"Silakan, Bu. Maaf, hanya makanan sederhana." "Tidak apa-apa, Kanaya. Ini terlihat menggugah selera." Bu Herlin duduk, kemudian mengambil sayur lodeh dan ikan asap yang dipenyet di atas cobek kayu berisi sambal terasi. "Hmm, ini nikmat sekali. Menu sederhana, tapi terasa sangat pas di lidah. Kamu pandai memasak juga, ya." "Bu Herlin terlalu berlebihan, ini hanya masakan kampung sederhana." "No no no! Ini makanan istimewa sekali. Karena ini adalah masakan dari me--" Bu Herlin memotong ucapannya, "Maksudku, ini makanan yang sangat jarang saya jumpai. Sangat susah mencari ikan asap segar seperti ini di Jakarta. Sepertinya aku akan sering-sering ke sini jika merindukan masakanmu, Kanaya." "Dengan senang hati saya akan mencarikan untuk Bu Herlin jika ke sini lagi nantinya." Kanaya cukup senang karena Bu Herlin terlihat begitu menikmati masakannya. Ia pikir, orang kaya tidak akan mau memakan masakan kampung. Ternyata malah sebaliknya. Bu Herlin begitu menyukainya.
"Kamu mau ke mana, Ndhuk?" Pak Karman menghampiri Kanaya yang sedang menutup pintu rumah. "Aku mau ke rumah teman, Paman." "Mau cari suamimu?" Kanaya mengangguk. "Memangnya mau cari ke mana?" "Aya nggak tahu," ujarnya menunduk sedih. Pak Karman yang melihat itu pun mendekat, "Yakinkan hatimu dulu, jika kamu ingin dia kembali. Pastikan kamu benar-benar sudah menerimanya. Jangan sampai, dia kembali tapi tinggal di kamar terpisah lagi." Kanaya menoleh ke arah pamannya. "Tapi jika kamu tidak inginkan pernikahan ini, lebih baik tidak perlu mencarinya." Kanaya merasa sakit dan sedih dengan ucapan pamannya. Entah kenapa, hatinya seolah tidak terima pamannya melarangnya mencari suaminya. Padahal ia sudah menyadari betapa Devan sangat berarti di hatinya. Meskipun ia merasa itu semua sudah terlambat. Tapi ia yakin ia bisa menemukan Devan. "Kamu masih ingin mencarinya?" Kanaya hanya mengangguk. "Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang?" Lagi, Kanaya
"Aaaah, sebentar lagi malam, aku tidak mau pulang sendiri!" Kanaya kembali duduk di samping Devan. Sedangkan lelaki itu, menahan tawa melihatnya. "Kenapa, tertawa! Apa ada yang lucu!" "Tidak." "Aku kesal padamu!" Kanaya melipat tangannya dan membelakangi Devan. "Hanya kesal saja? Tidak ada yang lain?" Kanaya tidak menyahut dan masih dengan posisi yang sama. "Apa kau tidak ingin mengucapkan sesuatu padaku?" Kanaya masih tidak menyahut dan Devan membalikkan tubuh Kanaya agar menghadap ke arahnya. "Apa ke sini hanya untuk mendiamkanku? Baiklah, aku pergi tidur saja." Devan hendak bangkit tapi Kanaya mencegahnya. "Jangan pergi lagi!" Ia memeluk Devan dan menangis tersedu di dada bidang itu. Ia semakin mengeratkan pelukannya, agar Devan tak lagi meninggalkannya. Ia begitu takut Devan pergi lagi. "Kenapa menangis? Aku hanya ingin pergi tidur." "Kamu jahat! Kamu meninggalkanku! Aku benci kamu!" Kanaya memukuli dada Devan. "Jadi kamu mau ikut tidur be
"Pak Radit? Kenapa tidak diangkat? Mungkin saja dia ingin memakai apartemennya, kita bisa pulang ke rumah." Kanaya duduk tepi di ranjang. 'Ah, sial! Aku lupa peran Radit sekarang ini," umpat Devan dalam hatinya. "Baiklah, aku angkat dulu." Devan mengambil ponselnya dan duduk di sofa yang berada di depan ranjang. "Halo! Ada apa!" "Tidak mohon maaf, mengganggu. Memang disengaja. Ha ha ha." "Sialan!" Devan mematikan sambungan telepon lalu menon-aktifkan ponselnya agar tidak ada lagi yang mengganggu kebersamaannya dengan Kanaya. Ia merasa seperti dipermainkan. Hasrat sudah berada di ubun-ubun, harus terjeda karena keisengan saudara angkatnya. 'Awas saja jika bertemu, habis kau, Radit!' "Apa ada yang penting?" Kanaya menyusul Devan dan duduk di sampingnya. "Tidak ada, hanya mengingatkan bahwa besok adiknya libur, jadi aku tidak perlu mengantarnya ke sekolah." Devan meletakkan ponselnya dan meraih pundak Kanaya. Ia menciuminya dan itu membuat Kanaya merasa gel
"Biar aku yang buka pintunya." "Tunggu! Pakai baju!" Kanaya mengambil baju Devan yang berada di dekatnya karena Devan hanya memakai celana pendek. Devan pun memakai baju itu lalu keluar dari kamar. "Ini salep dan juga obat yang tadi Tuan pesan." Seorang laki-laki memberikan obat pada Devan. Tadi saat mengambil handuk dan es batu, ia juga menghubungi temannya yang menjadi dokter di keluarganya. Ia bertanya tentang obat yang bisa meredakan nyeri pasca berhubungan pada saat malam pertama. Tentu saja ia digoda terlebih dahulu oleh temannya itu, karena sudah bisa ditebak, ia telah melakukan hubungan dengan seorang gadis. "Serius obat itu yang kamu tanyakan? Sama siapa, Dev? Beneran sama anak gadis, 'kan? Bukan sama anak perjaka." "Si*lan! Kau pikir aku apa! Tentu saja dengan gadis perawan! Tapi sudah tidak lagi perawan sejak satu jam yang lalu." "Iya-iya. Sorry. Syukurlah kamu sudah tobat, kukira akan tersesat selamanya," kekeh Aldo. "Tobat? Tersesat?
"Iya. Aku sangat menyesal karena baru menyadarinya sekarang. Seharusnya aku menerimamu dari dulu," ucap Kanaya yang cengengesan. "Kau hampir membuat jantungku copot!" Devan mencubit hidung istrinya. "Aku bahagia melihatmu tersenyum dengan manis seperti ini." "Kamu yang membuatku tersenyum." "Kamu siapa?" "Ya, kamu." "Apa tidak ada panggilan sayangmu untukku?" Kanaya terdiam karena memang selama ini ia tidak pernah memanggil Devan dengan sebutan nama ataupun panggilan lain. "Aku harus memanggilmu apa?" "Emm, menurutmu?" "Bagaimana kalau Cinta, atau Honey, Baby, atau Suamiku?" Devan tertawa mendengar semua ucapan istrinya. Terdengar lucu dengan semua panggilan untuk dirinya itu. Ia sudah hampir kepala tiga. Rasanya terlalu lebay dengan panggilan yang biasanya digunakan oleh anak-anak muda. Meski ia sadar jika istrinya itu memang masih sangat belia. "Kau masih ingat saat kita pertama kali bertemu di pos ronda?" Kanaya mengangguk. Te
"Aku suka panggilan itu. Berteriaklah." "Tapi ini masih pagi, ini bukan di apartemen Pak Radit yang kedap suara. Ini rumah kayu, kalau aku berteriak, tetangga bisa mendengarnya." "Aku tidak peduli, Kana. Mau pagi, siang, sore atau malam, tidak jadi masalah." Devan mendudukkan Kanaya di kursi kayu dan mulai membuka bajunya. "Kenapa di sini?" "Aku sudah tidak tahan, Sayang ...." Devan mulai melakukan aksinya. Baju Kanaya sudah dibukanya sebagian. Tok tok tok! "Si*lan! Mengganggu saja!" Devan menghentikan aktifitasnya karena terdengar suara ketukan pintu. Ia memakai kembali bajunya, begitu pun Kanaya. Namun istrinya itu tertawa setelah melihat ada yang menyembul dari balik celananya. "Jangan tertawa, ini membuatku tersiksa!" "Biar aku saja yang buka pintunya, aku tidak mau ada yang melihatmu seperti itu." Kanaya membenahi rambutnya dan menggulungnya ke atas. Ia bergegas membuka pintu rumahnya. "Kak Aya, lama sekali buka pintunya. Ini, da
"Aya!" Kanaya menoleh, "Hai, Lex. Ada apa?" Ia baru saja melambaikan tangan pada suaminya saat Alex memanggil namanya. Sejak tadi Alex melihat semua perlakuan Devan pada Kanaya. Ia berpikir, mungkinkah mereka benar-benar sudah saling jatuh cinta? Ia merasa tidak rela jika Kanaya bersama Devan. Ia ingin Kanaya berpisah dari Devan dan dia yang akan menggantikannya. Namun ia sendiri tidak mau peduli, padahal ia sendiri sudah memiliki Cintia dan calon bayi mereka. Alex menatap heran wajah Kanaya yang terlihat berbeda. Aura ceria yang membuat wajah itu lebih cerah dengan senyum mengembang, yang membuatnya semakin cantik dan memesona. Ia berangan-angan seandainya bisa menikmati paras cantik dan senyum manis itu serta dapat menatapnya setiap saat. Alex mendekat dan tersenyum pada Kanaya. Namun sedetik kemudian, senyum itu pudar kala melihat tanda merah di leher Kanaya yang masih kelihatan meski ditutupi dengan foundation. Meski terlihat samar, tapi ia tahu itu ada