari ikan asap segar seperti ini di Jakarta. Sepertinya aku akan sering-sering ke sini jika merindukan masakanmu, Kanaya." "Dengan senang hati saya akan mencarikan untuk Bu Herlin jika ke sini lagi nantinya." Kanaya cukup senang karena Bu Herlin terlihat begitu menikmati masakannya. Ia pikir, orang kaya tidak akan mau memakan masakan kampung. Ternyata malah sebaliknya. Bu Herlin begitu menyukainya.
"Kamu mau ke mana, Ndhuk?" Pak Karman menghampiri Kanaya yang sedang menutup pintu rumah. "Aku mau ke rumah teman, Paman." "Mau cari suamimu?" Kanaya mengangguk. "Memangnya mau cari ke mana?" "Aya nggak tahu," ujarnya menunduk sedih. Pak Karman yang melihat itu pun mendekat, "Yakinkan hatimu dulu, jika kamu ingin dia kembali. Pastikan kamu benar-benar sudah menerimanya. Jangan sampai, dia kembali tapi tinggal di kamar terpisah lagi." Kanaya menoleh ke arah pamannya. "Tapi jika kamu tidak inginkan pernikahan ini, lebih baik tidak perlu mencarinya." Kanaya merasa sakit dan sedih dengan ucapan pamannya. Entah kenapa, hatinya seolah tidak terima pamannya melarangnya mencari suaminya. Padahal ia sudah menyadari betapa Devan sangat berarti di hatinya. Meskipun ia merasa itu semua sudah terlambat. Tapi ia yakin ia bisa menemukan Devan. "Kamu masih ingin mencarinya?" Kanaya hanya mengangguk. "Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang?" Lagi, Kanaya
"Aaaah, sebentar lagi malam, aku tidak mau pulang sendiri!" Kanaya kembali duduk di samping Devan. Sedangkan lelaki itu, menahan tawa melihatnya. "Kenapa, tertawa! Apa ada yang lucu!" "Tidak." "Aku kesal padamu!" Kanaya melipat tangannya dan membelakangi Devan. "Hanya kesal saja? Tidak ada yang lain?" Kanaya tidak menyahut dan masih dengan posisi yang sama. "Apa kau tidak ingin mengucapkan sesuatu padaku?" Kanaya masih tidak menyahut dan Devan membalikkan tubuh Kanaya agar menghadap ke arahnya. "Apa ke sini hanya untuk mendiamkanku? Baiklah, aku pergi tidur saja." Devan hendak bangkit tapi Kanaya mencegahnya. "Jangan pergi lagi!" Ia memeluk Devan dan menangis tersedu di dada bidang itu. Ia semakin mengeratkan pelukannya, agar Devan tak lagi meninggalkannya. Ia begitu takut Devan pergi lagi. "Kenapa menangis? Aku hanya ingin pergi tidur." "Kamu jahat! Kamu meninggalkanku! Aku benci kamu!" Kanaya memukuli dada Devan. "Jadi kamu mau ikut tidur be
"Pak Radit? Kenapa tidak diangkat? Mungkin saja dia ingin memakai apartemennya, kita bisa pulang ke rumah." Kanaya duduk tepi di ranjang. 'Ah, sial! Aku lupa peran Radit sekarang ini," umpat Devan dalam hatinya. "Baiklah, aku angkat dulu." Devan mengambil ponselnya dan duduk di sofa yang berada di depan ranjang. "Halo! Ada apa!" "Tidak mohon maaf, mengganggu. Memang disengaja. Ha ha ha." "Sialan!" Devan mematikan sambungan telepon lalu menon-aktifkan ponselnya agar tidak ada lagi yang mengganggu kebersamaannya dengan Kanaya. Ia merasa seperti dipermainkan. Hasrat sudah berada di ubun-ubun, harus terjeda karena keisengan saudara angkatnya. 'Awas saja jika bertemu, habis kau, Radit!' "Apa ada yang penting?" Kanaya menyusul Devan dan duduk di sampingnya. "Tidak ada, hanya mengingatkan bahwa besok adiknya libur, jadi aku tidak perlu mengantarnya ke sekolah." Devan meletakkan ponselnya dan meraih pundak Kanaya. Ia menciuminya dan itu membuat Kanaya merasa gel
"Biar aku yang buka pintunya." "Tunggu! Pakai baju!" Kanaya mengambil baju Devan yang berada di dekatnya karena Devan hanya memakai celana pendek. Devan pun memakai baju itu lalu keluar dari kamar. "Ini salep dan juga obat yang tadi Tuan pesan." Seorang laki-laki memberikan obat pada Devan. Tadi saat mengambil handuk dan es batu, ia juga menghubungi temannya yang menjadi dokter di keluarganya. Ia bertanya tentang obat yang bisa meredakan nyeri pasca berhubungan pada saat malam pertama. Tentu saja ia digoda terlebih dahulu oleh temannya itu, karena sudah bisa ditebak, ia telah melakukan hubungan dengan seorang gadis. "Serius obat itu yang kamu tanyakan? Sama siapa, Dev? Beneran sama anak gadis, 'kan? Bukan sama anak perjaka." "Si*lan! Kau pikir aku apa! Tentu saja dengan gadis perawan! Tapi sudah tidak lagi perawan sejak satu jam yang lalu." "Iya-iya. Sorry. Syukurlah kamu sudah tobat, kukira akan tersesat selamanya," kekeh Aldo. "Tobat? Tersesat?
"Iya. Aku sangat menyesal karena baru menyadarinya sekarang. Seharusnya aku menerimamu dari dulu," ucap Kanaya yang cengengesan. "Kau hampir membuat jantungku copot!" Devan mencubit hidung istrinya. "Aku bahagia melihatmu tersenyum dengan manis seperti ini." "Kamu yang membuatku tersenyum." "Kamu siapa?" "Ya, kamu." "Apa tidak ada panggilan sayangmu untukku?" Kanaya terdiam karena memang selama ini ia tidak pernah memanggil Devan dengan sebutan nama ataupun panggilan lain. "Aku harus memanggilmu apa?" "Emm, menurutmu?" "Bagaimana kalau Cinta, atau Honey, Baby, atau Suamiku?" Devan tertawa mendengar semua ucapan istrinya. Terdengar lucu dengan semua panggilan untuk dirinya itu. Ia sudah hampir kepala tiga. Rasanya terlalu lebay dengan panggilan yang biasanya digunakan oleh anak-anak muda. Meski ia sadar jika istrinya itu memang masih sangat belia. "Kau masih ingat saat kita pertama kali bertemu di pos ronda?" Kanaya mengangguk. Te