Setelah berucap demikian. Mas Rafka pun bangkit dari duduknya. Kini dia berdiri menjulang di depanku. Kepalaku mendongak mengikuti arah gerak tubuhnya.
Entah apa maksudnya berucap seperti barusan. Aku rasa, dia hanya ingin menyangkal. Dia hanya sedang berusaha menutupi kebenaran tentang anak perempuan itu.Aku rasa dia hanya sedang mencari-cari alasan untuk bisa terus menyangkal. Apa dia pikir aku akan percaya lagi? Apa dia pikir aku akan peduli?Mata kami bertemu pandang. Sebelum cepat-cepat aku memutusnya. Tak mampu lagi aku melihat sepasang manik matanya itu.Tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut Mas Rafka. Lelaki dengan tinggi badan 175 cm itu berjalan menjauh dari hadapanku. Melangkah hanya dengan kaus santai sehari-harinya di rumah menuju ke arah pagar sana."Jangan datangi kantor dan juga butik! Jangan injakan kaki kamu di tempat yang sudah tidak lagi menjadi milikmu!" Aku berteriak di tempatku.Mas Rafka terlihat menghentikan langkahnya sejenak. Berdiri mematung sekitar satu meter dariku, sebelum kemudian meneruskan langkah kakinya tanpa menoleh padaku. Hingga punggung tegapnya lenyap di balik pagar besi putih.Di saat itulah tangisku luruh.Duduk sambil menekuk lutut dan memeluknya. Menenggelamkan wajahku sambil menangis sesenggukan. Tangisku benar-benar tumpah. Bahuku berguncang hebat.Aku meraung sendirian. Tangisku pecah. Aku menjerit, menumpahkan sesak yang terasa masih menggulung dada.Aku tersedu-sedu. Hanya sendiri bertemankan mawar-mawar putih yang bergoyang tertiup angin seolah mengejek.Aku meratap.Pilu.Mas Rafka memang pergi, tanpa membawa apa pun harta benda yang kami dapat selama menikah. Karena di antara kami, tertulis surat perjanjian pernikahan. Siapa saja yang sampai berselingkuh dan berkhianat dalam pernikahan ini, maka ia tidak berhak sedikit pun atas semua aset dan harta bersama yang terkumpul selama menikah. Kami membuatnya dengan sadar dan tanpa paksaan. Masing-masing dari aku dan Mas Rafka pun menyetujuinya.Aku kira, itu sudah cukup untuk membuatnya tetap bersamaku. Aku kira itu sudah cukup kuat, untuk membuatnya tetap setia dengan pernikahan kami. Ternyata aku salah. Aku salah besar.Sekarang Mas Rafka telah pergi, tanpa apa-apa selain pakaian yang melekat di tubuhnya. Namun lebih dari itu, dia telah membawa hati dan seluruh cinta yang aku miliki juga pergi bersamanya. Membuat ruang hati ini seketika kosong.Dan itu, jauh lebih menyakitkan daripada kehilangan seluruh harta yang kami usahakan bersama selama ini.Entah sudah berapa aku menangis sambil mendekap lutut. Wajahku rasanya sudah basah dan tangisku rasanya telah kutumpahkan. Namun sesaknya tak kunjung berkurang.Hingga deru mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah ini. Aku masih enggan mengangkat wajah yang tenggelam di antara lutut. Sakit di leherku belum sebanding dengan sakit yang mendera jiwa ini. Sehingga aku tidak peduli dengan mobil siapa yang datang."Fanisa!" Terdengar suara Bang Elang yang memanggil. Sepertinya memang mobil dari kakak laki-lakiku satu-satunya itu yang datang.Derap langkah terdengar mendekat tanpa ke arahku tanpa sedikit pun aku mengangkat wajah. Hingga dekapan hangat aku rasakan."Kamu kenapa di sini? Ada apa? Apa yang terjadi?" Suara Bang Elang terdengar panik."Hu hu hu ...." Bukannya menjawab, tangisku justru semakin meledak dalam dekapan Bang Elang."Hu hu hu ... Abang ...." gumamku di sela isakan tangis. Tangan kekar Bang Elang terasa mendekapku erat. Telapak tangannya yang besar juga terasa mengusap kepalaku.Aku masih terus menangis. Karena hanya dengan tangisan aku merasa bisa mengeluarkan kesakitan ini, walau sebenarnya tidaklah demikian. Sakit ini tetap memenuhi hati, jangankan untuk sirna berkurang sedikit saja pun tidak.Cukup lama Bang Elang mendekap dan menenangkanku. Hingga Bang Elang menegakkan badanku yang bersarang di dadanya. Tangan Bang Elang mengusap wajahku yang basah. Mataku rasanya pun bengkak karena terus menangis."Kamu kenapa? Bukannya kamu baru pulang dari Surabaya? Kenapa kamu malah seperti ini?" tanya Bang Elang dengan lembut.Kedua tangannya menahan sedikit mencengkram bahuku. Matanya tajam menelisik pada netraku, sedangkan aku masih tersedu sedan."Mas Rafka, Bang ...," ucapku lirih.Alis tebal dari Bang Elang terangkat. Tatapannya semakin tajam menukik menembus mataku. "Rafka? Kenapa?" tanya pelan."Hu, hu, hu. Mas ... Rafka, dia ....""Dia kenapa?!""Dia ... punya anak dari perempuan lain, Bang." Tangisku kembali pecah."Apa? Abang gak salah denger ini, Fan?" Bang Elang memekik. Nada bicaranya pun jelas menunjukkan kekagetan.Aku menggeleng. "Abang gak salah denger. Mas Rafka ... dia memiliki anak dari perempuan lain, Bang. Dia menikahi perempuan lain. Dia menduakan aku .... hu hu hu."Aku kembali menghambur dalam dada abangku. Kedua tangannya pun kembali melingkari punggungku.Setelah ayah dan ibuku meninggal, hanya Bang Elang satu-satunya keluarga yang kupunya. Hanya Bang Elang yang akan selalu melindungiku, menjadi orang pertama yang akan pasang badan untukku. Seperti saat ini saat aku jatuh dan sangat rapuh, Bang Elang lah yang datang dan merangkulku."Kamu tidak sedang mempermainkan Abang, 'kan, Fan? Kamu bicara seperti ini setelah mendapatkan bukti kuat dari perbuatan Rafka?" selidiknya dengan masih mendekapku.Aku mengangguk dalam dekapan Bang Elang. "Mana mungkin aku main-main bang," jawabku lirih.Abangku ini tak lagi bersuara, namun dapat kurasakan tangannya di balik punggungku yang mengepal kuat. Bang Elang pasti merasakan kecewa serta marah yang sama sepertiku.Bang Elang masih tidak mengeluarkan suara, hanya elusan tangannya yang terasa menenangkan di punggungku. Hingga tangisku perlahan benar-benar telah berhenti."Sekarang katakan pada Abang di mana Rafka?!"Aku seketika menoleh, memicingkan mata menatap saudara kandung yang terpaut usia hanya tiga tahun di atasku. "Mana aku tahu dan mana Aku peduli," jawabku seraya memalingkan wajah."Kamu membiarkan dia pergi begitu saja?""Apalagi? Dia sudah pergi dan ke mana dia itu bukan urusanku, Bang!"Terdengar helaan napas berat dari Abangku ini. "Seharusnya kamu jangan dulu membiarkannya pergi dari sini," tukasnya yang tidak kumengerti."Aku sudah membuatnya pergi tanpa membawa apa-apa, Bang. Dia hanya pergi dengan pakaian yang masih melekat di badannya," jawabku menjelaskan.Lagi, terdengar hembuskan napas berat dari Bang Elang. "Ini bukan soal materi kalian" jawabnya.Seketika keningku mengernyit tidak mengerti arah pembicaraan abangku satu ini."Seharusnya dia masih ada di sini saat Abang datang seperti sekarang. Biar Abang bisa memastikan, Rafka akan mati di tangan Abang," ujarnya membuatku syok dan terdiam."Seharusnya kamu tidak membiarkan dia pergi dengan mudah. Paling tidak, jika dia tidak sampai mati, Abang lebih dulu akan mematahkan lehernya," ucapnya dipenuhi semburat napsu di wajahnya. Bang Elang mengepalkan tangannya erat di hadapanku.Aku terdiam memandangi abangku. Dia memang agak tempramental, lebih mudah tersulut amarah apalagi ketika ada masalah. Emosinya menjadi tidak stabil dan sulit dikendalikan."Abang yang akan mencari dia. Biar Abang buat perhitungan. Abang akan menyeretnya ke hadapan kamu. Kamu tenang saja, Abang enggak akan tinggal diam," ujarnya dengan begitu marah. Lebih pada kecewa. "Abang yang akan menghadapi laki- pengecut seperti dia!" umpatnya dengan kulit muka yang memerah, menahan amarah..ELANG POV.Bugh!"Kurang ajar, Rafka! Beraninya dia menyakiti Fanisa. Awas saja kamu!" "Punya nyali berapa bedebah itu sampai berani menyakiti adikku dan membuatnya menangis seperti tadi. Dasar pengecut! Brengsek!""Agh!"Bugh Bugh Bugh!Tak hentinya aku mengumpat sambil memukuli stir kemudi. Aku sendiri bahkan menjadi saksi, saat Fanisa dan Rafka menandatangani surat perjanjian dalam pernikahan mereka. Di mana orang yang berani selingkuh dan mengkhianati pernikahan mereka, maka orang itu tidak berhak sedikit pun atas harta yang terkumpul selama pernikahan. Aku tahu dan menyaksikan mereka menyepakati surat perjanjian itu satu tahun setelah pernikahan mereka berlangsung.Aku kira, Rafka akan benar-benar menjaga adik perempuanku satu-satunya. Aku kira dengan surat perjanjian itu, Rafka tidak akan berani menyakiti Fanisa walau hanya seujung kuku. Aku kira, Fanisa adikku satu-satunya bersama dengan lelaki yang tepat. Karena selama ini kulihat Rafka merupakan lelaki yang tidak banyak nek
FANISA POV~Kutatap ponsel meski layarnya hanya gelap. Memantulkan wajahku yang kumal dan lusuh. Hingga tidak ada tanda-tanda ponselku ini menyala. Akhirnya kugenggam dengan menurunkan tangan yang mendekap erat lututku.Kuhembus napas kasar. Sudah lima hari berlalu, tapi Bang Elang justru tidak ada memberi kabar sama sekali. Hanya kabar terakhir darinya, yang memberitahuku bahwa ia akan langsung bertolak ke Surabaya setelah kukirimkan alamat perempuan itu.Perempuan yang Mas Rafka panggil dengan nama Purnama. Entah siapa perempuan itu. Namun, tak bisa kupungkiri. Jika namanya memang secantik paras pemiliknya.Hatiku kembali berdenyut.Kugelengkan kepala dengan cepat. Mengenyahkan kilasan kejadian saat aku bertemu perempuan itu pertama kalinya. Perempuan yang membuat kepercayaanku terhadap Mas Rafka pecah terbelah dan tak berbentuk lagi.Drrrt Drrrt Drrt.Ponsel di genggaman tangan bergetar. Aku pun mengangkatnya berada di hadapanku. Panggilan masuk dari Tia—karyawan butik."Halo?" j
POV ELANGAku menatap pantulan wajahku di depan cermin oval. Kusentuh pipi sebelah kananku yang tak mulus. Terdapat bekas luka melintang di bawah kelopak mataku hingga mendekati telinga. Luka yang timbul karena tusukan pecahan beling yang begitu dalam menembus lapisan kulit pipiku. Begitu dalamnya tusukan itu, hingga mengubah rupa wajahku.Dari tahun ke tahun, bekas lukanya tidak kunjung hilang. Seperti yang dikatakan dokter bertahun-tahun yang lalu. Hingga aku harus menerima bekas luka ini tetap ada di pipiku.Kujauhkan telapak tangan dari pipi. Seiring mata yang memejam. Teringat saat perempuan yang ada di rumah yang sama dengan Rafka mengamuk. Histeris dan mengusirku pergi dari sana.Melihat perempuan itu begitu kacau saat memintaku pergi membuatku tak berdaya. Membuatku yang seharusnya menyeret Rafka, justru melupakan tujuan utama datang ke kota ini. Lalu menjauh dari rumah mungil itu.Bahkan kulihat dari jauh, perempuan itu tak sadarkan diri dalam dekapan Rafka yang bercucuran da
POV ELANGAku masih betah memandangi sepasang manik hazel di hadapanku saat ini. Tanganku bahkan telah menangkup kedua pipinya.Garis wajahnya, hidung mancung serta rambutnya yang ikal sebahu. Seperti aku sedang memandangi foto masa kecilku.Kulitnya yang hitam kecoklatan dan bibirnya yang tipis. Nyaris tidak diturunkan dari perempuan berwajah bak bulan purnama itu. Melainkan lebih condong sepertiku.Tanpa dikomando, tanganku tiba-tiba saja terulur membelai puncak kepalanya. Mengusapnya lembut hingga ujung rambutnya.Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Terasa menggetarkan dan menyeruak memenuhi hati ini. Rasa yang aku sendiri tidak mengerti."Hey!"Suara teriakan membuatku menoleh ke arah lobi rumah sakit.Anak kecil di pangkuanku itu, cepat-cepat menarik dirinya hingga akhirnya berdiri. "Om, sekali lagi aku minta maaf. Aku buru-buru karena ingin menemui Ibu," tukasnya seolah panik.Aku meraih tangannya dengan cepat. "Jangan takut. Om akan bicara dengan petugasnya," ucapku mencegah ke
"Rumah sakit jiwa?" gumamku dengan tangan terulur melayang tanpa sambutan. Rafka telah hilang dari pandangan mata. Dibawa lajunya mobil ambulance yang mulai menjauh dari gedung rumah sakit.Tanpa membuang waktu. Aku membawa kaki ini untuk berlari. Begitu lebar hingga akhirnya pun keluar melewati pagar rumah sakit.Kebetulan sekali, sebuah taksi melintas di depanku. Buru-buru aku menghentikannya dan duduk di kursi belakang."Ikuti ambulans di depan sana, Pak!" titahku segera.Sopir taksi tak banyak bertanya. Mobil seketika kembali melaju membelah jalanan lengang pagi hari. Di dalam mobil, hati ini resah. Segala kemungkinan terlintas dalam benakku.Mungkinkah perempuan bernama Purnama itu sengaja merusak ketenangan rumah tangga Fanisa dan Rafka? Karena Purnama tahu, jika Fanisa adalah adikku. Mungkinkah Purnama sengaja melakukannya, sehingga dalam satu tembakan peluru, dia berhasil menghancurkan dua target sekaligus?Aku meremas rambutku kasar seraya mendengkus. Aku pusing dengan apa ya
Malam menyapa. Bulan bersinar penuh di singgasananya.Aku sudah kembali berada di dalam rumah sakit jiwa. Mengenakan sweater dan juga masker penutup wajah. Aku berjalan seperti biasa agar tidak menimbulkan kecurigaan para pekerja di sini.Langkahku berhenti tepat di depan kamar yang diisi Purnama. Terlebih aku mendengar suara Rafka dari dalam sana.Aku mendekatkan tubuhku pada tembok. Mengintip dari celah tralis besi ke arah dalam. Ranjang itu masih ditempati Purnama. Perempuan itu nampak memejamkan matanya. Di sisi ranjang, terdapat Rafka duduk di dekat kepala Purnama. Sementara di hadapan Rafka, duduk seorang perempuan yang lebih tua darinya. Kutaksir usianya sudah sampai kepala lima. Namun masih terlihat sehat."Pak Rafka, saya Bu Rianti. Saya melakukan pendekatan pada pasien-pasien di sini dengan cara mendengarkan mereka. Berdasarkan laporan, Bu Purnama ini baru masuk hari ini dan keadaannya benar-benar kacau. Bahkan tadi pagi, ia sempat melakukan percobaan bunuh diri. Satu jam ya
POV FANISA—Bip Bip Bip!Ponselku berbunyi. Deretan pesan masuk, tertuju ke dalamnya. Aku menghentikan sejenak aktivitas di depan layar laptop. Meraih benda pipih di atas meja yang sama dengan laptop di hadapanku.Aku melihatnya malas. Namun, seketika pun terkesiap. Saat tahu yang mengirimkan pesan adalah Abangku.Kedua tangan memegangi ponsel. Lalu membuka satu demi satu pesan yang masuk dari Bang Elang dan membacanya dengan seksama.Keningku mengernyit. Kala pesan di urutan pertama memunculkan satu buah foto. Seseorang nampak tersungkur dengan seluruh badan tengkurap.Wajahnya nampak dari samping. Namun terlihat begitu jelas babak belur. Lebam dan bersimbah darah. Begitu juga kedua lengan yang dipenuhi luka. Kedua kakinya berada dalam keadaan terikat.Aku menatapnya lekat. Meski wajahnya dipenuhi luka, lebam, serta darah. Tapi aku bisa mengenalinya. Dari postur tubuh dan potongan rambutnya yang juga berlumur darah
Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan."Argh! Bang Elang ke mana?" tanyaku lirih seorang diri.Usai kepergian Mba Inayah dari ruangan kerjaku ini. Aku buru-buru menghubungi Bang Elang. Sudah hampir lima kali aku menghubungi nomornya. Namun selalu saja sama. Suara operator perempuan yang kudengar.Aku ingin memastikan keadaan Mas Rafka.Entah untuk apa.Namun setelah kepergian Mba Inayah dari hadapanku. Sejenak aku merenung. Aku pun teringat, bagaimana sebelum Mas Rafka menerima keputusanku untuk tidak memiliki anak, ia selalu membujuk dan meyakinkan bahwa kehidupanku akan tetap baik-baik saja setelah memiliki buah hati.Aku pun merasa ditarik oleh memori. Bagaimana sejak masa SMA, keluarga Mas Rafka begitu menerimaku. Mereka sangat terbuka, merangkul serta memberiku rasa nyaman. Keluarga besar Mas Rafka begitu harmonis. Aku seperti memiliki keluarga yang utuh saat berada bersama mereka.Aku mendesah mengingat masa-masa silam. Rasa nyeri semakin menyebar dan menggerogoti
"Kenapa, Dek?" Mas Rafka datang menyusul. Suaranya pun terdengar khawatir karena aku memang berteriak memanggilnya tadi.Aku menggeleng dengan air mata yang sudah berjatuhan. Tanganku terulur menunduk pada Bang Elang yang berada di atas tempat tidurnya. Tidak mampu untuk bersuara, hanya bisa menunjuk sambil terus menangis. Berharap apa yang kulihat, hanya sebuah mimpi buruk saja.Mas Rafka sudah mendekat dan berdiri di samping kasur., sedangkan aku terduduk di depan lemari. Kulihat Mas Rafka memeriksa kondisi Bang Elang. Mulai dari menempatkan jarinya di ujung hidung Bang Elang. Memeriksa denyut pada lehernya, kemudian pergelangan tangan.Terlihat suamiku itu menggeleng sembari menghela napas. Kemudian mengambil cermin kecil dari selama laci nakas. Menempelkan pada wajah terutama bagian hidung Bang Elang beberapa saat. Lalu menariknya dan mengangkat ke atas."Innalilahi wa Inna ilaihi rooji'un ... tidak ada jejak napas, artinya bang Elang sudah tiada," ucap Mas Rafka sembari mengusap
POV Fanisa 💞💞💞Seratus hari berlalu sejak meninggalnya Purnama, kesedihan dan kehampaan atas kepergiannya kian terasa. Apalagi sore tadi, baru saja selesai acara pengajian memperingati seratus harinya. Luka ini kian dalam terasa. Mengingatkan pada sosok Purnama yang begitu shalehah semasa hidup. Benar-benar perhiasan dunia yang dimiliki Bang Elang.Tidak ada yang baik-baik saja usia kepergiannya hari itu. Kepergian yang dirasa mendadak dan begitu tiba-tiba, karena Bang Elang mengatakan bahwa perempuan jelita itu sudah sembuh dari sakit yang pernah diderita. Tapi ternyata, kematian itu benar-benar sebuah rahasia yang paling dekat pada setiap makhluk yang bernyawa.Hari-hari setelah Purnama tiada, kami semua merasa benar-benar terpuruk. Aku dan Belfania seperti kehilangan gairah hidup. Kami sangat bersedih tetapi Mas Rafka mampu menguatkan dan menghibur kamu.Sementara Bang Elang, bahkan hingga hari ini, dia tidak lagi seperti Abang yang kukenal. Dia tidka banyak bicara padaku dan M
Bersama linangan airmata, aku memetik mawar-mawar indah yang bermekaran pagi hari ini. Mawar yang mekar sempurna dan begitu cantik ini tidak bisa dilihat lagi oleh Purnama. Mawar-mawar ini justru akan mengantarnya ke pemakaman."Bang, kita harus segera ke makam." Rafka merangkul pundakku.Aku pun hanya bisa mengangguk. Kelopak mawar sudah selesai aku kumpulkan meski hanya dalam kresek. Gegas aku masuk ke dalam rumah dan keranda mayat sudah siap untuk diangkat.Hatiku hancur dan air mata tak hentinya luruh membasahi wajahku."Kalau Abang tidak sanggup, biar aku dan remaja mesjid saja yang menggotong kerandanya, Bang." Rafka kembali berucap.Namun aku cepat-cepat menggeleng. "Jangan, Raf. Biar abang saja." Aku pun melangkah gontai mendekati keranda. Mengumpulkan segenap kekuatan untuk turut serta menggotong keranda berisikan jasad istriku.Purnama wafat. Dia menghembuskan napas terakhir saat sedang bersujud. Setelah aku memanggil d
Dua Minggu berlalu, masa penyembuhan pasca operasi yang dilakukan Purnama terbilang cepat. Perempuan berstatus istriku itu sekarang sudah bisa beraktifitas di rumah walau terbatas. Bukan, bukan terbatas. Tetapi aku lah yang membatasi. Andai tidak kucegah, Purnama tidak lah mau diam.Seperti pagi ini, karena pekerjaan rumah sudah selesai kukerjakan, Purnama pasti berada di halaman. Merawat mawar-mawar yang sempat layu dan kering karena tak tersentuh olehku. Hingga kini, tanaman-tanaman itu mulai segar kembali."Kasihan, bunga-bunga ini hampir mati. Pasti kamu tidak merawatnya 'kan?" ucap Purnama yang sedang membongkar satu tanaman dalam pot berukuran kecil.Aku yang berdiri di sampingnya tak ayal mengangguk. "Bagaimana lagi? Kamu lebih penting dari sekedar bunga-bunga ini," jawabku cepat.Hanya helaan napas yang terdengar dari Purnama. Tangannya masih sibuk dengan tanaman yang sudah kering kerontang karena telah mati itu. Hingga satu pot sudah kos
Lampu ruangan operasi menyala. Artinya, sebuah tindakan sedang berlangsung di dalam sana. Setelah tiga hari menunggu, operasi Purnama pun dijadwalkan malam ini. Setelah sebelumnya menjalani puasa selama delapan jam, kini Purnama menjalani operasi yang sudah kami sepakati.Fanisa menemaniku. Duduk di samping kananku mengisi ruang tunggu. Sedangkan Rafka, harus menemani Belfania dalam pagelaran seni yang diikutinya.Detik demi detik berlalu, dan tindakan operasi belum juga selesai. Hatiku rasanya tak karuan selama menunggu. Fanisa berulangkali menepuk pahaku, karena aku tak bisa diam. Terus menggerakkan kaki sebagai luapan rasa gelisahku."Abang mau ke mushola. Kamu jaga di sini, ya?" ucapku seraya berdiri dengan cepat."Iya, Bang."Aku pun melangkah pergi. Menuju mushola yang terpisah dengan gedung rumah sakit tetapi masih satu area. Mengambil wudhu, cepat-cepat aku menunaikan shalat hajat. Zikir dan wirid tak henti kulafalkan seiring deng
Hari demi hari aku lalui bersama Purnama. Hingga berganti bulan dan aku dengan setia menemani berikhtiar untuk mencapai kesembuhannya. Namun, sudah hampir enam bulan kami jalani, kondisi Purnama tidak kunjung membaik. Bobot tubuhnya justru kian menyusut. Badannya yang mungil makin terlihat kurus. Pasca kemo, helaian demi helaian rambutnya berjatuhan. Rambutnya yang pendek, kian tipis saja sekarang. Satu bulan terakhir, ia bahkan harus memakai kursi roda saat berada di rumah. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda akan kesembuhannya.Hari ini, pemeriksaan kembali dilakukan. Aku dan Purnama berada di ruangan dokter untuk mengetahui hasil pemeriksaannya."Jaringan kankernya semakin meluas. Kemo yang dilakukan tidak begitu efektif, karena sejak penyakit ini diketahui, sudah masuk stadium empat yang artinya sudah cukup parah," jelas sang dokter membuat hati ini rasanya tercabik-cabik."Kalau operasi bagaimana, Dok?" tanyaku lemas.Dokter berkacamata di ha
"Purnama kenapa? Sakit apa?" tanya Fanisa yang baru saja datang. Dia adalah orang pertama yang kuhubungi, setelah Purnama masuk ruang IGD lima belas menit lalu.Aku menggeleng pelan. "Masih ditangani," jawabku lesu.Fanisa menghempas bobotnya di sebelahku. Dia menepuk-nepuk pundakku. Seolah menyalurkan ketenangan. Aku menunduk. Mengusap wajah dengan kedua tangan seraya menarik napas panjang. Sebelum kemudian aku menoleh pada Fanisa."Apa kamu tahu sebelumnya, Purnama mengidap sakit apa?" tanyaku kepada Fanisa.Adik perempuanku itu nampak diam seolah tengah berpikir, sampai kemudian ia menggeleng. "Aku dan Mas Rafka gak tahu, Bang. Tapi sempat Purnama juga pingsan saat dia menginap di rumah kami waktu itu. Setelah sholat Subuh. Saat itu dia menolak untuk diperiksa. Meskipun aku dan Mas Rafka terus membujuk dan memaksa. Sampai akhirnya dia kembali ke pondok dan aku gak pernah tahu Purnama itu sakit apa," jelasnya kemudian.Aku pun terdiam.
19.Tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Namun tanpa aba-aba, mataku seketika ringan terbuka. Tersadar dan melihat Purnama masih berada di atas dadaku.Aku menoleh untuk melihat jam duduk di atas nakas. Rupanya pukul tiga dini hari. Sejak tinggal di pondok, bangun dini hari seperti ini sudah menjadi kebiasaanku.Purnama nampak masih lelap. Sangat terpaksa aku harus menggeser kepalanya dengan hati-hati sampai akhirnya berpindah ke bantal. Kutatap sejenak wajah cantiknya saat tertidur, hingga bibirku tersenyum karenanya.Pelan-pelan aku bangkit. Gerakanku amat pelan sampai kemudian berhasil turun dari kasur. Karena aku tidak ingin mengganggu tidurnya.Lekas aku ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Berdiam sejenak sebelum kemudian mengambil wudhu. Sehingga wajah ini terasa lebih segar setelah terkena air. Membiarkan wajah ini tetap basah, gegas aku keluar.Langkahku terhenti di depan pintu kamar mandi. Kulihat Purnama ju
18.Aku menarik diri. Namun di luar dugaan, ternyata Purnama sudah membuka matanya kembali. Aku menunduk dan tak ayak pandangan kami pun bertemu. Tanganku yang seharusnya membelai anak rambut di keningnya, kini justru menangkup pipi Purnama.Jarak kami begitu dekat. Aku bahkan tak bisa berkedip menatapnya dari jarak sedekat ini. Hingga kurasakan telapak tangan Purnama menyentuh pipiku. Dia mengusapnya, membuatku kian menundukkan kepala. Aku benar-benar terbawa suasana.Hidung mancungnya bahkan telah beradu dengan ujung hidungku. Pandangan kami masih saling mengunci, aku memiringkan kepala, hingga menemukan posisi yang pas untuk kemudian mendaratkan bibirku di bibirnya.Aku butuh tali, untuk mengikat jantungku yang seperti akan melompat meninggalkan tempatnya.Ini ciuman pertamaku.Rasanya begitu hangat dan menggetarkan hati.Tidak ada hal lebih yang kulakukan. Hanya membiarkan bibir kami saling menempel. Begini saja, ali