Aku dan Rendra sudah sampai di kediaman Rendra.
Rumah milik Rendra adalah sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi dengan arsitektur modern yang menawan. Dikelilingi oleh taman yang rimbun dan indah, pintu masuk utama dilapisi dengan panel kayu yang elegan. Langit-langit tinggi memberikan kesan luas dan anggun saat memasuki ruang utama.Interior rumah dipenuhi dengan furnitur mewah dan sentuhan artistik yang menghadirkan suasana yang hangat dan mengundang.Dinding-dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan indah dan hiasan seni yang menambah keanggunan ruangan.Cahaya alami memasuki ruangan melalui jendela-jendela besar, menciptakan permainan cahaya yang menawan di sepanjang hari.Rumah Rendra adalah tempat yang memancarkan kemewahan dan kenyamanan."Kamarmu sebelah sana, dan kamarku sebelah sini. Jangan pernah sesekali masuk ke kamarku tanpa izin. Dan ada tangga mengarah ke ruang bawah tanah, kamu dilarang ke sana," ucap Rendra dan pergi meninggalkanku ke kamarnya.Aku juga masuk ke kamar untuk membersihkan diri dan berencana memesan makanan karena merasa sangat lapar, "Apa aku perlu menanyakan Rendra juga?" pikirku dalam hati.Aku keluar kamar untuk menanyakan Rendra sedang lapar juga atau tidak, bagaimana pun dia sekarang adalah suamiku, aku setidaknya harus sedikit memedulikannya.Ketika aku keluar kamar, aku melihat Rendra dan Anya sedang berciuman mesra di sofa ruang tamu, "Sejak kapan Anya tiba di sini? aku tidak mendengar langkah kaki seseorang masuk ke rumah," gumamku seorang diri.Mereka tampak terbuai dalam momen, terikat oleh kelembutan cahaya lampu yang memancar di ruangan. Wajah mereka dipenuhi dengan ekspresi kebahagiaan, tanpa menyadari kehadiranku yang baru saja muncul.Tanpa ragu aku mendekati mereka dan melemparkan bantal kepada mereka, "Setidaknya jangan lakukan itu di tempat terbuka," pekikku kepada mereka menggambarkan ketidaksukaaanku pada kegiatan yang mereka lakukan."Aku tidak masalah jika kalian ingin bermesraan, hanya saja lakukan di tempat yang sepi, jangan di tempat terbuka seperti ini. Bagaimana kalau orang tua kita tiba-tiba datang?" protesku dengan perasaan kesal.Rendra dan Anya terkejut mendengar suaraku, mereka berhenti berciuman dan memalingkan pandangan ke arahku dengan ekspresi kesal karena mengganggu aktivitas romantis mereka."Kamu mengganggu saja," ucap Rendra kesal dan kemudian menarik Anya ke kamarnya, "Kita lanjutkan di dalam saja sayang.""Kenapa dia ikut kesal? Harusnya aku lah yang kesal. Dasar pasangan tidak tahu tempat," gerutuku pelan pada mereka yang berjalan meninggalkanku.Setelah aku melihat Rendra dan Anya masuk kamar, aku memilih untuk duduk di sofa dan memesan makanan untuk diriku sendiri."Yasudah, aku akan menikmati makananku sendiri," ucapku sambil menyalakan televisi untuk menemani kesunyianku.Dari dalam kamar Rendra aku mendengar suara-suara yang dikeluarkan oleh Anya dan Rendra, suara kenikmatan bagi mereka."Orang gila, bagaimana bisa dia tidak membuat dinding kamarnya kedap suara," ucapku seorang diri kesal mendengar suara yang mereka timbulkan.Saat aku ingin memprotes hal itu, aku terpikir ide yang lebih cemerlang. Aku urungkan niatku untuk memprotes mereka dan membiarkannya beberapa saat hingga pesananku datang."Sepertinya besok aku harus mencari tukang dan meminta untuk membuat kamar Rendra kedap suara, aku geli jika mendengarkannya setiap hari," pikirku untuk menangani masalah itu yang kemungkinan akan selalu aku dengar."Tapi Rendra melarangku untuk masuk ke kamarnya," pikirku setelah mengingat ucapan Rendra untuk tidak memasuki kamarnya. Aku memutar otak untuk memikirkan sesuatu yang cemerlang, "Yasudah, kamarku saja yang dibuat kedap suara," gumamku sambil menganggukkan kepala.Tidak lama, makanan pesananku datang. Aku masuk ke kamar dan menyalakan televisi dengan suara yang sangat keras untuk mengalahkan suara kenikmatan mereka. Aku tidak peduli mereka terganggu atau tidak, mereka saja tidak peduli denganku."Rasakan ini Rendra, Anya," ucapku sambil tersenyum jahil.Aku memesan ayam goreng tepung dengan bumbu spesial, aromanya sangat sedap membuatku tidak sabar melahapnya."Enak juga ayam goreng ini," ucapku menikmati setiap gigitan ayam goreng itu.Di tengah aku menikmati ayam goreng, pintu kamarku digedor-gedor oleh seseorang dari luar, aku menduga itu adalah ulah Rendra.Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian aku kecilkan sedikit volume televisi, "ADA APA?" teriakku dari dalam agar bisa terdengar oleh Rendra."KECILKAN VOLUME TELEVISIMU ITU," balas Rendra dengan teriakan juga.Aku turuti saja perintah Rendra, aku kecilkan volume televisiku hingga volume paling rendah.Sejenak aku mempertajam pendengaranku ke arah luar, untuk membaca gerakan Rendra. Aku mendengar suara langkah kakinya perlahan menjauh, "Sepertinya dia sudah kembali ke kamarnya," pikirku setelah aku mendengar suara pintu ditutup.Aku membiarkan volumeku televisiku seperti itu dalam beberapa detik, dan kemudian aku naikkan kembali volume televisiku hingga volume maksimal."Hahahahhaha dia pikir aku akan mengalah begitu saja? Hei Rendra, lihat dulu siapa lawanmu," ucapku berbangga diri."Mari kita hitung bersama, dalam hitungan berapa detik Rendra akan kembali menggedor-gedor pintuku. Satu...." ucapku menghitung."Dua...." lanjutku sambil mengunyah ayam goreng."Tiga...." Aku masih terus menghitung dan menebak sampai hitungan ke berapa Rendra akan sampai. "Empat...." lanjutku menghitung.Brak, brak, brak."Welcome Rendra," gumamku pelan menyambut Rendra dalam kamar melihat aksi yang aku harapkan.Rendra menggedor-gedor pintu, namun kali ini aku tidak memedulikannya.Aku biarkan saja, jika dia berulah, aku juga akan berulah. Aku bukan orang yang sabar, aku tidak akan tinggal diam begitu saja jika merasa tidak dihargai."Teruslah menggedor sampai kamu lelah," ucapku pelan, merasa senang atas tindakan yang dilakukan oleh Rendra."LUSI, BUKA PINTUNYA!!" teriak Rendra dari arah luar, sepertinya dia sangat marah.Pintu masih digedor selama beberapa detik, kemudian aku mendengar gedoran itu semakin lama semakin redup, aku mencoba mempertajam pendengaranku lagi untuk mencoba melihat gerakannya melalui pendengaranku."Sepertinya dia sudah lelah dan kembali ke kamarnya," ucapku seorang diri ketika mendengar tidak ada suara apapun dari luar.Aku melanjutkan menikmati makananku sambil terus menatap layar. Entah kenapa, suara TV yang keras memberi kepuasan tersendiri."Kamu pikir ini rumah siapa?" ucap Rendra yang berhasil masuk ke kamarku."Sial. Dia punya kunci cadangan," umpatku kesal.Rendra mengambil remot televisiku dan kemudian mematikannya."Hei, jangan seenaknya kamu," protesku kepadanya dan berusaha mengambil remot yang dipegang oleh Rendra.Rendra tidak menghiraukanku, dan terus berjalan hingga masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya."KALAU BEGITU PELANKAN SUARA DESAHAN KALIAN YANG MENJIJIKKAN DI TELINGAKU ITU!!!" protesku sambil menggedor-gedor pintunya, tidak terima atas sikap kurang ajar Rendra."Hah..." ucapku sambil mengusap wajah kasar, "Rendra kurang ajar," umpatku pada Rendra atas.Dengan perasaan kesal yang meluap, aku kembali ke kamar. Aku tidak terima kalah seperti ini, "Aku akan mengganti kunci pintu kamarku juga. Aku tidak rela dia mempunyai kunci cadangan kamarku, yang artinya dia bisa dengan bebas mengakses kamarku," ucapku memikirkan rencana yang harus aku lakukan di esok hari."Gila, suara mereka keras sekali," kesalku pada suara kenikmatan yang mereka hasilkan.Aku tiba-tiba terpikir sesuatu, "Bagaimana jika suara Rendra dan Anya sampai terdengar ke luar rumah?" pikirku yang membuatku langsung berlari keluar rumah untuk mencoba memastikannya.Ketika aku sampai di luar rumah, aku tidak mendengarkan apapun, hening."Di sini aman, tidak terdengar suara apapun. Jadi si Rendra gila itu memasang kedap suara di dinding rumahnya, namun di kamarnya tidak?" pikirku terhadap hal aneh yang dilakukan oleh Rendra.Aku mencoba keliling rumah dari luar untuk memastikan bahwa rumah itu memang kedap suara, dan benar saja tidak ada suara sedikitpun terdengar dari luar rumah.Setelah berkeliling ke semua arah di rumah Rendra dan memastikan tidak ada suara yang bocor sedikit pun, aku memilih untuk kembali masuk ke dalam kamar."Sial. Di sini suara mereka terdengar sangat jelas," umpatku seorang diri."HEI SUARA KALIAN ITU MENGGELIKAN!!!!!" pekikku pada mereka karena sudah teramat kesal pada mereka."Percuma saja sepertinya aku memaki-maki mereka, lebih baik aku tidur saja. Hari pernikahan ini sudah cukup lelah bagiku," ucapku menenangkan diri.Sebelum itu, aku mencari earphone milikku dan aku gunakan untuk menutupi suara Anya dan Renda yang terasa sangat menggelikan. Aku tidur di bawah iringan lagu Taylor Swift kesukaanku.Sesuai apa yang telah aku rencanakan kemarin, misiku hari ini adalah mencari tukang untuk memperbaiki dinding dan pintuku. "Ah, lapar sekali," ucapku sambil meng-scroll aplikasi pesan antar makanan. Aku akan memesan makanan untukku dan Rendra, "Kamu seharusnya beruntung memiliki istri sepertiku. Lihat, aku juga memesankan makanan untukmu," ucapku berbangga diri. Sambil menunggu pesanan, aku duduk di sofa ruang tamu sambil berpikir, "Kira-kira siapa yang punya kenalan seorang tukang?" "OH! SELLA!!!" pekikku teringat seorang teman masa kuliah yang memiliki banyak kenalan tukang karena kelurganya selalu melakukan renovasi rumah tiap dua bulan sekali. "Halo Sella," sapaku pada Sella melalui telepon. "Iya Lusi. Ada apa nih?" tanya Sella "Jadi gini Sel, aku lagi mau merenovasi kamarku. Kamu ada rekomendasi tukang gak?" jelasku pada Sella. "Butuh kapan Lus?" tanya Sella memastikan. "Aku butuh hari ini, ada gak ya Sel?" ucapku pada Sella. "Coba aku cariin ya, nanti aku hubungi lagi,"
"Nanti malam ada acara keluarga," ucap Rendra ketika aku lewat di depannya, sedang duduk di sofa ruang tamu."Artinya aku harus bersandiwara menjadi pasangan sungguhan dengannya?" pikirku dalam hati mengenai ucapan Rendra.Aku tidak memedulikan ucapannya, melewatinya begitu saja dan menyambut para tukang yang sudah datang.Aku berjalan keluar rumah dan berhenti di depan pintu, "Halo, kamu mau kerjaan?" tanyaku kepada seseorang melalui telepon."Temui aku di butikku," ucapku yang kemudian mengakhiri telepon.Aku melirik Rendra sejenak, "Dia sedang siap-siap untuk berangkat ke kantor."Kruyuk, kruyuk.Perutku berbunyi."Sabar, habis ini kita makan enak," ucapku kepada perut rataku.Aku berjalan menuju tempat mobilku terparkir, saat aku hendak membuka pintu, sebuah mobil berhenti di halaman rumahku."Siapa itu?" gumamku dalam hati memperhatikan seseorang tersebut hingga keluar dari mobilnya."Hai," sapa seseorang padaku, dan dia adalah...."Anya," gumamku pelan.Aku masuk ke dalam mobilku
"Memangnya aku akan berbuat apa?" gumamku dengan kesal mendengar ucapan Rendra.Aku bersiap-siap dengan dress ungu muda yang Rendra berikan. Dress itu terlihat begitu indah dan pas di tubuhku."Bagaimana sekretaris Rendra tahu kalau aku mengincar dress ini?" tanyaku seorang diri masih penasaran.Aku tersenyum, "Tapi dia manis juga membelikanku dress ini."Aku berputar-putar di depan kaca, melihat penampilanku.Ketika merasa sudah siap, aku berjalan keluar kamar untuk menemui Rendra yang sepertinya sudah menunggu di depan. "Rendra," sapaku pada Rendra ketika aku melihatnya dari belakang sedang duduk di sofa.Rendra menoleh saat aku memanggil namanya, tatapannya terpaku selama beberapa detik, "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" tanyaku pada Rendra memastikan bahwa tidak ada yang aneh dengan penampilanku."Tidak. Ayo berangkat," balasnya kemudian jalan keluar rumah.Aku mengikuti langkah kaki Rendra, mencoba mensejajarkan dengan langkahnya, "Apakah aku tidak terlihat cocok denga
Suasana di rumah terasa tegang dan penuh dengan ketegangan. Wajah Rendra masih memancarkan amarah, mencerminkan ketidakpuasan dan ketegangan yang mendalam dalam dirinya. Dengan langkah perlahan, aku memasuki dapur untuk mencari segelas air minum. Dengan suara yang lembut, aku menawarkan air tersebut kepadanya, mencoba memberikan sedikit ketenangan, "Minumlah agar kamu lebih tenang," ucapku sambil menyerahkan gelas air ke tangannya. Rendra menerima gelas air dengan tangan yang gemetar, menunjukkan kegelisahan yang masih terasa di dalam dirinya. Setelah mengambil beberapa tegukan air, ekspresinya sedikit mereda, tetapi suasana tegang masih terasa di sekitarnya, seolah-olah siap meledak setiap saat. Dengan napas yang masih memburu, Rendra menoleh ke arahku, "Kenapa kamu sendirian di sana?" tanyanya dengan nada tajam. Aku menjelaskan situasi yang terjadi sebelumnya, "Aku hendak berjalan ke arahmu, namun Tante Dewi-" "Jangan menyebut namanya, itu akan mengotori rumahku," potong Rendra
"Anya?" ucapku dengan terkejut ketika melihat yang ada di depan pintu bukan kurir, melainkan Anya. Anya mengernyitkan dahinya, "Kenapa kamu begitu terkejut?" tanyanya padaku. "Rendra di dalam kan?" tanyanya lagi sambil melihat ke arah dalam rumahku. Saat Anya hendak masuk ke dalam rumah, aku menahannya, "Hari ini libur dulu, biarkan Rendra istirahat," tegasku padanya. Anya menatapku dengan tatapan heran, mencoba memahami alasan di balik kata-kataku. Wajahnya memperlihatkan sedikit kebingungan, seolah tidak yakin dengan ucapan yang baru saja aku sampaikan. "Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran, mencerminkan ketidakpastian yang ada di benaknya. "Aku hanya ingin Rendra mendapatkan istirahat yang cukup," jawabku dengan mantap, mencoba meyakinkan Anya tentang ucapanku. "Dia akan lebih baik jika bersamaku," ucap Anya dan mendorong tubuhku agar bisa menerobos masuk ke dalam rumahku. Meskipun Anya berusaha keras, aku menahan langkahnya. "Aku mengerti bagaiman
Aku terkejut, sontak membuka mata dan merasakan suasana yang hening. Mengalihkan pandanganku ke arah pintu, aku menyadari bahwa aku tertidur di sofa. "Aku ketiduran di sini, lalu bagaimana dengan Anya?" pikirku dalam hati, sambil mencoba memahami keadaan sekitar.Aku keluar untuk melihat mobil Anya yang awalnya terparkir di sana. Sial! Tapi mobil Anya sudah tidak berada di tempatnya. Perasaanku campur aduk."Bukan aku yang mengerjainya tapi dia yang mengerjaiku," gumamku pelan sambil mengusap wajah kasar, mencoba memahami apa yang terjadi.Drtt. Drtt. Telepon dari Frans masuk."Jam berapa aku harus ke sana?" tanya Frans melalui telepon."Sekarang aja, sekalian bawakan makanan, aku lapar," jawabku cepat."Ini hari terakhir para tukang bekerja. Apa saja yang akan aku lakukan hari ini?" pikirku dalam hati, mencoba merencanakan langkah selanjutnya."Pertama aku harus makan dulu," ucapku sambil membayangkan makanan yang lezat, mencoba menenangkan perut yang kosong."Kemudian, aku akan ke b
Aku terus mengamati pergerakan Raju dan wanita itu di tengah keramaian restoran yang penuh dengan aroma makanan lezat dan gemerlap lampu. Lampu-lampu berwarna-warni memantulkan cahaya yang memperindah suasana, sementara bau rempah-rempah dari masakan yang sedang dimasak membuat perutku bergelora.Seketika aku teringat ucapan Raju ketika kami masih berpacaran, "Aku akan membangun restoranku sendiri satu atau dua tahun kemudian, aku akan memberi nama Ra-food. Bagaimana menurutmu?" Ucapannya menggema di telingaku, dan rasanya aneh untuk menyadari bahwa restoran ini adalah buah dari mimpi yang pernah diucapkannya padaku."Jadi, inilah restoran milik Raju. Dia tidak lagi bekerja di restoran keluarganya," gumamku seorang diri, memperhatikan pergerakan Raju dan wanita itu dari kejauhan."Lalu, siapa wanita itu?" tambahku penasaran, mencoba mengintip percakapan mereka dari kejauhan.Rasa penasaranku membuatku berjalan mendekat ke arah kasir. Aku ingin memastikan apakah pemilik restoran ini be
Malam itu, aku kembali ke rumah dengan perasaan kosong. Aku memutuskan untuk memberikan waktu dan ruang bagi diriku sendiri, untuk menyembuhkan luka dan menerima kenyataan yang sulit ini.Sesampai di rumah, aku tidak merasakan keberadaan Rendra. Aku memilih untuk mengabaikannya dan segera masuk ke kamar untuk istirahat."Raju. Aku tidak menyangka dia pandai membalikan fakta. Membuat seolah-olah dia adalah korban," ucapku pada diri sendiri, mencoba meredakan kekesalan dan kekecewaan yang melanda hatiku. Perasaan itu terus menghantuiku bahkan di dalam kegelapan kamar yang sunyi. Aku membiarkan diriku terlelap dalam kelelahan yang menyelimuti hatiku. Sesak. Sesaat, semua terasa sesak.Pagi-pagi buta, mentari menyapa jendela kamarku dengan sinar hangatnya. Kuatkan hati, aku bersiap untuk menghadapi hari dengan tekad baru. Aku meninggalkan kamar dan menuju ke dapur untuk mengambil segelas air. Saat itu, Rendra terlihat sibuk di dapur, sementara Anya dengan senyuman penuh kemenangan menya
Sementara aku masih mencoba mengumpulkan pikiran yang terbungkus kabut tidur, ponselku tiba-tiba berdering di samping tempat tidur. Dengan mengantuk, aku meraihnya dan melihat nama 'Frans' terpampang di layar."Kenapa dia menghubungiku di pagi buta seperti ini sih," aku mengeluh dalam hati.Rendra masih terbaring di kasur, menatapku dengan rasa penasaran yang jelas terpancar dari matanya."Siapa?" tanyanya dengan suara pelan.Aku menggeleng, "Bukan siapa-siapa, hanya seorang teman butik yang mencari Mama," balasku, berbohong sambil tersenyum tipis.Rendra mengangguk mengerti, meskipun ekspresinya masih penuh pertanyaan."Aku akan ke Mama sebentar ya," ucapku lagi, berbohong sekali lagi, sambil menepuk lembut bahunya."Iya, aku akan mandi," balas Rendra, lalu dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.Aku keluar dari kamar dengan hati-hati, sedikit merasa bersalah atas kebohongan kecilku. Sementar
Suasana di ruang makan hangat dan akrab, dihiasi tawa dan cerita yang mengalir dengan lancar. Kami menikmati hidangan dengan penuh kebahagiaan, merasakan kebersamaan yang memperkaya hubungan keluarga kami. Setelah makan malam selesai, kami secara bersama-sama membersihkan meja dengan riang. Aura keakraban masih terasa di udara, seolah-olah ruang makan itu adalah pusat kebahagiaan bagi kami semua.Ketika kami hendak pulang, Mama dengan hangat meminta kami untuk menginap saja. "Kenapa buru-buru pulang? Kalian bisa tidur di sini, ini juga rumah kalian. Lagipula, besok weekend kan?" ujarnya dengan senyuman lembut.Meskipun awalnya kami hendak pulang, namun permintaan Mama membuat kami tak bisa menolak. Dengan beragam pikiran, kami berdua naik ke kamar, menyadari pentingnya momen yang sedang kami alami.Kami memasuki kamar dengan ekspresi campur aduk, merasakan kecanggungan di udara. Saling pandang antara aku dan Rendra menggambarkan betapa sulitnya s
Setelah memastikan bahwa Rendra sedang mandi, aku masuk ke kamar Mama Papa untuk mencari pakaian yang cocok untuknya. Sambil memilih-milih, aku merasa senang bisa melakukan hal kecil ini untuknya."Apa ya, pakaian yang cocok untuk Rendra?" gumamku sambil menggali dalam ingatanku akan gaya fashionnya.Sambil mencari-cari baju di dalam lemari, aku menemukan kaos berwarna putih yang tampak santai dan nyaman. Tanpa pikir panjang, aku mengambilnya. "Mungkin kaos ini akan cocok untuknya," bisikku dalam hati.Aku membayangkan bagaimana Rendra akan terlihat sangat tampan saat mengenakan kaos itu. "Aku tidak pernah melihatnya menggunakan celana pendek, aku akan padukan dengan itu," ucapku sambil tersenyum.Kemudian, aku mengambil celana pendek yang senada dengan kaos tersebut untuk melengkapi penampilannya yang santai namun tetap menawan."Dengan ini, Rendra pasti akan terlihat tampan," pikirku sambil tersenyum puas.Kemudian, aku meletak
"Pengkhianatan dan kekerasan. Jangan pernah maklumi dua hal itu. Jika hal itu terjadi, dan kamu merasa bingung tentang bagaimana bertindak, kamu bisa meminta saran kepada Mama, Papa, atau siapapun. Jangan hadapi sendirian," jelas Mama dengan tegas, suaranya penuh dengan kearifan yang memberi kedamaian.Aku mengangguk, meresapi setiap kata yang disampaikan Mama. Percakapan tentang pernikahan yang dijodohkan juga mengalir, memberikan wawasan baru tentang makna hubungan yang sejati."Terima kasih, Ma karena Mama tidak pernah menuntutku untuk bahagia dalam pernikahan ini," ucapku, mengungkapkan rasa lega dan terima kasihku atas dukungan Mama.Mama mengangguk mantap, "Kebahagiaan tidak akan hadir karena tuntutan," ucapnya dengan keyakinan yang membangkitkan semangat.Kami berdua duduk di bangku taman, menikmati momen indah di bawah langit senja yang memukau. Suasana hangat dan penuh cinta menyelimuti kami, menciptakan aura kebersamaan yang tak terlupak
Saat itu, pintu ruangan butik terbuka dengan lembut, dan senyum ramah Mama menyambut kami. "Loh, lagi rame ternyata," ucapnya sambil melangkah masuk.Frans mengangguk sopan, "Iya Tante, ini kami mau pulang," ujarnya sambil tersenyum.Mama mengangkat kantong yang dibawanya dengan penuh semangat, "Boleh, tapi makan ini dulu," ajaknya sambil menempatkan kantong itu di atas meja."Apa itu, Ma?" tanyaku dengan rasa penasaran.Mama membuka kantong itu dengan hati-hati, "Ini kue-kue lezat yang Mama temui di perjalanan ke sini tadi," jelasnya sambil tersenyum.Aroma kue yang harum mulai menyelinap ke dalam ruangan, mengundang selera kami untuk segera menyantapnya. Frans dan Lia pun tersenyum berterima kasih kepada Mama."Ayo, mari kita duduk dan nikmati bersama," ajak Mama sambil mengatur beberapa kursi di sekitar meja, menciptakan suasana yang hangat dan ceria.Kami pun duduk bersama, menikmati setiap gigitan kue yang disajikan
Kami berdua terdiam sejenak, terpaku dalam pikiran masing-masing. Suara kerumunan orang dan bising kendaraan di sekitar butik menciptakan latar belakang yang hidup, menambah ketegangan saat kami berusaha memecahkan teka-teki yang mengelilingi Raju."Aku pikir kita perlu mencari tahu lebih dalam tentang hubungan antara Raju dan Deharson Group," kata Frans akhirnya, memecah keheningan dengan suara tenangnya.Aku mengangguk, "Ya, benar."Ketika kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, tiba-tiba suara langkah ringan mendekati kami."Hai, Lusi," sapa Lia, membawa beberapa kantong, menyela dengan keceriaan yang kontras dengan suasana tegang sekitar. Sinar mentari pagi menyoroti wajahnya, memberikan kesan hangat pada kedatangannya.Lia duduk di sebelah Frans, sementara kelelahan terpancar jelas dari wajahnya. Dengan napas panjang, ia mencoba meredakan kelelahannya. "Aku lama nggak? Rame banget di sana," ucap Lia kepada Frans dengan senyum leb
Aku menyusuri pandangan ke sekeliling, mencari Rendra yang ternyata sedang sibuk di ruang makan. Wajahnya terlihat tenang, sementara tangannya lincah mengatur meja untuk sarapan pagi.Sambil meraba-raba selimut yang masih terlilit di tubuhku, aku berusaha mengingat ingatan malam sebelumnya. Percakapan dengan Rendra tentang langkah selanjutnya dalam hubungan kami masih segar dalam ingatanku."Sudah bangun?" sapanya ketika melihatku bergerak.Aku mengangguk, "Ya, sudah."Rendra tersenyum ramah, "Aku sudah menyiapkan sarapan. Mandi dan bersiaplah, aku tunggu di sini.""Terima kasih, Rendra. Aku akan segera bersiap," ucapku sambil tersenyum.Dengan hati yang hangat, aku melangkah menuju kamar. Air hangat pancuran menyentuh tubuhku, memberikan kesegaran di pagi yang masih merona. Setelah mandi, aku mengenakan pakaian berwarna biru muda yang dipadukan dengan blouse hitam. Langkahku ringan ketika aku kembali ke ruang makan den
"Terima kasih Rendra, aku senang hari ini," ucapku pada Rendra dengan senyum yang masih terukir di wajahku saat kami sampai di rumah.Rendra membalas senyumku dengan hangat. Sambil menatapnya, aku mengangguk, merasa lega bahwa hari ini berakhir dengan baik. Namun, sebelum aku bisa melanjutkan langkahku menuju kamarku, suara panggilan dari Rendra membuatku berhenti."Lusi," panggilnya, suaranya terdengar agak ragu.Aku menoleh ke arahnya dengan rasa penasaran, "Ada apa, Rendra?" tanyaku, mencoba memahami ekspresinya.Rendra menggaruk kepalanya, tampaknya agak gugup, "Emm, kenapa kita tidak sekamar saja mulai sekarang?" usulnya tiba-tiba, membuatku terkejut dengan permintaannya.Tatapan kami bertemu, dan aku mencoba memproses apa yang baru saja dia katakan. "Pindah ke kamarmu?" ulangku, memastikan bahwa aku tidak salah dengar.Rendra mengangguk tegas, "Ya. Sepertinya sudah waktunya bagi kita untuk tidur bersama."Aku meras
Aku masih terus memandang Rendra, mencoba membaca ekspresinya yang sedikit tersembunyi. Pikiranku melayang ke kekhawatiran yang tak terucapkan tentang hubungannya dengan Anya. "Entah kenapa aku tidak begitu yakin dengan ucapan Rendra, aku harus memastikan hubungannya dengan Anya memang sudah berakhir," pikirku dalam hati.Setelah beberapa lama kami menikmati hidangan, suasana restoran mulai mereda. Dalam keheningan, kami berdua memutuskan untuk pulang. Namun, sebelum kami bisa meninggalkan restoran, suara akrab seorang kasir memecah keheningan."Loh, Mbak yang kemarin bukan? Yang tanya hubungan Mas Raju?" tanyanya, menyela langkahku menuju pintu keluar.Untungnya, Rendra sudah berjalan lebih dulu, jadi tidak mendengar pembicaraan kami.Aku mengangguk lemah, "Ya, benar. Tapi kamu tidak memberitahu Raju kan?" tanyaku dengan suara pelan, ingin memastikan kerahasiaan pembicaraan kami.Kasir itu menggeleng, "Tenang saja Mbak, aman. T