Beranda / Romansa / PERTAMA UNTUK NAIMA / Chapt 7: Kunjungan tak terduga

Share

Chapt 7: Kunjungan tak terduga

Penulis: Rezquila
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

     Membosankan, satu kata yang Naima rasakan karena seharian ini hanya merebahkan diri di kasur mungilnya. Naima melongokkan kepalanya ke tralis jendela, melihat aktivitas jalan yang sedikit ramai dengan anak kecil yang bermain dan ibu ibu yang berkumpul, bersenda gurau, sambil menikmati jajanan.

    Ponsel Naima bergetar, tanda video tertera disana. Naima merapikan rambut, membersihkan matanya memastikan tidak ada kotoran di kedua sudut mata hitamnya.

    "Hai," Naima menyapa, wajah Albe yang sepertinya sedang di dalam mobil terlihat kaca di sampingnya. Rambut lelaki itu sudah tidak sepanjang saat Albe kecelakaan, semakin terlihat tampan, eh.

     "Hai Nai, kamu tadi tidak kerja? Bukankah hari ini kamu masuk pagi?" sapa Albe, ia memberondong gadis itu dengan pertanyaan.

     "Tidak Al, aku di kostanku. Hari ini aku ijin, ada apa?" tanya Naima membenarkan posisi duduknya dengan sedikit meringis. Hal itu tidak luput dari perhatian Albe, Albe sedang berada di depan Cafe Kita sengaja tidak masuk untuk menunggu Naima pulang. Namun hampir satu jam Albe memarkirkan mobilnya, Naima tidak kunjung keluar. 

"Apa terjadi sesuatu Nai? Kamu terlihat kesakitan?" Albe memundurkan mobilnya dan keluar dari Cafe, dia akan mengunjungi Naima.

"Tidak, Al, aku baik-baik saja." ujar Nima meyakinkan Albe, hubungan Naima dan Albe masih biasa saja, ia memang sedikit merasakan getaran di hati jika berdekatan dengan Albe, entah mengapa. Albe juga semenjak pertemuan itu seperti hapal dengan jam kerja Naima. Selalu sudah berada di parkiran dan pasti akan mengantar Naima pulang siang ataupun malam. Sedikit aneh untuk gadis itu, tapi ia tak memusingkan.

"Kamu menginginkan sesuatu Nai?" tanya Albe, dia sedang fokus melihat kejalan.

"Tidak, Al. Aku tak menginginkan apapun, kamu lagi nyetir ya? Aku matiin ya, Al? Nanti kalau sudah sampai, kamu bisa menghubungi aku lagi," kata Naima bijak, teringat pria itu pernah mengalami hal buruk. Segera menutup panggilan dari Albe sebelum Albe mengiyakan, jika tidak pria itu akan menolak. Degupan jantung Naima bertalu-talu, sungguh mengganggu. Naima beranjak turun dari ranjang mengambil botol minum lalu menegukknya hingga tandas. Naima membersihkan diri, setelah itu dia berniat mencari makan.

Naima baru akan mengganti perban di lengan dan pahanya saat mendengar ketukan di pintu. Ia sedikit heran karena tidak pernah ada tamu untuknya selama ini, tapi Naima tetap beranjak dan membukakan pintu.

"Albe?" seru Naima terpana, melihat lelaki yang beberapa menit yang lalu menghubunginya berdiri di depan pintu kamar, kejutan yang tidak ia sangka. Rasa gugup melingkupi hatinya.

"Hai Nai. Aku kesini karena khawatir. Kamu kenapa?" seloroh Albe, alisnya mengernyit saat melihat luka di lengan Naima.

"Ga apa-apa, tadi pagi tertabrak sepeda saat mau nyebrang," jawab Naima dengan senyum terukir, lalu mempersilahkan Albe masuk, tapi tetap membuka pintu kamarnya.

"Biar aku bantu mengganti perbanmu." kata Albe menawarkan diri, karena melihat beberapa perban dan obat-obatan yang berserakan di atas ranjang.

"Tidak usah, aku bisa sendiri," Naima menolak dengan halus. Namun Albe bersikeras meletakkan plastik yang berisi kotak makanan ke meja kecil yang Naima fungsikan menjadi meja rias. Lalu mendekati Naima yang terlihat kesulitan mengoleskan obat pada lengannya.

Naima berjengit, seperti ada aliran listrik yang mengalir ke tubuhnya saat tangan besar Albe memegang lengannya. Sebenarnya Naima merasa canggung, ia hanya memakai kaos di atas lengan juga hot pan, yang saat ia duduk tersingkap memamerkan separuh paha mulusnya.

Dengan bantuan Albe, perban di lengan Naima berhasil di ganti dan tepasang dengan rapi. Namun Albe harus mati-matian menahan hasrat saat akan mengganti perban di paha. Ia berdecak melihat luka di paha samping berdekatan lutut. Albe menahan napas menyaksikan paha putih dan mulus Naima. Dia pria normal, walaupun di luar sana banyak gadis-gadis memakai hotpan Albe tidak pernah merasa desiran aneh dari tubuhnya. Albe mengangkat kaaki naima pada pahanya, lembut dan kencangnya kulit Naima membuat sengatan tak nyaman naik ke pangkalnya. "Shit!' geram Albe yang membuat Naima mengernyit bingung.

"Ada apa, Al?" tanya Naima, Albe hanya menggeleng.

Dengan susah payah Albe menggantikan dan memasang kembali perban terakhir. hembusan napas kelegaan menjadi perhatian Naima. Jarak wajahnya dan wajah Naima, juga hembusan napas hangat gadis itu menerpa sisi wajahnya. Membuat Albe harus menggeram. Ingin melumat bibir merah alamami gadi itu. Tapi ia masih cukup waras.

"Tunggu sebentar ya, Al," ucap Naima, menurunkan kakinya dari paha Albe lalu berjalan ke kamar mandi di ujung ruangan, Naima memakai celana yang lebih sopan, Naima menyadari tatapan aneh Albe saat menggantikan perban pada bagian pahanya. Albe melirik Naima, yang sudah berganti dengan pakaian yang lebih sopan, Albe patut bersyukur tapi ia juga merutuk. Karena tak dapat menikmati pemandangan indah dari tubuh Naima. Ck, dasar ya lelaki memang begitu.

"Aku membawakanmu makanan, makanlah!" perintah Albe, menunjuk plastik di atas meja.

"Terima kasih Al, seharusnya kamu tidak perlu repot membawakan aku makanan segala," ucapNaima, sambil merapikan kotak obatnya dan menyimpan di atas lemari.

"Aku tidak kerepotan, kamu sendirian disini. Biarkan aku menjagamu Nai," pinta Albe terlihat tulus, iris lelaki itu menatap lekas pada Naima, dan itu membuat gadis yang menguncir rambut setangah kepala terpesona dengan kata-kata Albe. Apakah itu rayuan?

"Kamu sudah sering menolongku, jadi sewajarnya aku juga menolongmu," tukas Albe, membuat Naima sedikit kecewa, ternyata karena balas budi semata. Ia tersenyum, menatap lelaki bule itu lamat-lamat, yang juga sedang memperhatikannya. Wajah Albe semakin mendekat hembusan napas menerpa wajah Naima. Seperti magnet dua orang itu saling mendekat, bahkan Albe sudah memiringkan wajahnya. Tapi kesadaran membuat Naima berpaling.

"Al, kamu mau minum apa?" tawar Naima, ia bangkit menuju ke arah pintu bermaksud mengambilkan air minum untuk Albe. Pandangan Albe mengikuti kemana wanita itu melangkah, tertatih.

"Apa saja yang kamu sediakan aku pasti meminumnya." jawab Albe, tak tega jika menolak.

"Ok," Naima segera menuju pantry atau dapur, umum membuatkan teh untuk Albe. Sementara di dalam ruangan, Albe mencoba menetralkan degup jantungnya. Paras naima yang ayu tanpa sentuhan make up membuat Albe hampir kehilangan kendali.

Perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan, sejak penghianatan kekasihnya. Albe tidak pernah lagi menjalin hubungan dengan wanita. Ia berkencan dengan banyak wanita hanya untuk kesenangan semata, tidak ingin dan tak pernah melibatkan perasaan. Namun entah, saat bertemu Naima di  busway dengan tanpa pamrih menolong dan menawarkan bantuan, seolah ia menemukan kedamaian, tatapan lembut Naima menentramkan hati, membaut jiwanya berdesir. Wanita cantik dan baik, kesan pertama yang Albe lihat dari sesosok Naima. Mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Kamar yang kecil tapi nyaman, Naima menata dengan apik kamar kostnya. Ia betah.

"Silakan, Al, di minum," ucap Naima menyajikan teh untuk Albe pada meja kecil.

"Terima kasih cantik," senyum Albe tersungging.

"Apaan sih," elak Naima sedikit tersipu, tapi lantas mengalihkan pandangannya. Albe mengambil cangkir canti, seperti sang empunya.

"Sejak kapan kamu di Indonesia Al?" tanya Naima mencoba mencairkan suasana yang canggung, Albe menyesap tehnya, lalu meletakkan di meja di samping plastik makanan yang ia bawa.

"Sudah sekitar mmm ... hampir lima atau enam tahun, aku sedikit lupa," kata Albe dengan sedikit ekspresi di wajahnya yang terlihat lebih santai.

"Lumayan lama, bahasamu sangat lancar hanya sedikit saja aksen bulenya," Naima tidak hanya memuji, memang kenyataannya Albe sangat lancar berbahasa. Albe tersenyum, memperhatikan Naima dengan lekat.

"Iya teman-temanku banyak membantuku, awal aku disini mereka tidak pernah menggunakan English, sengaja membuat aku harus memahami dan belajar bahasa. Kalau tidak aku tidak akan mengerti apa dan siapa yang mereka bicarakan. Itu sangat membuatku tersiksa." tutur Albe mengingat awal ia di negara ini. Naima tertawa melihat raut Albe yang terlihat seperti putus asa pada saat itu.

"Memang harus seperti itu, kita juga kalau ke negaramu di sana orang tidak akan menyapa dengan bahasa kan?" kata Naima, Albe mengangguk setuju. 

" Nai, maukah kau berjanji untukku?" pinta Albe, membenarkan posisi duduknya pada kursi yang ia duduki. Naima menatap Albe keheranan."Janji untuk apa?" Albe tersenyum melihat kebingungan Naima.

"Janji untuk selalu memberi kabar jika sesuatu terjadi padamu. Aku ingin menjadi orang yang pertama tahu tentangmu," kata Albe menjelaskan. Membuat Naima berbunga-bunga, mengulum bibir bingung harus berekspresi seperti apa.

"Aku tidak bisa berjanji Al, tapi pasti aku akan memberi tahumu," pungkas Naima, sadar dia memang tidak mempunya siapa-siapa disini. Dengan teman di tempat kerja Naima hanya akrab dengan Tiara dan Ajeng, tapi belum terlalu dekat.

"Aku akan pulang, sebenarnya ingin lebih lama. Namun aku harus bekerja," pamit Albe bangkit dari duduknya. Naima juga bangkit, mengantar Albe hingga ujung tangga.

"Jadi maksud kedatanganmu ini apa ya?" celetuk Naima mencoba bercanda.

"Ceritanya aku ngapel, tapi lupa hari dan waktu," balas Albe sambil mengedipka sebelah matanya. Membuat Naima terkekeh.

"Hati-hati Al, jangan ngebut," ucap Naima sebagai salam perpisahan, Albe yang sudah menuruni tangga berbalik.

"Aku akan berhati-hati untukmu, tapi kamu juga harus berhati-hati untukku," celetuk Albe dengan tanpa permisi mengecup sudut bibir Naima. Naima tekejut dengan perlakuan Albe, hingga dia lupa untuk menutup mulutnya yang menganga dengan tidak sopannya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Albe...mau ngapel kok lupa hari & waktu.... Modus nih.....
goodnovel comment avatar
ROHAIZAH ABD RAZAK
ulangan yang lalu ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 8. Perlahan Mendekat

    Perlakuan Albe terhadap Naima sore tadi membuat malam Naima menjadi tidak tenang, tidak dapat memejamkan mata dan selalu terbayang wajah pria bule yang tampan itu. Aduh, norak banget 'kan. Naima ingin menepis rasa suka pada Albe, tapi hatinya tidak dapat berbohong. Naima meraih ponselnya, mencari ikon aplikasi perpesanan melihat profil Albe yang sedang memegang barble dan memamerkan otot lengannya yang liat, darah Naima berdesir, kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya, menimbulkan rasa asing yang nyaman. Naima melemparkan ponselnya ke ujung kasur. Mencoba menetralkan degup jatung yang menggila. 'Dasar perawan gak laku!' sungut Naima dalam hati. Hanya memandang fotonya saja membuat ia salah tingkah, sungguh murahan sekali bukan. Bunyi pesan masuk membuat Naima meraih kembali ponsel yang sempat ia lempar dan membuka kuncinya, nama orang yang sedang dia pikirkan terpampang di depan layar. Niat hati ingin meredakan jantung yang berdisko ria, kini degupannya bertambah cepat d

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 9. Tak Terduga

    Naima memandangi dua orang pria yang sedang mencari kata-kata yang tepat. Albe maju mendekati Jaka, dengan refleks Jaka memundurkan kakinya. Albe bisa sangat kejam, Jaka tidak mau menjadi sasarannya kali ini. "Hai bro, lama gak jumpa kemana saja?"Albe memeluk jaka sekilas, ketegangan di muka Jaka memudar. "Biasalah bro, lo tau cafe gue yang baru belum lama beroperasi jadi masih sibuk. Maklum patner gue lagi sibuk sama mainan barunya." Jaka melepaskan kaca mata gayanya dan menyimpan di saku kemeja. "Eh maaf, berarti gak usah Naima kenalkan lagi kan ya?" Naima menginterupsi, segera mengambil ke dapur dan membuatkan minuman untuk Jaka. "Jangan bilang kalau aku salah satu pemilik Cafe kita bro, aku ingin tahu Naima seperti apa." Albe berbisik di telingan jaka. "Lo mencurigai Naima?" Jaka membulatkan matanya tidak percaya. "Ck, kamu tahu sendiri kan. Wanita yang aku kenal mereka hanya menginginkan uangku saja, apalagi setelah tahu aku mempunyai usaha. Aku belum terlalu mengenal Naima,

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 10. Mendekat lalu menjauh

    Bukan hanya Naima, Albe pun terkejut dengan perlakuan DokterNindy. Dengan spontan Albe mendorong teman lamanya itu menjauh. Dokter Nindy terperanga dengan gerakan seduktif mantan teman kencannya itu, melihat ke belakang Albe. Ternyata Albe tidak sendir,i membuatnya sedikit gugup. Dia pikir pria itu sengaja ingin mengunjunginya setelah malam-malam panas mereka beberapa waktu lalu. "Silakan masuk!" ucap Dokter Nindy mempersilakan Naima yang masih mematung di depan pintu, sementara Albe mengusap tengkuknya merasa tidak nyaman. "Terimakasih, Dok," sahut Naima, lalu duduk di kursi yang disediakan. Albe menyusul duduk di samping Naima. "Apa kabar, Al? Dan?" sapa Dr. Nindy menggantungkan kalimatnya, ingin tahu gadis yang Albe ajak menemuinya. "Naima Dok." Naima menjawab dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya, Dr. Nindy menilai penampilan Naima yang sederhana dan tanpa make up. Bukan selera Albe, Dr. Nindy sedikit merasa lega. "Baik Nin. Aku kesini membawa Naima. Dia baru saja mengala

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 11. Menjaga Jarak

    Naima menggambar tanda perboden dan menuliskan dengan huruf besar dan merah di buku hariannya. ALBERICO. Naima berharap dia bisa konsisten dengan niatan hati untuk mengurangi intensitas pertemuan atau komunikasi dengan pria asing tersebut. Karena itu tidak sehat untuk hati, tubuh bahkan jiwanya. Naima tidak memungkiri, Albe memberikan warna tersediri pada hari-harinya. Menimbulkan rasa yang belum pernah dia inginkan hadir untuk menghiasi hidup di usia muda. Naima selalu berfokus pada pendidikan juga orangtua sewaktu mereka masih hidup, percintaan dan hal sentimentil dengan lawan jenis bukan sebagai prioritas. Namun, entah mengapa sejak bertemu Albe, jiwa wanitanya seakan mendamba. Berawal dari kecupan singkat yang Albe berikan, Naima sering membayangkan hal erotis yang tiba-tiba muncul dalam benak perawan itu. Duh, jadi ternoda bukan? Naima menggeleng pelan, membayangkan fisik pria asing itu saja membuat darah berdesir tak nyaman. 'Sungguh murahn' batinnya. Tapi pesona Albe me

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 12. Bingkisan tak bertuan

    Naima memasuki Cafe dengan ringan dan ceria, tiga hari izin membuatnya merindukan rekan kerja juga suasana Cafe yang selalu ramai. "Nai!" teriak Ajeng berhambur memeluk Naima, mereka menjadi Akrab sejak pertama Naima di terima di Cafe itu. "Gimana lukanya? Udah sembuh? Parah gak sih?" seloroh Ajeng menggandeng lengan Naima menuju loker. Naima terkikik mendengar pertanyaan Ajeng. "Sudah mulai mengering, cuma masih belum sembuh. Oh ya, kayaknya seragamku beda deh Jeng, kata pak Jaka aku di dapur aja bantuin Chef Adi," kata Naima sambil membuka loker menyimpan tas juga jaketnya. Ajeng mengangguk. "Nanti aku carikan yang seragam dapur, Pak Jaka kemarin sudah ngasih tau aku. Oh ya, gimana sih kejadiannya. Aku penasaran banget. Untung ya muka cantik kamu gak kena aspal ... hehehe," canda Ajeng, Naima hanya tersenyum dan ikut tertawa. "Iya pokoknya mah masih aja untung Jeng, walaupun sakit," jawab Naima dengan tawa berderai. Bekerja memang lebih menyenangkan, tidak merasa bosan dan mati

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 13. Kucing-kucingan

    Albe merasa frustasi, Naima benar-benar mengujinya. Panggilan teleponnya selalu berakhir di kotak suara, Jaka juga sudah tidak di ruangan, rekannya itu sering absen ke Cafe beberapa hari datang mereka meeting dan keperluan pekerjaan. Sisanya, nyaris tak pernah berbenturan. Pria itu seperti menghindar, tentu saja berbagai pikiran negatif bersarang di kepalanya. Albe mengambil kunci mobil berniat mengunjungi Naima, tapi belum sempat membuka pintu, Viran masuk dengan tergesa-gesa. "Al, kayaknya preman yang kemarin belum jera. Dia tetap meminta uang keamanan!" lapor Viran. Albe menyandarkan badannya di bufet file di belakangnya menatap Viran yang terlihat kelelahan. "Bukankah kamu sudah menghubungi petinggi di Polda? Pak Wito?" tanya Albe. Viran menggeleng pelan. "Sudah, Pak Wito sudah mengatakan semua akan dia urus masalah preman ini. Bahkan cek yang kita kasih sudah dia terima." jawab Viran dengan malas. Albe menghela napas. "Berarti Pak Wito belum bergerak, kamu telepon lah! sangat

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 14. Serba salah

    "Nai!" Bu Siti memanggil Naima yang baru saja memasuki pagar. "Iya bu?" Naima mendekat ke ruangaan keamaan yang berada tepat disamping pagar. "Kamu dari mana? Aduh kasian Mas bule nungguin kamu berjam-jam lho." Bu Siti berekspresi sedih, Naima hanya bisa meringis. "Albe kesini bu?" Naima pura-pura tidak tahu. "Iya dari sore tadi sampai maghrib baru pergi, Ibu malah tadi sempet curiga kok gak ada suara. Takut kamu ngapa-ngapain sama mas bule hihihihi" ujar Bu Siti lalu tertawa. "Nai tadi makan lalu beli sabun ke mini market ,Bu, Nai gak tahu kalau Albe mau datang. Paket data Nai habis." Naima memberi alasan sejujurnya. "Lha kamu gak aktifin wifi kost apa?Cck kamu ini. Pantesan sampai lumutan pacarmu nungguin." Bu Siti masuk ke dalam ruangan, lalu keluar lagi memberikan kertas yang bertuliskan password wifi. Naima tersenyum geli, padahal memang sengaja dia matikan. "Bukan pacar Bu, Albe hanya teman saja kok." Naima menerima kertas yang di sodorkan Bu Siti. "Iya juga gak apa-apa N

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   15. Rindu Terbalas

    "Hallo ...." setelah berperang dengan hati, pada akhirnya Naima menyerah dengan egonya. "Hai Nai, kamu kemana saja?" Albe mendesah lega. "Aku di kamarku Al, tadi kamu datang?" Naima menggigit bibir bawahnya. "Ya, tapi kamu tidak ada. Kamu pergi?" Suara Albe seperti merengek. "Tadi aku berbelanja ke mini market, beberapa kebutuhanku habis dan beli paket data." Naima menggerak-gerakkan kakinya. "Kakimu bagus!" Albe tersenyum sepertinya Naima tidak menyadari jika dia melakukan panggilan video. "Apa? Kaki?" Naima melihat ke arah gawainya, ia memang meletakkan gawainya di atas perut. Naima memejamkan mata, merasa malu akan kecerobohannya. Mengubah kamera kearah wajahnya. "Aku lebih suka pemandangan sekarang." Albe tersenyum penuh arti, akhirnya dia bisa melihat wajah yang dia rindukan. "Ya iyalah kakiku kan butek ... maaf tadi kepencet sepertinya." Naima memasang wajah biasa, namun sepertinya rona wajah bahagianya dapat terlihat dengan jelas. "Hahahaha No, kakimu indah tapi kamu le

Bab terbaru

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 206. AKHIR BAHAGIA

    Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 205. Berdamai Dengan Masa Lalu

    Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 204. Ikhlas

    Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 203. BUKAN SEBUAH AKHIR

    “Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 202. PANGGIL AKU PAMAN

    “Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 201. GRANNY

    Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 200. MENGSEDU

    Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 199. GAUN

    “Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.

  • PERTAMA UNTUK NAIMA   Chapt 198. KEPUTUSAN

    "Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang

DMCA.com Protection Status