"Kenapa secepat itu?" tanyaku kebingungan atas sesuatu yang diucapkan Rendra melaui telepon bahwa pernikahan kami akan dilaksanakan satu minggu lagi.
Rendra tidak memberikan alasan yang jelas padaku, dia hanya menyuruhku untuk segera bergegas kembali ke rumah sakit, tempat Kakek dirawat."Hal gila apa lagi ini?" umpatku dalam hati.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, aku memaki-maki Rendra, menyumpahi namanya karena selalu berbuat seenaknya.Bagaimana bisa dia selalu berbuat seenaknya?Aku berjalan cepat dengan perasaan membara. Segera saja aku masuk ke ruangan rawat Kakek yang penuh dengan aroma obat-obatan menusuk hidung.Pandanganku langsung tertuju ke arah ranjang, namun yang kulihat bukan hanya Kakek yang terbaring di kasur. Di sana, ada banyak sekali orang yang mengelilinginya. Ada keluarga Rendra juga di sana."Kamu sudah datang, Lusi. Kemarilah," sapa Kakek ketika melihatku masuk ke dalam ruangan.Kakek terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku bertanya-tanya mengapa kondisinya membaik begitu cepat. Meskipun begitu, aku merasa bersyukur bahwa Kakek tidak mengalami masalah yang serius.Aku berjalan mendekati Kakek, "Ada apa ini, Kek?" tanyaku penasaran."Menikahlah dengan Rendra minggu depan, Lusi," ucap Kakek dengan nada memelas."Aku tidak mau secepat itu, Kek," tolakku pada Kakek atas tawaran pernikahan yang terlalu cepat ini."Aku setuju, pernikahan ini harus segera dilaksanakan," ucap Rendra di luar dugaanku. Harusnya dia berada di pihakku, tapi mengapa justru dia yang meminta dipercepat? Pikiranku kacau dengan kebingungan.Aku memandang Rendra dengan kesal karena tampaknya dia tak peduli dengan perasaanku dan bertindak seenaknya. Untungnya, dia pria tampan. Kalau tidak, aku mungkin sudah membungkam mulutnya yang tidak punya aturan itu."Lusi, hal baik tidak boleh ditunda. Tenang saja, nanti mama, papa, dan orang tua Rendra yang akan mengurus semua pernikahan kalian. Kalian tidak perlu khawatir," bujuk Mama padaku.Aku memandang orang-orang yang ada di sana, mereka memberikan tatapan seolah-olah setuju dengan apa yang dikatakan oleh Kakek, Rendra, dan Mama.Aku tidak punya kekuatan untuk melawan orang sebanyak itu. Aku turuti saja semuanya agar cepat selesai, "Terserah, aku ikut saja," balasku malas berdebat dengan banyak orang."Bagaimana kalau kita berangkat sekarang untuk melakukan fitting baju?" ucap Tante Mala, Mama Rendra dengan antusias. Suaranya penuh semangat, menyiratkan keinginan untuk segera melanjutkan persiapan pernikahan.Persetujuan atas ide Tante Mala membuat kami sekarang berjalan keluar rumah sakit. Kami akan melakukan fitting baju sesuai rencana yang telah disusun olehnya.Aku memandang pria yang berjalan di sampingku, "Jangan memandangku seperti itu atau kamu akan jatuh cinta padaku," ucap Rendra begitu percaya diri karena aku memandangnya."Kenapa kamu menyetujui ini semua?" tanyaku penasaran kepada Rendra. Aku ingin memahami alasan di balik keputusannya untuk mendukung pernikahan yang begitu cepat ini."Memang untuk apa menunggu lama-lama? Kamu lihat sendiri kan, kondisi Kakekmu jauh lebih baik setelah kesepakatan pernikahan kita?" balas Rendra tanpa menatapku sedikitpun.****Setelah perjalanan yang memakan waktu beberapa menit, akhirnya kami sampai di sebuah butik yang sering aku datangi. Ya, ini adalah butik milik keluargaku, dan aku adalah salah satu pengelolanya di sana. Rasanya aneh berada di tempat yang biasanya aku jalani dengan kedamaian, tetapi sekarang dipenuhi dengan kesibukan persiapan pernikahan yang mendadak.Di dalam butik, cahaya alami memancar melalui jendela besar, menyinari setiap detail gaun pernikahan yang tergantung dengan anggun di rak-rak kayu.Di antara deretan gaun-gaun mewah, ada satu gaun yang menonjol dengan keanggunan dan keindahannya yang luar biasa. Sebuah gaun pernikahan yang memikat, berkilau dengan taburan mutiara dan kristal yang menambahkan sentuhan magis pada desainnya. Potongan yang mengalir, kerah yang rendah, dan detail penuh keanggunan di setiap lipatan menjadikan gaun ini sebagai karya seni yang tiada tanding.Warna putih yang murni melambangkan kepolosan dan keabadian cinta, sementara kerapatan kain yang lembut memberikan sentuhan romantis yang tak terlupakan. Gaun itu seolah memanggil untuk dipilih, untuk dikenakan oleh seorang pengantin yang akan menjadi pusat perhatian di hari istimewanya.Aku mengambil gaun itu dan mencobanya. Ini adalah gaun hasil desainku, dan ternyata hasilnya sangat cantik. Aku benar-benar menyukainya.Aku membawa gaun itu ke ruang fitting untuk kucoba.Aku memandang diriku menggunakan gaun itu melalui kaca yang ada di dalam ruang fitting. Di sana, aku terlihat seperti seorang pengantin sungguhan. "Meskipun tidak mencintaiku, Rendra pasti terpukau dengan kecantikanku," pikirku sambil tersenyum.Aku keluar dari ruang ganti dan menunjukkan gaun itu kepada Rendra, selaku calon pengantin pria.Dia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah-olah tidak mau melewatkan satu pun detail dari penampilanku. Tatapan matanya terasa tajam, mungkin mencoba menemukan sesuatu yang sulit terungkap di balik kesempurnaan itu."Jelek, ganti," ucapnya ketus atas penilaiannya pada gaun yang aku gunakan.Dengan ekspresi kekecewaan di wajah, aku mencoba gaun-gaun lainnya. Setiap kali aku keluar dari ruang ganti, tatapan kritisnya terus mengawasi setiap detail, dan kata-kata "Jelek, ganti" terus terulang.Setelah lima kali ganti gaun, kelelahan mulai terasa. Aku merasa frustrasi dan ingin mencari cara agar Rendra puas. Tanpa ragu, aku meminta saran langsung darinya, "Rendra, tolonglah, pilihkan gaun yang menurutmu paling baik untukku."Rendra yang awalnya terlihat keras dan kritis, tiba-tiba tersenyum kecil. "Baiklah," katanya, dan dengan hati-hati, ia mulai memilih gaun berikutnya. Kejutan datang ketika Rendra memilih gaun yang memiliki belahan dada dan kaki cukup lebar, baju itu cukup seksi bagiku.Aku melotot ke arah Rendra menanyakan maksud dia memilihkan aku baju seterbuka itu. "Aku tidak mau," bantahku padanya dengan tegas, mencerminkan ketidaksetujuanku terhadap pilihannya.Rendra memberikan gaun itu kepada pelayan toko dan menyuruhnya untuk memakaikannya padaku. Aku memandang gaun tersebut dengan keraguan, dan dengan terpaksa, aku mencoba mengikuti kemauannya sambil berdecak kesal.Saat aku keluar dari ruang ganti dengan gaun yang dipilihkan oleh Rendra, "Luar biasa," ucapnya dengan puas dengan senyuman yang sumringah."Lusi, kamu terlihat benar-benar seksi," puji Rendra padaku, yang membuatku semakin merasa kesal. Pujian itu tidak membantu meredakan ketidaknyamananku.Aku hanya menatap tajam Rendra. Tanpa berkata apa-apa, aku masuk kembali ke dalam ruangan fitting untuk segera mengganti bajuku. Aku tidak memedulikan keinginan Rendra. Aku memilih gaun pertama yang menurutku paling cantik. Kemudian, aku meninggalkan Rendra dengan perasaan kesal dan dendam kesumat padanya. Langkahku dipenuhi dengan ketegasan dan ketidaksenangan yang mendalam."Rendra gila, gila!!" kesalku pada Rendra ketika aku berjalan menuju parkiran.Aku sangat membenci Rendra. Lihat saja, ketika sudah menikah nanti, aku akan membalas lebih dari yang dia lakukan. Aku menghela napas kasar atas perlakuan gila Rendra. Kemarahanku mencuat karena sikapnya yang tidak terkendali.Aku akan pulang ke rumah, namun ketika aku hendak membuka pintu mobil, "Kuncinya tidak masuk, apa yang salah?" Pikiranku berkecamuk dengan kejadian-kejadian yang tidak biasa belakangan ini."Hahahahaha Delusi Delusi" tawa seseorang di belakangku.Suara tawa itu memperkuat rasa ketidaknyamananku. Aku berbalik ingin melihat siapa yang berada di belakangku. Aku melihat Rendra menertawakanku di sana, dia berjalan mendekatiku.Hatiku berdegup kencang. Rendra, dengan sikapnya yang tidak terduga, membuatku semakin gelisah dan marah."Kenapa kamu begitu ceroboh, Lusi?" ejek Rendra sambil menggoyangkan kunci mobil yang dibawanya.Hatiku berdesir mendengar ejekan Rendra. Rasanya campuran antara marah dan frustrasi menghantamku begitu keras.Rendra membuka pintu mobil itu, "Naiklah. Kita akan memesan cincin pernikahan."Tanpa berkata sepatah kata pun, aku masuk ke dalam mobil itu. Rendra juga masuk ke dalam mobil."Kenapa kamu tidak mau membeli gaun pilihanku?" goda Rendra. "Kamu sangat seksi menggunakan gaun itu," bisik Rendra padaku.Perkataan Rendra semakin membuatku kesal. Aku mendorong wajahnya yang mendekatiku, "Berhenti melakukan hal aneh, Rendra, Pernikahan ini bukan hanya untukmu!" ucapku, meluapkan kekesalan yang kurasakan.Emosi yang terpendam meledak begitu saja, aku tidak tahan lagi dengan perlakuan Rendra yang semakin tidak wajar."Jangan banyak bicara dan cepat berangkat," desakku kepada Rendra untuk cepat-cepat menyelesaikan ini semua.Rendra menyalakan mobil, dan kami segera berangkat menuju toko perhiasan. Suasana di dalam mobil hening, menggambarkan kecanggungan antara kami berdua.****Kami sampai di sebuah toko cincin rekomendasi orang tua kami. Segera saja kami memesan cincin pernikahan dan menggambarkan detail cincin yang kami inginkan."Yang biasa-biasa saja, seperti cincin pernikahan pada umumnya," ucap Rendra menjelaskan kepada pelayan toko. Suara Rendra terdengar monoton, mencerminkan ketidakbersemangatannya dalam memilih cincin pernikahan."Saya lebih suka yang ini," ucapku dengan tegas, menunjuk pada cincin yang memiliki desain yang jauh dari kesan elegan.Aku sengaja meminta model cincin yang memiliki desain mencolok, dengan kombinasi warna yang emas dan merah. Batu permata yang terlalu besar dan aksen yang berlebihan membuatnya terkesan norak. Aku ingin memperlihatkan bahwa aku juga bisa melakukan hal yang sama seperti yang telah dia lakukan di butik.Rendra menatapku dengan heran dan seperti memberikan pertanda ketidaksetujuan, tetapi aku hanya tersenyum penuh kepuasan. Meskipun ini hanya langkah kecil, rasanya seperti kemenangan kecil bagiku."Memangnya kamu tidak malu menggunakan cincin itu?" tanya Rendra, mencoba memprovokasiku."Tidak, ini cantik. Kenapa harus malu?" balasku dengan santai sambil melihat cincin yang telah aku pasang di jariku.Aku tidak ingin terpancing oleh provokasi Rendra."Gila kamu ya? Aku tidak setuju," protes Rendra kepadaku."Mbak, bungkus yang ini," ucapku kepada pelayan toko untuk membungkus cincin norak itu.Rendra mengambil cincin norak itu, "Apa yang kamu inginkan?" tanya Rendra padaku.Akhirnya Rendra masuk dalam perangkapku, seseorang yang lebih menyukai hal yang simple ini pasti akan menolak ketika aku meminta cincin norak. Aku tersenyum kecil atas kemenanganku."Apa yang aku inginkan?" ucapku sambil mengetuk-ngetuk daguku dengan jari. "Hmmmm, apa ya?" lanjutku sambil memikirkannya dengan lebih serius."Cepat katakan atau kita pulang saja," ancam Rendra padaku. Berani sekali dia mengancamku, apakah dia lupa kalau kita sedang berada di posisi yang sama?"Keinginanku adalah kamu diam saja di sini dan biarkan aku yang memilih model cincin pernikahan kita," tegasku pada Rendra. Rendra hanya diam, sepertinya dia takut kalau cincin yang aku pilih tidak sesuai keinginannya."Pilihlah dengan benar kali ini," ucap Rendra pasrah setelah melamun beberapa saat. Aku tersenyum penuh kemenangan karena bisa membalas perbuatan Rendra.Segera saja aku memilih cincin yang cantik menurutku. Aku tidak akan memedulikan pendapat Rendra kali ini. "Ini cantik, bungkus ini mbak," ucapku kepada pelayan, menunjuk cincin dengan permata kecil namun menempel dengan cantik di sana. Cincin itu terlihat sangat elegan.Aku kembali ke tempat Rendra berada, "Aku sudah memilih cincinnya." Sambil menunjukkan cincin tersebut.Sekarang adalah hari pernikahanku. Aku berada di ruang makeup, rambutku dihias dengan mahkota bunga segar yang menambah pesonaku. Gaun putih yang elegan menempel dengan manis di tubuhku yang mungil. Perasaanku campur aduk, antara gugup dan gelisah karena momen besar ini.Orang yang sedang meriasku dengan penuh antusiasme memuji, "Cantik sekali, pengantin pria pasti terpesona melihat anda," seraya menambahkan sentuhan akhir pada riasan wajahku.Ucapan pujian itu membawa senyum ke wajahku, meskipun hatiku masih dipenuhi oleh sejumlah emosi yang sulit diungkapkan. "Pengantin wanita sudah siap untuk keluar?" tanya seseorang kepadaku.Aku menjawab dengan anggukan ringan, mencoba menyembunyikan ketidakpastian dalam suaraku. Langkah-langkahku terasa berat saat aku berjalan menuju pintu keluar. Rasa gelisah semakin menguat, seperti tak terbendung oleh keindahan sekelilingku.Papaku sudah berdiri dan siap untuk mengantarku ke pelaminan, aku melihat cahaya kebahagiaan yang terpancar dalam dirin
Aku dan Rendra sudah sampai di kediaman Rendra.Rumah milik Rendra adalah sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi dengan arsitektur modern yang menawan. Dikelilingi oleh taman yang rimbun dan indah, pintu masuk utama dilapisi dengan panel kayu yang elegan. Langit-langit tinggi memberikan kesan luas dan anggun saat memasuki ruang utama.Interior rumah dipenuhi dengan furnitur mewah dan sentuhan artistik yang menghadirkan suasana yang hangat dan mengundang.Dinding-dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan indah dan hiasan seni yang menambah keanggunan ruangan.Cahaya alami memasuki ruangan melalui jendela-jendela besar, menciptakan permainan cahaya yang menawan di sepanjang hari.Rumah Rendra adalah tempat yang memancarkan kemewahan dan kenyamanan."Kamarmu sebelah sana, dan kamarku sebelah sini. Jangan pernah sesekali masuk ke kamarku tanpa izin. Dan ada tangga mengarah ke ruang bawah tanah, kamu dilarang ke sana," ucap Rendra dan pergi meninggalkanku ke kamarnya. Aku juga masuk k
Sesuai apa yang telah aku rencanakan kemarin, misiku hari ini adalah mencari tukang untuk memperbaiki dinding dan pintuku. "Ah, lapar sekali," ucapku sambil meng-scroll aplikasi pesan antar makanan. Aku akan memesan makanan untukku dan Rendra, "Kamu seharusnya beruntung memiliki istri sepertiku. Lihat, aku juga memesankan makanan untukmu," ucapku berbangga diri. Sambil menunggu pesanan, aku duduk di sofa ruang tamu sambil berpikir, "Kira-kira siapa yang punya kenalan seorang tukang?" "OH! SELLA!!!" pekikku teringat seorang teman masa kuliah yang memiliki banyak kenalan tukang karena kelurganya selalu melakukan renovasi rumah tiap dua bulan sekali. "Halo Sella," sapaku pada Sella melalui telepon. "Iya Lusi. Ada apa nih?" tanya Sella "Jadi gini Sel, aku lagi mau merenovasi kamarku. Kamu ada rekomendasi tukang gak?" jelasku pada Sella. "Butuh kapan Lus?" tanya Sella memastikan. "Aku butuh hari ini, ada gak ya Sel?" ucapku pada Sella. "Coba aku cariin ya, nanti aku hubungi lagi,"
"Nanti malam ada acara keluarga," ucap Rendra ketika aku lewat di depannya, sedang duduk di sofa ruang tamu."Artinya aku harus bersandiwara menjadi pasangan sungguhan dengannya?" pikirku dalam hati mengenai ucapan Rendra.Aku tidak memedulikan ucapannya, melewatinya begitu saja dan menyambut para tukang yang sudah datang.Aku berjalan keluar rumah dan berhenti di depan pintu, "Halo, kamu mau kerjaan?" tanyaku kepada seseorang melalui telepon."Temui aku di butikku," ucapku yang kemudian mengakhiri telepon.Aku melirik Rendra sejenak, "Dia sedang siap-siap untuk berangkat ke kantor."Kruyuk, kruyuk.Perutku berbunyi."Sabar, habis ini kita makan enak," ucapku kepada perut rataku.Aku berjalan menuju tempat mobilku terparkir, saat aku hendak membuka pintu, sebuah mobil berhenti di halaman rumahku."Siapa itu?" gumamku dalam hati memperhatikan seseorang tersebut hingga keluar dari mobilnya."Hai," sapa seseorang padaku, dan dia adalah...."Anya," gumamku pelan.Aku masuk ke dalam mobilku
"Memangnya aku akan berbuat apa?" gumamku dengan kesal mendengar ucapan Rendra.Aku bersiap-siap dengan dress ungu muda yang Rendra berikan. Dress itu terlihat begitu indah dan pas di tubuhku."Bagaimana sekretaris Rendra tahu kalau aku mengincar dress ini?" tanyaku seorang diri masih penasaran.Aku tersenyum, "Tapi dia manis juga membelikanku dress ini."Aku berputar-putar di depan kaca, melihat penampilanku.Ketika merasa sudah siap, aku berjalan keluar kamar untuk menemui Rendra yang sepertinya sudah menunggu di depan. "Rendra," sapaku pada Rendra ketika aku melihatnya dari belakang sedang duduk di sofa.Rendra menoleh saat aku memanggil namanya, tatapannya terpaku selama beberapa detik, "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" tanyaku pada Rendra memastikan bahwa tidak ada yang aneh dengan penampilanku."Tidak. Ayo berangkat," balasnya kemudian jalan keluar rumah.Aku mengikuti langkah kaki Rendra, mencoba mensejajarkan dengan langkahnya, "Apakah aku tidak terlihat cocok denga
Suasana di rumah terasa tegang dan penuh dengan ketegangan. Wajah Rendra masih memancarkan amarah, mencerminkan ketidakpuasan dan ketegangan yang mendalam dalam dirinya. Dengan langkah perlahan, aku memasuki dapur untuk mencari segelas air minum. Dengan suara yang lembut, aku menawarkan air tersebut kepadanya, mencoba memberikan sedikit ketenangan, "Minumlah agar kamu lebih tenang," ucapku sambil menyerahkan gelas air ke tangannya. Rendra menerima gelas air dengan tangan yang gemetar, menunjukkan kegelisahan yang masih terasa di dalam dirinya. Setelah mengambil beberapa tegukan air, ekspresinya sedikit mereda, tetapi suasana tegang masih terasa di sekitarnya, seolah-olah siap meledak setiap saat. Dengan napas yang masih memburu, Rendra menoleh ke arahku, "Kenapa kamu sendirian di sana?" tanyanya dengan nada tajam. Aku menjelaskan situasi yang terjadi sebelumnya, "Aku hendak berjalan ke arahmu, namun Tante Dewi-" "Jangan menyebut namanya, itu akan mengotori rumahku," potong Rendra
"Anya?" ucapku dengan terkejut ketika melihat yang ada di depan pintu bukan kurir, melainkan Anya. Anya mengernyitkan dahinya, "Kenapa kamu begitu terkejut?" tanyanya padaku. "Rendra di dalam kan?" tanyanya lagi sambil melihat ke arah dalam rumahku. Saat Anya hendak masuk ke dalam rumah, aku menahannya, "Hari ini libur dulu, biarkan Rendra istirahat," tegasku padanya. Anya menatapku dengan tatapan heran, mencoba memahami alasan di balik kata-kataku. Wajahnya memperlihatkan sedikit kebingungan, seolah tidak yakin dengan ucapan yang baru saja aku sampaikan. "Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran, mencerminkan ketidakpastian yang ada di benaknya. "Aku hanya ingin Rendra mendapatkan istirahat yang cukup," jawabku dengan mantap, mencoba meyakinkan Anya tentang ucapanku. "Dia akan lebih baik jika bersamaku," ucap Anya dan mendorong tubuhku agar bisa menerobos masuk ke dalam rumahku. Meskipun Anya berusaha keras, aku menahan langkahnya. "Aku mengerti bagaiman
Aku terkejut, sontak membuka mata dan merasakan suasana yang hening. Mengalihkan pandanganku ke arah pintu, aku menyadari bahwa aku tertidur di sofa. "Aku ketiduran di sini, lalu bagaimana dengan Anya?" pikirku dalam hati, sambil mencoba memahami keadaan sekitar.Aku keluar untuk melihat mobil Anya yang awalnya terparkir di sana. Sial! Tapi mobil Anya sudah tidak berada di tempatnya. Perasaanku campur aduk."Bukan aku yang mengerjainya tapi dia yang mengerjaiku," gumamku pelan sambil mengusap wajah kasar, mencoba memahami apa yang terjadi.Drtt. Drtt. Telepon dari Frans masuk."Jam berapa aku harus ke sana?" tanya Frans melalui telepon."Sekarang aja, sekalian bawakan makanan, aku lapar," jawabku cepat."Ini hari terakhir para tukang bekerja. Apa saja yang akan aku lakukan hari ini?" pikirku dalam hati, mencoba merencanakan langkah selanjutnya."Pertama aku harus makan dulu," ucapku sambil membayangkan makanan yang lezat, mencoba menenangkan perut yang kosong."Kemudian, aku akan ke b
Sementara aku masih mencoba mengumpulkan pikiran yang terbungkus kabut tidur, ponselku tiba-tiba berdering di samping tempat tidur. Dengan mengantuk, aku meraihnya dan melihat nama 'Frans' terpampang di layar."Kenapa dia menghubungiku di pagi buta seperti ini sih," aku mengeluh dalam hati.Rendra masih terbaring di kasur, menatapku dengan rasa penasaran yang jelas terpancar dari matanya."Siapa?" tanyanya dengan suara pelan.Aku menggeleng, "Bukan siapa-siapa, hanya seorang teman butik yang mencari Mama," balasku, berbohong sambil tersenyum tipis.Rendra mengangguk mengerti, meskipun ekspresinya masih penuh pertanyaan."Aku akan ke Mama sebentar ya," ucapku lagi, berbohong sekali lagi, sambil menepuk lembut bahunya."Iya, aku akan mandi," balas Rendra, lalu dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.Aku keluar dari kamar dengan hati-hati, sedikit merasa bersalah atas kebohongan kecilku. Sementar
Suasana di ruang makan hangat dan akrab, dihiasi tawa dan cerita yang mengalir dengan lancar. Kami menikmati hidangan dengan penuh kebahagiaan, merasakan kebersamaan yang memperkaya hubungan keluarga kami. Setelah makan malam selesai, kami secara bersama-sama membersihkan meja dengan riang. Aura keakraban masih terasa di udara, seolah-olah ruang makan itu adalah pusat kebahagiaan bagi kami semua.Ketika kami hendak pulang, Mama dengan hangat meminta kami untuk menginap saja. "Kenapa buru-buru pulang? Kalian bisa tidur di sini, ini juga rumah kalian. Lagipula, besok weekend kan?" ujarnya dengan senyuman lembut.Meskipun awalnya kami hendak pulang, namun permintaan Mama membuat kami tak bisa menolak. Dengan beragam pikiran, kami berdua naik ke kamar, menyadari pentingnya momen yang sedang kami alami.Kami memasuki kamar dengan ekspresi campur aduk, merasakan kecanggungan di udara. Saling pandang antara aku dan Rendra menggambarkan betapa sulitnya s
Setelah memastikan bahwa Rendra sedang mandi, aku masuk ke kamar Mama Papa untuk mencari pakaian yang cocok untuknya. Sambil memilih-milih, aku merasa senang bisa melakukan hal kecil ini untuknya."Apa ya, pakaian yang cocok untuk Rendra?" gumamku sambil menggali dalam ingatanku akan gaya fashionnya.Sambil mencari-cari baju di dalam lemari, aku menemukan kaos berwarna putih yang tampak santai dan nyaman. Tanpa pikir panjang, aku mengambilnya. "Mungkin kaos ini akan cocok untuknya," bisikku dalam hati.Aku membayangkan bagaimana Rendra akan terlihat sangat tampan saat mengenakan kaos itu. "Aku tidak pernah melihatnya menggunakan celana pendek, aku akan padukan dengan itu," ucapku sambil tersenyum.Kemudian, aku mengambil celana pendek yang senada dengan kaos tersebut untuk melengkapi penampilannya yang santai namun tetap menawan."Dengan ini, Rendra pasti akan terlihat tampan," pikirku sambil tersenyum puas.Kemudian, aku meletak
"Pengkhianatan dan kekerasan. Jangan pernah maklumi dua hal itu. Jika hal itu terjadi, dan kamu merasa bingung tentang bagaimana bertindak, kamu bisa meminta saran kepada Mama, Papa, atau siapapun. Jangan hadapi sendirian," jelas Mama dengan tegas, suaranya penuh dengan kearifan yang memberi kedamaian.Aku mengangguk, meresapi setiap kata yang disampaikan Mama. Percakapan tentang pernikahan yang dijodohkan juga mengalir, memberikan wawasan baru tentang makna hubungan yang sejati."Terima kasih, Ma karena Mama tidak pernah menuntutku untuk bahagia dalam pernikahan ini," ucapku, mengungkapkan rasa lega dan terima kasihku atas dukungan Mama.Mama mengangguk mantap, "Kebahagiaan tidak akan hadir karena tuntutan," ucapnya dengan keyakinan yang membangkitkan semangat.Kami berdua duduk di bangku taman, menikmati momen indah di bawah langit senja yang memukau. Suasana hangat dan penuh cinta menyelimuti kami, menciptakan aura kebersamaan yang tak terlupak
Saat itu, pintu ruangan butik terbuka dengan lembut, dan senyum ramah Mama menyambut kami. "Loh, lagi rame ternyata," ucapnya sambil melangkah masuk.Frans mengangguk sopan, "Iya Tante, ini kami mau pulang," ujarnya sambil tersenyum.Mama mengangkat kantong yang dibawanya dengan penuh semangat, "Boleh, tapi makan ini dulu," ajaknya sambil menempatkan kantong itu di atas meja."Apa itu, Ma?" tanyaku dengan rasa penasaran.Mama membuka kantong itu dengan hati-hati, "Ini kue-kue lezat yang Mama temui di perjalanan ke sini tadi," jelasnya sambil tersenyum.Aroma kue yang harum mulai menyelinap ke dalam ruangan, mengundang selera kami untuk segera menyantapnya. Frans dan Lia pun tersenyum berterima kasih kepada Mama."Ayo, mari kita duduk dan nikmati bersama," ajak Mama sambil mengatur beberapa kursi di sekitar meja, menciptakan suasana yang hangat dan ceria.Kami pun duduk bersama, menikmati setiap gigitan kue yang disajikan
Kami berdua terdiam sejenak, terpaku dalam pikiran masing-masing. Suara kerumunan orang dan bising kendaraan di sekitar butik menciptakan latar belakang yang hidup, menambah ketegangan saat kami berusaha memecahkan teka-teki yang mengelilingi Raju."Aku pikir kita perlu mencari tahu lebih dalam tentang hubungan antara Raju dan Deharson Group," kata Frans akhirnya, memecah keheningan dengan suara tenangnya.Aku mengangguk, "Ya, benar."Ketika kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, tiba-tiba suara langkah ringan mendekati kami."Hai, Lusi," sapa Lia, membawa beberapa kantong, menyela dengan keceriaan yang kontras dengan suasana tegang sekitar. Sinar mentari pagi menyoroti wajahnya, memberikan kesan hangat pada kedatangannya.Lia duduk di sebelah Frans, sementara kelelahan terpancar jelas dari wajahnya. Dengan napas panjang, ia mencoba meredakan kelelahannya. "Aku lama nggak? Rame banget di sana," ucap Lia kepada Frans dengan senyum leb
Aku menyusuri pandangan ke sekeliling, mencari Rendra yang ternyata sedang sibuk di ruang makan. Wajahnya terlihat tenang, sementara tangannya lincah mengatur meja untuk sarapan pagi.Sambil meraba-raba selimut yang masih terlilit di tubuhku, aku berusaha mengingat ingatan malam sebelumnya. Percakapan dengan Rendra tentang langkah selanjutnya dalam hubungan kami masih segar dalam ingatanku."Sudah bangun?" sapanya ketika melihatku bergerak.Aku mengangguk, "Ya, sudah."Rendra tersenyum ramah, "Aku sudah menyiapkan sarapan. Mandi dan bersiaplah, aku tunggu di sini.""Terima kasih, Rendra. Aku akan segera bersiap," ucapku sambil tersenyum.Dengan hati yang hangat, aku melangkah menuju kamar. Air hangat pancuran menyentuh tubuhku, memberikan kesegaran di pagi yang masih merona. Setelah mandi, aku mengenakan pakaian berwarna biru muda yang dipadukan dengan blouse hitam. Langkahku ringan ketika aku kembali ke ruang makan den
"Terima kasih Rendra, aku senang hari ini," ucapku pada Rendra dengan senyum yang masih terukir di wajahku saat kami sampai di rumah.Rendra membalas senyumku dengan hangat. Sambil menatapnya, aku mengangguk, merasa lega bahwa hari ini berakhir dengan baik. Namun, sebelum aku bisa melanjutkan langkahku menuju kamarku, suara panggilan dari Rendra membuatku berhenti."Lusi," panggilnya, suaranya terdengar agak ragu.Aku menoleh ke arahnya dengan rasa penasaran, "Ada apa, Rendra?" tanyaku, mencoba memahami ekspresinya.Rendra menggaruk kepalanya, tampaknya agak gugup, "Emm, kenapa kita tidak sekamar saja mulai sekarang?" usulnya tiba-tiba, membuatku terkejut dengan permintaannya.Tatapan kami bertemu, dan aku mencoba memproses apa yang baru saja dia katakan. "Pindah ke kamarmu?" ulangku, memastikan bahwa aku tidak salah dengar.Rendra mengangguk tegas, "Ya. Sepertinya sudah waktunya bagi kita untuk tidur bersama."Aku meras
Aku masih terus memandang Rendra, mencoba membaca ekspresinya yang sedikit tersembunyi. Pikiranku melayang ke kekhawatiran yang tak terucapkan tentang hubungannya dengan Anya. "Entah kenapa aku tidak begitu yakin dengan ucapan Rendra, aku harus memastikan hubungannya dengan Anya memang sudah berakhir," pikirku dalam hati.Setelah beberapa lama kami menikmati hidangan, suasana restoran mulai mereda. Dalam keheningan, kami berdua memutuskan untuk pulang. Namun, sebelum kami bisa meninggalkan restoran, suara akrab seorang kasir memecah keheningan."Loh, Mbak yang kemarin bukan? Yang tanya hubungan Mas Raju?" tanyanya, menyela langkahku menuju pintu keluar.Untungnya, Rendra sudah berjalan lebih dulu, jadi tidak mendengar pembicaraan kami.Aku mengangguk lemah, "Ya, benar. Tapi kamu tidak memberitahu Raju kan?" tanyaku dengan suara pelan, ingin memastikan kerahasiaan pembicaraan kami.Kasir itu menggeleng, "Tenang saja Mbak, aman. T