Hari terus berlalu. Rani semakin berambisi untuk membalas dendam. Kini ia sudah mempunyai banyak rencana di hatinya. Salah satunya adalah membuat retak hubungan Yudistira dan Keysha. Bagaimanapun juga, Rani tidak rela jika Yudistira memberi kebahagiaan pada Keysha, putri dari Rama. Walaupun dulu Rani pernah mencintai Rama dengan sepenuh hati. Tapi setelah mengetahui, jika Rama tidak benar-benar mencintainya bahkan tidak menolongnya saat malam memilukan itu terjadi, kebencian mulai merasuki hatinya{Yudistia, nanti mampir ke rumah, sepulang kerja}Rani, mengirim sebuah chat pada Yudistira dan dalam waktu singkat chat pun dibaca dan dibalas.{Baik Bu, nanti Yudis ke rumah Ibu.}Rani, mengulas senyum. Ia pun menuju dapur dan mulai memasak, untuk makan malam nanti. Beberapa menu spesial mulai di olah, ayam kecap pedas, rendang daging dan sop buntut menjadi pilihan Rani, dan kebetulan bahan–bahan yang di perlukan ada di dalam kulkas.Siang berlalu, diganti senja yang datang dalam sekeja
Mobil berhenti tepat di depan rumah Keysha. Rumah bernuasa alam minimalis itu nampak gelap dan sepi. Mobil milik Yudistira pun tidak kelihatan terparkir di halaman maupun di garasi. Keysha turun dari mobil.“Nampak sepi dan gelap, Yudistira tidak di rumah?” tanya Rendi sambil menatap keluar mobil.“Kayaknya Mas Yudistira belum pulang,” jawab Keysha pelan, ada gurat marah dan kecewa di wajahnya.“Hati-hati Sha. Kamu mencela Papahku, berselingkuh dengan sekretarisnya, jangan-jangan suamimu berselingkuh dengan teman kerjanya.” Rendi tersenyum tipis, dan menatap Keysha. Hatinya puas membuat wajah Keysha berubah pias.“Suamiku tidak seperti Pak Haris. Dan jangan mencampuri urusanku,” ucap Keysha, segera menutup pintu mobil. Dengan kasar.Rendi membuka kaca jendela mobil dan berteriak pada Keysha. ”Aku siap meminjamkan bahuku Sha!” Rendi tertawa lepas, sambil tancap gas mobil dan meluncur ke jalanan.Keysha tidak memperdulikan ucapan Rendi, ia melangkah cepat menuju pintu dan berlahan memb
Yudistira, apa kamu selingkuh!” bentak Rama, sambil berdiri, matanya menatap tajam ke arah Yudistira.“Tidak ada yang selnigkuh Pah. Keysha hanya salah paham,” jawab Yudistira, sambil mendekat ke arah sofa.Keysha hanya terdiam, mengangkat wajah, ia berusaha menahan air matanya supaya tidak tumpah.“Keysha! Benar yang dikatakan suamimu itu,” tanya Rama, kini matanya beralih menatap Keysha.Bukannya menjawab pertanyaan Papahnya, Keysha malah memilih diam dan bulir bening yang ditahannya tumpah tanpa bisa dihentikan. Keysha menangis, ditutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Risma pun refleks memeluk putrinya. Sementara Yudistira nampak bingung dengan situasi yang menyudutkan dirinya.“Yudistira, mana janjimu untuk membuat Keysha bahagia, lihat dia menangis seperti itu.” Rama marah, ia berbicara sambil berkaca pinggang dan suaranya keras.“Pah, Mah. lebih baik kalian pulang dulu. Aku dan Keysha akan menyelesaikan masalah ini!” pinta Yudistira, raut mukanya terlihat cemas karena situasi
“Sha, bangun. Shalat yuk, udah subuh.” Yudistira mengusap lembut pipi Keysha. Berlahan Keysha membuka mata. Dilihatnya dekat wajah Yudistira yang sedikit basah, dan rambut yang basah pula.“Mandilah, dan sekalian wudhu. Kita shalat berjamaah,” sambung Yuditira.Keysha tersenyum. Lalu bangkit dari tidurnya dan berjalan pelan menuju kamar mandi. Tidak lama kemudian ia keluar dan segera memakai mukena warna putih dan berdiri di belakang Yudistiara untuk melaksanakan shalat Subuh dengan khusuk.***Sinar mentari masih enggan menampakan sinarnya, udara pagi masih dingin menusuk tulang. Yudisira dan Keysha berjalan menyusuri pantai. Semalam sengaja Yudistira mengajak Keysha menginap di hotel dengan view pantai Anyer. Setelah semalam dinner romantis, menghabiskan malam di kamar hotel dan sekarang menikmati deburan ombak pagi. Yudistira mengandeng tangan Keysha, angin sejuk mulai berhembus, telapak kaki Keysha berjalan di atas pasir putih. Yudistira memeluk Keysha dari belakang. Keysha lalu
Dania merasa senang dapat menbantu Nana keluar dari traumanya. Setelah beberapa kali bertemu, Dania semakin dekat dengan Nana. Bahkan Nana sudah dianggap seperti adiknya.“Dania, bagaimana keadaan Nana, putri dari Bu Ena?” tanya Rani, sambil mengoreng tempe.Dania, yang saat itu membantu memotong sayur, dengan senyum semringah bercerita tentang pengalamannya membantu Nana dari trauma kecelakaan.“Dania, senang Bu. Kalau Ibu tahu, rumah Bu Ena, sangat besar dan mewah. Di sana aku sering di suguhi makanan yang enak. Rasanya senang ya Bu, menjadi orang kaya, kemauannya pasti terpenuhi. Nana sangat beruntung terlahir dari keluarga yang kaya raya,” jelas Dania, sesekali ia menghentikan tangannya memotong sayur, dan menatap ke arah Rani.“Maafkan Ibu, Dania. Aku masih merahasiakan identitasmu yang sebenarnya. Suatu saat kamu pasti akan tinggal di rumah mewah itu, dan menikmati segala fasilitasnya,” gumam Rani dalam hati. Sambil tersenyum ke arah Dania, yang nampak bahagia menceritakan tent
Rani menghentikan taxi, setelah itu meluncur pergi meninggalkan taman. Senyum tak lepas dari bibirnya, kini di tangannya sudah memiliki uang, yang cukup besar untuk menunjang aksi balas dendamnya.Setelah turun dari taxi. Rani naik ojek, yang mangkal di pangkalan ojek, lalu menyuruh ojek untuk mengantarnya ke suatu tempat setelah memastikan Ena tidak mengikutinya.“Maaf, Ena. Aku masih menyembunyikan siapa anakmu. Sebelum aku melihat Haris hancur. Aku akan terus merahasiakannya.” Rani bergumam dalam hati, dengan menarik senyum di bibir kirinya.Tibalah Rani di suatu kompleks lokalisasi terselubung. Hanya orang-orang tertentu yang mengetahuinya. Sebelumnya Rani mencari informasi tentang lokaisasi itu. Hingga ia mendapatkan satu nama mucikari beserta alamatnya. Setelah turun dari motor. Rani melangkahkan kaki ke sebuah rumah yang cukup besar, tapi kelihatan biasa. Dengan pintu pagar sederhana.Tok…tok…pintu depan di ketuk. Tak lama kemudian seorang wanita setengah baya, dengan riasan s
Dania, awas gosong! Kamu ya, goreng ikan malah melamun,” seru Rani, sambil mengambil alih mengoreng.“Maaf Bu,” jawab Dania pelan.“Melamun, apa sih Nia. Yudistira, iya ‘kan?”“Engak Bu.”“Halah, kamu bohong Dania. Kalau saja Ibu tidak depresi, waktu itu. aku akan memilihmu untuk jadi menantu Ibu.”“Jangan bilang begitu Bu, nanti jika Mas Yudistira atau Keysha dengar, jadi salah paham.”“Ya, sudah. Kamu ganti baju, tuh lihat bajumu kotor kena cipratan minyak, sebentar lagi Keysha dan Yudis datang.”“Iya, Bu, Dania ke kamar dulu.”Belum lagi Dania melangkah, terdengar suara mobil, berhenti di depan pagar. Rani bergegas mengintip dari jendela. Dan dilihatnya Yudistira dan Keysha turun dari mobil.“Nah, itu mereka datang,” ucap Rani, melangkah menuju pintu. Sementara Dania bergegas masuk kamar untuk ganti baju.“Assalamu’alaikum.” Yudistira mengucap salam, ketika berdiri di depan pintu.“Waalaikumsalam,” jawab Rani, sembari membuka pintu.Senyum mengembang di bibir Keysha, ketika menda
Lilis mulai beraksi. Ia terlihat duduk di sofa loby apartemen. Matanya mulai mengamati setiap orang yang memasuki apartemen. Sekitar 30 menit, Lilis melihat Haris dan Nova memasuki pintu lift. Tangan Haris merangkul bahu Nova dengan mesra. Dengan cepat Lilis mengarahkan kamera ponsel, dan memotret Haris dan Nova. Kemudian foto itu dikirimkan ke Rani.Rani, tersenyum puas ketika melihat kiriman foto dari Lilis. Terlihat dengan jelas, Haris bermesraan dengan sekretarisnya itu.“Mampus, kamu Haris! dasar lelaki hidung belang. Dalam waktu dekat kamu akan kehilangan semuanya,” gumam Rani dalam hati.Sementara masih di loby apartemen. Lilis menuggu Haris turun ke loby. Sekitar 2 jam kemudian, munculah Haris dari lift seorang diri, wajahnya nampak semringah seakan–akan baru mendapatkan sesuatu yang membuatnya bahagia.Lilis bangkit, ia berjalan ke arah Haris, dengan pura-pura menelpon, dan di tangan kanannya memegang kopi dalam cup. Lilis sengaja menabrakan diri ke arah tubuh Haris.Brak!