Keysha berada di salah satu restoran langganannya dekat kantor. Ia memesan steak saos pedas dan lemon tea untuk makan siang. Sambil menunggu pesanan, ia memainkan ponselnya, ia mencoba mencari tahu tentang Nova. Keysha mulai menekan aplikasi berwarna biru. Keysha pun akhirnya menemukan sosok yang ia cari, wanita cantik bertubuh sintal itu kerap memamerkan barang-barang branded di media sosial seperti tas, sepatu, aksesoris dengan merk ternama dengan harga mencapai puluhan juta. Tapi tidak terlihat Nova bersama keluarga dan orang yang dekat dengannya tidak ada di media sosial, Nova begitu pintar menyembunyikan statusnya.“Boleh aku duduk di sini,” ucap Rendi yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Dan itu membuat Keysha terkejut dan segera mematikan ponselnya.“Oh kamu, Ren. Silakan duduk.” Keysha mempersilakan duduk dengan tangan menunjuk ke kursi di depannya.“Terima kasih, kamu sudah pesan makan?” tanya Rendi.“Sudah, sebentar lagi datang, nah itu datang.” Keysha berucap, dan ne
Yudistira melajukan motornya, membelah jalanan ibu kota menuju klinik yang lumayan jauh dari rumahnya. Sesampainya di sana ia melihat Dania sedang duduk di kursi yang ada di loby.“Dania, sudah lama menunggu?” tanya Yudistira.“Emm sekitar lima belas menit,” jawab Dania dengan binar mata bahagia.“Oke, kamu tunggu saja di sini.Bu Ena sebentar lagi datang.”“Iya Mas, aku akan tunggu di sini.”Yudistira meninggalkan Dania sendirian di loby klinik. Sementara Yudistira memasuki ruang kerjanya dan duduk di kursi menghadap laptop. Jarinya mulai aktif di atas keybord. Hingga konsentrasinya terpecah ketika telpon kantor di atas meja berdering nyaring. Kring…kring…“Halo selamat pagi,” ucap Yudistira.“Pagi Yudirstira, apa temanmu hari ini datang?” tanya Ena.“Iya Bu Ena. Tunggu sebentar Bu, saya akan mengantarnya ke ruangan Ibu.”“Oke, aku tunggu.”Sambungan telpon pun di tutup. Yudistira bangkit dari duduknya setelah mematikan laptopnya, dan bergegas ke luar ruangan dan menemui Dania. Tidak
Ena terlihat lega ketika mendengar kabar jika Nana, puteri bungsunya sudah melewati masa kritis. Tapi Ena juga kesal, ketika hampir seharian ini, tidak bisa menghubungi Haris suaminya.“Rendi, memangnya ada pekerjaan yang serius di Singapura, sampai Papahmu tidak mau mengangkat ponsel,” ucap Ena. Wajahnya masih terlihat kesal.“Iya, Mah. Mungkin Papah sibuk,” sahut Rendi. Di dalam hatinya Rendi juga menyimpan rasa kesal pada Haris.Rendi pun mengirim pesan lewat chat WA, supaya Haris segera menghubungi Mamahnya. Dan beberapa waktu kemudian Haris menelpon Ena. Bunyi dering ponsel Ena berdering nyaring. Segera diambilnya ponsel dari dalam tas dan dilihatnya nama Haris tertera di layar ponsel.“Halo, Pah. Seharian ponsel tidak aktif. Nana kecelakaan!” gertak Ena dengan nada tinggi.“Iya, Mah. Maafkan Papah, seharian ini, ada rapat penting,” sahut Haris di seberang telpon dengan sedikit gugup.“Mamah, nggak mau tahu, Papah harus ke Jakarta!” Perintah Ena dan langsung menutup ponsel.
Rani terus mengikuti Rendi. Sampai memasuki lift dan berhenti di lantai 10. Rendi tetap berjalan tanpa ada rasa curiga kalau Rani mengikutinya. Hingga langkah Rendi terhenti di kamar nomer 122 dan masuk ke dalam kamar. Lorong rumah sakit nampak sepi. Kini Rani berdiri tepat di pintu rumah sakit, dari balik kaca ia melihat Rendi sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita. Tidak terlihat wajah wanita itu, rambut hitam sebahu dengan sedikit uban. Rani juga melihat seorang gadis terbaring lemah dengan berbagai alat kesehatan menempel di tubuhnya. Rani masih berdiri di depan kamar mendengarkan percakapan mereka.“Ren, apa Papah, memang belum bisa kembali ke Jakarta?” tanya Ena pada Rendi.“Belum, Mah. Tadi Papah chat Rendi mungkin lusa Papah akan pulang,” balas Rendi.“Kasihan adikmu, Nana. Untungkah Yudistira, karyawan Mamah mendonorkan darahnya pada Nana. Darah Nana tergolong langka. Papahmu yang punya darah sama seperti Nana, malah dia tidak berada di sini saat Nana membutuhkan
Dania dan Yudistira menuju tempat parkir, yang berada di depan klinik. Dania nampak heran, karena Yudistra mengajaknya naik sebuah mobil ferrari merah milik Bu Ena.“Mas, bener kita naik mobil ini?” tanya Dania penasaran. Dahinya berkerut heran.“Iya, Nia. Ini hadiah dari Bu Ena, karena aku kemarin mendonorkan darah pada Nana,” jelas Yudistira, seraya membuka pintu mobil untuk Dania. ”Ayo masuk,” sambungnya, setelah pintu mobil terbuka.Dania mengulas senyum. Ia pun masuk ke dalam mobil dan tidak lupa memasang savety belt.“Wah, enak ya Mas. Jadi orang kaya, mobil semahal ini hanya dikasihkan begitu saja.” Dania masih mengagumi mobil yang di tumpanginya.“Iya, Bu Ena, orangnya baik hati. Pertama kali bertemu denganya aku sudah merasa kalau dia orang yang baik. Makanya aku menerima tawarannya untuk bergabung di kliniknya,” ucap Yudistira, sambil melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, meluncur di jalanan yang macet.“Iya, Mas. Aku juga merasakan sesuatu yang berbeda. Ketika pert
Keysha, menghabiskan roti bakar yang ada di hadapannya, setelah itu mencium punggung tangan Yudistira, tanpa berkata apapun. Lalu melangkah ke luar rumah, kakinya terhenti ketika ia melihat mobil ferrari warna merah terparkir di sebelah mobil sedan hitam miliknya.“Mas, itu mobil siapa?” tanya Keysha.“Makanya kamu jangan jutek dong, aku mau cerita, tapi kamu masih saja marah,” ucap Yudistira sambil bangkit dari duduknya dan mendekati Keysha.Kini Yudistira berdiri sejajar dengan keysha keduanya menatap ke depan.“Itu mobilku, Bu Ena yang memberikan, sebagai ucapan terima kasih, karena aku mendonorkan darah,” jelas Yudistira.“Apa tidak berlebihan Mas. Mobil seharga ratusan juta sebagai tanda terima kasih.”“Aku, sudah menolaknya. Menurutku hadiah itu terlalu mewah, tapi Bu Ena memaksaku.”“Ya, sudahlah, itu urusanmu dengan Bu Ena. Mudah-mudahan Pak Haris tidak keberatan istrinya memberikan hadiah semewah itu,” ujar Keysha dengan melangkah lebar menuju mobilnya. Yudistira mengangkat
Di Hospital Healty, Nana mulai membuka matanya, di sana ada seorang dokter dan perawat yang sedang memeriksa.“Dokter, bagaimana keadaan anak saya?” tanya Ena, dengan raut wajah penuh kecemasan.“Keadaan pasien sudah membaik dan anak ibu sudah sadar. Pelan-pelan ajaklah untuk berkomunikasi.” Dokter menjelaskan pada Ena, sembari memeriksa keadaan Nana.Setelah dokter keluar dari kamar, Ena duduk di sebelah putrinya, mereka saling tatap.“Nana, bisa dengarkan Mamah,” ucap Ena pelan.“Iya, Mah,” jawab Nana lirih dan lemah.Mendengar ucapan Nana, Ena merasa lega. Kini kondisi putrinya sudah membaik dan sadar dari komanya selama 4 hari.“Nana, maafkan Papah ya. Papah baru bisa datang menjenguk Nana.” Haris berbicara, seraya mengusap lembut kening Nana. Dan Nana hanya membalas dengan senyum di bibirnya.***Keysha mendesah kesal, ketika melihat Rendi masuk ke ruangannya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena Rendi adalah atasannya.“Ada apa Pak Rendi?” ta
Mobil berhenti tepat di depan rumah Keysha. Terlihat Rendi keluar dari mobil dan melangkah cepat ke arah pintu depan.“Papah,” teriak Rendi, lalu membantu Papahnya berdiri.“Rendi, cepat bawa Pak Haris pergi dari sini,” ucap Keysha, dengan wajah ketakutan.“Yudistira, aku ke sini akan mengambil mobil Mamah. Dan sebagai gantinya aku berikan cek 100 juta,” ujar Rendi, sambil meraih selembar cek dari saku kemeja, dan memberikannya pada Yudistira. ”Kamu, tidak pantas menaiki mobil mewah itu, hanya seorang accounting saja, memakai mobil semewah itu,” sambung Rendi, dengan tatapan hinaan.Yudistira meraih cek itu, kemudian mengambil ponsel dari sakunya dan menghubungi Bu Ena. Yudistira sengaja menspeker suara supaya semuanya dapat mendengar.“Malam, Bu Ena,” ucap Yudistira.“Malam, Yudistira. Ada apa?“Begini Bu, apakah benar Bu Ena, ingin mengambil kembali mobilnya dan mengganti dengan uang 100 juta pada saya?”“Saya, tidak pernah meminta kembali apa yang sudah saya berikan. Mobil itu akan