"TANTE!" Gadis kecil itu menjerit. Kedua tangannya memeluk pinggang perempuan yang dia sebut-sebut Ibu sejak tadi setelah tanganku mendarat sempurna pada pipinya.
"Kenapa Tante memukul Ibu? Apa salah Ibu? Bukankah tadi Tante yang meminta untuk ke mari," sambung gadis kecil itu lagi.Perempuan berparas jelita di hadapanku ini masih memegangi pipinya. Jejak kemerahan yang ditinggalkan lima jariku, kontras membekas di kulitnya yang bersih mulus."Berapa lama kamu menikah dengan Mas Rafka, hah? Kenapa harus suamiku yang kamu rebut? Pernikahanku terlalu sempurna untuk kamu rusak!" desisku di antara gigi yang bergemeletuk menahan luapan amarah."Rafka ...?" ulang perempuan di hadapanku ini dengan lirih."Iya! Rafka Mahesa. Suamiku yang disebut-sebut ayah oleh putrimu ini. Berapa lama? Sudah berapa lama kamu merebutnya dariku!" teriakku membentak di depan wajahnya."Tante! Berhenti! Jangan sakiti Ibu lagi. Jangan berbicara keras-keras pada Ibu. Apa salah Ibu pada Tante? Bukannya Tante yang ingin aku bawa ke sini, tapi kenapa sekarang Tante marah-marah pada Ibu?" Gadis kecil polos itu seolah tidak rela aku membentak ibunya."Kita ... bisa bicara baik-baik lebih dulu, Fanisa," ujarnya terdengar begitu lembut dan menyebutkan namaku. Entah bagaimana pula dia bisa tahu. Tapi aku yakin, dia tahu aku serta namaku dari Mas Rafka. Lelaki yang akan kupastikan menyesal itu pasti telah membandingkan aku dengan perempuan ini."Ch! Bicara baik-baik apa maksud kamu? Apa lagi yang harus dibicarakan dengan baik-baik, hah? Sudah jelas, kalau kamu ini sudah merebut Mas Rafka. Bahkan kamu tahu namaku. Artinya apa? Artinya kamu sudah lebih dulu tahu siapa aku dan hubunganku dengan Mas Rafka. Tapi entah dari apa hati kalian terbuat, sampai kalian melakukan ini di belakangku!" ujarku menggebu."Tante! Kalau Tante memang tidak jadi membawa aku dan Ibu untuk bertemu Ayah, tidak apa-apa. Aku tidak akan marah pada Tante. Tapi bisakah Tante berhenti memarahi Ibu? Apa salah Ibu pada Tante?" Gadis kecil itu kembali menyela. Dia bak pelindung terdepan untuk Ibunya."Iya! Aku memang tidak akan membawa kamu dan Ibu kamu ini bertemu Ayahmu. Tapi aku akan melakukan satu hal. Aku yang akan membuat Ayah kamu itu datang ke mari dan tanpa apa-apa selain hanya baju yang dia pakai!" tukasku pada gadis kecil itu. Meski wajahnya nampak tak mengerti, tapi sepasang netranya telah nampak berkaca-kaca."Ah, Fan—""Ssst!" Aku menyela dengan cepat. Mengalihkan tatapanku pada perempuan berparas jelita ini kembali."Kamu tahu? Aku sangat benci berbagi sesuatu yang mana seharusnya adalah utuh menjadi milikku. Aku akan menyerahkan Mas Rafka karena aku tidak sudi hidup bersama pengkhianat! Kamu bisa memungutnya setelah aku menendang dan membuangnya sebentar lagi! Sampah memang harus masuk ke dalam tempatnya!" umpatku kesal.Cepat aku pun berbalik badan hendak meninggalkan rumah mungil ini. Hingga tubuhku sudah membelakangi Ibu dan anak itu dan melangkah. Aku teringat sesuatu.Lekas aku pun membalikkan badanku lagi dan membungkuk pada gadis kecil yang sudah mengembalikan dompetku itu. Gadis kecil yang telah membawaku pada kenyataan pahit ini."Aku hampir lupa. Aku akan bilang pada ayahmu untuk segera ke sini. Tapi aku perlu tahu, siapa namamu anak manis?!" tanyaku cepat."A-ku ... Belfania, Tante," jawabnya nampak takut-takut.Aku hanya mengangguk dan kembali berbalik badan. Mengangkat kakiku melangkah menjauh dari mereka."Fanisa tunggu, Fanisa! Kamu bisa dengarkan aku dulu. Tunggu!" Teriakan Ibu dari Belfania terdengar dari arah belakang. Bahkan derap langkahnya pun turut terdengar seperti menyusulku. Akan tetapi aku tak menggubris, aku tetap melanjutkan langkahku untuk segera keluar dari rumah mungil ini."Fanisa tunggu, Fanisa. Dengarkan aku agar kamu bisa mengerti!" teriak perempuan itu lagi dan tentunya membuat langkah ini terhenti."Aku sudah mengerti semuanya! Aku sudah mengerti! Apalagi yang harus aku dengarkan, perempuan asing?!" berangku tanpa membalikkan badan."Ceritanya akan sangat panjang dan kamu harus mendengarnya dari awal!" Suaranya terdengar jelas dari belakang.Tubuhku yang tegak berdiri, benar-benar menegang. Sungguh perempuan gila. Dia tidak waras jika aku mau mendengar semuanya dari awal. Artinya aku harus tahu bagaimana awal mula pertemuannya dengan Mas Rafka. Lalu bagaimana mereka saling jatuh cinta. Kemudian menikah dan malam pertama yang mereka lalui. Yang benar saja aku harus mendengarkannya. Dasar perempuan gila!Perlahan aku membalikkan badan. Perempuan asing itu berdiri hanya terpaut satu meter saja dariku. Kami saling tatap. Penampilan kami jauh berbeda. Dia begitu tertutup, ujung pakaiannya bahkan hampir menyentuh tanah. Mata bulat serta dagu yang terbelah menambah anggun paras jelitanya."Apalagi yang harus aku dengar? Kamu pikir aku akan percaya? Setelah semua yang terjadi, aku masih akan mempercayai apa yang keluar dari mulut kamu? Hahaha ... Aku tidak gila seperti kamu! Aku tidak akan mempertahankan pengkhianat. Aku membencinya! Mulai detik ini setelah aku mendepaknya, kamu bisa mengambil dan memungutnya. Kalian sama-sama sampah! Sampah!" Aku berteriak keras dengan menatap sepasang netra beriris coklat pekat perempuan ini.Dadaku memburu. Napasku berderu tak beraturan.Sesak.Aku membencinya. Membenci perempuan berparas jelita yang telah berhasil membuat Mas Rafka mengkhianatiku, bahkan sampai ada anak diantara mereka.Aku benar-benar hancur.Aku hancur dan aku tidak ingin hancur sendirian.Masih dengan amarah yang membuncah, aku membalikan badan dengan cepat, melangkah dengan tergesa dan begitu lebar menjauh dari halaman rumah milik perempuan di belakangku."Fanisa tunggu Fanisa! Jangan pergi dalam keadaan marah, aku akan menjelaskan semuanya. Tolong kamu dengarkan, setelah itu aku yakin kamu pasti akan mengerti!" teriak perempuan di belakangku itu lagi.Aku sudah tak peduli lagi.Aku lebih peduli dengan hati dan perasaanku yang terluka. Amat sangat terluka. Bahkan air mata telah berjatuhan membasahi wajahku.Tak dapat dibendung, tak dapat lagi kutahan. Hatiku benar-benar terluka.Sakit.Sangat sakit.Laki-laki yang begitu aku percaya. Laki-laki yang begitu sempurna di mataku sebagai imam dan kepala keluarga yang selama ini aku hormati ternyata sampai hati telah membagi cintanya.Aku menangis sesenggukan. Tangis yang terus berderai mengiringi langkahku menyusuri jalanan. Aku menghentikan taksi yang kebetulan melintas lalu menaikinya untuk menuju penginapan.Taksi melaju. Tangisku tumpah ruah. Aku tak peduli dengan supir taksi di kursi kemudi, aku masih terus menangis. Meluapkan sakit yang terasa begitu menghimpit dan menyesakkan dada.Entah saja kapan Mas Rafka mengkhianatiku bersama perempuan itu. Namun terlihat dari usia anak perempuan tadi, aku taksir dia sudah berusia sekitar 8 tahun.Artinya sudah 8 tahun Mas Rafka bersama perempuan itu dan menjalin hubungan di belakangku selama ini. Atau bahkan, bisa lebih dari itu. Aku sudah dikhianati dan dibohongi habis-habisan.Sialan.Setelah kurang lebih 2 jam dalam pesawat, aku akhirnya tiba di bandara. Kembali menaiki taksi online aku segera bertolak dari bandara untuk menuju rumah. Selama perjalanan pulang hatiku benar-benar kacau, pikiranku kalut dengan hati yang hampa dan kecewa bukan main.Hanya lima belas menit dari Bandara, aku sampai di rumah. Aku menatap rumah di hadapanku saat ini. Rumah di balik pagar putih yang menjulang. Sebuah rumah berlantai 2 yang berdiri kokoh di atas tanah seluas 120 meter persegi. Rumah impianku bersama Mas Rafka. Rumah yang benar-benar kami bangun dari nol sekitar tujuh tahun yang lalu setelah lima tahun lamanya kami tinggal di sebuah kontrakan.Selama perjalanan pulang, ponsel di dalam tas yang kupakai tak hentinya berdering. Namun sama sekali tidak membangkitkan niatku untuk sekedar melihatnya saja. Hanya satu tujuanku, segera pulang dan bertemu dengan Mas Rafka. Namun setelah kini kakiku menginjak halaman depan rumahku sendiri, aku merasa terpaku.Kakiku seakan tertancap k
Setelah berucap demikian. Mas Rafka pun bangkit dari duduknya. Kini dia berdiri menjulang di depanku. Kepalaku mendongak mengikuti arah gerak tubuhnya.Entah apa maksudnya berucap seperti barusan. Aku rasa, dia hanya ingin menyangkal. Dia hanya sedang berusaha menutupi kebenaran tentang anak perempuan itu. Aku rasa dia hanya sedang mencari-cari alasan untuk bisa terus menyangkal. Apa dia pikir aku akan percaya lagi? Apa dia pikir aku akan peduli?Mata kami bertemu pandang. Sebelum cepat-cepat aku memutusnya. Tak mampu lagi aku melihat sepasang manik matanya itu.Tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut Mas Rafka. Lelaki dengan tinggi badan 175 cm itu berjalan menjauh dari hadapanku. Melangkah hanya dengan kaus santai sehari-harinya di rumah menuju ke arah pagar sana."Jangan datangi kantor dan juga butik! Jangan injakan kaki kamu di tempat yang sudah tidak lagi menjadi milikmu!" Aku berteriak di tempatku.Mas Rafka terlihat menghentikan langkahnya sejenak. Berdiri mematung sekit
ELANG POV.Bugh!"Kurang ajar, Rafka! Beraninya dia menyakiti Fanisa. Awas saja kamu!" "Punya nyali berapa bedebah itu sampai berani menyakiti adikku dan membuatnya menangis seperti tadi. Dasar pengecut! Brengsek!""Agh!"Bugh Bugh Bugh!Tak hentinya aku mengumpat sambil memukuli stir kemudi. Aku sendiri bahkan menjadi saksi, saat Fanisa dan Rafka menandatangani surat perjanjian dalam pernikahan mereka. Di mana orang yang berani selingkuh dan mengkhianati pernikahan mereka, maka orang itu tidak berhak sedikit pun atas harta yang terkumpul selama pernikahan. Aku tahu dan menyaksikan mereka menyepakati surat perjanjian itu satu tahun setelah pernikahan mereka berlangsung.Aku kira, Rafka akan benar-benar menjaga adik perempuanku satu-satunya. Aku kira dengan surat perjanjian itu, Rafka tidak akan berani menyakiti Fanisa walau hanya seujung kuku. Aku kira, Fanisa adikku satu-satunya bersama dengan lelaki yang tepat. Karena selama ini kulihat Rafka merupakan lelaki yang tidak banyak nek
FANISA POV~Kutatap ponsel meski layarnya hanya gelap. Memantulkan wajahku yang kumal dan lusuh. Hingga tidak ada tanda-tanda ponselku ini menyala. Akhirnya kugenggam dengan menurunkan tangan yang mendekap erat lututku.Kuhembus napas kasar. Sudah lima hari berlalu, tapi Bang Elang justru tidak ada memberi kabar sama sekali. Hanya kabar terakhir darinya, yang memberitahuku bahwa ia akan langsung bertolak ke Surabaya setelah kukirimkan alamat perempuan itu.Perempuan yang Mas Rafka panggil dengan nama Purnama. Entah siapa perempuan itu. Namun, tak bisa kupungkiri. Jika namanya memang secantik paras pemiliknya.Hatiku kembali berdenyut.Kugelengkan kepala dengan cepat. Mengenyahkan kilasan kejadian saat aku bertemu perempuan itu pertama kalinya. Perempuan yang membuat kepercayaanku terhadap Mas Rafka pecah terbelah dan tak berbentuk lagi.Drrrt Drrrt Drrt.Ponsel di genggaman tangan bergetar. Aku pun mengangkatnya berada di hadapanku. Panggilan masuk dari Tia—karyawan butik."Halo?" j
POV ELANGAku menatap pantulan wajahku di depan cermin oval. Kusentuh pipi sebelah kananku yang tak mulus. Terdapat bekas luka melintang di bawah kelopak mataku hingga mendekati telinga. Luka yang timbul karena tusukan pecahan beling yang begitu dalam menembus lapisan kulit pipiku. Begitu dalamnya tusukan itu, hingga mengubah rupa wajahku.Dari tahun ke tahun, bekas lukanya tidak kunjung hilang. Seperti yang dikatakan dokter bertahun-tahun yang lalu. Hingga aku harus menerima bekas luka ini tetap ada di pipiku.Kujauhkan telapak tangan dari pipi. Seiring mata yang memejam. Teringat saat perempuan yang ada di rumah yang sama dengan Rafka mengamuk. Histeris dan mengusirku pergi dari sana.Melihat perempuan itu begitu kacau saat memintaku pergi membuatku tak berdaya. Membuatku yang seharusnya menyeret Rafka, justru melupakan tujuan utama datang ke kota ini. Lalu menjauh dari rumah mungil itu.Bahkan kulihat dari jauh, perempuan itu tak sadarkan diri dalam dekapan Rafka yang bercucuran da
POV ELANGAku masih betah memandangi sepasang manik hazel di hadapanku saat ini. Tanganku bahkan telah menangkup kedua pipinya.Garis wajahnya, hidung mancung serta rambutnya yang ikal sebahu. Seperti aku sedang memandangi foto masa kecilku.Kulitnya yang hitam kecoklatan dan bibirnya yang tipis. Nyaris tidak diturunkan dari perempuan berwajah bak bulan purnama itu. Melainkan lebih condong sepertiku.Tanpa dikomando, tanganku tiba-tiba saja terulur membelai puncak kepalanya. Mengusapnya lembut hingga ujung rambutnya.Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Terasa menggetarkan dan menyeruak memenuhi hati ini. Rasa yang aku sendiri tidak mengerti."Hey!"Suara teriakan membuatku menoleh ke arah lobi rumah sakit.Anak kecil di pangkuanku itu, cepat-cepat menarik dirinya hingga akhirnya berdiri. "Om, sekali lagi aku minta maaf. Aku buru-buru karena ingin menemui Ibu," tukasnya seolah panik.Aku meraih tangannya dengan cepat. "Jangan takut. Om akan bicara dengan petugasnya," ucapku mencegah ke
"Rumah sakit jiwa?" gumamku dengan tangan terulur melayang tanpa sambutan. Rafka telah hilang dari pandangan mata. Dibawa lajunya mobil ambulance yang mulai menjauh dari gedung rumah sakit.Tanpa membuang waktu. Aku membawa kaki ini untuk berlari. Begitu lebar hingga akhirnya pun keluar melewati pagar rumah sakit.Kebetulan sekali, sebuah taksi melintas di depanku. Buru-buru aku menghentikannya dan duduk di kursi belakang."Ikuti ambulans di depan sana, Pak!" titahku segera.Sopir taksi tak banyak bertanya. Mobil seketika kembali melaju membelah jalanan lengang pagi hari. Di dalam mobil, hati ini resah. Segala kemungkinan terlintas dalam benakku.Mungkinkah perempuan bernama Purnama itu sengaja merusak ketenangan rumah tangga Fanisa dan Rafka? Karena Purnama tahu, jika Fanisa adalah adikku. Mungkinkah Purnama sengaja melakukannya, sehingga dalam satu tembakan peluru, dia berhasil menghancurkan dua target sekaligus?Aku meremas rambutku kasar seraya mendengkus. Aku pusing dengan apa ya
Malam menyapa. Bulan bersinar penuh di singgasananya.Aku sudah kembali berada di dalam rumah sakit jiwa. Mengenakan sweater dan juga masker penutup wajah. Aku berjalan seperti biasa agar tidak menimbulkan kecurigaan para pekerja di sini.Langkahku berhenti tepat di depan kamar yang diisi Purnama. Terlebih aku mendengar suara Rafka dari dalam sana.Aku mendekatkan tubuhku pada tembok. Mengintip dari celah tralis besi ke arah dalam. Ranjang itu masih ditempati Purnama. Perempuan itu nampak memejamkan matanya. Di sisi ranjang, terdapat Rafka duduk di dekat kepala Purnama. Sementara di hadapan Rafka, duduk seorang perempuan yang lebih tua darinya. Kutaksir usianya sudah sampai kepala lima. Namun masih terlihat sehat."Pak Rafka, saya Bu Rianti. Saya melakukan pendekatan pada pasien-pasien di sini dengan cara mendengarkan mereka. Berdasarkan laporan, Bu Purnama ini baru masuk hari ini dan keadaannya benar-benar kacau. Bahkan tadi pagi, ia sempat melakukan percobaan bunuh diri. Satu jam ya
"Kenapa, Dek?" Mas Rafka datang menyusul. Suaranya pun terdengar khawatir karena aku memang berteriak memanggilnya tadi.Aku menggeleng dengan air mata yang sudah berjatuhan. Tanganku terulur menunduk pada Bang Elang yang berada di atas tempat tidurnya. Tidak mampu untuk bersuara, hanya bisa menunjuk sambil terus menangis. Berharap apa yang kulihat, hanya sebuah mimpi buruk saja.Mas Rafka sudah mendekat dan berdiri di samping kasur., sedangkan aku terduduk di depan lemari. Kulihat Mas Rafka memeriksa kondisi Bang Elang. Mulai dari menempatkan jarinya di ujung hidung Bang Elang. Memeriksa denyut pada lehernya, kemudian pergelangan tangan.Terlihat suamiku itu menggeleng sembari menghela napas. Kemudian mengambil cermin kecil dari selama laci nakas. Menempelkan pada wajah terutama bagian hidung Bang Elang beberapa saat. Lalu menariknya dan mengangkat ke atas."Innalilahi wa Inna ilaihi rooji'un ... tidak ada jejak napas, artinya bang Elang sudah tiada," ucap Mas Rafka sembari mengusap
POV Fanisa 💞💞💞Seratus hari berlalu sejak meninggalnya Purnama, kesedihan dan kehampaan atas kepergiannya kian terasa. Apalagi sore tadi, baru saja selesai acara pengajian memperingati seratus harinya. Luka ini kian dalam terasa. Mengingatkan pada sosok Purnama yang begitu shalehah semasa hidup. Benar-benar perhiasan dunia yang dimiliki Bang Elang.Tidak ada yang baik-baik saja usia kepergiannya hari itu. Kepergian yang dirasa mendadak dan begitu tiba-tiba, karena Bang Elang mengatakan bahwa perempuan jelita itu sudah sembuh dari sakit yang pernah diderita. Tapi ternyata, kematian itu benar-benar sebuah rahasia yang paling dekat pada setiap makhluk yang bernyawa.Hari-hari setelah Purnama tiada, kami semua merasa benar-benar terpuruk. Aku dan Belfania seperti kehilangan gairah hidup. Kami sangat bersedih tetapi Mas Rafka mampu menguatkan dan menghibur kamu.Sementara Bang Elang, bahkan hingga hari ini, dia tidak lagi seperti Abang yang kukenal. Dia tidka banyak bicara padaku dan M
Bersama linangan airmata, aku memetik mawar-mawar indah yang bermekaran pagi hari ini. Mawar yang mekar sempurna dan begitu cantik ini tidak bisa dilihat lagi oleh Purnama. Mawar-mawar ini justru akan mengantarnya ke pemakaman."Bang, kita harus segera ke makam." Rafka merangkul pundakku.Aku pun hanya bisa mengangguk. Kelopak mawar sudah selesai aku kumpulkan meski hanya dalam kresek. Gegas aku masuk ke dalam rumah dan keranda mayat sudah siap untuk diangkat.Hatiku hancur dan air mata tak hentinya luruh membasahi wajahku."Kalau Abang tidak sanggup, biar aku dan remaja mesjid saja yang menggotong kerandanya, Bang." Rafka kembali berucap.Namun aku cepat-cepat menggeleng. "Jangan, Raf. Biar abang saja." Aku pun melangkah gontai mendekati keranda. Mengumpulkan segenap kekuatan untuk turut serta menggotong keranda berisikan jasad istriku.Purnama wafat. Dia menghembuskan napas terakhir saat sedang bersujud. Setelah aku memanggil d
Dua Minggu berlalu, masa penyembuhan pasca operasi yang dilakukan Purnama terbilang cepat. Perempuan berstatus istriku itu sekarang sudah bisa beraktifitas di rumah walau terbatas. Bukan, bukan terbatas. Tetapi aku lah yang membatasi. Andai tidak kucegah, Purnama tidak lah mau diam.Seperti pagi ini, karena pekerjaan rumah sudah selesai kukerjakan, Purnama pasti berada di halaman. Merawat mawar-mawar yang sempat layu dan kering karena tak tersentuh olehku. Hingga kini, tanaman-tanaman itu mulai segar kembali."Kasihan, bunga-bunga ini hampir mati. Pasti kamu tidak merawatnya 'kan?" ucap Purnama yang sedang membongkar satu tanaman dalam pot berukuran kecil.Aku yang berdiri di sampingnya tak ayal mengangguk. "Bagaimana lagi? Kamu lebih penting dari sekedar bunga-bunga ini," jawabku cepat.Hanya helaan napas yang terdengar dari Purnama. Tangannya masih sibuk dengan tanaman yang sudah kering kerontang karena telah mati itu. Hingga satu pot sudah kos
Lampu ruangan operasi menyala. Artinya, sebuah tindakan sedang berlangsung di dalam sana. Setelah tiga hari menunggu, operasi Purnama pun dijadwalkan malam ini. Setelah sebelumnya menjalani puasa selama delapan jam, kini Purnama menjalani operasi yang sudah kami sepakati.Fanisa menemaniku. Duduk di samping kananku mengisi ruang tunggu. Sedangkan Rafka, harus menemani Belfania dalam pagelaran seni yang diikutinya.Detik demi detik berlalu, dan tindakan operasi belum juga selesai. Hatiku rasanya tak karuan selama menunggu. Fanisa berulangkali menepuk pahaku, karena aku tak bisa diam. Terus menggerakkan kaki sebagai luapan rasa gelisahku."Abang mau ke mushola. Kamu jaga di sini, ya?" ucapku seraya berdiri dengan cepat."Iya, Bang."Aku pun melangkah pergi. Menuju mushola yang terpisah dengan gedung rumah sakit tetapi masih satu area. Mengambil wudhu, cepat-cepat aku menunaikan shalat hajat. Zikir dan wirid tak henti kulafalkan seiring deng
Hari demi hari aku lalui bersama Purnama. Hingga berganti bulan dan aku dengan setia menemani berikhtiar untuk mencapai kesembuhannya. Namun, sudah hampir enam bulan kami jalani, kondisi Purnama tidak kunjung membaik. Bobot tubuhnya justru kian menyusut. Badannya yang mungil makin terlihat kurus. Pasca kemo, helaian demi helaian rambutnya berjatuhan. Rambutnya yang pendek, kian tipis saja sekarang. Satu bulan terakhir, ia bahkan harus memakai kursi roda saat berada di rumah. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda akan kesembuhannya.Hari ini, pemeriksaan kembali dilakukan. Aku dan Purnama berada di ruangan dokter untuk mengetahui hasil pemeriksaannya."Jaringan kankernya semakin meluas. Kemo yang dilakukan tidak begitu efektif, karena sejak penyakit ini diketahui, sudah masuk stadium empat yang artinya sudah cukup parah," jelas sang dokter membuat hati ini rasanya tercabik-cabik."Kalau operasi bagaimana, Dok?" tanyaku lemas.Dokter berkacamata di ha
"Purnama kenapa? Sakit apa?" tanya Fanisa yang baru saja datang. Dia adalah orang pertama yang kuhubungi, setelah Purnama masuk ruang IGD lima belas menit lalu.Aku menggeleng pelan. "Masih ditangani," jawabku lesu.Fanisa menghempas bobotnya di sebelahku. Dia menepuk-nepuk pundakku. Seolah menyalurkan ketenangan. Aku menunduk. Mengusap wajah dengan kedua tangan seraya menarik napas panjang. Sebelum kemudian aku menoleh pada Fanisa."Apa kamu tahu sebelumnya, Purnama mengidap sakit apa?" tanyaku kepada Fanisa.Adik perempuanku itu nampak diam seolah tengah berpikir, sampai kemudian ia menggeleng. "Aku dan Mas Rafka gak tahu, Bang. Tapi sempat Purnama juga pingsan saat dia menginap di rumah kami waktu itu. Setelah sholat Subuh. Saat itu dia menolak untuk diperiksa. Meskipun aku dan Mas Rafka terus membujuk dan memaksa. Sampai akhirnya dia kembali ke pondok dan aku gak pernah tahu Purnama itu sakit apa," jelasnya kemudian.Aku pun terdiam.
19.Tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Namun tanpa aba-aba, mataku seketika ringan terbuka. Tersadar dan melihat Purnama masih berada di atas dadaku.Aku menoleh untuk melihat jam duduk di atas nakas. Rupanya pukul tiga dini hari. Sejak tinggal di pondok, bangun dini hari seperti ini sudah menjadi kebiasaanku.Purnama nampak masih lelap. Sangat terpaksa aku harus menggeser kepalanya dengan hati-hati sampai akhirnya berpindah ke bantal. Kutatap sejenak wajah cantiknya saat tertidur, hingga bibirku tersenyum karenanya.Pelan-pelan aku bangkit. Gerakanku amat pelan sampai kemudian berhasil turun dari kasur. Karena aku tidak ingin mengganggu tidurnya.Lekas aku ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Berdiam sejenak sebelum kemudian mengambil wudhu. Sehingga wajah ini terasa lebih segar setelah terkena air. Membiarkan wajah ini tetap basah, gegas aku keluar.Langkahku terhenti di depan pintu kamar mandi. Kulihat Purnama ju
18.Aku menarik diri. Namun di luar dugaan, ternyata Purnama sudah membuka matanya kembali. Aku menunduk dan tak ayak pandangan kami pun bertemu. Tanganku yang seharusnya membelai anak rambut di keningnya, kini justru menangkup pipi Purnama.Jarak kami begitu dekat. Aku bahkan tak bisa berkedip menatapnya dari jarak sedekat ini. Hingga kurasakan telapak tangan Purnama menyentuh pipiku. Dia mengusapnya, membuatku kian menundukkan kepala. Aku benar-benar terbawa suasana.Hidung mancungnya bahkan telah beradu dengan ujung hidungku. Pandangan kami masih saling mengunci, aku memiringkan kepala, hingga menemukan posisi yang pas untuk kemudian mendaratkan bibirku di bibirnya.Aku butuh tali, untuk mengikat jantungku yang seperti akan melompat meninggalkan tempatnya.Ini ciuman pertamaku.Rasanya begitu hangat dan menggetarkan hati.Tidak ada hal lebih yang kulakukan. Hanya membiarkan bibir kami saling menempel. Begini saja, ali