Albe dan Viran segera menjalankan misi mencari penolongnya. Mobil Viran menjadi trasportasi kali ini karena mobil Albe masih dalam perbaikan.
“Lo naik busway aja bro, enak dari apartemen lo sekali doang.” Viran memberi saran Albe, Albe walau orang kaya namun paling benci jika harus menggunakan taxi, alasannya malas berduaaan dengan cowok. Nah ini dengan Viran bukannya cowok.
“Aku pertimbangkan, aku malas mendengarkan curhatan pengemudi jika menggunakan taxi.” Viran tertawa terbahak.
“Gak usah lo dengerin, pura-pura aja ngorok, pasti diem.”
“Aku tidak pandai berpura-pura, tidak seperti kamu.” Albe mencibir kelakuan Viran. Namun, sang empunya hanya mendengus.
“Nanti pakai kartu gue, gue ada banyak.” Albe hanya mengacungkan jempol.
Tiba di jalan yang di sebutkan bapak ojek, Viran melajukan mobilnya pelan, mencari rumah dengan nomor 80. Hingga sampai ujung jalan dan sudah berganti nama jalan, mereka tidak menemukan angka 80 pada masing masing rumah. Viran memutar balikkan mobil, Kembali mengecek nomor rumah yang tertera. Namun hasilnya tetap nihil, rumah setan apa Viran membatin
“Gak ada no 80, jangan2 setan Al” Viran berlagak merinding.
“Kalau setan mana mungkin yang melihat banyak. Perawat di dalam ambulans juga bilang yang mengantarkan aku Wanita. Wanita Ran, dan kakinya menginjak tanah memakai sepatu.” Viran tertawa tanpa henti, menikmati wajah kesal teman sekaligus koleganya ini.
“Coba kita turun, kita tanya ibu ibu yang sedang ghibahin tetangga mereka.” Viran menunjuk sekelompok ibu-ibu yang sedang mengerumuni tukang siomay. Albe berdecik malas, namun tetap keluar juga.
“Selamat siang Ibu …” Albe menyapa dengan takut takut.
“Siang Mister bule, waduh ganteng banget, ya,” seorang ibu dengan daster kebesaran mendekati Albe.
“Bisa minta foto mister?” sela ibu yang lain Albe hanya meringis sungkan.
“Mister turis kesasar ape?” Seorang ibu bertanya dengan logat Betawinya
“Maaf ibu saya disini mau mencari seorang Wanita, Namanya Naima apakah ibu ibu ada yang mengenal?” Albe mencoba mempercepat misisnya, tak betah dia belama lama di sini.
Albe mencoba bersabar, Viran yang berdiri di sisi mobil tertawa hingga menelungkupkan badannya di mobil. Benar benar teman tidak pengertian, Albe mengumpat dalam hati.“Sepertinya gak ada mister, mungkin yang rumahnya gedong-gedong itu." Si ibu menunjuk rumah bagian depan, Albe menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Kok gak nyari saya saja mister.” Ibu dengan dandanan menor mencoba menggapai tangan Albe, Albe berjengit mundur.“Heh elu ini misternya takut tu, jangan jangan acara prank youtuber youtuber.” Suasana tambah tidak kondusif, Albe segera berlari menjauh, dan masuk mobil dengan cepat. Mengerikan sekali ibu ibu itu.
“Ya ampun bro, lo tu lucu banget ngalahin srimulat ... hahahahaha”
“Kamu sebagai pengacara saya malah tidak memberikan pertolongan.” Albe terlihat kesal, misi kali ini Failed.
“Sabar bro, sorry, jarang jarang gue lihat komedi langsung.” Viran melajukan mobilnya, masih dengan kikikan gelinya.
“Gue anter kemana? " Setelah lumayan jauh dari daerah Hj. Syukur Viran bertanya kepada Albe.
“Ke Café saja, besok aku meminta Jaka saja yang menemani. Ditemani pengacara malah tidak beres.” Albe masih tidak bisa terima.
“Ok. Maaf bro sebagai gantinya tuh ambil tiket pass naik busway, semua bawa aja.” Albe mengambil kartu dengan logo beberapa bank pemerintah.
“Kamu jangan lupa kasus yang tadi, cari tahu siapa backingan mereka.” Albe melanjutkan. Viran memberi tanda hormat.
Setelah masuk ke Café, Albe Kembali merebahkan diri. Badannya belum terlalu fit namun rasa penasaran akan perempuan penolongnya membuatnya harus menahan kondisi tubuh.
Di lain tempat, Naima menyantap mie ayam di pinggir jalan, setelah dari Café Kita, kemudian melanjutkaan mencari lowongan. Ternyata banyak sekali restoran di daerah ini. Dan lebih senangnya lagi dengan busway hanya 1 kali naik saja.Naima melamar di beberapa tempat, entah yang menjadi rezekinya yang mana. Namun, usaha harus maksimal, ia akan tetap mencoba peruntungannya di kota metropolitas itu.
Hari sudah mulai sore, setelah menyelesaikan makanannya Naima segera mencari shuttle terdekat. Tak lama bus dengan tujuan kostnya datang. Naima segera masuk, menempelkan kartu yang sudah dia beli tadi di shuttle pertama tadi pagi. Gadis cantik itu hanya perlu top up esok jika saldo sudah habis, melewati Café Kita Naima memperhatikan bangunan megah tersebut. Ada harap yang ia rapalkan. Ternyata tidak jauh juga ada pemberhentian busway, dalam hati naima berdoa semoga secepatnya di beri kepastian.
Sesosok pria tinggi memakai topi masuk dan menempelkan kartunya, namun sepertinya tidak berfungsi. Petugas membantu mengecek, ternyata saldo kartunya tidak mencukup. Ganteng sih masa ga punya uang, Naima memperhatikan. Petugas memberi solusi untuk mengisi manual, sang pria sibuk mencari ke semua saku celananya. Apakah orang ini kecopetan? Untungnya bus dalam keadaan lengang. Naima menepuk pundak pria didepanya yang masih kebingungan.
“Silahkan pakai punya saya.” Naima menyerahkan kepada petugas dan di terima dengan senang hati.
“Terima kasih, saya baru sekali naik busway. Dompet saya tertinggal di tempat kerja.” Pria asing yang terlihat frustasi itu mengucapkan dengan sungkan, tak pernah dalam hidupnya dipermalukan seperti itu.
Naima meperhatikan dengan seksama, seperti pernah melihat wajah yang terlihat pucat itu. Akan tetapi ia ragu, benar pernah melihat atau hanya dejavu.
“Tidak apa-apa, santai saja.” Naima menyimpan kartunya lagi. Sang pria duduk tepat di seberangnya. Menatap dengan pandangan terima kasih, gadis dengan rambut panjang itu hanya tersenyum canggung. Merasa kasihan kalau pria asing itu tidak mempunyai uang.
“Apakah membutuhkan sesuatu lagi?” Naima mencoba bertanya.
“No thanks,” jawabnya singkat, Naima hanya mengangguk.
Naima turun di 2 shuttle berikutnya. Dia merasa ada yang menatap saat berdiri, ia mencoba mengabaikan. Gadis itu segera turun tanpa menyapa pria asing tadi. Jalan menuju indekost ternyata ramai jika sore hari, banyak pedagang menjajakan dagangannya. Naima segera membersihkan diri dan mengistirahatkan badan. Kaki yang pegal berkeliling hampir sepanjang jalan tak ia hiraukan, berniat mengistirahatkan setelah ini.
Tiga hari berlalu, tapi belum ada satupun panggilan. Ia memutuskan hari ini untuk mencari lowongan ke lokasi lain.
Berjalan menelusuri trotoar lebar dengan pemandangan gedung tinggi yang menjulang, angin pengap dan panas karena polusi mengerbangkan rambut Naima yang ia biarkan teruai. Seperti burung yang lepas dan bebas Naima berpetualang. Menjelajahi setiap sudut kota berharap lebih mengenal kota ini, walau sendiri tanpa ada yang Naima kenal disini.
Naima duduk sambil menikmati minuman yang dia beli, bersantai di bangku di sebuah taman kota. Menikmati angin yang berembus sepoi-sepoi. Tiba-tiba ponselnya bergetar, ia keluarkan benda pipih itu dari dalam tas mungilnya.
"Assalamu'alaikum, selamat siang." Naima menyapa melihat nomor yang tidak dia kenal, namun kode area jakarta tertera di depannya.
"W*'alaikumsalam. Apakah benar ini dengan Kakak Naima Ayundia?" Naima berdehem menetralkan kegugupannya.
"Iya benar kak."
"Baik, Kakak bisa besok bersedia datang ke Cafe Kita pada pukul 8 pagi?"
"Bisa kak bisa" Naima menjawab dengan bersemangat.
"Baik, besok silahkan datang dengan kemeja putih dan celana bahan hitam ya kak sepatu heels maksimal lima cm dengan rambut di cepol rapi. Apakah ada yang ditanyakan?"
"Sepertinya sudah cukup jelas, Kak."
"Baik, kalau begitu terima kasih atas waktunya. Kami tunggu kedatangannya. Selamat siang."
Rasanya Naima ingin sujud syukur sekarang juga, namun Naima tersadar dia berada di taman kota. Dia berfikir apa yang tidak dia punya untuk besok? Sepatu dengan heels? Mengingat ia tak memiliki semuanya, maka ia berencana berbelanja.Naima berinisiatif memasuki Mall yang tidak jauh dari taman yang dia datangi, mencari referensi untuk kehadiran besok. Wanita itu mengamati pelayan di bagian footcourt. Model sepatu yang mereka kenakan dan bentuk cepol atau tatanan rambut mereka.
Naima terkikik geli. Hidup di desa dan jarang masuk Mall tidak membuatnya seperti gadis udik. Rasa penasaran yang tinggi dan jiwa pekerja kerasnya melarang untuk abai terhadap perkembangan jaman. Walaupun bukan tipe terbaru, ponsel yang ia miliki cukup untuk menyimpan beberapa aplikasi yang dia anggap penting. Sosial media juga perlu untuk saat ini, berita dan informasi lebih up to date melalui lama itu.
Naima memang bukan dari keluarga berada, namun Almarhum kedua orang tuanya adalah orang yang modern. Menginginkan anak mereka menjadi pribadi yang mandiri dan mau bekerja keras dan tidak menutup mata pada perkembangan teknologi. Naima memang gadis kampung namun dia tidak lemah.
Mengunjungi stand sepatu, Naima memilih yang sesuai dengan seleranya dan juga harga yang masih ramah di kantongnya. Dia harus berhemat, tabungan peninggalan orang tuanya tidak banyak. Tidak bijak menghambur hamburkan untuk kondisinya saat ini.
Apa ia siap untuk hidup yang lebih baik?
Mentari pagi mengintip dari tirai tipis berwarna merah muda, sang gadis dengan rambut terurai di bantal tipis mulai membuka dua kelopak mata dengan netra coklat gelap. Suara keramaian pagi menyadarkan dari tidurnya. melirik ke arah jam di dinding kamarnya Naima segera beranjak, mempersiapkan diri untuk kegiatan pagi ini. Seporsi nasi uduk dengan semur tahu dan bala bala sebagai menu sarapan paginya, sarapan yang murah meriah di temani segelas teh hangat. Naima bersyukur untuk nikmat yang tuhan beri, tidak perlu mewah namun mengenyangkan. Setelah selesai, Naima bergegas menjemput peruntungannya. Semoga kebrtuntungan memang memihak kepada dirinya. Suasana pagi yang padat, begitupun jalan menuju Cafe Kita, padat merayap. Sempat terbersit rasa takut jika terlambat. Naima salah memperhitungkan waktu, hari kerja berbeda dengan hari libur. Naima melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya setengah delapan sudah terlewati. Naima berdoa dalam hati pekerjaan ini masih menj
Netra yang saling mengunci dalam berpandangan, jemari tangan yang terpaut, gemuruh yang bertalu diantara Naima dan Albe tak dapat dijabarkan dengan kata. Entah apa, seperti dua insan yang menanti begitu lama untuk sebuah pertemuan. Mereka tidak saling mengenal, tidak saling tahu. Hanya takdir yang membawa mereka pada garis waktu. "Ehhemmm, " Keduanya saling canggung, melepaskan tangan dengan enggan. "Saya tak menyangka, bisa kebetulan seperti ini," ucap Albe, masih sangat shock dengan kebetulan yang dia alami. Menggigit bibir sambil berpikir, harus bagaimana membalas pertolongan gadis rupawan di hadapannya. "Saya juga, saya pikir sesuatu yang buruk akan terjadi. Maaf saya meninggalkan anda dalam keadaan belum sadar," kata Naima tak tahu harus bersikap bagaimana. Biasanya dia akan santai, namun lelaki asing di hadapannya membuat ia salah tingkah. Malu karena menolong dengan setengah-setengah. "Oh tidak apa-apa, saya baik-baik saja. Tidak perlu ada yang harus disesalkan. Saya memang
Hidup tidak akan selalu mulus, dan berjalan sesuai dengan apa yang kita mau. Seperti halnya roda yang berputar, jika kita mengayuh dengan kekuatan penuh akan cepat naik, tapi akan cepat turun pula. Kayuhlah sesuai kemampuanmu tidak usah ngoyo atau berlebihan. Seperti pekerjaan, jika kamu melakukan dengan sungguh-sungguh niat yang baik dan ikhlas inshaallah akan berkah. Naima berjalan menyusuri trotoar menuju tempat kerjanya, hari ini pertama kali Naima merasa sangat ceroboh. Dari bangun yang sedikit lambat dari biasa, hingga tidak sempat sarapan. Juga Naima turun di satu shuttle lebih jauh dari yang seharusnya dia turun. Naima berjalan dengan langkah lebar dan terburu-buru. Rambutnya yang belum sempat dia cepol melambai-lambai seiring dengan langkah kaki yang memburu. Sabtu pagi jalanan tidak terlalu padat, IA sedikit berlari saat sudah mendekati tempatnya bekerja. Bulir-bulir keringat sebesar jagung menghiasai dahi. Naima berlari menyebrang, tapi nahas, dari arah yang s
Membosankan, satu kata yang Naima rasakan karena seharian ini hanya merebahkan diri di kasur mungilnya. Naima melongokkan kepalanya ke tralis jendela, melihat aktivitas jalan yang sedikit ramai dengan anak kecil yang bermain dan ibu ibu yang berkumpul, bersenda gurau, sambil menikmati jajanan. Ponsel Naima bergetar, tanda video tertera disana. Naima merapikan rambut, membersihkan matanya memastikan tidak ada kotoran di kedua sudut mata hitamnya. "Hai," Naima menyapa, wajah Albe yang sepertinya sedang di dalam mobil terlihat kaca di sampingnya. Rambut lelaki itu sudah tidak sepanjang saat Albe kecelakaan, semakin terlihat tampan, eh. "Hai Nai, kamu tadi tidak kerja? Bukankah hari ini kamu masuk pagi?" sapa Albe, ia memberondong gadis itu dengan pertanyaan. "Tidak Al, aku di kostanku. Hari ini aku ijin, ada apa?" tanya Naima membenarkan posisi duduknya dengan sedikit meringis. Hal itu tidak luput dari perhatian Albe, Albe sedang berada di depan Cafe Kita sengaja tid
Perlakuan Albe terhadap Naima sore tadi membuat malam Naima menjadi tidak tenang, tidak dapat memejamkan mata dan selalu terbayang wajah pria bule yang tampan itu. Aduh, norak banget 'kan. Naima ingin menepis rasa suka pada Albe, tapi hatinya tidak dapat berbohong. Naima meraih ponselnya, mencari ikon aplikasi perpesanan melihat profil Albe yang sedang memegang barble dan memamerkan otot lengannya yang liat, darah Naima berdesir, kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya, menimbulkan rasa asing yang nyaman. Naima melemparkan ponselnya ke ujung kasur. Mencoba menetralkan degup jatung yang menggila. 'Dasar perawan gak laku!' sungut Naima dalam hati. Hanya memandang fotonya saja membuat ia salah tingkah, sungguh murahan sekali bukan. Bunyi pesan masuk membuat Naima meraih kembali ponsel yang sempat ia lempar dan membuka kuncinya, nama orang yang sedang dia pikirkan terpampang di depan layar. Niat hati ingin meredakan jantung yang berdisko ria, kini degupannya bertambah cepat d
Naima memandangi dua orang pria yang sedang mencari kata-kata yang tepat. Albe maju mendekati Jaka, dengan refleks Jaka memundurkan kakinya. Albe bisa sangat kejam, Jaka tidak mau menjadi sasarannya kali ini. "Hai bro, lama gak jumpa kemana saja?"Albe memeluk jaka sekilas, ketegangan di muka Jaka memudar. "Biasalah bro, lo tau cafe gue yang baru belum lama beroperasi jadi masih sibuk. Maklum patner gue lagi sibuk sama mainan barunya." Jaka melepaskan kaca mata gayanya dan menyimpan di saku kemeja. "Eh maaf, berarti gak usah Naima kenalkan lagi kan ya?" Naima menginterupsi, segera mengambil ke dapur dan membuatkan minuman untuk Jaka. "Jangan bilang kalau aku salah satu pemilik Cafe kita bro, aku ingin tahu Naima seperti apa." Albe berbisik di telingan jaka. "Lo mencurigai Naima?" Jaka membulatkan matanya tidak percaya. "Ck, kamu tahu sendiri kan. Wanita yang aku kenal mereka hanya menginginkan uangku saja, apalagi setelah tahu aku mempunyai usaha. Aku belum terlalu mengenal Naima,
Bukan hanya Naima, Albe pun terkejut dengan perlakuan DokterNindy. Dengan spontan Albe mendorong teman lamanya itu menjauh. Dokter Nindy terperanga dengan gerakan seduktif mantan teman kencannya itu, melihat ke belakang Albe. Ternyata Albe tidak sendir,i membuatnya sedikit gugup. Dia pikir pria itu sengaja ingin mengunjunginya setelah malam-malam panas mereka beberapa waktu lalu. "Silakan masuk!" ucap Dokter Nindy mempersilakan Naima yang masih mematung di depan pintu, sementara Albe mengusap tengkuknya merasa tidak nyaman. "Terimakasih, Dok," sahut Naima, lalu duduk di kursi yang disediakan. Albe menyusul duduk di samping Naima. "Apa kabar, Al? Dan?" sapa Dr. Nindy menggantungkan kalimatnya, ingin tahu gadis yang Albe ajak menemuinya. "Naima Dok." Naima menjawab dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya, Dr. Nindy menilai penampilan Naima yang sederhana dan tanpa make up. Bukan selera Albe, Dr. Nindy sedikit merasa lega. "Baik Nin. Aku kesini membawa Naima. Dia baru saja mengala
Naima menggambar tanda perboden dan menuliskan dengan huruf besar dan merah di buku hariannya. ALBERICO. Naima berharap dia bisa konsisten dengan niatan hati untuk mengurangi intensitas pertemuan atau komunikasi dengan pria asing tersebut. Karena itu tidak sehat untuk hati, tubuh bahkan jiwanya. Naima tidak memungkiri, Albe memberikan warna tersediri pada hari-harinya. Menimbulkan rasa yang belum pernah dia inginkan hadir untuk menghiasi hidup di usia muda. Naima selalu berfokus pada pendidikan juga orangtua sewaktu mereka masih hidup, percintaan dan hal sentimentil dengan lawan jenis bukan sebagai prioritas. Namun, entah mengapa sejak bertemu Albe, jiwa wanitanya seakan mendamba. Berawal dari kecupan singkat yang Albe berikan, Naima sering membayangkan hal erotis yang tiba-tiba muncul dalam benak perawan itu. Duh, jadi ternoda bukan? Naima menggeleng pelan, membayangkan fisik pria asing itu saja membuat darah berdesir tak nyaman. 'Sungguh murahn' batinnya. Tapi pesona Albe me
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang