Aku terkejut, sontak membuka mata dan merasakan suasana yang hening. Mengalihkan pandanganku ke arah pintu, aku menyadari bahwa aku tertidur di sofa. "Aku ketiduran di sini, lalu bagaimana dengan Anya?" pikirku dalam hati, sambil mencoba memahami keadaan sekitar.Aku keluar untuk melihat mobil Anya yang awalnya terparkir di sana. Sial! Tapi mobil Anya sudah tidak berada di tempatnya. Perasaanku campur aduk."Bukan aku yang mengerjainya tapi dia yang mengerjaiku," gumamku pelan sambil mengusap wajah kasar, mencoba memahami apa yang terjadi.Drtt. Drtt. Telepon dari Frans masuk."Jam berapa aku harus ke sana?" tanya Frans melalui telepon."Sekarang aja, sekalian bawakan makanan, aku lapar," jawabku cepat."Ini hari terakhir para tukang bekerja. Apa saja yang akan aku lakukan hari ini?" pikirku dalam hati, mencoba merencanakan langkah selanjutnya."Pertama aku harus makan dulu," ucapku sambil membayangkan makanan yang lezat, mencoba menenangkan perut yang kosong."Kemudian, aku akan ke b
Aku terus mengamati pergerakan Raju dan wanita itu di tengah keramaian restoran yang penuh dengan aroma makanan lezat dan gemerlap lampu. Lampu-lampu berwarna-warni memantulkan cahaya yang memperindah suasana, sementara bau rempah-rempah dari masakan yang sedang dimasak membuat perutku bergelora.Seketika aku teringat ucapan Raju ketika kami masih berpacaran, "Aku akan membangun restoranku sendiri satu atau dua tahun kemudian, aku akan memberi nama Ra-food. Bagaimana menurutmu?" Ucapannya menggema di telingaku, dan rasanya aneh untuk menyadari bahwa restoran ini adalah buah dari mimpi yang pernah diucapkannya padaku."Jadi, inilah restoran milik Raju. Dia tidak lagi bekerja di restoran keluarganya," gumamku seorang diri, memperhatikan pergerakan Raju dan wanita itu dari kejauhan."Lalu, siapa wanita itu?" tambahku penasaran, mencoba mengintip percakapan mereka dari kejauhan.Rasa penasaranku membuatku berjalan mendekat ke arah kasir. Aku ingin memastikan apakah pemilik restoran ini be
Malam itu, aku kembali ke rumah dengan perasaan kosong. Aku memutuskan untuk memberikan waktu dan ruang bagi diriku sendiri, untuk menyembuhkan luka dan menerima kenyataan yang sulit ini.Sesampai di rumah, aku tidak merasakan keberadaan Rendra. Aku memilih untuk mengabaikannya dan segera masuk ke kamar untuk istirahat."Raju. Aku tidak menyangka dia pandai membalikan fakta. Membuat seolah-olah dia adalah korban," ucapku pada diri sendiri, mencoba meredakan kekesalan dan kekecewaan yang melanda hatiku. Perasaan itu terus menghantuiku bahkan di dalam kegelapan kamar yang sunyi. Aku membiarkan diriku terlelap dalam kelelahan yang menyelimuti hatiku. Sesak. Sesaat, semua terasa sesak.Pagi-pagi buta, mentari menyapa jendela kamarku dengan sinar hangatnya. Kuatkan hati, aku bersiap untuk menghadapi hari dengan tekad baru. Aku meninggalkan kamar dan menuju ke dapur untuk mengambil segelas air. Saat itu, Rendra terlihat sibuk di dapur, sementara Anya dengan senyuman penuh kemenangan menya
Setelah menempelkan kertas pemberitahuan di sebelah bel rumahku, aku memasuki rumah dan memilih untuk melanjutkan aktivitasku di ruang tamu. Aku ingin memantau pergerakan kurir yang datang.Dari dalam rumah, aku memperhatikan beberapa kurir yang berdatangan dan meletakkan paket-paket mereka sesuai petunjuk yang aku tulis di kertas yang aku tempelkan di depan pintu. Suara derap langkah kaki yang terdengar dari ruang tamu yang sepi. Sambil bersandar di sofa yang empuk, aku menggumam sendiri, "Berapa banyak pesanan Anya?"Keramaian dari para kurir yang masuk dan keluar tidak mengganggu ketenanganku di ruang tamu. Aku memilih untuk membiarkan mereka bergerak dengan leluasa, membawa paket-paket yang ditujukan untuk Anya."Hah... Anya Anya," desisku tak habis pikir atas tindakan yang dilakukannya untuk membalasku. Rasa heran campur jengkel menyelinap ke dalam hatiku, menghadapi serangan balasan yang begitu tak terduga."Ini bukan levelku, Anya. Mudah sekali untuk kuatasi," gumamku pelan, men
Drrtt. Drrtt.Telepon pagi itu menghentikan mimpiku yang masih hangat di dalam selimut. Kusentuh layar ponselku dan mataku segera tertuju pada angka 08:00 yang berkilau di jam dinding."Hmm?" tanyaku dengan suara masih terdengar mengantuk."Mama...." suara Rendra terdengar cemas di ujung telepon.Segera terbangun dari kantukku, "Ada apa, Rendra? Katakan dengan jelas!" ucapku, mencoba menghilangkan kebingungan."Orangtuaku ada di depan," ucap Rendra, dan rasanya detak jantungku langsung berhenti sejenak."Anya, ada di kamarku," tambahnya lagi.Sial!! Masih pagi, tapi ada saja masalah yang datang.Aku merasa kebingungan, mengutuk dalam hati. Orangtua Rendra datang di pagi hari seperti ini? Dan Anya ada di kamarnya? Aku meminta Rendra untuk menemui orangtuanya terlebih dahulu, mencoba untuk menenangkan diri. "Datangilah mereka terlebih dahulu," pintaku padanya.Tapi Rendra bertanya, "Kenapa begit
Setelah beberapa saat, Mama Rendra berdiri dari tempatnya dan menyeka lengan bajunya. "Kami sebaiknya segera pulang, Lusi, Rendra. Kami tidak ingin mengganggu kalian terlalu lama.""Ah, tidak apa-apa, Ma. Kami senang bisa berbincang-bincang sebentar," ucapku sambil mencoba menenangkan suasana.Papa Rendra mengangguk setuju. "Iya, tetapi kami tidak ingin menyita waktu kalian terlalu banyak."Mereka memberikan senyuman hangat. Aku tersenyum balik, mencoba menyembunyikan perasaan canggung yang masih menghantui.Mama Rendra mengeluarkan sebuah kunci dari dalam tasnya dan menyerahkannya padaku dengan lembut. "Kunci cadangan rumah ini, sekarang kamu yang harus memegangnya, Lusi," ucapnya dengan nada hangat.Aku menerima kunci itu dengan senyum tipis. "Terima kasih banyak, Ma," ucapku tulus.Papa Rendra menambahkan, "Kami akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua."Kami berdua mengucapkan terima kasih lagi sambil m
Aku tidak pernah menyangka Anya akan melakukan sesuatu seperti ini, bahkan sampai pada titik rela melukai dirinya sendiri."Apa sebenarnya yang Anya inginkan?" gumamku pelan, mencoba merenung atas tindakannya.Hening terasa menyelimuti ruangan, hanya terdengar hembusan napasku yang panjang saat aku menyandarkan diriku ke sofa yang empuk. Udara sejuk pagi hari menyusup masuk melalui jendela terbuka, menambah kesan sepi. Ting tong.Bel rumahku berbunyi, memecah keheningan dengan suaranya yang samar. Aku bergerak perlahan, meninggalkan sofa, langkahku memecah kesunyian ruangan saat aku menuju pintu untuk melihat siapa yang datang di pagi hari."Bukankah kamu adalah kekasih Raju?" tanyaku, mencoba memastikan dugaanku.Wanita itu mengangguk, "Saya Lia," sapanya sambil mengulurkan tangan.Aku tidak membalas uluran tangannya, memandangnya dengan ketus. "Ada apa?" tanyaku tegas."Bisakah kita membicarakannya di dalam?" tanya Lia, mencoba menembus dinginnya suasana.Aku merenung sejenak, lalu
"Kerjasama dalam hal apa?" tanya Frans, mencari klarifikasi tentang kerjasama yang telah disebutkan.Lia berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan penuh antusias, "Merobek topeng Raju!!"Frans mengangguk setuju, "Aku ikut dia saja," ucapnya sambil menunjukku, menunjukkan kesediaannya untuk bergabung dengan rencana tersebut.Namun, aku dengan tegas menolak, menghentikan senyuman yang terlukis di bibir Lia. "Aku tidak setuju," ucapku dengan tegas, merasa bahwa rencana itu terlalu berisiko.Lia dan Frans menatapku dengan serius, menunggu penjelasan lebih lanjut dari sikapku yang tegas. "Kamu harus banyak istirahat, Lia," tegasku lagi, mencoba menjaga keamanan Lia.Frans menyipitkan matanya, seolah-olah mencoba membaca pikiranku. "Tidak biasanya kamu akan menolak hal seperti ini," ucapnya, menunjukkan keheranannya atas sikapku yang tidak biasa."Aku akan baik-baik saja, Lusi," jelas Lia padaku, mencoba meyakinkanku. Dia melanjutkan dengan pelan, sambil menunduk mengelus perutnya,
Sementara aku masih mencoba mengumpulkan pikiran yang terbungkus kabut tidur, ponselku tiba-tiba berdering di samping tempat tidur. Dengan mengantuk, aku meraihnya dan melihat nama 'Frans' terpampang di layar."Kenapa dia menghubungiku di pagi buta seperti ini sih," aku mengeluh dalam hati.Rendra masih terbaring di kasur, menatapku dengan rasa penasaran yang jelas terpancar dari matanya."Siapa?" tanyanya dengan suara pelan.Aku menggeleng, "Bukan siapa-siapa, hanya seorang teman butik yang mencari Mama," balasku, berbohong sambil tersenyum tipis.Rendra mengangguk mengerti, meskipun ekspresinya masih penuh pertanyaan."Aku akan ke Mama sebentar ya," ucapku lagi, berbohong sekali lagi, sambil menepuk lembut bahunya."Iya, aku akan mandi," balas Rendra, lalu dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.Aku keluar dari kamar dengan hati-hati, sedikit merasa bersalah atas kebohongan kecilku. Sementar
Suasana di ruang makan hangat dan akrab, dihiasi tawa dan cerita yang mengalir dengan lancar. Kami menikmati hidangan dengan penuh kebahagiaan, merasakan kebersamaan yang memperkaya hubungan keluarga kami. Setelah makan malam selesai, kami secara bersama-sama membersihkan meja dengan riang. Aura keakraban masih terasa di udara, seolah-olah ruang makan itu adalah pusat kebahagiaan bagi kami semua.Ketika kami hendak pulang, Mama dengan hangat meminta kami untuk menginap saja. "Kenapa buru-buru pulang? Kalian bisa tidur di sini, ini juga rumah kalian. Lagipula, besok weekend kan?" ujarnya dengan senyuman lembut.Meskipun awalnya kami hendak pulang, namun permintaan Mama membuat kami tak bisa menolak. Dengan beragam pikiran, kami berdua naik ke kamar, menyadari pentingnya momen yang sedang kami alami.Kami memasuki kamar dengan ekspresi campur aduk, merasakan kecanggungan di udara. Saling pandang antara aku dan Rendra menggambarkan betapa sulitnya s
Setelah memastikan bahwa Rendra sedang mandi, aku masuk ke kamar Mama Papa untuk mencari pakaian yang cocok untuknya. Sambil memilih-milih, aku merasa senang bisa melakukan hal kecil ini untuknya."Apa ya, pakaian yang cocok untuk Rendra?" gumamku sambil menggali dalam ingatanku akan gaya fashionnya.Sambil mencari-cari baju di dalam lemari, aku menemukan kaos berwarna putih yang tampak santai dan nyaman. Tanpa pikir panjang, aku mengambilnya. "Mungkin kaos ini akan cocok untuknya," bisikku dalam hati.Aku membayangkan bagaimana Rendra akan terlihat sangat tampan saat mengenakan kaos itu. "Aku tidak pernah melihatnya menggunakan celana pendek, aku akan padukan dengan itu," ucapku sambil tersenyum.Kemudian, aku mengambil celana pendek yang senada dengan kaos tersebut untuk melengkapi penampilannya yang santai namun tetap menawan."Dengan ini, Rendra pasti akan terlihat tampan," pikirku sambil tersenyum puas.Kemudian, aku meletak
"Pengkhianatan dan kekerasan. Jangan pernah maklumi dua hal itu. Jika hal itu terjadi, dan kamu merasa bingung tentang bagaimana bertindak, kamu bisa meminta saran kepada Mama, Papa, atau siapapun. Jangan hadapi sendirian," jelas Mama dengan tegas, suaranya penuh dengan kearifan yang memberi kedamaian.Aku mengangguk, meresapi setiap kata yang disampaikan Mama. Percakapan tentang pernikahan yang dijodohkan juga mengalir, memberikan wawasan baru tentang makna hubungan yang sejati."Terima kasih, Ma karena Mama tidak pernah menuntutku untuk bahagia dalam pernikahan ini," ucapku, mengungkapkan rasa lega dan terima kasihku atas dukungan Mama.Mama mengangguk mantap, "Kebahagiaan tidak akan hadir karena tuntutan," ucapnya dengan keyakinan yang membangkitkan semangat.Kami berdua duduk di bangku taman, menikmati momen indah di bawah langit senja yang memukau. Suasana hangat dan penuh cinta menyelimuti kami, menciptakan aura kebersamaan yang tak terlupak
Saat itu, pintu ruangan butik terbuka dengan lembut, dan senyum ramah Mama menyambut kami. "Loh, lagi rame ternyata," ucapnya sambil melangkah masuk.Frans mengangguk sopan, "Iya Tante, ini kami mau pulang," ujarnya sambil tersenyum.Mama mengangkat kantong yang dibawanya dengan penuh semangat, "Boleh, tapi makan ini dulu," ajaknya sambil menempatkan kantong itu di atas meja."Apa itu, Ma?" tanyaku dengan rasa penasaran.Mama membuka kantong itu dengan hati-hati, "Ini kue-kue lezat yang Mama temui di perjalanan ke sini tadi," jelasnya sambil tersenyum.Aroma kue yang harum mulai menyelinap ke dalam ruangan, mengundang selera kami untuk segera menyantapnya. Frans dan Lia pun tersenyum berterima kasih kepada Mama."Ayo, mari kita duduk dan nikmati bersama," ajak Mama sambil mengatur beberapa kursi di sekitar meja, menciptakan suasana yang hangat dan ceria.Kami pun duduk bersama, menikmati setiap gigitan kue yang disajikan
Kami berdua terdiam sejenak, terpaku dalam pikiran masing-masing. Suara kerumunan orang dan bising kendaraan di sekitar butik menciptakan latar belakang yang hidup, menambah ketegangan saat kami berusaha memecahkan teka-teki yang mengelilingi Raju."Aku pikir kita perlu mencari tahu lebih dalam tentang hubungan antara Raju dan Deharson Group," kata Frans akhirnya, memecah keheningan dengan suara tenangnya.Aku mengangguk, "Ya, benar."Ketika kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, tiba-tiba suara langkah ringan mendekati kami."Hai, Lusi," sapa Lia, membawa beberapa kantong, menyela dengan keceriaan yang kontras dengan suasana tegang sekitar. Sinar mentari pagi menyoroti wajahnya, memberikan kesan hangat pada kedatangannya.Lia duduk di sebelah Frans, sementara kelelahan terpancar jelas dari wajahnya. Dengan napas panjang, ia mencoba meredakan kelelahannya. "Aku lama nggak? Rame banget di sana," ucap Lia kepada Frans dengan senyum leb
Aku menyusuri pandangan ke sekeliling, mencari Rendra yang ternyata sedang sibuk di ruang makan. Wajahnya terlihat tenang, sementara tangannya lincah mengatur meja untuk sarapan pagi.Sambil meraba-raba selimut yang masih terlilit di tubuhku, aku berusaha mengingat ingatan malam sebelumnya. Percakapan dengan Rendra tentang langkah selanjutnya dalam hubungan kami masih segar dalam ingatanku."Sudah bangun?" sapanya ketika melihatku bergerak.Aku mengangguk, "Ya, sudah."Rendra tersenyum ramah, "Aku sudah menyiapkan sarapan. Mandi dan bersiaplah, aku tunggu di sini.""Terima kasih, Rendra. Aku akan segera bersiap," ucapku sambil tersenyum.Dengan hati yang hangat, aku melangkah menuju kamar. Air hangat pancuran menyentuh tubuhku, memberikan kesegaran di pagi yang masih merona. Setelah mandi, aku mengenakan pakaian berwarna biru muda yang dipadukan dengan blouse hitam. Langkahku ringan ketika aku kembali ke ruang makan den
"Terima kasih Rendra, aku senang hari ini," ucapku pada Rendra dengan senyum yang masih terukir di wajahku saat kami sampai di rumah.Rendra membalas senyumku dengan hangat. Sambil menatapnya, aku mengangguk, merasa lega bahwa hari ini berakhir dengan baik. Namun, sebelum aku bisa melanjutkan langkahku menuju kamarku, suara panggilan dari Rendra membuatku berhenti."Lusi," panggilnya, suaranya terdengar agak ragu.Aku menoleh ke arahnya dengan rasa penasaran, "Ada apa, Rendra?" tanyaku, mencoba memahami ekspresinya.Rendra menggaruk kepalanya, tampaknya agak gugup, "Emm, kenapa kita tidak sekamar saja mulai sekarang?" usulnya tiba-tiba, membuatku terkejut dengan permintaannya.Tatapan kami bertemu, dan aku mencoba memproses apa yang baru saja dia katakan. "Pindah ke kamarmu?" ulangku, memastikan bahwa aku tidak salah dengar.Rendra mengangguk tegas, "Ya. Sepertinya sudah waktunya bagi kita untuk tidur bersama."Aku meras
Aku masih terus memandang Rendra, mencoba membaca ekspresinya yang sedikit tersembunyi. Pikiranku melayang ke kekhawatiran yang tak terucapkan tentang hubungannya dengan Anya. "Entah kenapa aku tidak begitu yakin dengan ucapan Rendra, aku harus memastikan hubungannya dengan Anya memang sudah berakhir," pikirku dalam hati.Setelah beberapa lama kami menikmati hidangan, suasana restoran mulai mereda. Dalam keheningan, kami berdua memutuskan untuk pulang. Namun, sebelum kami bisa meninggalkan restoran, suara akrab seorang kasir memecah keheningan."Loh, Mbak yang kemarin bukan? Yang tanya hubungan Mas Raju?" tanyanya, menyela langkahku menuju pintu keluar.Untungnya, Rendra sudah berjalan lebih dulu, jadi tidak mendengar pembicaraan kami.Aku mengangguk lemah, "Ya, benar. Tapi kamu tidak memberitahu Raju kan?" tanyaku dengan suara pelan, ingin memastikan kerahasiaan pembicaraan kami.Kasir itu menggeleng, "Tenang saja Mbak, aman. T