Naima terbangun saat matahari sudah condong kearah barat, rasa lapar mendera perutnya. Naima segera bangun, membersihkan diri dan merapikan barang bawaan dari tas carier ke lemari kecil di pojok ruangan. Naima teringat dengan korban kecelakaan yang ia tinggalkan sendiri. Naima bergegas merapikan diri, mengambil sling bag kecil mengisinya dengan dompet dan ponsel. Naima segera memesan ojek online.
Begitu sampai di lobby rumah sakit, Naima segera berlari menuju kamar inap yang pagi tadi dia tinggalkan. Namun perawat yang berjaga sudah berganti, Naima gamang ingin langsung masuk atau menanyakan terlebih dahulu.
“Mbak permisi, bapak yang di dalam sudah sadar?” Naima mencoba bertanya pada perawat jaga.
“Maaf mbak bapak yanga mana ya? Siapa nama pasiennya?” Perawat sedikit kebingungan dengan pertanyaan Naima.
“Alberico kalau tidak salah”
“Oh bapak Alberico, sudah meninggalkan kamar sejak 1 jam yang lalu mbak.” kata perawat dengan senyum mengembang, Naima merasa lega, berarti korban kecelakaan tadi tidak koma.
“Oh makasih mbak, permisi.” Naima segera keluar dari rumah sakit. Akhirnya dia terbebas, bukan kenapa-kenapa, memang menolong orang Naima ikhlas, hanya takut sesuatu yang buruk terjadi sementara dia tidak mengetahui harus menghubungi siapa.
Karena tidak ada urusan lagi, Naima segera memesan taksi online, dia ingin selajur mencari lowongan pekerjaan dan membeli makan. Teringat perutnya yang lapar, Naima mencari lokasi yang banyak terdapat tempat nongkrong pemuda-pemudi jakarta. tak lama taksi pesanannya datang. Naima masuk ke kursi penumpang.
“Sesuai titik mbak?” Sang sopir bertanya dengan ramah.
“Kalau tempat yang banyak restoran dan café di daerah mana pak?“ Naima mencoba bertanya dengan ramah, seperti yang dia lihat di media sosial, daerah Kemang sepertinya tempat nongkrong yang asyik dan juga banyak tempat kuliner.
“Nanti juga melewati mbak, banyak kok daerah sana, nanti saya lewat jalan memutar. Mau cari makan?” tanya sang sopir.
“Iya,” Naima menjawab dengan singkat, perutnya sudah keroncongan. Nasi uduk ternyata tidak dapat bertahan lama.
“Naima menghafal nama café dan restoran yang ia lewati, yang mungkin akan dia kunjungi, mungkin tidak hari ini setidaknya dia harus mempunyai tujuan pasti. Mencari di online sangat sulit, kebanyakan sales ataupun marketing. Naima tidak berbakat dalam hal itu. Naima bersekolah di tata boga, jadi dia berencana melamar di restoran ataupun pekerjaan yang berhubungan dengan makanan.
“Mbak itu ada café mau buka sepertinya, coba kita pelan-pelan, biasanya di sini kalau café baru buka akan banyak diskon menu.” Bapak sopir sepertinya hafal kebiasaan di kota ini. Naima membidik nama café dan alamat yang terpahat di dinding dengan jelas dengan camera gawainya. Saat melihat selebaran putih tertempel di salah satu dinding dan bertuliskan “Di butuhkan karyawati” Naima segera minta sopir berhenti. Dan segera membayar, Naima mendekat kearah café. Memang belum buka, tapi sudah ada poster menu dan diskon saat grand launching.
Naima memberanikan diri, walaupun belum membawa berkas apapun. Naima tidak akan menyia-nyiakan kesempatan terlewat begitu saja. Mengabaikan rasa lapar, Naima mencari informasi yang tertulis di papan pengumuman itu. Mengedarkan pandangan, siapa tau ada yang bisa dia mintakan informasi.
Jaka yang baru saja datang, mengamati perempuan dengan rambut hitam Panjang bergelombang alami, sedang berdiri menatap papan pengumuman yang tertempel di dinding café. Menarik, dari belakang kelihatan cantik dan semampai. Jaka memperkirakan tinggi perempuan itu 165 cm. Jaka hanya diam sambil mengamati, apa yang akan perempuan itu lakukan. Naima berbalik ingin mencari tahu apakah ada orang yang bisa di mintakan infomasi soal lowongan yang tertempel.
Jaka tertegun, saat perempuan itu berbalik. Wajah cantik alami dan memancarkan kelembutan terlihat dari sorot perempuan yang berjalan mendekatinya. Seperti adegan slow motion Jaka terpesona untuk sesaat.
“Maaf pak, saya mau tanya?” Suara ramah dan sopan Naima menyadarkan Jaka.
“Iya kak, ada yang bisa saya bantu?” Jaka segera mengubah raut wajahnya menjadi serius.
“Saya membaca di tempat ini ada lowongan, tapi harus datang langsung. Kira kira maksudnya bagaimana? Apakah melamar saat grand launching atau bagaimana?” tanya Naima, demi mengurai kebingungannya.
“Kakak mau melamar pekerjaan?” Naima mengangguk.
“Silahkan masuk, kebetulan saya pegawai yang bertugas merekrut karyawan.” ajak Jaka memasuki cafe yang masih dalam tahap finishing. Naima mengikuti dari belakang, terpesona dengan penampilan café yang nyaman dan sangat elegan.
Jaka mempersilahkan Naima untuk duduk di ruang meeting. Memberikan kertas formular untuk Naima isi.
“Kakak background pendidikannya apa?” Jaka masih terpesona dengan wajah tanpa riasan di depannya.
“Saya lulusan SMK tata Boga.” Naima menjawab dengan tegas sambil tangannya bergerak lincah mengisi formular yang disodorkan oleh Jaka. Jaka yakin perempuan ini cekatan dan ulet.
“Sudah pernah bekerja dimana saja?” tanya jaka lagi, dengan senyuman masih terpatri di bibir. Naima mengangkat wajahnya. “Maaf, saya baru lulus dan baru mencari pekerjaan. Belum ada pengalaman,” jawab Naima lugas.
“Oh fresh graduate ya berarti.” Jaka mengaguk-anggukan kepalanya.
“Kenapa kakak tidak melanjutkan kuliah di perhotelan atau pariwisata?” lanjut Jaka, Naima tersenyum masam,“Saya harus menghidupi diri saya pak, saya harus bekerja karena saya sudah tidak punya orang tua.” jawabnya. Jaka tertegun mendengarnya.
“Maaf, saya turut berduka cita.” Jaka mengucapkan dengan tulus.
“Tidak apa apa pak.” Naima menyerahkan formulit yang sudah dia isi.
“Kakak Naima Ayundia, Asal semarang?” Jaka membaca sambil menatap Naima yang mengangguk.
Setelah melakukan wawancara singkat tentang profile, motivasi dan tujuan bekerja Jaka mengakhiri. Sebenarnya masih ingin berlama-lama mengobrol dengan perempuan manis di depannya. Namun pekerjaannya menanti, tidak lama lagi gadis ini akan setiap hari dia temui.
“Baik, besok silahkan membawa berkas yang di butuhkan. Serahkan di resepsionis, dan tunggu kabar dari kami selanjutnya.” Jaka mengulurkan tangan, Naima menjabat tangan dan tersenyum mengucapkan terima kasih.
Naima pulang ke kost dengan hati gembira, tapi besok dia masih harus mencari yang lain sebagai cadangan. Kalu tidak di terima yang satu masih ada yang lainnya. Sesampai di kost Naima segera mempersiapkan dokumen yang di butuhkan, memasukkan ke dalam amplop coklat dan di beri label nama café tempat dia melamar. Naima akan berdoa sebanyak banyaknya supaya dia tidak menganggur terlalu lama.
Teringat perutnya yang mulai perih, Naima mengambil persediaan obat maagh di dalam tas. Sambil mengunyah dia menuruni tangga, mencari penjual makanan terdekat dengan kost.
Di Bagian lain kota Jakarta, Alberico sedang berada di ruang tamu apartemennya, ditemani oleh pengacara dan juga ada sesosok polisi. Hanya untuk diminta keterangan dan mengurus dokumen pengambilan kendaraan.
“Busyet, lo yang ketimpa musibah. Lo juga yang harus bayar. Bener bener dah oknum di negeri ini.” ucap Viran, pengacara muda teman Albe terkekeh geli. Setelah polisi itu pergi dari rumah Albe.
“Biarkan saja Vir, asal mobilku kembali. Aku sudah menduga, kalau aku ke kantor mungkin tidak seperti ini. Tetapi aku terlalu malas, jika bisa diselesaikan dengan uang mengapa tidak?” Albe merebahkan badannya yang masih terasa remuk.
“Sorry bro, gue Cuma bisa bantu segitu doang.” Viran menepuk bahu Albe.
“Sudahlah, aku tidak masalah. Yang penting semua sudah selesai. By the way, kamu sudah dapat siapa perempuan yang menolongku?” Albe melirik ke arah Viran. Viran hanya menggeleng.
“Mungkin perempuan itu pulang dari camping, yang aku lihat di video yang viral di media sosial. Perempuan itu membawa tas carier, wah susah kalau anak petualang. Mungkin dia hanya backpacker. Apalagi lokasi kecelakaan lo ga jauh dari terminal.” Albe mengetikkan nama Naima di mesin pencarian gawainya dan beberapa sosial media.
“Kamu bisa screenshoot mukanya yang mungkin bisa memberikan sedikit petunjuk.” Albe menggigit bibirnya berpikir keras.
“Nanti aku akan usahakan membantumu mencari tahu. Yang penting lo sembuh dulu bro, ga lucu kan sudah mau deadline pembukaan café baru lo ini, eh yang punya cafe masih tepar” Viran bangkit menuju pantry, mengambil minuman bersoda dan meneguknya hingga tandas.
Albe mencari-cari wanita yang kata perawat cantik, rambutnya hitam bergelombang, tinggi. Melihat di media sosial malah membuat kepala Albe semakin pusing, rata-rata perempuan sekarang rambutnya di buat bergelombang, cantik? Semua perempuan memposting wajah cantik mereka entah dengan filter atau memang sudah cantik alami. Tinggi? Bagaimana Albe tahu kalua hanya dari foto. Albe menghempas gawainya ke meja.
Pantang baginya berhutang budi, jika harus membayar Albe akan membayar berapapun, karena nyawanya sudah tertolong, walaupun memang tidak terlalu parah. Akan tetapi itu tetap sangat berarti. Jangan pernah menyepelekan kebaikan seseorang walaupun sekecil apapaun.
“Bro, gue pulang dulu, cewek gue sudah nungguin. Lo puasa dulu deh beberapa hari ini, biar stamina lo balik lagi ... hahaha ... met istirahat bro!” Viran berlalu sambal tertawa.
Albe tidak menanggapi, mengambil gawainya kembali. Albe membuka aplikasi, memesan makan online dia harus tetap mengisi tenaganya walaupun hanya untuk di gunakan beristirahat. Albe hanya pendatang, teman kuliahnya Jaka yang berasal dari negeri ini yang membawanya ke sini sejak beberapa tahun lalu. Hanya untuk berlibur dan untuk sesuatu hal yang pribadi, akhirnya Albe memutuskan untuk mendirikan usaha, bermain dan bekerja. Play Hard work hard menjadi prinsipnya. Albe memang orang berada di negaranya, orang tuanya juga mempunyai beberapa restoran. Tak heran jika dia juga terjun di dunia yang sudah menghidupi keluarganya dan dirinya dari kecil.
Bel berbunyi, Albe segera bangkit membuka pintu. Sesosok bapak dengan jaket hijau di depan unit, membawa paperbag bertuliskan restoran ternama. Albe memberikan sedikit tips tunai. Tak disangka sebelum Albe masuk kembali ke unitnya sang Bapak ojek menyapanya.
“Mister yang tadi malam kecelakaan?” Albe berbalik. Bapak ini tau.
“Bapak ada di lokasi kejadian?” tanya Albe, Bapak ojek itu hanya mengangguk
“Syukurlah tidak apa apa. Semoga cepat sembuh permisi.” sebelum bapak ojek menjauh Albe mengejarnya.
“Tunggu pak ... ” panggil Albe, Bapak tadi menghentikan langkahnya.
“Iya Mister?” Bapak ojek terlihat kebingungan.
“Maaf, bapak benar ada di lokasi kejadian? Tidak hanya melihat lewat video di sosial media kan?” Pak ojek mengeleng keheranan, Albe hanya takut orang memanfaatkannya.
“Iya mister, saya sebenarnya mau mengantar mbak yang nolongin mister tapi mbaknya ikut kerumah sakit.” Pak ojek penolongnya. Batin Albe.
“Bapak menyimpan alamat dan nama si pemesan?” Albe dengan semangat menanyakan hal lebih detail.
“Oh masih di histori saya, sebentar. “ Bapak ojek terlihat sibuk mengscroll gawainya.
“Orangnya seperti apa pak?” Albe terlihat tidak sabaran.
“Tinggi sih Mister, cantik baik. Soalnya mbaknya tetap bayar saya walau ga jadi saya antar. Oh ini Namanya Naima Ayundia, alamat tujuannya itu di Jl. Hj Syukur No. 80 di alamat aplikasi mister tapi kadang titiknya berbeda mapsnya suka loncat.” Albe mengingat ingat alamatnya tak memperdulikan informasi terakhir dari Bapak Ojek.
“Terima kasih pak, bapak membantu saya. “ Albe memberi tips lagi untuk pak ojek. Pak Ojek berterima kasih atas pemberian Albe yang tidak sedikit. Albe segera masuk dan menghubungi Viran.
“Yahhh brrooohhh ... ”Albe menjauhkan gawainya menjijikan sekali Viran ini.
“Sudahlah nanti saja selesaikan urusanmu.” Tanpa menunggu jawaban Albe mematikan sambungan telponnya.
Helaan nafas lega keluar dari mulut Albe, semoga cepat menemukan perempuan penolongnya. Albe segera memakan makanan yang sudah hampir dingin itu. Albe bersemangat untuk bisa lebih cepat sembuh. Sungguh seperti akan mendapatkan sesuatu yang entah membuatnya ingin cepat berganti hari.
**
Keesokan harinya, Naima sudah bersiap, menurut informasi kemarin biasanya café-cafe di daerah Kemang akan buka dari yang sarapan juga mulai siang hari, jadi pukul 9 sepertinya waktu yang tepat. Naima kali ini memakai pakaian lebih rapi. Rok span di bawah lutut juga kemeja kotak kotak. Rambutnya ia kuncir Kuda supaya terlihat elegan. Memandang tampilannya di cermin Naima sudah puas. Naima menimbang akan memakai sneaker kesukaannya atau flat shoes. Setelah berfikir lama, akhirnya Flat shoes menjadi pilihannya.
Naima segera menuju kejalan besar, dia akan menggunakan transportasi busway saja. Lebih murah dan nyaman. Lingkungan kostnya memang berada di pemukiman padat penduduk, tapi rapi dan bersih. Jalan memasuki kost juga lebar bisa untuk 2 mobil. Rumah-rumah besar di kanan kiri sepanjang jalan menuju jalan utama. Naima sengaja memilih kost di daerah Jakarta Selatan, karena dari yang dia lihat di berbagai media, banyak café dan restoran tersebar di sini. Itu akan memudahkannya mencari pekerjaan, dan juga jika harus ke terminal tidak terlalu jauh.
Café Kita yang kemarin Naima kunjungi sepertinya sudah lebih tertata daripada kemarin, progress pembangunannya cepat sekali. Padahal baru satu malam dia ketempat ini. Terlihat perempuan cantik sedang berjaga di meja resepsionis. Naima menghampiri dan tersenyum ramah.
“Selamat pagi mbak.” sapa Naima pada perempuan yang menunduk di depan meja resepsionis.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” perempuan dengan name tag Ajeng menyapa dengan ramah.
“Saya ingin menyerahkan dokumen, kemarin saya sudah mengisi formular pendaftaran untuk lowongan yang tetempel di papan pengumuman.” Naima menjelaskan dengan singkat.
“Baik, saya terima dokumennya. Nanti kakak akan di hubungi melalui kontak yang sudah kakak cantumkan. Ada lagi yang bisa saya bantu?” Naima hanya menggeleng, sepertinya kunjungannya cukup.
"Tidak terima kasih, saya permisi." pamit Naima.
“Silahkan, semoga beruntung kakak.” Ajeng tersenyum ramah. Naima segera keluar dari café, menuju ke arah lain yang kemarin sempat dia lihat memasang pengumuman lowongan pekerjaan.
Tak berselang menit, taksi berhenti di depan café sesosok Albe keluar dengan tampilan santai, plester masih menempel di beberapa bagian, tapi tidak mengurangi ketampanannya.
“Selamat pagi Pak Albe.” sapa Ajeng dengan senyum merekah.
“Pagi Ajeng, Viran sudah datang?” Albe ada janji dengan Viran di café ini.
“Belum Pak.” jawab Ajeng tanpa mengurai senyumannya.
“Ok. Saya di ruangan saya kalau dia datang."Albe segera menuju ruangannya di lantai atas belakang café.
Tentu saja Albe harus bersama seseorang untuk menemui perempuan penolongnya. Viran datang satu jam lebih lambat dari yang di janjikan.
“Sorry bro, gue harus kekantor dulu mengurus perizinan café lo ini, sepertinya ada preman yang minta jatah.” kata Viran, menyodorkan map ke depan Albe, danmendudukan pantatnya di kursi depan Albe. Albe berdecak.
“Siapa mereka?” Albe memutar kursinya dengan malas.
“Biasalah lah orang pengen kaya tapi ga mau usaha.” Viran menyerahkan dokumen lain untuk Albe pelajari.
“Siapkan saja seperti biasa, jika mereka berulah terpaksa aku harus turun tangan.” Albe sedikit banyak tau tentang dunia gelap berbisnis. Sebelum terjun dia akan mendalami dan melihat siapa yang paling kuat, karena itu akan sedikit banyak berpengaruh. Semakin kuat orang yang mendukungnya semakin jaya bisnis yang ia terjuni.
“Ok, kita cari darimana cewek misterius ini? Benar alamatnya di Hj. Syukur?” Viran melihat maps.
“Seperti yang bapak ojek bilang tadi malam. Kamu sudah menscreenshoot wajah perempuan itu dari media sosial?" Viran menepuk jidatnya.
"Sorry bro gue lupa, kalau ini tidak berhasil. Gue bakalan cari sendiri." Albe hanya geleng geleng, pengacara namun seperti preman saja.
“Ayo berangkat ....” Mereka tidak membuang buang waktu. Semakin cepat bertemu semakin cepat selesai.
Albe dan Viran segera menjalankan misi mencari penolongnya. Mobil Viran menjadi trasportasi kali ini karena mobil Albe masih dalam perbaikan. “Lo naik busway aja bro, enak dari apartemen lo sekali doang.” Viran memberi saran Albe, Albe walau orang kaya namun paling benci jika harus menggunakan taxi, alasannya malas berduaaan dengan cowok. Nah ini dengan Viran bukannya cowok. “Aku pertimbangkan, aku malas mendengarkan curhatan pengemudi jika menggunakan taxi.” Viran tertawa terbahak. “Gak usah lo dengerin, pura-pura aja ngorok, pasti diem.” “Aku tidak pandai berpura-pura, tidak seperti kamu.” Albe mencibir kelakuan Viran. Namun, sang empunya hanya mendengus. “Nanti pakai kartu gue, gue ada banyak.” Albe hanya mengacungkan jempol. Tiba di jalan yang di sebutkan bapak ojek, Viran melajukan mobilnya pelan, mencari rumah dengan nomor 80. Hingga sampai ujung jalan dan sudah berganti nama jalan, mereka tidak menemukan angka 80 pada masing masing rumah. Viran memutar balikkan mobil, Kem
Mentari pagi mengintip dari tirai tipis berwarna merah muda, sang gadis dengan rambut terurai di bantal tipis mulai membuka dua kelopak mata dengan netra coklat gelap. Suara keramaian pagi menyadarkan dari tidurnya. melirik ke arah jam di dinding kamarnya Naima segera beranjak, mempersiapkan diri untuk kegiatan pagi ini. Seporsi nasi uduk dengan semur tahu dan bala bala sebagai menu sarapan paginya, sarapan yang murah meriah di temani segelas teh hangat. Naima bersyukur untuk nikmat yang tuhan beri, tidak perlu mewah namun mengenyangkan. Setelah selesai, Naima bergegas menjemput peruntungannya. Semoga kebrtuntungan memang memihak kepada dirinya. Suasana pagi yang padat, begitupun jalan menuju Cafe Kita, padat merayap. Sempat terbersit rasa takut jika terlambat. Naima salah memperhitungkan waktu, hari kerja berbeda dengan hari libur. Naima melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya setengah delapan sudah terlewati. Naima berdoa dalam hati pekerjaan ini masih menj
Netra yang saling mengunci dalam berpandangan, jemari tangan yang terpaut, gemuruh yang bertalu diantara Naima dan Albe tak dapat dijabarkan dengan kata. Entah apa, seperti dua insan yang menanti begitu lama untuk sebuah pertemuan. Mereka tidak saling mengenal, tidak saling tahu. Hanya takdir yang membawa mereka pada garis waktu. "Ehhemmm, " Keduanya saling canggung, melepaskan tangan dengan enggan. "Saya tak menyangka, bisa kebetulan seperti ini," ucap Albe, masih sangat shock dengan kebetulan yang dia alami. Menggigit bibir sambil berpikir, harus bagaimana membalas pertolongan gadis rupawan di hadapannya. "Saya juga, saya pikir sesuatu yang buruk akan terjadi. Maaf saya meninggalkan anda dalam keadaan belum sadar," kata Naima tak tahu harus bersikap bagaimana. Biasanya dia akan santai, namun lelaki asing di hadapannya membuat ia salah tingkah. Malu karena menolong dengan setengah-setengah. "Oh tidak apa-apa, saya baik-baik saja. Tidak perlu ada yang harus disesalkan. Saya memang
Hidup tidak akan selalu mulus, dan berjalan sesuai dengan apa yang kita mau. Seperti halnya roda yang berputar, jika kita mengayuh dengan kekuatan penuh akan cepat naik, tapi akan cepat turun pula. Kayuhlah sesuai kemampuanmu tidak usah ngoyo atau berlebihan. Seperti pekerjaan, jika kamu melakukan dengan sungguh-sungguh niat yang baik dan ikhlas inshaallah akan berkah. Naima berjalan menyusuri trotoar menuju tempat kerjanya, hari ini pertama kali Naima merasa sangat ceroboh. Dari bangun yang sedikit lambat dari biasa, hingga tidak sempat sarapan. Juga Naima turun di satu shuttle lebih jauh dari yang seharusnya dia turun. Naima berjalan dengan langkah lebar dan terburu-buru. Rambutnya yang belum sempat dia cepol melambai-lambai seiring dengan langkah kaki yang memburu. Sabtu pagi jalanan tidak terlalu padat, IA sedikit berlari saat sudah mendekati tempatnya bekerja. Bulir-bulir keringat sebesar jagung menghiasai dahi. Naima berlari menyebrang, tapi nahas, dari arah yang s
Membosankan, satu kata yang Naima rasakan karena seharian ini hanya merebahkan diri di kasur mungilnya. Naima melongokkan kepalanya ke tralis jendela, melihat aktivitas jalan yang sedikit ramai dengan anak kecil yang bermain dan ibu ibu yang berkumpul, bersenda gurau, sambil menikmati jajanan. Ponsel Naima bergetar, tanda video tertera disana. Naima merapikan rambut, membersihkan matanya memastikan tidak ada kotoran di kedua sudut mata hitamnya. "Hai," Naima menyapa, wajah Albe yang sepertinya sedang di dalam mobil terlihat kaca di sampingnya. Rambut lelaki itu sudah tidak sepanjang saat Albe kecelakaan, semakin terlihat tampan, eh. "Hai Nai, kamu tadi tidak kerja? Bukankah hari ini kamu masuk pagi?" sapa Albe, ia memberondong gadis itu dengan pertanyaan. "Tidak Al, aku di kostanku. Hari ini aku ijin, ada apa?" tanya Naima membenarkan posisi duduknya dengan sedikit meringis. Hal itu tidak luput dari perhatian Albe, Albe sedang berada di depan Cafe Kita sengaja tid
Perlakuan Albe terhadap Naima sore tadi membuat malam Naima menjadi tidak tenang, tidak dapat memejamkan mata dan selalu terbayang wajah pria bule yang tampan itu. Aduh, norak banget 'kan. Naima ingin menepis rasa suka pada Albe, tapi hatinya tidak dapat berbohong. Naima meraih ponselnya, mencari ikon aplikasi perpesanan melihat profil Albe yang sedang memegang barble dan memamerkan otot lengannya yang liat, darah Naima berdesir, kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya, menimbulkan rasa asing yang nyaman. Naima melemparkan ponselnya ke ujung kasur. Mencoba menetralkan degup jatung yang menggila. 'Dasar perawan gak laku!' sungut Naima dalam hati. Hanya memandang fotonya saja membuat ia salah tingkah, sungguh murahan sekali bukan. Bunyi pesan masuk membuat Naima meraih kembali ponsel yang sempat ia lempar dan membuka kuncinya, nama orang yang sedang dia pikirkan terpampang di depan layar. Niat hati ingin meredakan jantung yang berdisko ria, kini degupannya bertambah cepat d
Naima memandangi dua orang pria yang sedang mencari kata-kata yang tepat. Albe maju mendekati Jaka, dengan refleks Jaka memundurkan kakinya. Albe bisa sangat kejam, Jaka tidak mau menjadi sasarannya kali ini. "Hai bro, lama gak jumpa kemana saja?"Albe memeluk jaka sekilas, ketegangan di muka Jaka memudar. "Biasalah bro, lo tau cafe gue yang baru belum lama beroperasi jadi masih sibuk. Maklum patner gue lagi sibuk sama mainan barunya." Jaka melepaskan kaca mata gayanya dan menyimpan di saku kemeja. "Eh maaf, berarti gak usah Naima kenalkan lagi kan ya?" Naima menginterupsi, segera mengambil ke dapur dan membuatkan minuman untuk Jaka. "Jangan bilang kalau aku salah satu pemilik Cafe kita bro, aku ingin tahu Naima seperti apa." Albe berbisik di telingan jaka. "Lo mencurigai Naima?" Jaka membulatkan matanya tidak percaya. "Ck, kamu tahu sendiri kan. Wanita yang aku kenal mereka hanya menginginkan uangku saja, apalagi setelah tahu aku mempunyai usaha. Aku belum terlalu mengenal Naima,
Bukan hanya Naima, Albe pun terkejut dengan perlakuan DokterNindy. Dengan spontan Albe mendorong teman lamanya itu menjauh. Dokter Nindy terperanga dengan gerakan seduktif mantan teman kencannya itu, melihat ke belakang Albe. Ternyata Albe tidak sendir,i membuatnya sedikit gugup. Dia pikir pria itu sengaja ingin mengunjunginya setelah malam-malam panas mereka beberapa waktu lalu. "Silakan masuk!" ucap Dokter Nindy mempersilakan Naima yang masih mematung di depan pintu, sementara Albe mengusap tengkuknya merasa tidak nyaman. "Terimakasih, Dok," sahut Naima, lalu duduk di kursi yang disediakan. Albe menyusul duduk di samping Naima. "Apa kabar, Al? Dan?" sapa Dr. Nindy menggantungkan kalimatnya, ingin tahu gadis yang Albe ajak menemuinya. "Naima Dok." Naima menjawab dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya, Dr. Nindy menilai penampilan Naima yang sederhana dan tanpa make up. Bukan selera Albe, Dr. Nindy sedikit merasa lega. "Baik Nin. Aku kesini membawa Naima. Dia baru saja mengala
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang