Naima berdiri di terminal menunggu bus yang akan membawanya ke Jakarta, gadis itu sudah membulatkan tekadnya. Dia tidak akan kembali ke kampung Almarhum orang tuanya jika belum sukses. Sebelum berangkat, Naima menyempatkan diri berziarah, meminta restu dan izin kepada kedua orang tuanya. Walau hanya lewat doa, namun Naima yakin orang tuanya akan merestui keputusan Naima.
Keluarga Naima di kampung memang baik, namun beban mereka sudah sangat berat. Apalagi pamannya hanya sebagai buruh tani. Rumah peninggalan orang tuanya masih berdiri kokoh. Akan Naima jadikan sebagai kenangan yang orang tuanya tinggalkan.
Bus yang membawa gadis ayu berambut panjang dengan kulit bersih perlahan meninggalkan kota kelahirannya. Naima sudah mempunyai tujuan, di zaman canggih seperti ini Naima bisa menemukan kost murah dengan cepat. Dengan sisa uang peninggalan orang tuanya, Naima akan bertahan hidup hingga dia menemukan pekerjaan.
Jam menunjukkan jam 3 subuh saat bus yang ditumpanginya sampai di terminal tujuan. Naima memesan ojek online menuju kostan yang sudah dia booking melalui aplikasi, jaman serba mudah seperti ini membuat Naima tidak kesulitan. Naima duduk di trotoar sambil menunggu ojek yang dia pesan datang. Apakah takut sendirian? Naima terbiasa berdikari, mengikuti banyak kegiatan di sekolah. Takut bukan menjadi bagian dari diri Naima. Naima memang awam dengan daerah Jakarta, dia hanya pernah menjelajahi Taman Mini dan juga Ancol saat study tour beberapa waktu lalu. Namun dengan adanya maps dan aplikasi peta lainnya Naima tidak takut akan tersesat.
Naima celingukan menanti sang ojek yang tidak kunjung datang. Sementara suasana hampir subuh Jakarta memang sepi, tapi masih ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang, tanpa di sangka sebuah mobil melaju kencang dan menabrak trotoar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Rasa terkejut sempat mengguncang kesadaran Naima, tapi dengan cepat ia tersadar. Asap mengepul dari bagian depan mobil, Naima berlari kearah mobil dan menemukan pengemudi pingsan dengan luka di bagian kepala dan ABS yang mulai mengempes. Naima mengambil Hpnya dan segera menghubungi ambulan, pentingnya menyimpan nomor nomor emergancy di hp sangat membantu di saat tidak terduga.
Tak menunggu lama orang orang yang melintas berhenti dan membantu mengevakuasi. Sang ojek yang ia tunggu juga datang, Naima jengah orang yang seharusnya ditolong malah di videokan. Naima memberikan ongkos kepada ojek yang sudah ia pesan. Memeriksa nadi sang korban masih berdenyut, jujur Naima khawatir. Namun orang-orang hanya melihat tidak melakukan aksinya.
Tak lama ambulans datang, petugas yang datang dengan sigap mengeluarkan korban dan memberi pertolongan pertama.
“Mbak pacarnya? Silahkan masuk mbak.” Petugas yang mungkin perawat mempersilahkan Naima ikut kerumah sakit. Naima gamang, tapi rasa iba membuatnya mengalahkan ego. Seorang yang membantu menyerahkan handphone kunci mobil dan dompet korban, sementara dari kejauhan terdengan bunyi sirene mobil patroli. Naima segera masuk ke dalam ambulan dan ikut menuju rumah sakit.
Tak lupa Naima membatalkan pesanan ojek onlinenya. Beruntung Naima hanya membawa tas carier besar.
“Aduh apesnya,” keluh Naima tanpa sadar, sambil mengusap wajahnya. Mengamati lelaki dengan rambut sedikit gondrong, yang masih pingsan dengan beberapa luka di kepalanya.
“Kejadiannya bagaimana mbak?” sang perawat memecah keangkeran suasana di dalam ambulan.
“Saya juga ga tau mas, soalnya tiba-tiba mobil masnya itu nabrak trotoar di dekat saya berdiri. Untung saya masih selamat.” ucap Naima mengelus dadanya.
“Lho mbaknya bukan pacar mas ini?” tanya perawat di sampingnnya, Naima menggeleng pelan.
“Saya yang membantu memanggil ambulan mas,” ucap Naima sambil nyengir.
“Wah, maaf mbak saya kira mbak pacarnya.” Mas itu terlihat sungkan.
“Gak apa apa Pak, saya ikhlas nolongin.” Naima tersenyum tulus.
Saat di rumah sakit Naima menyodorkan KTP yang terdapat di dompet korban kecelakaan tadi, Alberico Steinson. KTPnya juga KITAS, 'Jangan-jangan orang tadi mabuk ' Naima bermonolog dalam hati.
“Mbaknya siapa Pak Alberico?” petugas administrasi bertanya kepada Naima.
“Saya yang menolong mbak, yang hampir di tabrak oleh pak Alberico.” Mbak admin hanya mengangguk-angguk.
Setelah dilakukan pemeriksaan dan tidak ada tanda-tanda cidera serius, Alberico dibawa ke ruang perawatan. Naima meletakkan dompet dan barang berharga di laci samping tempat tidur. Naima menaruh tas cariernya di lantai, mendudukan dirinya pada kursi di samping brangkar. Mengamati pria asing dengan rahang yang di penuhi rambut yang baru akan tumbuh, bibir pria itu merah segar. 'Tampan' Naima tersenyum. Eh, pikirannya melantur.
“Sus, kira-kira kapan sadarnya ya?” tanya Naima pada perawat yang mengunjungi kamar inap itu.
“Kami tidak tau mbak, karena trauma otak ringan pasien belum sadarkan diri, semoga saja secepatnya ya mbak.” jawab perawat, setelah memastikan pasiennya baik-baik saja dia keluar.
Naima melihat jam di pergelangan tangannya. Waduh sudah siang, perutnya keroncongan. Naima keluar menuju kantin terdekat membelikan air mineral dan roti. Naima tidak tahu itu akan berguna atau tidak. Naima ingin segera sampai kost. Badannya sudah lengket dan sangat lelah. Dia berencana kembali nanti siang, toh sang pasien masih belum sadarkan diri.
“Sus, saya pulang dulu ya? Semoga masnya cepat sadar. Barang-barangnya ada di dalam nakas,” ucap Naima berpamitan, walau sebenarnya tidak penting juga sih, tapi kesopanan tetap Naima junjung.
“Mbak ga mau nungguin?” Sang perawat tau Naima yang mengantar sang pasien mencoba beramah tamah.
“Ga mbak, mau nelpon keluarganya juga handphonenya di kunci.” jelas Naima, menyampirkan tas carier yang lumayan berat ke bahunya.
“Oh ya sudah mbak.” Perawat itu tersenyum ramah mempersilakan.
“Nanti saya kesini kalau sudah hilang capeknya Sus. Permisi,” Naima segera meninggalkan rumah sakit. Segera memanggil taksi yang banyak parkir di depan rumah sakit.
Menuju ke kost yang dia sewa tidak terlalu sulit karena ada di maps. Naima segera menuju penjaga kost, menunjukan ktp dan bukti sewa yang sudah di transfer. Setelah mendapat kunci Naima segera menuju ke lantai dua di ujung sebelah tangga. Kamar kost no. 7, Kamarnya luas dengan kamar mandi dalam dan tempat tidur single. Lemari kecil dan juga meja di pojokan, dapur umum ada di ujung lantai dekat dengan mesin cuci dan tempat menjemur baju.
Naima membersihkan diri dan memakan nasi uduk yang di jual ibu-ibu di depan kost. Setelah sarapan, Naima merbahkan tubuh lelahnya di ranjang senle bed. Tak lama Naima terbang ke alam mimpi.
***
Alberico perlahan membuka matanya, merasakan sakit pada kepala yang sangat hebat. Meneliti setiap sudut kamar yang dia tempati. Rumah sakit? Albe melihat tangannya yang sudah terpasang jarum infus.
“Shit!” umpat Albe dan dengan tidak sabar memencet tombol darurat, perawat segera memasuki kamar inap Albe.
“Selamat siang Pak Albe, bagaimana keadaan anda?” tanya perawat memeriksa nadi dan tanda vital Albe.
“Saya kenapa sus?” Albe masih tidak tahu apa yang terjadi.
“Bapak kecelakaan tadi subuh, beruntung tidak ada luka serius. Bapak hanya mengalami trauma ringan dan sedikit luka.” Albe teringat detik-detik kecelakaan, dia merasa sedikit mengantuk setelah pulang dari Bandung dan tersadar di rumah sakit ini.
“Siapa yang membawa saya kesini sus? Polisi?” tanya Albe penasaran, bisa panjang urusannya kalau berhubungan dengan polisi. Perawat hanya tersenyum ramah.
“Bukan pak, mbaknya yang membawa bapak kesini. Saya kira pacar bapak, tapi semua barang pribadi bapak diletakkan di dalam nakas sama mbaknya tadi.” jawab perawat itu, dan memberi informasi.
“Mbaknya namanya siapa?” tanya Albe membuat perawat tertegun, karena lupa menanyakan nama wanita yang menolong pasiennya.
“Maaf pak, saya tidak menanyakan. Mungkin nanti bapak bisa menanyakan di bagian administrasi pendaftaran.” Perawat berpamitan untuk meninggalkan ruangan.
Setelah perawat pergi, Albe mengambil handphone yang ternyata ada di nakas, beserta kunci mobil dan dompet. Albe memeriksa dompet, dan tidak ada yang hilang. Menghidupkan ponselnya, Albe menghubungi sahabatnya.
“Bro, saya kecelakaan, bisa jemput di rumah sakit Medika Mulia? Oh ya, sekalian cari tahu mobil saya bagimana.” kata Albe tanpa basa-basi, setelah tersambung dengan sang sahabat.
Setelah mengakhiri panggilan telponnya Albe mencoba duduk dan mengambil air minum juga roti yang berada di nakas, ada juga piring berisi nasi, sayuran dan lauk. Namun itu tak menggugah seleranya. Dia sangat haus dan lapar, jika memesan makanan pada temannya, akan memakan waktu. Albe mengganjal perutnya dengan roti yang Naima belikan.
Albe mencari keberadaan mobilnya melalui aplikasi, berita kecelakaan ada di media sosial, beruntung polisi datang setelah ambulan membawanya. Siapa wanita yang menolongnya? Albe sangat penasaran. Sigap sekali memanggil pertolongan hingga kalah dengan polisi lalu lintas.
Tak lama pintu ruangannya terbuka, sosok teman seperjuangannya di negara ini datang membawa paperbag dan juga buah-buahan.
“ Bro, gimana keadaan lo? Waduh kok bisa sih, sampai nabrak trotoar. Lo ngantuk?” Jaka teman sekaligus sahabatnya, langsung memberondong Albe begitu memasuki kamar.
“Sepertinya, saya tidak yakin karena saya tersadar setelah saya berada di kamar ini.” Albe hanya mengendikkan bahu, masih tidak percaya dengan yang terjadi padanya.
“Syukur lo ga kenapa kenapa. Sebentar aku tanya ke suster.” Jaka keluar tak lama Kembali lagi.
“Bagaimana? Apa saya boleh pulang?" tanya Albe pada Jaka, Albe berharap bisa pulang secepatnya karena dia merasa baik-baik saja, hanya sedikit pusing dan badan yang pegal disana-sini.
“Sebentar lagi dokter datang, sabar ya ... Lo sih, kalo ngantuk ga usah dipaksa, kenapa ga nginep di Bandung aja?” omel Jaka, tahu kebiasaan sahabatnya yang tidak pernah mau menginap.
“Saya ada urusan disini, Café Kita sudah mau launching kan? Saya ingin semua rampung dan beres sebelum saya pulang ke Amerika,” jelas Albe mengurut pelipisnya yang sakit.
“Lo lama ga, pulangnya? Mana sanggup gue ngurus café Kita sendirian.“
“Tidak, hanya 4 bulan maybe. Orang tuaku ingin aku mengunjungi mereka.”
“Ok kalau gitu, jangan lama lama nanti gue ambil alih semua aset lo," Jaka tertawa menggoda. Mereka sudah berteman sejak awal masuk kuliah di salah satu perguruan tinggi di Amerika.
Tak lama pria setengah botak dengan jas putih memasuki ruangan. Menyapa sang pasien dan memeriksa keadaan Albe. Dokter memperbolehkan Albe pulang karena memang tidak ada yang perlu di khawatirkan, beruntung ABS mengembang dan Albe tidak melupakan sabuk pengamannya. Walaupun benturannya cukup keras dan menghancurkan sebagian depan bumper mobilnya.
Sebelum pulang Albe menuju administrasi pendaftaran di IGD, menanyakan siapa penjamin yang mendaftarkannya. Perawat memeriksa dan menemukan nama Naima, hanya Naima yang tertera disana. Tidak ada alamat ataupun kontak lainnya. Wajahnya pun tidak tau, seorang ibu, atau Wanita malam atau hanya orang yang kebetulan lewat.
“Ada apa bro?” tanya Jaka melihat sahabatnya terlihat gundah.
“Yang menolong saya, membawa saya ke rumah sakit itu perempuan, tapi saya tidak tahu siapa? Karena saat saya bangun sudah tidak ada.” ucap Albe dengan nada putus asa.
Jaka menepuk pundak Albe, menuntun hingga ke parkiran.
“Nanti juga ketemu, tenang aja. Orang jaman sekarang, biasanya menolong pasti ingin di kasih imbalan ... ” Jaka menenangkan Albe, benar juga. Apalagi di Jakarta, pasti banyak yang pamrih. Namun prinsip Albe siapa pun yang menolong dengan tujuan apapun dia berhak menerima ucapan terima kasih dari Albe.
"Ayo pulang, nanti gue bantu carikan. Video lo viral di media sosial, mungkin wanita itu ada di dalam video itu." ucap Jaka penuh keyakinan.
Kebaikan sekecil apapun jangan pernah di lupakan, karena itu tetap akan tercatat dan teringat sebagai hutang budi.
Naima terbangun saat matahari sudah condong kearah barat, rasa lapar mendera perutnya. Naima segera bangun, membersihkan diri dan merapikan barang bawaan dari tascarier ke lemari kecil di pojok ruangan. Naima teringat dengan korban kecelakaan yang ia tinggalkan sendiri. Naima bergegas merapikan diri, mengambil sling bag kecil mengisinya dengan dompet dan ponsel. Naima segera memesan ojek online. Begitu sampai di lobby rumah sakit, Naima segera berlari menuju kamar inap yang pagi tadi dia tinggalkan. Namun perawat yang berjaga sudah berganti, Naima gamang ingin langsung masuk atau menanyakan terlebih dahulu. “Mbak permisi, bapak yang di dalam sudah sadar?” Naima mencoba bertanya pada perawat jaga. “Maaf mbak bapak yanga mana ya? Siapa nama pasiennya?” Perawat sedikit kebingungan dengan pertanyaan Naima. “Alberico kalau tidak salah” “Oh bapak Alberico, sudah meninggalkan kamar sejak 1
Albe dan Viran segera menjalankan misi mencari penolongnya. Mobil Viran menjadi trasportasi kali ini karena mobil Albe masih dalam perbaikan. “Lo naik busway aja bro, enak dari apartemen lo sekali doang.” Viran memberi saran Albe, Albe walau orang kaya namun paling benci jika harus menggunakan taxi, alasannya malas berduaaan dengan cowok. Nah ini dengan Viran bukannya cowok. “Aku pertimbangkan, aku malas mendengarkan curhatan pengemudi jika menggunakan taxi.” Viran tertawa terbahak. “Gak usah lo dengerin, pura-pura aja ngorok, pasti diem.” “Aku tidak pandai berpura-pura, tidak seperti kamu.” Albe mencibir kelakuan Viran. Namun, sang empunya hanya mendengus. “Nanti pakai kartu gue, gue ada banyak.” Albe hanya mengacungkan jempol. Tiba di jalan yang di sebutkan bapak ojek, Viran melajukan mobilnya pelan, mencari rumah dengan nomor 80. Hingga sampai ujung jalan dan sudah berganti nama jalan, mereka tidak menemukan angka 80 pada masing masing rumah. Viran memutar balikkan mobil, Kem
Mentari pagi mengintip dari tirai tipis berwarna merah muda, sang gadis dengan rambut terurai di bantal tipis mulai membuka dua kelopak mata dengan netra coklat gelap. Suara keramaian pagi menyadarkan dari tidurnya. melirik ke arah jam di dinding kamarnya Naima segera beranjak, mempersiapkan diri untuk kegiatan pagi ini. Seporsi nasi uduk dengan semur tahu dan bala bala sebagai menu sarapan paginya, sarapan yang murah meriah di temani segelas teh hangat. Naima bersyukur untuk nikmat yang tuhan beri, tidak perlu mewah namun mengenyangkan. Setelah selesai, Naima bergegas menjemput peruntungannya. Semoga kebrtuntungan memang memihak kepada dirinya. Suasana pagi yang padat, begitupun jalan menuju Cafe Kita, padat merayap. Sempat terbersit rasa takut jika terlambat. Naima salah memperhitungkan waktu, hari kerja berbeda dengan hari libur. Naima melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya setengah delapan sudah terlewati. Naima berdoa dalam hati pekerjaan ini masih menj
Netra yang saling mengunci dalam berpandangan, jemari tangan yang terpaut, gemuruh yang bertalu diantara Naima dan Albe tak dapat dijabarkan dengan kata. Entah apa, seperti dua insan yang menanti begitu lama untuk sebuah pertemuan. Mereka tidak saling mengenal, tidak saling tahu. Hanya takdir yang membawa mereka pada garis waktu. "Ehhemmm, " Keduanya saling canggung, melepaskan tangan dengan enggan. "Saya tak menyangka, bisa kebetulan seperti ini," ucap Albe, masih sangat shock dengan kebetulan yang dia alami. Menggigit bibir sambil berpikir, harus bagaimana membalas pertolongan gadis rupawan di hadapannya. "Saya juga, saya pikir sesuatu yang buruk akan terjadi. Maaf saya meninggalkan anda dalam keadaan belum sadar," kata Naima tak tahu harus bersikap bagaimana. Biasanya dia akan santai, namun lelaki asing di hadapannya membuat ia salah tingkah. Malu karena menolong dengan setengah-setengah. "Oh tidak apa-apa, saya baik-baik saja. Tidak perlu ada yang harus disesalkan. Saya memang
Hidup tidak akan selalu mulus, dan berjalan sesuai dengan apa yang kita mau. Seperti halnya roda yang berputar, jika kita mengayuh dengan kekuatan penuh akan cepat naik, tapi akan cepat turun pula. Kayuhlah sesuai kemampuanmu tidak usah ngoyo atau berlebihan. Seperti pekerjaan, jika kamu melakukan dengan sungguh-sungguh niat yang baik dan ikhlas inshaallah akan berkah. Naima berjalan menyusuri trotoar menuju tempat kerjanya, hari ini pertama kali Naima merasa sangat ceroboh. Dari bangun yang sedikit lambat dari biasa, hingga tidak sempat sarapan. Juga Naima turun di satu shuttle lebih jauh dari yang seharusnya dia turun. Naima berjalan dengan langkah lebar dan terburu-buru. Rambutnya yang belum sempat dia cepol melambai-lambai seiring dengan langkah kaki yang memburu. Sabtu pagi jalanan tidak terlalu padat, IA sedikit berlari saat sudah mendekati tempatnya bekerja. Bulir-bulir keringat sebesar jagung menghiasai dahi. Naima berlari menyebrang, tapi nahas, dari arah yang s
Membosankan, satu kata yang Naima rasakan karena seharian ini hanya merebahkan diri di kasur mungilnya. Naima melongokkan kepalanya ke tralis jendela, melihat aktivitas jalan yang sedikit ramai dengan anak kecil yang bermain dan ibu ibu yang berkumpul, bersenda gurau, sambil menikmati jajanan. Ponsel Naima bergetar, tanda video tertera disana. Naima merapikan rambut, membersihkan matanya memastikan tidak ada kotoran di kedua sudut mata hitamnya. "Hai," Naima menyapa, wajah Albe yang sepertinya sedang di dalam mobil terlihat kaca di sampingnya. Rambut lelaki itu sudah tidak sepanjang saat Albe kecelakaan, semakin terlihat tampan, eh. "Hai Nai, kamu tadi tidak kerja? Bukankah hari ini kamu masuk pagi?" sapa Albe, ia memberondong gadis itu dengan pertanyaan. "Tidak Al, aku di kostanku. Hari ini aku ijin, ada apa?" tanya Naima membenarkan posisi duduknya dengan sedikit meringis. Hal itu tidak luput dari perhatian Albe, Albe sedang berada di depan Cafe Kita sengaja tid
Perlakuan Albe terhadap Naima sore tadi membuat malam Naima menjadi tidak tenang, tidak dapat memejamkan mata dan selalu terbayang wajah pria bule yang tampan itu. Aduh, norak banget 'kan. Naima ingin menepis rasa suka pada Albe, tapi hatinya tidak dapat berbohong. Naima meraih ponselnya, mencari ikon aplikasi perpesanan melihat profil Albe yang sedang memegang barble dan memamerkan otot lengannya yang liat, darah Naima berdesir, kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya, menimbulkan rasa asing yang nyaman. Naima melemparkan ponselnya ke ujung kasur. Mencoba menetralkan degup jatung yang menggila. 'Dasar perawan gak laku!' sungut Naima dalam hati. Hanya memandang fotonya saja membuat ia salah tingkah, sungguh murahan sekali bukan. Bunyi pesan masuk membuat Naima meraih kembali ponsel yang sempat ia lempar dan membuka kuncinya, nama orang yang sedang dia pikirkan terpampang di depan layar. Niat hati ingin meredakan jantung yang berdisko ria, kini degupannya bertambah cepat d
Naima memandangi dua orang pria yang sedang mencari kata-kata yang tepat. Albe maju mendekati Jaka, dengan refleks Jaka memundurkan kakinya. Albe bisa sangat kejam, Jaka tidak mau menjadi sasarannya kali ini. "Hai bro, lama gak jumpa kemana saja?"Albe memeluk jaka sekilas, ketegangan di muka Jaka memudar. "Biasalah bro, lo tau cafe gue yang baru belum lama beroperasi jadi masih sibuk. Maklum patner gue lagi sibuk sama mainan barunya." Jaka melepaskan kaca mata gayanya dan menyimpan di saku kemeja. "Eh maaf, berarti gak usah Naima kenalkan lagi kan ya?" Naima menginterupsi, segera mengambil ke dapur dan membuatkan minuman untuk Jaka. "Jangan bilang kalau aku salah satu pemilik Cafe kita bro, aku ingin tahu Naima seperti apa." Albe berbisik di telingan jaka. "Lo mencurigai Naima?" Jaka membulatkan matanya tidak percaya. "Ck, kamu tahu sendiri kan. Wanita yang aku kenal mereka hanya menginginkan uangku saja, apalagi setelah tahu aku mempunyai usaha. Aku belum terlalu mengenal Naima,
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang