Keysha sedih dan sekaligus kecewa, ia merasa bu Rani memang sengaja mendekatkan Yudistira dengan Dania. Yudistira pun tahu akan hal itu, tapi dia juga tidak bisa menolak keinginan ibunya, yang hanya bisa dia lakukan adalah, menyakinkan Keysha bahwa dirinya tetap setia.“Aku pergi dulu ya sayang,” pamit Yudistira sambil mencium pucuk rambut Keysha.“Keysha, maaf ya atas permintaan ibu,” timpal Dania.Keysha hanya mengangguk dan mengulas senyum tipis, dan di tatapnya Yudistira dan Dania yang menaiki mobil sedan warna hitam miliknya, lalu mobil berlahan meluncur ke jalan komplek dan menghilang di balik gang.“Sha, Ibu mau bicara. Kamu, walaupun menjadi wanita karir, kamu juga harus tahu kedudukan sebagai istri, sekarang Ibu ingin kamu membersihkan taman samping!” perintah Rani.“Maaf Bu. Untuk membersihkan rumah ini, Keysha sudah menyewa tenaga asisten rumah tangga, yang akan membersihkan semua rumah ini, sebentar lagi orangnya akan datang.” Baru saja Keysha selesai berucap, terdengar su
Sepulang dari kediaman Keysha. Risma nampak kesal hingga rantang yang berada di tangannya di lempar keras ke wastafel, hingga terdengar bunyi gaduh di dapur, membuat Rama keluar dari ruang kerjanya.“Ada apa sih Mah? Pulang dari rumah Keysha marah-marah,” tanya Rama dengan mengerutkan kedua alisnya dan nampak keheranan.“Itu Pah. Mertuanya Keysha, siapa tuh namanya, aku lupa, emm... siapa ya. Papah ingat ngak siapa nama wanita itu?” Risma nampak mengingat –ingat dengan memeggang kepalanya.“Aku lupa, kemarin malam terlalu bising, di pesta, jadi kurang jelas dengar namanya. Sudahlah Mah, ngak penting tahu namanya. Memangnya apa yang di perbuat mertua Keysha?” Rama bertanya penuh rasa penasaran.“Keysha disuruh mengupas bawang merah, sampai mata Keysha memerah dan berair,” jelas Risma dengan kesal.“Ya ampun Nyonya... cuma disuruh kupas bawang, itu kan pekerjaan wanita, wajarlah jika mertua nyuruh menantunya memasak,” sela Bi Arum sambil tertawa kecil.“Diam kamu! Keysha itu spesial,
Keysha berada di salah satu restoran langganannya dekat kantor. Ia memesan steak saos pedas dan lemon tea untuk makan siang. Sambil menunggu pesanan, ia memainkan ponselnya, ia mencoba mencari tahu tentang Nova. Keysha mulai menekan aplikasi berwarna biru. Keysha pun akhirnya menemukan sosok yang ia cari, wanita cantik bertubuh sintal itu kerap memamerkan barang-barang branded di media sosial seperti tas, sepatu, aksesoris dengan merk ternama dengan harga mencapai puluhan juta. Tapi tidak terlihat Nova bersama keluarga dan orang yang dekat dengannya tidak ada di media sosial, Nova begitu pintar menyembunyikan statusnya.“Boleh aku duduk di sini,” ucap Rendi yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Dan itu membuat Keysha terkejut dan segera mematikan ponselnya.“Oh kamu, Ren. Silakan duduk.” Keysha mempersilakan duduk dengan tangan menunjuk ke kursi di depannya.“Terima kasih, kamu sudah pesan makan?” tanya Rendi.“Sudah, sebentar lagi datang, nah itu datang.” Keysha berucap, dan ne
Yudistira melajukan motornya, membelah jalanan ibu kota menuju klinik yang lumayan jauh dari rumahnya. Sesampainya di sana ia melihat Dania sedang duduk di kursi yang ada di loby.“Dania, sudah lama menunggu?” tanya Yudistira.“Emm sekitar lima belas menit,” jawab Dania dengan binar mata bahagia.“Oke, kamu tunggu saja di sini.Bu Ena sebentar lagi datang.”“Iya Mas, aku akan tunggu di sini.”Yudistira meninggalkan Dania sendirian di loby klinik. Sementara Yudistira memasuki ruang kerjanya dan duduk di kursi menghadap laptop. Jarinya mulai aktif di atas keybord. Hingga konsentrasinya terpecah ketika telpon kantor di atas meja berdering nyaring. Kring…kring…“Halo selamat pagi,” ucap Yudistira.“Pagi Yudirstira, apa temanmu hari ini datang?” tanya Ena.“Iya Bu Ena. Tunggu sebentar Bu, saya akan mengantarnya ke ruangan Ibu.”“Oke, aku tunggu.”Sambungan telpon pun di tutup. Yudistira bangkit dari duduknya setelah mematikan laptopnya, dan bergegas ke luar ruangan dan menemui Dania. Tidak
Ena terlihat lega ketika mendengar kabar jika Nana, puteri bungsunya sudah melewati masa kritis. Tapi Ena juga kesal, ketika hampir seharian ini, tidak bisa menghubungi Haris suaminya.“Rendi, memangnya ada pekerjaan yang serius di Singapura, sampai Papahmu tidak mau mengangkat ponsel,” ucap Ena. Wajahnya masih terlihat kesal.“Iya, Mah. Mungkin Papah sibuk,” sahut Rendi. Di dalam hatinya Rendi juga menyimpan rasa kesal pada Haris.Rendi pun mengirim pesan lewat chat WA, supaya Haris segera menghubungi Mamahnya. Dan beberapa waktu kemudian Haris menelpon Ena. Bunyi dering ponsel Ena berdering nyaring. Segera diambilnya ponsel dari dalam tas dan dilihatnya nama Haris tertera di layar ponsel.“Halo, Pah. Seharian ponsel tidak aktif. Nana kecelakaan!” gertak Ena dengan nada tinggi.“Iya, Mah. Maafkan Papah, seharian ini, ada rapat penting,” sahut Haris di seberang telpon dengan sedikit gugup.“Mamah, nggak mau tahu, Papah harus ke Jakarta!” Perintah Ena dan langsung menutup ponsel.
Rani terus mengikuti Rendi. Sampai memasuki lift dan berhenti di lantai 10. Rendi tetap berjalan tanpa ada rasa curiga kalau Rani mengikutinya. Hingga langkah Rendi terhenti di kamar nomer 122 dan masuk ke dalam kamar. Lorong rumah sakit nampak sepi. Kini Rani berdiri tepat di pintu rumah sakit, dari balik kaca ia melihat Rendi sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita. Tidak terlihat wajah wanita itu, rambut hitam sebahu dengan sedikit uban. Rani juga melihat seorang gadis terbaring lemah dengan berbagai alat kesehatan menempel di tubuhnya. Rani masih berdiri di depan kamar mendengarkan percakapan mereka.“Ren, apa Papah, memang belum bisa kembali ke Jakarta?” tanya Ena pada Rendi.“Belum, Mah. Tadi Papah chat Rendi mungkin lusa Papah akan pulang,” balas Rendi.“Kasihan adikmu, Nana. Untungkah Yudistira, karyawan Mamah mendonorkan darahnya pada Nana. Darah Nana tergolong langka. Papahmu yang punya darah sama seperti Nana, malah dia tidak berada di sini saat Nana membutuhkan
Dania dan Yudistira menuju tempat parkir, yang berada di depan klinik. Dania nampak heran, karena Yudistra mengajaknya naik sebuah mobil ferrari merah milik Bu Ena.“Mas, bener kita naik mobil ini?” tanya Dania penasaran. Dahinya berkerut heran.“Iya, Nia. Ini hadiah dari Bu Ena, karena aku kemarin mendonorkan darah pada Nana,” jelas Yudistira, seraya membuka pintu mobil untuk Dania. ”Ayo masuk,” sambungnya, setelah pintu mobil terbuka.Dania mengulas senyum. Ia pun masuk ke dalam mobil dan tidak lupa memasang savety belt.“Wah, enak ya Mas. Jadi orang kaya, mobil semahal ini hanya dikasihkan begitu saja.” Dania masih mengagumi mobil yang di tumpanginya.“Iya, Bu Ena, orangnya baik hati. Pertama kali bertemu denganya aku sudah merasa kalau dia orang yang baik. Makanya aku menerima tawarannya untuk bergabung di kliniknya,” ucap Yudistira, sambil melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, meluncur di jalanan yang macet.“Iya, Mas. Aku juga merasakan sesuatu yang berbeda. Ketika pert
Keysha, menghabiskan roti bakar yang ada di hadapannya, setelah itu mencium punggung tangan Yudistira, tanpa berkata apapun. Lalu melangkah ke luar rumah, kakinya terhenti ketika ia melihat mobil ferrari warna merah terparkir di sebelah mobil sedan hitam miliknya.“Mas, itu mobil siapa?” tanya Keysha.“Makanya kamu jangan jutek dong, aku mau cerita, tapi kamu masih saja marah,” ucap Yudistira sambil bangkit dari duduknya dan mendekati Keysha.Kini Yudistira berdiri sejajar dengan keysha keduanya menatap ke depan.“Itu mobilku, Bu Ena yang memberikan, sebagai ucapan terima kasih, karena aku mendonorkan darah,” jelas Yudistira.“Apa tidak berlebihan Mas. Mobil seharga ratusan juta sebagai tanda terima kasih.”“Aku, sudah menolaknya. Menurutku hadiah itu terlalu mewah, tapi Bu Ena memaksaku.”“Ya, sudahlah, itu urusanmu dengan Bu Ena. Mudah-mudahan Pak Haris tidak keberatan istrinya memberikan hadiah semewah itu,” ujar Keysha dengan melangkah lebar menuju mobilnya. Yudistira mengangkat