Netra yang saling mengunci dalam berpandangan, jemari tangan yang terpaut, gemuruh yang bertalu diantara Naima dan Albe tak dapat dijabarkan dengan kata. Entah apa, seperti dua insan yang menanti begitu lama untuk sebuah pertemuan. Mereka tidak saling mengenal, tidak saling tahu. Hanya takdir yang membawa mereka pada garis waktu.
"Ehhemmm, " Keduanya saling canggung, melepaskan tangan dengan enggan.
"Saya tak menyangka, bisa kebetulan seperti ini," ucap Albe, masih sangat shock dengan kebetulan yang dia alami. Menggigit bibir sambil berpikir, harus bagaimana membalas pertolongan gadis rupawan di hadapannya.
"Saya juga, saya pikir sesuatu yang buruk akan terjadi. Maaf saya meninggalkan anda dalam keadaan belum sadar," kata Naima tak tahu harus bersikap bagaimana. Biasanya dia akan santai, namun lelaki asing di hadapannya membuat ia salah tingkah. Malu karena menolong dengan setengah-setengah.
"Oh tidak apa-apa, saya baik-baik saja. Tidak perlu ada yang harus disesalkan. Saya memang mencari keberadaan anda, tapi tidak berhasil. Bagaimana kalau kita ke suatu tempat, izinkan saya menjamu anda sebagai ucapan terima kasih," tawar Albe kepada wanita yang ternyata sangat rupawan di mata Albe. Naima menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memperhatikan Albe dan sebuah mobil yang beberapa minggu yang lalu penyok parah pada bagian depan.
"Sebenarnya tidak apa-apa, saya ikhlas kok," tukas Naima, menatap pada sorot mata Albe yang memancarkan pengharapan.
"Saya yang tidak enak hati, atau bolehkah saya mengantar anda untuk saat ini? Mungkin lain kali jika anda keberatan pergi dengan saya untuk saat ini," bujuk Albe tak ingin kehilangan kesempatan lagi. Naima menimbang, akhirnya mengangguk menyetujui.
Langkah kaki keduanya serasa melayang, Albe membukakan pitu penumpang untuk Naima. Setelah memutar Albe segera melajukan mobilnya.
"Tinggal di daerah mana?" tanya Albe memberanikan diri menanyakan tujuan mereka. Naima menggeser badannya menyamankan diri. Berdua dengan lelaki yang baru saja dia kenal membuat gugup.
"Di jalan Hj. Syukur," jawab Naima pelan. Albe tanpa sadar mengerem mobilnya mendadak. Informasi yang bapak ojek berikan benar, lalu ada apa dengan pencariannya yang tak membuahkan hasil. Suara klakson bersahut sahutan memekakkan telinga di belakang mereka, Albe tergesa melajukan mobilnya.
"Ada apa? Kenapa berhenti mendadak?" tanya Naima keheranan dengan sikap Albe yang tiba tiba terkejut.
"Maaf, saya sempat ketempat itu beberapa hari yang lalu," timpal Albe.
Naima hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi tidak menanyakan perihal keperluan Albe.
Jantung Naima bertalu dengan tidak sopan, tanpa sadar menggenggam erat sabuk pengaman yang melingkar ketat di bagian depan tubuhnya. Hal itu tidak luput dari perhatian Albe, ia merasa kecanggungan yang menyiksa. Entah mengapa bibirnya seperti kelu, otaknya mengosong tak ada apapun yang bisa dia temukan di sana. Berduaan dengan seorang perempuan sudah biasanya baginya, tapi dengan perempuan ayu dan rupawan di sampingnya ini. Seolah dunianya berhenti. Dengan cepol kecil di belakang kepala membuat Naima terlihat lebih menggemaskan. Bulu-bulu halus di leher dan tangannya yang kuning langsat, menjadikan perempuan di samping Albe lebih menarik. Dan Albe menyukai itu, sesuatu di perutnya berdesir nyaman.
"Rumah dengan pagar tinggi berwarna cream itu," ucap Naima menunjuk rumah yang sempat beberapa kali Albe dan Viran lalui. Tanpa sadar Albe berdecak, ternyata rumah tanpa nomor.
"Kamu tinggal sendiri?"tanya Albe memberhentikan mesin mobilnya tepat di depan gerbang.
"Ada banyak orang, ini kost putri," Naima memberi informasi sedikit.
"Senang bertemu denganmu Naima, terima kasih sekali lagi. Aku tidak dapat membalasnya walau dengan hidupku," ucap Albe dramatis membuat Naima terkekeh, Albe berlebihan sekali.
"Santai saja, lain kali berhati-hatilah. Aku masih bersyukur mobilmu tidak menabrakku," beber Naima sambil melepaskan sabuk yang melilit tubuhnya. Albe tertawa pelan, memang, dia bisa saja mencelakai orang lain saat itu.
"Lain kali izinkan aku mentraktirmu," pinta Albe tulus.
Naima mengangguk, mengulurkan tangan. Albe melihat tangan dengan jari lentik di depannya, sambil tersenyum penuh arti Albe membalas uluran tangan Naima. Tanpa sadar Albe mengecup punggung tangan itu. Naima berjengit reflek menarik tangannya.
Naima membuka pintu dan segera membuka pagar, melambai sebagai salam perpisahan. Albe memperhatikan hingga sosok wanita penolongnya menghilang di balik pintu pagar yang menjulang. Memerosotkan diri, Albe menengadah mengucap syukur. Memutar mobilnya, Albe segera meninggalkan kost Naima, menuju apartemen.
**
Naima merapikan baju ganti di dalam loker, hari ini Naima mendapat shift sore. Hari liburnya jatuh pada hari Jum'at untuk minggu ini, itu akan berganti setiap minggunya mengikuti roaster kerja.
"Naima!" Naima menoleh, Jaka sang entahlah Naima tidak begitu paham posisi dia di Cafe Kita memanggil.
"Saya Pak?" tanya Naima mendekat.
Jaka masih bingung bagaimana cara mengakrabkan diri dengan gadis ayu di hadapannya. Dengan pegawai lain Jaka bisa langsung bercanda. Namun dengan Naima Jaka hanya bisa bertegur sapa. Dia selalu kehilangan kata juga ingin terlihat sempurna.
"Bagaimana pekerjaannya? Apa ada kesulitan?" tanya Jaka sopan, Naima menggeleng.
"Tidak pak, kawan-kawan yang berpengalaman banyak mengajari saya. Terima kasih untuk kesempatannya," ucap tulus Naima membuat Jaka hanya menghela napas gugup. 'Kamarana wae abdi ieu aya awewe geulis pisan euy, abdi hoyong nikah ambu'. Jaka memejamkan matanya menahan gejolak di hatinya.
"Ada lagi Pak Jaka? Bapak asma?" Naima memperhatikan Jaka yang berkali-kali menahan napas dan mengembuskan.
"Oh tidak, saya hanya sedikit engap. Selamat bekerja Naima semoga betah disini," putus Jaka berlari menuju tangga ke ruangannya. Naima memperhatikan sikap absurb Jaka, memutar badannya Naima menuju ketempatnya bersiap menerima pengunjung.
Naima terlihat mondar-mandir dari meja satu ke meja yanga lainnya, gadis jawa itu begitu cekatan. Sepertinya hanya Naima yang sering di panggil oleh pelanggan, ada beberapa pegawai yang bertugas malam ini, tapi yang di lihat dari mata Albe, para pengunjung cafe terlihat lebih nyaman di beri layanan oleh Naima. Albe mengamati dari dalam ruangannya yang sedikit agak jauh, tapi tetap dapat memantau suasana cafe. Beberapa hari ini Albe sibuk dengan dokumen keberangkatannya ke Amerika dan dokumen bisnisnya. Albe jarang mengunjungi Cafe, Jaka yang akan datang melaporkan perkembangan Cafe juga sahabatnya Viran.
Albe belum bercerita kepada Jaka kalau perempuan penolongnya adalah salah satu pegawainya. Dunia memang sangat kecil. Di saat Albe bersusah payah mencari ke catatan sipil padahal di kantor ada data lengkap tentang Naima. Albe tidak mengerti dengan jalan yang digariskan Tuhan untuknya. Tersenyum memandangi perempuan di bawah sana, Albe mengelus dadanya yang menghangat.
Jam operasional cafe yang hanya sampai pukul 11 malam, membuat pengunjung keluar sebelum tanda tutup di pasang. Setelah membersihkan dan merapikan Cafe semua pegawai bergegas kembali ke peraduan masing-masing. Naima berjalan pelan menuju halte terdekat.
"Naima!" panggil Albe membuat Naima terhenti lalu membalikkan badan. Naima celingukan mencari sosok yang memanggilnya. Albe mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil.
"Ayo masuk aku antar," seru Albe. Naima melihat mobil yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri. naima hanya mematung. Hampir tengah malam, meilih menerima atau tidak. Naima di ambang kebimbangan. Albe turun dari mobil, dia sengaja tidak menunjukkan kalau dia adalah sang pemilik Cafe. Albe ingin tahu seperti apa Naima, selain sisi kebaikannya.
"Albe? Kebetulan lewat ya?" Naima menduga-duga.
"Aku melihatmu keluar dari dalam Cafe, ini sudah malam tidak baik pulang sendirian. Ayo aku antar, aku pastikan kamu aman." Albe membujuk Naima. Akhirnya Naima menyetujui.
"Terima kasih, aku merepotkanmu terus." Naima mengutarakan ketidak nyamanannya.
"Never mind, Nai. Aku senang bisa melihatmu lagi," kata Albe jujur dengan yang diutarakannya. Ada makna tersirat dari kata kata Albe bahwa dia senang bertemu dengan Naima.
Naima menengok kearah Albe yang serius melihat kejalan. "Tidak sengaja mencariku lagi, 'kan?" tebak Naima membuat Albe tertawa renyah.
"Tidak. Namun bisa jadi iya. Bolehkah aku meminta kontakmu, jika kamu tidak keberatan. Aku masih berhutang padamu," pinta Albe memberanikan diri.
Naima menimbang menggigit bibir bagian dalamnya. Dia belum mengenal banyak orang, hanya Ajeng, Tiara dan beberapa teman sepekerjaan.
"Ok," balas Naima memberi persetujuan. Albe tersenyum senang, lalu menyodorkan ponselnya. Meminta Naima mengetikkan nomor gadis itu. Gadis dengan celana jeans dan kemeja itu memencet tombol telpon dan mendial nomor ponselnya. Menyerahkan kembali benda persegi yang pasti mahal dengan model terbaru itu.
"Terima kasih, kapan-kapan aku akan mentraktirmu," janji Albe memberikan sebuah senyuman tulus untuk Naima. Naima tertegun, senyum Albe dalam keremangan cahaya terlihat indah.
Pertemuan mereka yang tidak sengaja memberikan kesan tersendiri untuk Naima dan Albe. Gadis cantik itu tidak memungkiri, Albe terlihat baik dan sopan, bule rupawan tipe wajah yang mudah diingat walau kemarin Naima sempat melupakan sejenak. Namun, sejak pertemuan kedua di busway, Naima mengingat wajah Albe. Namun naima tidak berharap banyak, dia lega orang yang di tolongnya baik baik saja. itu cukup.
Apakah ia jatuh cinta?
Hidup tidak akan selalu mulus, dan berjalan sesuai dengan apa yang kita mau. Seperti halnya roda yang berputar, jika kita mengayuh dengan kekuatan penuh akan cepat naik, tapi akan cepat turun pula. Kayuhlah sesuai kemampuanmu tidak usah ngoyo atau berlebihan. Seperti pekerjaan, jika kamu melakukan dengan sungguh-sungguh niat yang baik dan ikhlas inshaallah akan berkah. Naima berjalan menyusuri trotoar menuju tempat kerjanya, hari ini pertama kali Naima merasa sangat ceroboh. Dari bangun yang sedikit lambat dari biasa, hingga tidak sempat sarapan. Juga Naima turun di satu shuttle lebih jauh dari yang seharusnya dia turun. Naima berjalan dengan langkah lebar dan terburu-buru. Rambutnya yang belum sempat dia cepol melambai-lambai seiring dengan langkah kaki yang memburu. Sabtu pagi jalanan tidak terlalu padat, IA sedikit berlari saat sudah mendekati tempatnya bekerja. Bulir-bulir keringat sebesar jagung menghiasai dahi. Naima berlari menyebrang, tapi nahas, dari arah yang s
Membosankan, satu kata yang Naima rasakan karena seharian ini hanya merebahkan diri di kasur mungilnya. Naima melongokkan kepalanya ke tralis jendela, melihat aktivitas jalan yang sedikit ramai dengan anak kecil yang bermain dan ibu ibu yang berkumpul, bersenda gurau, sambil menikmati jajanan. Ponsel Naima bergetar, tanda video tertera disana. Naima merapikan rambut, membersihkan matanya memastikan tidak ada kotoran di kedua sudut mata hitamnya. "Hai," Naima menyapa, wajah Albe yang sepertinya sedang di dalam mobil terlihat kaca di sampingnya. Rambut lelaki itu sudah tidak sepanjang saat Albe kecelakaan, semakin terlihat tampan, eh. "Hai Nai, kamu tadi tidak kerja? Bukankah hari ini kamu masuk pagi?" sapa Albe, ia memberondong gadis itu dengan pertanyaan. "Tidak Al, aku di kostanku. Hari ini aku ijin, ada apa?" tanya Naima membenarkan posisi duduknya dengan sedikit meringis. Hal itu tidak luput dari perhatian Albe, Albe sedang berada di depan Cafe Kita sengaja tid
Perlakuan Albe terhadap Naima sore tadi membuat malam Naima menjadi tidak tenang, tidak dapat memejamkan mata dan selalu terbayang wajah pria bule yang tampan itu. Aduh, norak banget 'kan. Naima ingin menepis rasa suka pada Albe, tapi hatinya tidak dapat berbohong. Naima meraih ponselnya, mencari ikon aplikasi perpesanan melihat profil Albe yang sedang memegang barble dan memamerkan otot lengannya yang liat, darah Naima berdesir, kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya, menimbulkan rasa asing yang nyaman. Naima melemparkan ponselnya ke ujung kasur. Mencoba menetralkan degup jatung yang menggila. 'Dasar perawan gak laku!' sungut Naima dalam hati. Hanya memandang fotonya saja membuat ia salah tingkah, sungguh murahan sekali bukan. Bunyi pesan masuk membuat Naima meraih kembali ponsel yang sempat ia lempar dan membuka kuncinya, nama orang yang sedang dia pikirkan terpampang di depan layar. Niat hati ingin meredakan jantung yang berdisko ria, kini degupannya bertambah cepat d
Naima memandangi dua orang pria yang sedang mencari kata-kata yang tepat. Albe maju mendekati Jaka, dengan refleks Jaka memundurkan kakinya. Albe bisa sangat kejam, Jaka tidak mau menjadi sasarannya kali ini. "Hai bro, lama gak jumpa kemana saja?"Albe memeluk jaka sekilas, ketegangan di muka Jaka memudar. "Biasalah bro, lo tau cafe gue yang baru belum lama beroperasi jadi masih sibuk. Maklum patner gue lagi sibuk sama mainan barunya." Jaka melepaskan kaca mata gayanya dan menyimpan di saku kemeja. "Eh maaf, berarti gak usah Naima kenalkan lagi kan ya?" Naima menginterupsi, segera mengambil ke dapur dan membuatkan minuman untuk Jaka. "Jangan bilang kalau aku salah satu pemilik Cafe kita bro, aku ingin tahu Naima seperti apa." Albe berbisik di telingan jaka. "Lo mencurigai Naima?" Jaka membulatkan matanya tidak percaya. "Ck, kamu tahu sendiri kan. Wanita yang aku kenal mereka hanya menginginkan uangku saja, apalagi setelah tahu aku mempunyai usaha. Aku belum terlalu mengenal Naima,
Bukan hanya Naima, Albe pun terkejut dengan perlakuan DokterNindy. Dengan spontan Albe mendorong teman lamanya itu menjauh. Dokter Nindy terperanga dengan gerakan seduktif mantan teman kencannya itu, melihat ke belakang Albe. Ternyata Albe tidak sendir,i membuatnya sedikit gugup. Dia pikir pria itu sengaja ingin mengunjunginya setelah malam-malam panas mereka beberapa waktu lalu. "Silakan masuk!" ucap Dokter Nindy mempersilakan Naima yang masih mematung di depan pintu, sementara Albe mengusap tengkuknya merasa tidak nyaman. "Terimakasih, Dok," sahut Naima, lalu duduk di kursi yang disediakan. Albe menyusul duduk di samping Naima. "Apa kabar, Al? Dan?" sapa Dr. Nindy menggantungkan kalimatnya, ingin tahu gadis yang Albe ajak menemuinya. "Naima Dok." Naima menjawab dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya, Dr. Nindy menilai penampilan Naima yang sederhana dan tanpa make up. Bukan selera Albe, Dr. Nindy sedikit merasa lega. "Baik Nin. Aku kesini membawa Naima. Dia baru saja mengala
Naima menggambar tanda perboden dan menuliskan dengan huruf besar dan merah di buku hariannya. ALBERICO. Naima berharap dia bisa konsisten dengan niatan hati untuk mengurangi intensitas pertemuan atau komunikasi dengan pria asing tersebut. Karena itu tidak sehat untuk hati, tubuh bahkan jiwanya. Naima tidak memungkiri, Albe memberikan warna tersediri pada hari-harinya. Menimbulkan rasa yang belum pernah dia inginkan hadir untuk menghiasi hidup di usia muda. Naima selalu berfokus pada pendidikan juga orangtua sewaktu mereka masih hidup, percintaan dan hal sentimentil dengan lawan jenis bukan sebagai prioritas. Namun, entah mengapa sejak bertemu Albe, jiwa wanitanya seakan mendamba. Berawal dari kecupan singkat yang Albe berikan, Naima sering membayangkan hal erotis yang tiba-tiba muncul dalam benak perawan itu. Duh, jadi ternoda bukan? Naima menggeleng pelan, membayangkan fisik pria asing itu saja membuat darah berdesir tak nyaman. 'Sungguh murahn' batinnya. Tapi pesona Albe me
Naima memasuki Cafe dengan ringan dan ceria, tiga hari izin membuatnya merindukan rekan kerja juga suasana Cafe yang selalu ramai. "Nai!" teriak Ajeng berhambur memeluk Naima, mereka menjadi Akrab sejak pertama Naima di terima di Cafe itu. "Gimana lukanya? Udah sembuh? Parah gak sih?" seloroh Ajeng menggandeng lengan Naima menuju loker. Naima terkikik mendengar pertanyaan Ajeng. "Sudah mulai mengering, cuma masih belum sembuh. Oh ya, kayaknya seragamku beda deh Jeng, kata pak Jaka aku di dapur aja bantuin Chef Adi," kata Naima sambil membuka loker menyimpan tas juga jaketnya. Ajeng mengangguk. "Nanti aku carikan yang seragam dapur, Pak Jaka kemarin sudah ngasih tau aku. Oh ya, gimana sih kejadiannya. Aku penasaran banget. Untung ya muka cantik kamu gak kena aspal ... hehehe," canda Ajeng, Naima hanya tersenyum dan ikut tertawa. "Iya pokoknya mah masih aja untung Jeng, walaupun sakit," jawab Naima dengan tawa berderai. Bekerja memang lebih menyenangkan, tidak merasa bosan dan mati
Albe merasa frustasi, Naima benar-benar mengujinya. Panggilan teleponnya selalu berakhir di kotak suara, Jaka juga sudah tidak di ruangan, rekannya itu sering absen ke Cafe beberapa hari datang mereka meeting dan keperluan pekerjaan. Sisanya, nyaris tak pernah berbenturan. Pria itu seperti menghindar, tentu saja berbagai pikiran negatif bersarang di kepalanya. Albe mengambil kunci mobil berniat mengunjungi Naima, tapi belum sempat membuka pintu, Viran masuk dengan tergesa-gesa. "Al, kayaknya preman yang kemarin belum jera. Dia tetap meminta uang keamanan!" lapor Viran. Albe menyandarkan badannya di bufet file di belakangnya menatap Viran yang terlihat kelelahan. "Bukankah kamu sudah menghubungi petinggi di Polda? Pak Wito?" tanya Albe. Viran menggeleng pelan. "Sudah, Pak Wito sudah mengatakan semua akan dia urus masalah preman ini. Bahkan cek yang kita kasih sudah dia terima." jawab Viran dengan malas. Albe menghela napas. "Berarti Pak Wito belum bergerak, kamu telepon lah! sangat
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang