Rasanya sangat sakit ketika ditinggalkan oleh orang yang selalu ada untuk kita. Sayangnya, aku baru menyadari betapa kehadirannya begitu berarti dalam hidupku, saat ia telah pergi. ~Kanaya~ *** Kanaya bergegas menuju rumahnya. Ia tidak pedulikan tas yang ia pegang, ia jatuhkan di depan pintu. Ia berlari ke dalam, ke belakang, ke samping. Berharap menemukan orang yang ia cari, tapi tidak ada. Ia kembali ke depan dan tidak menemukan motor Devan. Ia masih berpikir positif. 'Barang kali saja, dia sedang narik ojek.' Tapi ia penasaran dengan kamar Devan. Ia bergegas kembali masuk dan memberanikan diri membuka kamar sang ayah yang sudah tiga bulan ditempati oleh Devan. Ia berharap baju-baju Devan masih ada di sana. Sesampainya di dalam kamar, Kanaya menatap isi ruangan tersebut. "Masih sama seperti dulu, saat masih ada Ayah." Kanaya kembali memindai isi ruangan itu, lalu membuka almari baju. Baju Pak Ali yang sempat dipakai oleh Devan, sudah tertata rapi
"Silakan, Bu. Maaf, hanya makanan sederhana." "Tidak apa-apa, Kanaya. Ini terlihat menggugah selera." Bu Herlin duduk, kemudian mengambil sayur lodeh dan ikan asap yang dipenyet di atas cobek kayu berisi sambal terasi. "Hmm, ini nikmat sekali. Menu sederhana, tapi terasa sangat pas di lidah. Kamu pandai memasak juga, ya." "Bu Herlin terlalu berlebihan, ini hanya masakan kampung sederhana." "No no no! Ini makanan istimewa sekali. Karena ini adalah masakan dari me--" Bu Herlin memotong ucapannya, "Maksudku, ini makanan yang sangat jarang saya jumpai. Sangat susah mencari ikan asap segar seperti ini di Jakarta. Sepertinya aku akan sering-sering ke sini jika merindukan masakanmu, Kanaya." "Dengan senang hati saya akan mencarikan untuk Bu Herlin jika ke sini lagi nantinya." Kanaya cukup senang karena Bu Herlin terlihat begitu menikmati masakannya. Ia pikir, orang kaya tidak akan mau memakan masakan kampung. Ternyata malah sebaliknya. Bu Herlin begitu menyukainya.
"Kamu mau ke mana, Ndhuk?" Pak Karman menghampiri Kanaya yang sedang menutup pintu rumah. "Aku mau ke rumah teman, Paman." "Mau cari suamimu?" Kanaya mengangguk. "Memangnya mau cari ke mana?" "Aya nggak tahu," ujarnya menunduk sedih. Pak Karman yang melihat itu pun mendekat, "Yakinkan hatimu dulu, jika kamu ingin dia kembali. Pastikan kamu benar-benar sudah menerimanya. Jangan sampai, dia kembali tapi tinggal di kamar terpisah lagi." Kanaya menoleh ke arah pamannya. "Tapi jika kamu tidak inginkan pernikahan ini, lebih baik tidak perlu mencarinya." Kanaya merasa sakit dan sedih dengan ucapan pamannya. Entah kenapa, hatinya seolah tidak terima pamannya melarangnya mencari suaminya. Padahal ia sudah menyadari betapa Devan sangat berarti di hatinya. Meskipun ia merasa itu semua sudah terlambat. Tapi ia yakin ia bisa menemukan Devan. "Kamu masih ingin mencarinya?" Kanaya hanya mengangguk. "Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang?" Lagi, Kanaya
"Aaaah, sebentar lagi malam, aku tidak mau pulang sendiri!" Kanaya kembali duduk di samping Devan. Sedangkan lelaki itu, menahan tawa melihatnya. "Kenapa, tertawa! Apa ada yang lucu!" "Tidak." "Aku kesal padamu!" Kanaya melipat tangannya dan membelakangi Devan. "Hanya kesal saja? Tidak ada yang lain?" Kanaya tidak menyahut dan masih dengan posisi yang sama. "Apa kau tidak ingin mengucapkan sesuatu padaku?" Kanaya masih tidak menyahut dan Devan membalikkan tubuh Kanaya agar menghadap ke arahnya. "Apa ke sini hanya untuk mendiamkanku? Baiklah, aku pergi tidur saja." Devan hendak bangkit tapi Kanaya mencegahnya. "Jangan pergi lagi!" Ia memeluk Devan dan menangis tersedu di dada bidang itu. Ia semakin mengeratkan pelukannya, agar Devan tak lagi meninggalkannya. Ia begitu takut Devan pergi lagi. "Kenapa menangis? Aku hanya ingin pergi tidur." "Kamu jahat! Kamu meninggalkanku! Aku benci kamu!" Kanaya memukuli dada Devan. "Jadi kamu mau ikut tidur be
"Pak Radit? Kenapa tidak diangkat? Mungkin saja dia ingin memakai apartemennya, kita bisa pulang ke rumah." Kanaya duduk tepi di ranjang. 'Ah, sial! Aku lupa peran Radit sekarang ini," umpat Devan dalam hatinya. "Baiklah, aku angkat dulu." Devan mengambil ponselnya dan duduk di sofa yang berada di depan ranjang. "Halo! Ada apa!" "Tidak mohon maaf, mengganggu. Memang disengaja. Ha ha ha." "Sialan!" Devan mematikan sambungan telepon lalu menon-aktifkan ponselnya agar tidak ada lagi yang mengganggu kebersamaannya dengan Kanaya. Ia merasa seperti dipermainkan. Hasrat sudah berada di ubun-ubun, harus terjeda karena keisengan saudara angkatnya. 'Awas saja jika bertemu, habis kau, Radit!' "Apa ada yang penting?" Kanaya menyusul Devan dan duduk di sampingnya. "Tidak ada, hanya mengingatkan bahwa besok adiknya libur, jadi aku tidak perlu mengantarnya ke sekolah." Devan meletakkan ponselnya dan meraih pundak Kanaya. Ia menciuminya dan itu membuat Kanaya merasa gel
"Biar aku yang buka pintunya." "Tunggu! Pakai baju!" Kanaya mengambil baju Devan yang berada di dekatnya karena Devan hanya memakai celana pendek. Devan pun memakai baju itu lalu keluar dari kamar. "Ini salep dan juga obat yang tadi Tuan pesan." Seorang laki-laki memberikan obat pada Devan. Tadi saat mengambil handuk dan es batu, ia juga menghubungi temannya yang menjadi dokter di keluarganya. Ia bertanya tentang obat yang bisa meredakan nyeri pasca berhubungan pada saat malam pertama. Tentu saja ia digoda terlebih dahulu oleh temannya itu, karena sudah bisa ditebak, ia telah melakukan hubungan dengan seorang gadis. "Serius obat itu yang kamu tanyakan? Sama siapa, Dev? Beneran sama anak gadis, 'kan? Bukan sama anak perjaka." "Si*lan! Kau pikir aku apa! Tentu saja dengan gadis perawan! Tapi sudah tidak lagi perawan sejak satu jam yang lalu." "Iya-iya. Sorry. Syukurlah kamu sudah tobat, kukira akan tersesat selamanya," kekeh Aldo. "Tobat? Tersesat?
"Iya. Aku sangat menyesal karena baru menyadarinya sekarang. Seharusnya aku menerimamu dari dulu," ucap Kanaya yang cengengesan. "Kau hampir membuat jantungku copot!" Devan mencubit hidung istrinya. "Aku bahagia melihatmu tersenyum dengan manis seperti ini." "Kamu yang membuatku tersenyum." "Kamu siapa?" "Ya, kamu." "Apa tidak ada panggilan sayangmu untukku?" Kanaya terdiam karena memang selama ini ia tidak pernah memanggil Devan dengan sebutan nama ataupun panggilan lain. "Aku harus memanggilmu apa?" "Emm, menurutmu?" "Bagaimana kalau Cinta, atau Honey, Baby, atau Suamiku?" Devan tertawa mendengar semua ucapan istrinya. Terdengar lucu dengan semua panggilan untuk dirinya itu. Ia sudah hampir kepala tiga. Rasanya terlalu lebay dengan panggilan yang biasanya digunakan oleh anak-anak muda. Meski ia sadar jika istrinya itu memang masih sangat belia. "Kau masih ingat saat kita pertama kali bertemu di pos ronda?" Kanaya mengangguk. Te
"Aku suka panggilan itu. Berteriaklah." "Tapi ini masih pagi, ini bukan di apartemen Pak Radit yang kedap suara. Ini rumah kayu, kalau aku berteriak, tetangga bisa mendengarnya." "Aku tidak peduli, Kana. Mau pagi, siang, sore atau malam, tidak jadi masalah." Devan mendudukkan Kanaya di kursi kayu dan mulai membuka bajunya. "Kenapa di sini?" "Aku sudah tidak tahan, Sayang ...." Devan mulai melakukan aksinya. Baju Kanaya sudah dibukanya sebagian. Tok tok tok! "Si*lan! Mengganggu saja!" Devan menghentikan aktifitasnya karena terdengar suara ketukan pintu. Ia memakai kembali bajunya, begitu pun Kanaya. Namun istrinya itu tertawa setelah melihat ada yang menyembul dari balik celananya. "Jangan tertawa, ini membuatku tersiksa!" "Biar aku saja yang buka pintunya, aku tidak mau ada yang melihatmu seperti itu." Kanaya membenahi rambutnya dan menggulungnya ke atas. Ia bergegas membuka pintu rumahnya. "Kak Aya, lama sekali buka pintunya. Ini, da
"Aya! Kamu kenapa, Sayang?" Bu Herlin menghampiri Kanaya yang berada di kamar mandi dapur. Menantunya itul tampak lemas dan pucat. "Bi, bantu bawa Aya ke kamarnya."Dengan bantuan Bi Karti, Bu Herlin membawa menantunya ke kamar. Sampai di sana, dia semakin terkejut melihat Devan yang juga tampak lemas dan tiduran di ranjang. "Istriku kenapa, Ma?" Dengan tubuh yang lemas, Devan mendekati istrinya yang kini dibaringkan di sampingnya. "Kamu kenapa, Sayang?Kanaya memegang perutnya, sementara Bu Herlin memijat kepala menantunya itu. "Aya muntah di kamar mandi," jawab Bu Herlin. "Kamu sakit juga, Dev?" "Kepalaku pusing, Ma, tapi aku lebih khawatir sama Aya. Biar kutelepon Aldo agar memeriksanya." Devan mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada Aldo. "Apa? Lalu kamu tidak bisa ke sini? Ya sudah, tolong suruh Dokter Maria kemari untuk memeriksa istriku.""Gimana, Dev?""Aldo sedang mengurusi istrinya yang juga sakit, Ma. Sama seperti Aya, Resti juga muntah-muntah parah dan harus dirawa
Hari ini Kanaya akan menghadiri pernikahan Tini, setelah mendapatkan undangan yang diberikan Resti dua hari yang lalu. Kanaya sudah bersiap dan sedang menunggu Resti dan Mili. Tak lama kemudian, kedua sahabatnya itu datang bersama pasangannya masing-masing.Setelah ijab kabul yang dilaksanakan berbarengan dengan Mili, Resti akan ikut suaminya ke Jakarta, begitupun Mili yang akan ikut di mana suaminya tinggal. Namun, sebelum itu mereka akan menghabiskan beberapa hari lagi untuk menikmati suasana di kampung mereka. Seperti hari ini, ketiga pasangan itu sudah berada di salah satu gedung yang sedang diadakannya pesta pernikahan Tini dan Pak Iyan, dosen Kanaya dulu. Mereka tidak menyangka jika Pak Iyan yang sikapnya kadang lemah lembut seperti perempuan itu akhirnya menikah. Dan yang tidak disangka juga, Tini, yang dulu selalu mengutamakan ketampanan untuk menjadi pasangannya, kini menjatuhkan pilihan pada Pak Iyan."Hai, Aya, Mas Ganteng, selamat datang!" sapa Tini, setelah melihat kedat
Kanaya dan Devan mengajak semua tamunya untuk masuk. Mereka duduk bersantai di belakang rumah, yang mana ada dua gazebo yang baru saja dipesan oleh Devan dari meubel Pak Karman. Tempatnya yang rindang, membuat mereka betah berlama-lama di sana. Terlebih ada banyak mangga yang sudah tua dan ada yang sudah masak dari pohonnya. Kemarin setelah menghabiskan waktu di gazebo yang disediakan warga, Devan mempunyai inisiatif untuk membuat gazebo juga di belakang rumah sang istri. Kapan-kapan ia akan mengajak seluruh keluarganya untuk ke sini, sambil membuat tenda dan bermalam di belakang rumah. Sudah lama sekali tidak melakukan kegiatan seperti itu. Tidak masalah meski harus kemah di belakang rumah karena suasananya sudah seperti di hutan, banyak pohon yang rindang. "Ayo ambil lagi! Itu yang atas ada yang sudah masak, My Sweety. Aku mau yang di atas yang warnanya sudah kuning." Mili berteriak pada sang kekasih yang kini naik ke atas pohon mangga. Andre mengambil beberapa mangga muda serta
"Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu tidak akan ada yang bisa menandingi pesonaku," kata Devan dengan percaya dirinya."Jadi, kamu mau memberinya pekerjaan?""Iya. Nanti akan kuminta Andre untuk menanyakan posisi yang masih membutuhkan karyawan di kantor cabang yang ada di sini." Kanaya pun tersenyum bahagia.Mereka menikmati jajanan yang tadi dibawanya, ditemani angin sepoi-sepoi dan lucunya Mira yang sesekali merebut makanan Kanaya."Kali ini biar aku yang menggendongnya. Setelah ini kita langsung istirahat," tegas Devan saat melihat istrinya lelah. Dengan membawa payung, Devan menggendong Mira dan menggandeng istrinya. Sungguh pemandangan yang membuat banyak orang merasa iri pada Kanaya. Memiliki suami yang tampan dan juga kaya, serta perhatian dan penuh kasih."Waduh, jadi ngerepotin Nak Devan. Sini Mira, sama Nenek." Bu Sumi langsung menyambut Mira yang berada di gendongan Devan dan Devan pun menyerahkan balita itu setelah sampai di rumah Bu Sumi."Nggak ngerepotin kok, Bu," sa
Cintia menatap Devan, yang membuat laki-laki juga menoleh. "Aku minta maaf karena membuatmu digerebek warga. Aku juga minta maaf atas kesalahan yang telah kulakukan pada Aya selama ini."Cintia menangkupkan kedua tangannya, membuat Kanaya memegang tangan itu. "Suamiku sudah memaafkanmu, iya, kan, Honey?" Kanaya lagi-lagi tersenyum, Devan hanya mengangguk."Papa, ayo kita pulang!" Anak kecil berusia dua tahun itu menarik lengan papanya."Iya, Sayang. Sebentar, ya.""Hai, anak manis, siapa namamu?" Kanaya menanyai anaknya Alex."Namaku Altaf, Tante," jawabnya dengan lancar. Meski baru dua tahun, anak itu sudah pandai berbicara dengan lancarnya. Hal itu membuat Kanaya senang karena dia memang sangat menyukai anak kecil."Oh ya, Altaf, Tante ada jajanan, kamu mau nggak?" Kanaya mengambil plastik berisi jajanan miliknya, memberikan pada Altaf.Anak kecil itu memilih-milih dan akhirnya mengambil klepon."Terima kasih, Tante.""Sama-sama, Sayang." Kanaya tersenyum ramah dan mengusap kepala A
Alex dan Cintia sama terkejutnya kala melihat kedatangan Kanaya dan Devan. Namun, Alex bersikap ramah dan menyapa Devan serta Kanaya. "Hai, Ay. Bagaimana kabarmu dan suamimu?"Alex yang tadinya tengah duduk di gazebo akhirnya berdiri dan mendekat ke arah Kanaya dan Devan. Devan hanya menatapnya dengan tatapan datar, sementara Kanaya tersenyum ramah. "Baik, Lex, kami sangat baik," ujar Kanaya yang menoleh pada Cintia di samping Alex.Selain bersama Cintia, di sana juga ada Bu Mirna yang duduk di kursi roda. Kanaya sangat penasaran mengapa Bu Mirna berada di kursi roda dan sepertinya tidak begitu sehat. Belum sempat Kanaya bertanya, Cintia akhirnya berdiri sambil menggendong putranya. "Kapan kamu datang, Aya?""Kemarin. Ini anak kalian?" Kanaya menatap anak laki-laki yang matanya mirip dengan Alex."Iya, ini anak kami," sahut Cintia yang kini bersikap ramah, tidak seperti Cintia yang dulu. Ia bahkan memperhatikan balita yang berada di gendongan Kanaya. "Ini, kan, anaknya Lita, kok bisa
Suara jangkrik masih terdengar karena masih terlalu petang. Kanaya bangun pagi-pagi sekali. Sebelum suaminya bangun, ia sudah lebih dahulu berada di dapur setelah membersihkan tubuhnya. Rasanya ia lebih bersemangat pagi ini. Memasak beberapa menu masakan, wanita berambut panjang itu melakukannya dengan gembira.Jendela dan pintu sudah dibuka, Kanaya menghirup udara pagi yang begitu sejuk dan segar. Dirinya berdiri, merenggangkan otot-otot tangan, lalu memperhatikan keadaan di sekitar rumahnya. Beberapa sudah ada rumah baru, juga ada rumah yang sudah direnovasi."Aku mencarimu, Sayang." Devan memeluk Kanaya dari belakang. "Kupikir kamu kabur.""Untuk apa, aku kabur? Memangnya aku buronan?" Devan menghidu aroma istrinya dan menciumi tengkuknya. "Geli, Honey. Jangan menggodaku! Kalau tidak mau aku terkam!" Devan menyernyit, lalu melepaskan tangan yang melingkar di perut istrinya. Ia tertawa mendengar kata-kata istrinya yang seperti mengancam. "Kenapa kamu jadi begini, Sayang? Harusnya
"Bagaimana keadaan anak-anak asuh? Aku sudah lama tidak ke sana." Radit memulai pembicaraan di tengah perjalanan menuju ruang tamu."Mereka baik-baik saja dan ... mereka menanyakanmu." Zalia menjawab tanpa menoleh.Sejak Bu Herlin memintanya untuk tinggal lagi di rumah, Radit hanya sesekali pergi ke desa Sumber Makmur, tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk lebih dekat dengan Ustaz Zaki dan Zalia. Di tempat itu ia sering diajak Ustaz Zaki untuk mengurusi anak-anak asuh yang diambil dari jalanan. Radit yang pernah tinggal di jalanan, merasa sangat tergugah untuk membantu mengurusi mereka. Ia menghabiskan banyak uang untuk membantu pembangunan rumah anak-anak asuh itu."Oh ya? Aku juga sudah rindu pada mereka. Juga, pada kalian semua." Zalia menoleh sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Jujur hatinya juga bahagia bisa melihat Radit lagi. Menurutnya, Radit adalah sosok yang baik dan penyayang. Selama di desa Sumber Makmur, Zalia sering melihat Radit membantu pembangunan masjid dan j
Gerimis yang tiba-tiba mengguyur, seolah ikut merasakan kesedihan Kanaya. Di samping makam sang ibu yang masih basah, perempuan itu masih duduk berjongkok. Diusapnya pusara yang baru beberapa menit terpasang itu, berkali-kali pula menghapus air mata yang terus mengalir. Rasa sedih di hatinya tak bisa lagi ditahan. Untuk kedua kalinya ia merasakan kehilangan orang terkasih.Biar seperti apa pun, Dewi tetaplah ibu yang pernah mengisi hatinya. Kenangan indah sebelum ia memutuskan meninggalkan dirinya dan sang ayah pun masih ada dalam ingatan. Pun dengan pelukan hangat yang selalu dirindukannya. Kini, harapan untuk bisa mendapatkan pelukan hangat itupun telah sirna. Dewi, telah terbujur kaku di bawah sana. "Ayo kita pulang, Sayang. Di sini dingin," ajak Devan yang memegang bahu sang istri.Kanaya menoleh, menatap wajah teduh sang suami yang tersenyum hangat padanya. Sungguh, ia bersyukur masih memiliki Devan. Suami yang dikirimkan Tuhan, dengan segala kesempurnaan di matanya."Ayo, Sayan