Malam semakin larut, pesta syukuran usai. Menyisakan kebahagiaan di hati Keysha dan Yudistira, tapi menyisakan luka yang kembali meradang di hati Rani. Pertemuannya dengan Rama dan Haris mulai membuka tabir masa lalu yang kelam, rasa dendam bergejolak di dalam dada, ingatannya tentang tragedi di Hospital Healty, satu-persatu dikumpulkan menjadi satu dan berlahan mengingat dengan jelas peristiwa memilukan itu.Rani duduk di atas ranjang, matanya menatap datar ke arah cermin yang menyatu dengan lemari yang tepat di hadapannya, terlihat wajahnya di penuhi bulir bening mengalir berlahan di kedua sudut matanya, ingatannya kembali pada beberapa puluh tahun yang lalu.Saat itu Rani masih belia, di usianya yang menginjak 20 tahun, dengan wajak cantik, mata teduh, rambut hitam bergelombang sebahu, kulitnya yang putih, menarik beberapa pria yang ada di sekitarnya, termasuk Ramto, pria yang sama-sama berprofesi sebagai cleaning service, beberapa kali mendekatinya, tapi Rani tidak menghiraukann
Keysha dan Dania nampak sibuk di dapur, Keysha terlihat memotong sayur dan Dania meracik bumbu, keduanya nampak kompak.“Maaf ya Dania, aku hanya bisa bantu memotong sayur,” ujar Keysha, sembari memotong wortel.“Nggak apa-apa Sha, memotong sayur juga bagian dari memasak,” balas Dania, sembari mengulas senyum, menatap Keysha.“Oh iya Nia, kata Mas Yudistira, kamu mau mencari pekerjaan di Jakarta?”“Iya Sha, Mas Yudis akan merekomendasikan aku di tempat kerjanya.”“Di tempat kerja Mas Yudistira? aku malah tidak tahu, jika sekarang Mas Yudistira bekerja di suatu tempat?” Keysha bertanya, nampak ia mengerutkan kedua alisnya, ia heran kenapa Yudistira tidak memberitahu tentang pekerjaan barunya.“Kata Mas Yudis, sekarang ia bekerja di klinik psikiater, yang berada di Jl. Melati, Jakarta Utara,” ujar Dania dengan sangat yakin.Keysha mendesah kesal, bukan karena Yudistira bekerja di sebuah klinik psikiater, tapi kenapa Dania yang lebih tahu, sedangkan ia sebagai istrinya tidak mengetahu
Keysha sedih dan sekaligus kecewa, ia merasa bu Rani memang sengaja mendekatkan Yudistira dengan Dania. Yudistira pun tahu akan hal itu, tapi dia juga tidak bisa menolak keinginan ibunya, yang hanya bisa dia lakukan adalah, menyakinkan Keysha bahwa dirinya tetap setia.“Aku pergi dulu ya sayang,” pamit Yudistira sambil mencium pucuk rambut Keysha.“Keysha, maaf ya atas permintaan ibu,” timpal Dania.Keysha hanya mengangguk dan mengulas senyum tipis, dan di tatapnya Yudistira dan Dania yang menaiki mobil sedan warna hitam miliknya, lalu mobil berlahan meluncur ke jalan komplek dan menghilang di balik gang.“Sha, Ibu mau bicara. Kamu, walaupun menjadi wanita karir, kamu juga harus tahu kedudukan sebagai istri, sekarang Ibu ingin kamu membersihkan taman samping!” perintah Rani.“Maaf Bu. Untuk membersihkan rumah ini, Keysha sudah menyewa tenaga asisten rumah tangga, yang akan membersihkan semua rumah ini, sebentar lagi orangnya akan datang.” Baru saja Keysha selesai berucap, terdengar su
Sepulang dari kediaman Keysha. Risma nampak kesal hingga rantang yang berada di tangannya di lempar keras ke wastafel, hingga terdengar bunyi gaduh di dapur, membuat Rama keluar dari ruang kerjanya.“Ada apa sih Mah? Pulang dari rumah Keysha marah-marah,” tanya Rama dengan mengerutkan kedua alisnya dan nampak keheranan.“Itu Pah. Mertuanya Keysha, siapa tuh namanya, aku lupa, emm... siapa ya. Papah ingat ngak siapa nama wanita itu?” Risma nampak mengingat –ingat dengan memeggang kepalanya.“Aku lupa, kemarin malam terlalu bising, di pesta, jadi kurang jelas dengar namanya. Sudahlah Mah, ngak penting tahu namanya. Memangnya apa yang di perbuat mertua Keysha?” Rama bertanya penuh rasa penasaran.“Keysha disuruh mengupas bawang merah, sampai mata Keysha memerah dan berair,” jelas Risma dengan kesal.“Ya ampun Nyonya... cuma disuruh kupas bawang, itu kan pekerjaan wanita, wajarlah jika mertua nyuruh menantunya memasak,” sela Bi Arum sambil tertawa kecil.“Diam kamu! Keysha itu spesial,
Keysha berada di salah satu restoran langganannya dekat kantor. Ia memesan steak saos pedas dan lemon tea untuk makan siang. Sambil menunggu pesanan, ia memainkan ponselnya, ia mencoba mencari tahu tentang Nova. Keysha mulai menekan aplikasi berwarna biru. Keysha pun akhirnya menemukan sosok yang ia cari, wanita cantik bertubuh sintal itu kerap memamerkan barang-barang branded di media sosial seperti tas, sepatu, aksesoris dengan merk ternama dengan harga mencapai puluhan juta. Tapi tidak terlihat Nova bersama keluarga dan orang yang dekat dengannya tidak ada di media sosial, Nova begitu pintar menyembunyikan statusnya.“Boleh aku duduk di sini,” ucap Rendi yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Dan itu membuat Keysha terkejut dan segera mematikan ponselnya.“Oh kamu, Ren. Silakan duduk.” Keysha mempersilakan duduk dengan tangan menunjuk ke kursi di depannya.“Terima kasih, kamu sudah pesan makan?” tanya Rendi.“Sudah, sebentar lagi datang, nah itu datang.” Keysha berucap, dan ne
Yudistira melajukan motornya, membelah jalanan ibu kota menuju klinik yang lumayan jauh dari rumahnya. Sesampainya di sana ia melihat Dania sedang duduk di kursi yang ada di loby.“Dania, sudah lama menunggu?” tanya Yudistira.“Emm sekitar lima belas menit,” jawab Dania dengan binar mata bahagia.“Oke, kamu tunggu saja di sini.Bu Ena sebentar lagi datang.”“Iya Mas, aku akan tunggu di sini.”Yudistira meninggalkan Dania sendirian di loby klinik. Sementara Yudistira memasuki ruang kerjanya dan duduk di kursi menghadap laptop. Jarinya mulai aktif di atas keybord. Hingga konsentrasinya terpecah ketika telpon kantor di atas meja berdering nyaring. Kring…kring…“Halo selamat pagi,” ucap Yudistira.“Pagi Yudirstira, apa temanmu hari ini datang?” tanya Ena.“Iya Bu Ena. Tunggu sebentar Bu, saya akan mengantarnya ke ruangan Ibu.”“Oke, aku tunggu.”Sambungan telpon pun di tutup. Yudistira bangkit dari duduknya setelah mematikan laptopnya, dan bergegas ke luar ruangan dan menemui Dania. Tidak
Ena terlihat lega ketika mendengar kabar jika Nana, puteri bungsunya sudah melewati masa kritis. Tapi Ena juga kesal, ketika hampir seharian ini, tidak bisa menghubungi Haris suaminya.“Rendi, memangnya ada pekerjaan yang serius di Singapura, sampai Papahmu tidak mau mengangkat ponsel,” ucap Ena. Wajahnya masih terlihat kesal.“Iya, Mah. Mungkin Papah sibuk,” sahut Rendi. Di dalam hatinya Rendi juga menyimpan rasa kesal pada Haris.Rendi pun mengirim pesan lewat chat WA, supaya Haris segera menghubungi Mamahnya. Dan beberapa waktu kemudian Haris menelpon Ena. Bunyi dering ponsel Ena berdering nyaring. Segera diambilnya ponsel dari dalam tas dan dilihatnya nama Haris tertera di layar ponsel.“Halo, Pah. Seharian ponsel tidak aktif. Nana kecelakaan!” gertak Ena dengan nada tinggi.“Iya, Mah. Maafkan Papah, seharian ini, ada rapat penting,” sahut Haris di seberang telpon dengan sedikit gugup.“Mamah, nggak mau tahu, Papah harus ke Jakarta!” Perintah Ena dan langsung menutup ponsel.
Rani terus mengikuti Rendi. Sampai memasuki lift dan berhenti di lantai 10. Rendi tetap berjalan tanpa ada rasa curiga kalau Rani mengikutinya. Hingga langkah Rendi terhenti di kamar nomer 122 dan masuk ke dalam kamar. Lorong rumah sakit nampak sepi. Kini Rani berdiri tepat di pintu rumah sakit, dari balik kaca ia melihat Rendi sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita. Tidak terlihat wajah wanita itu, rambut hitam sebahu dengan sedikit uban. Rani juga melihat seorang gadis terbaring lemah dengan berbagai alat kesehatan menempel di tubuhnya. Rani masih berdiri di depan kamar mendengarkan percakapan mereka.“Ren, apa Papah, memang belum bisa kembali ke Jakarta?” tanya Ena pada Rendi.“Belum, Mah. Tadi Papah chat Rendi mungkin lusa Papah akan pulang,” balas Rendi.“Kasihan adikmu, Nana. Untungkah Yudistira, karyawan Mamah mendonorkan darahnya pada Nana. Darah Nana tergolong langka. Papahmu yang punya darah sama seperti Nana, malah dia tidak berada di sini saat Nana membutuhkan