Mentari pagi mengintip dari tirai tipis berwarna merah muda, sang gadis dengan rambut terurai di bantal tipis mulai membuka dua kelopak mata dengan netra coklat gelap. Suara keramaian pagi menyadarkan dari tidurnya. melirik ke arah jam di dinding kamarnya Naima segera beranjak, mempersiapkan diri untuk kegiatan pagi ini.
Seporsi nasi uduk dengan semur tahu dan bala bala sebagai menu sarapan paginya, sarapan yang murah meriah di temani segelas teh hangat. Naima bersyukur untuk nikmat yang tuhan beri, tidak perlu mewah namun mengenyangkan. Setelah selesai, Naima bergegas menjemput peruntungannya. Semoga kebrtuntungan memang memihak kepada dirinya.
Suasana pagi yang padat, begitupun jalan menuju Cafe Kita, padat merayap. Sempat terbersit rasa takut jika terlambat. Naima salah memperhitungkan waktu, hari kerja berbeda dengan hari libur. Naima melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya setengah delapan sudah terlewati.
Naima berdoa dalam hati pekerjaan ini masih menjadi rejekinya. Menggigit kukunya sedikit panik, gadis cantik itu tak henti melihat ke arah depan. Busway yang ditumpanginya perlahan bergerak. Hingga akhirnya berjalan dengan lancar. Hati Naima sedikit lega. Sebelum jam 8 ia sudah turun dari bus, menyeberang menuju Cafe yang tidak terlalu jauh dari shuttle pemberhentian.
Memasuki area Cafe, degup jantung Naima semakin bertalu. Ini pengalaman baru, dan hal yang baru. Mendekati meja resepsionis yang masih sama dan dengan orang yang sama seperti yang ia temui tempo hari, Naima tersenyum.
"Selamat pagi kak Naima ya? Wah selamat ya. Berarti kakak di terima lho. Silahkan isi daftar hadir, nanti akan ada training." Naima belum berkata kata, namun sang resepsionis bernama Ajeng sudah sangat ekspresif. Naima hanya menuruti, mengisi formulir.
"Memang sudah langsung di terima?" Naima mencoba meyakinkan dirinya.
"Eh kenalan dulu... Ajeng" Ajeng mengulurkan tangannya gadis canti dan ramah juga supel batin Naima
"Naima" Naima membalas uluran tangan ajeng
"Panggil kaka atau nama? Aku 20 tahun" Ajeng memberikan informasi tentang dirinya.
"Saya baru 19 tahun." Naima merasa canggung.
"Adek dong ya..eh panggil nama aja ya." Ajeng mencoba untuk tidak bersikap formal
"Boleh aja sih kalau Ajeng ga keberatan." Peserta lain berdatangan, Naima menuju keruangan yang sudah di persiapkan.
Memang benar, yang di panggil adalah yang terpilih dan di terima bekerja sebagai waitress juga kasir. Masing masing akan ada 2 shift pagi dan sore, kasir juga. Aku hanya sebagai seorang waitress namun aku senang. Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan pertamaku. Kami akan di training sebelum cafe mulai beroperasi. Yang memberikan pembekalan bukan bapak yang aku temui kemarin, namun di name tagnya tertulis manager. Naima merasa ada yang aneh, siapa yang mewawancarainya kemarin.
Dua hari menjelang grand opening, semua pegawai sudah siap dengan seragam juga job desk masing masing. Mereka sudah di bekali dengan kiat kiat menerima tamu dan melayani tamu. Cafe disini sangat modern, dan mengutamakan kenyamanan pelanggan. Para waitress harus selalu sigap dengan mini tablet mereka.
Di dalam ruang vice presiden Albe dan Jaka sedang serius membahas tentang Grand opening. Menu yang akan disajikan tertata dengan rapi di atas meja panjang. Albe adalah pribadi yang perfeksionis. Semua harus sempurna, rasa tampilan juga penyajian.
"Ini sih sudah oke banget bro" Jaka mencicipi salah satu menu andalan.
" Koki dari ajang pencarian bakat namun masakannya fantastis." Albe menimpali.
"Semoga bisnis kita disini bisa sesukses di Bandung" Jaka ber hi five dengan Albe.
"Oh ya, bagaimana misi kita mencari penolong lo?" Jaka mengalihkan topik pembicaraan mereka.
"Aku sudah berkali kali melihat videonya, namun hanya punggung yang tertutup tas, jadi sepertinya akan susah." Albe meletakkan piring saji yang terdapat potongan wafle dengan ice cream.
"Jadi mau menyerah, belum juga ada 2 minggu."Jaka menyemangati.
"Tidak, aku akan terus mencarinya. Aku sudah tau nama panjangnya."
"Mungkin lo harus di kantor catatan sipil hahahaha" Jaka tertawa, membayangkan Albe menuju kantor catatan sipil hanya berbekal nama lengkap seseorang.
"Good idea, siapa tahu kan tidak banyak yang mempunyai nama seperti perempuan itu." Albe seperti menemukan oase dipadang pasir.
"Silakan hubungi Viran daripada main cewek aja itu bocah."
"Gampang, aku akan mencari sendiri. Aku kapok dengannya, terakhir dia mengerjaiku memberikan kartu pass kosong." Jaka terbahak di tempatnya.
"Aku heran kenapa dia bisa menjadi pengacara sukses dengan tingkah ajaibnya." Albe hanya mengegeleng tanda tidak tahu.
"Kamu segera persiapkan para pegawai, aku akan disini dengan makanan ini." Albe mengedarkan pandangannya ke penjuru meja. Sebagai penggagas dan pemilik modal terbesar, Albe akan melakukan yang terbaik untuk memajukan bisnisnya. Albe harus merasakan sendiri setiap menu yang tersaji.
Jaka turun menuju ruangan pembekalan untuk para pegawainya. Mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok perempuan berwajah ayu yang menjadi perhatian utamanya. Jaka menyapa semua pegawai dengan ramah. Masing masing sudah memakai seragam, fasilitas dari cafe kita. Pembekalan masih terus berlangsung hingga grand opening. Mereka harus cekatan, sigap dan enerjik.
Jaka harus menjaga jarak, mengontrol setiap tindak tanduknya bermain aman dan cantik. sekarang waktunya untuk membangun wibawa, bukan tebar pesona. Sementara dari lantai atas, Albe memperhatikan sekilas kegiatan para pegawainya. Saat melihat Naima, Albe seperti terseret ke masa 3 hari yang lalu, saat gadi tak dikenal menolongnya membayarkan tiket busway. Sungguh dunia ini sempit sekali, Ada sedikit kebanggaan. Jaka merecruit orang yang berhati mulia. Albe mempunyai rencana nanti untuk membalas gadis itu.
***
Grand opening yang sangat hectic, pengunjung yang membludak dan sangat ramai. Naima dan apara pegawai kewalahan, Yang harusnya 2 shift akhirnya merek bekerja 1 hari penuh. Naima merebahkan badannya di kasur kamarnya, tak menyangka melayani orang sangat menyita tenaganya. Kakinya pegal bukan kepalang, Naima mengoleskan cream pereda nyeri di sepanjang betis hingga paha. berharap esok setiap nyeri menghilang.
Naima berjalan menuju loker pegawai dengan langkah ringan, seminggu sudah cafe Kita beroperasi, pengunjung masih ramai tapi tidak seperti saat grand opening. Saat di ujung lorong Jaka melintas membawa secangkir kopi. Naima tersenyum menyapa sekilas, Jaka tersenyum penuh arti namun enggan untuk mendekati. Belum saatnya Jaka menenangkan debaran dalam hatinya.
Albe duduk di kursinya membolak balikkan kertas dengan deretan nama disana. Albe serius dengan niatnya mendatangi kantor catatan sipil, dengan modal beberapa digit nominal rupiah. Albe berhasil mendapatkan data nama perempuan dengan nama depan Naima dari seluruh Indonesia. Padahal Albe hanya meminta dari wilayah Jakarta, mungkin karena Albe salah cabang. Albe mendatangi kantor pusat catatan sipil. tentu saja data yang didapat dari seluruh Indonesia. Albe mengusap wajahnya frustasi, bagaimana bisa dia menemukan dengan cepat.
Albe menyudahi pencariannya, dia akan melanjutkan besok. Sekarang dia ingin pulang mempersiapkan keberangkatannya ke Amerika. Saat keluar dari cafe Albe menemukan perempuan tiket sedang berdiri di pinggir jalan depan cafe. Albe memberanikan diri mendekati.
"Hai." Albe mencoba menyapa. Naima menolehkan kepalanya sedikit terkejut, seperti mengenali.
"Hai!" Naima membalas sekilas.
"Terima kasih tiketnya waktu itu. Maaf aku terlalu bodoh tidak menanyakanmu saat itu" Albe langsung mengungkapkan apa yang selama ini ingin dia uncapkan.
"Oh iya tidak masalah" Naima tersenyum sekilas.
"Boleh berkenalan?" Albe mengulurkan tangannya. Naima terlihat berpikir sejenak.
"Aku ingin membalas kebaikanmu, mungkin mentraktirmu makan atau kamu mau aku mengembalikan uangmu?" Albe memberikan alasaan, melihat keengganan perempuan di hadapannya.
"Aku tidak keberatan kok nolongin kamu, aku ikhlas. Ga perlu di ganti apapun." Naima mencoba bersikap sopan. Sebenarnya tidak nyaman karena selama ini tidak pernah berbicara dengan orang asing.
"Aku Albe." Albe kembali mengulurkan tangannya. Naima akhirnya juga membalas uluran tangan Albe.
"Naima." Sesaat dunia Albe runtuh di kakinya. Nama yang sama dengan penolongnya saat kecelakaan? Juga menolongnya membelikan tiket. Hatinya berdesir menjabat erat tangan halus perempuan yang selama ini dia cari.
"Naima Ayundia?' Albe tergagap menyebut nama panjang perempuan di hadapannya. Naima tertegun, seperti mengenali wajah lelaki asing di hadapannya. Apakah ini orang yanga kecelakaan itu?
"Alberico?" Dengan lirih Naima menyebutkan nama seseorang yang pernah ia tolong, tapi ia lupa akan wajahnya. Senyuman merekah di wajah Albe, bidadari tak bersayap, malaikat penolongnya adalah wanita yang 2 minggu berada didekatnya.
Netra yang saling mengunci dalam berpandangan, jemari tangan yang terpaut, gemuruh yang bertalu diantara Naima dan Albe tak dapat dijabarkan dengan kata. Entah apa, seperti dua insan yang menanti begitu lama untuk sebuah pertemuan. Mereka tidak saling mengenal, tidak saling tahu. Hanya takdir yang membawa mereka pada garis waktu. "Ehhemmm, " Keduanya saling canggung, melepaskan tangan dengan enggan. "Saya tak menyangka, bisa kebetulan seperti ini," ucap Albe, masih sangat shock dengan kebetulan yang dia alami. Menggigit bibir sambil berpikir, harus bagaimana membalas pertolongan gadis rupawan di hadapannya. "Saya juga, saya pikir sesuatu yang buruk akan terjadi. Maaf saya meninggalkan anda dalam keadaan belum sadar," kata Naima tak tahu harus bersikap bagaimana. Biasanya dia akan santai, namun lelaki asing di hadapannya membuat ia salah tingkah. Malu karena menolong dengan setengah-setengah. "Oh tidak apa-apa, saya baik-baik saja. Tidak perlu ada yang harus disesalkan. Saya memang
Hidup tidak akan selalu mulus, dan berjalan sesuai dengan apa yang kita mau. Seperti halnya roda yang berputar, jika kita mengayuh dengan kekuatan penuh akan cepat naik, tapi akan cepat turun pula. Kayuhlah sesuai kemampuanmu tidak usah ngoyo atau berlebihan. Seperti pekerjaan, jika kamu melakukan dengan sungguh-sungguh niat yang baik dan ikhlas inshaallah akan berkah. Naima berjalan menyusuri trotoar menuju tempat kerjanya, hari ini pertama kali Naima merasa sangat ceroboh. Dari bangun yang sedikit lambat dari biasa, hingga tidak sempat sarapan. Juga Naima turun di satu shuttle lebih jauh dari yang seharusnya dia turun. Naima berjalan dengan langkah lebar dan terburu-buru. Rambutnya yang belum sempat dia cepol melambai-lambai seiring dengan langkah kaki yang memburu. Sabtu pagi jalanan tidak terlalu padat, IA sedikit berlari saat sudah mendekati tempatnya bekerja. Bulir-bulir keringat sebesar jagung menghiasai dahi. Naima berlari menyebrang, tapi nahas, dari arah yang s
Membosankan, satu kata yang Naima rasakan karena seharian ini hanya merebahkan diri di kasur mungilnya. Naima melongokkan kepalanya ke tralis jendela, melihat aktivitas jalan yang sedikit ramai dengan anak kecil yang bermain dan ibu ibu yang berkumpul, bersenda gurau, sambil menikmati jajanan. Ponsel Naima bergetar, tanda video tertera disana. Naima merapikan rambut, membersihkan matanya memastikan tidak ada kotoran di kedua sudut mata hitamnya. "Hai," Naima menyapa, wajah Albe yang sepertinya sedang di dalam mobil terlihat kaca di sampingnya. Rambut lelaki itu sudah tidak sepanjang saat Albe kecelakaan, semakin terlihat tampan, eh. "Hai Nai, kamu tadi tidak kerja? Bukankah hari ini kamu masuk pagi?" sapa Albe, ia memberondong gadis itu dengan pertanyaan. "Tidak Al, aku di kostanku. Hari ini aku ijin, ada apa?" tanya Naima membenarkan posisi duduknya dengan sedikit meringis. Hal itu tidak luput dari perhatian Albe, Albe sedang berada di depan Cafe Kita sengaja tid
Perlakuan Albe terhadap Naima sore tadi membuat malam Naima menjadi tidak tenang, tidak dapat memejamkan mata dan selalu terbayang wajah pria bule yang tampan itu. Aduh, norak banget 'kan. Naima ingin menepis rasa suka pada Albe, tapi hatinya tidak dapat berbohong. Naima meraih ponselnya, mencari ikon aplikasi perpesanan melihat profil Albe yang sedang memegang barble dan memamerkan otot lengannya yang liat, darah Naima berdesir, kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya, menimbulkan rasa asing yang nyaman. Naima melemparkan ponselnya ke ujung kasur. Mencoba menetralkan degup jatung yang menggila. 'Dasar perawan gak laku!' sungut Naima dalam hati. Hanya memandang fotonya saja membuat ia salah tingkah, sungguh murahan sekali bukan. Bunyi pesan masuk membuat Naima meraih kembali ponsel yang sempat ia lempar dan membuka kuncinya, nama orang yang sedang dia pikirkan terpampang di depan layar. Niat hati ingin meredakan jantung yang berdisko ria, kini degupannya bertambah cepat d
Naima memandangi dua orang pria yang sedang mencari kata-kata yang tepat. Albe maju mendekati Jaka, dengan refleks Jaka memundurkan kakinya. Albe bisa sangat kejam, Jaka tidak mau menjadi sasarannya kali ini. "Hai bro, lama gak jumpa kemana saja?"Albe memeluk jaka sekilas, ketegangan di muka Jaka memudar. "Biasalah bro, lo tau cafe gue yang baru belum lama beroperasi jadi masih sibuk. Maklum patner gue lagi sibuk sama mainan barunya." Jaka melepaskan kaca mata gayanya dan menyimpan di saku kemeja. "Eh maaf, berarti gak usah Naima kenalkan lagi kan ya?" Naima menginterupsi, segera mengambil ke dapur dan membuatkan minuman untuk Jaka. "Jangan bilang kalau aku salah satu pemilik Cafe kita bro, aku ingin tahu Naima seperti apa." Albe berbisik di telingan jaka. "Lo mencurigai Naima?" Jaka membulatkan matanya tidak percaya. "Ck, kamu tahu sendiri kan. Wanita yang aku kenal mereka hanya menginginkan uangku saja, apalagi setelah tahu aku mempunyai usaha. Aku belum terlalu mengenal Naima,
Bukan hanya Naima, Albe pun terkejut dengan perlakuan DokterNindy. Dengan spontan Albe mendorong teman lamanya itu menjauh. Dokter Nindy terperanga dengan gerakan seduktif mantan teman kencannya itu, melihat ke belakang Albe. Ternyata Albe tidak sendir,i membuatnya sedikit gugup. Dia pikir pria itu sengaja ingin mengunjunginya setelah malam-malam panas mereka beberapa waktu lalu. "Silakan masuk!" ucap Dokter Nindy mempersilakan Naima yang masih mematung di depan pintu, sementara Albe mengusap tengkuknya merasa tidak nyaman. "Terimakasih, Dok," sahut Naima, lalu duduk di kursi yang disediakan. Albe menyusul duduk di samping Naima. "Apa kabar, Al? Dan?" sapa Dr. Nindy menggantungkan kalimatnya, ingin tahu gadis yang Albe ajak menemuinya. "Naima Dok." Naima menjawab dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya, Dr. Nindy menilai penampilan Naima yang sederhana dan tanpa make up. Bukan selera Albe, Dr. Nindy sedikit merasa lega. "Baik Nin. Aku kesini membawa Naima. Dia baru saja mengala
Naima menggambar tanda perboden dan menuliskan dengan huruf besar dan merah di buku hariannya. ALBERICO. Naima berharap dia bisa konsisten dengan niatan hati untuk mengurangi intensitas pertemuan atau komunikasi dengan pria asing tersebut. Karena itu tidak sehat untuk hati, tubuh bahkan jiwanya. Naima tidak memungkiri, Albe memberikan warna tersediri pada hari-harinya. Menimbulkan rasa yang belum pernah dia inginkan hadir untuk menghiasi hidup di usia muda. Naima selalu berfokus pada pendidikan juga orangtua sewaktu mereka masih hidup, percintaan dan hal sentimentil dengan lawan jenis bukan sebagai prioritas. Namun, entah mengapa sejak bertemu Albe, jiwa wanitanya seakan mendamba. Berawal dari kecupan singkat yang Albe berikan, Naima sering membayangkan hal erotis yang tiba-tiba muncul dalam benak perawan itu. Duh, jadi ternoda bukan? Naima menggeleng pelan, membayangkan fisik pria asing itu saja membuat darah berdesir tak nyaman. 'Sungguh murahn' batinnya. Tapi pesona Albe me
Naima memasuki Cafe dengan ringan dan ceria, tiga hari izin membuatnya merindukan rekan kerja juga suasana Cafe yang selalu ramai. "Nai!" teriak Ajeng berhambur memeluk Naima, mereka menjadi Akrab sejak pertama Naima di terima di Cafe itu. "Gimana lukanya? Udah sembuh? Parah gak sih?" seloroh Ajeng menggandeng lengan Naima menuju loker. Naima terkikik mendengar pertanyaan Ajeng. "Sudah mulai mengering, cuma masih belum sembuh. Oh ya, kayaknya seragamku beda deh Jeng, kata pak Jaka aku di dapur aja bantuin Chef Adi," kata Naima sambil membuka loker menyimpan tas juga jaketnya. Ajeng mengangguk. "Nanti aku carikan yang seragam dapur, Pak Jaka kemarin sudah ngasih tau aku. Oh ya, gimana sih kejadiannya. Aku penasaran banget. Untung ya muka cantik kamu gak kena aspal ... hehehe," canda Ajeng, Naima hanya tersenyum dan ikut tertawa. "Iya pokoknya mah masih aja untung Jeng, walaupun sakit," jawab Naima dengan tawa berderai. Bekerja memang lebih menyenangkan, tidak merasa bosan dan mati
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang