"Nanti malam ada acara keluarga," ucap Rendra ketika aku lewat di depannya, sedang duduk di sofa ruang tamu.
"Artinya aku harus bersandiwara menjadi pasangan sungguhan dengannya?" pikirku dalam hati mengenai ucapan Rendra.Aku tidak memedulikan ucapannya, melewatinya begitu saja dan menyambut para tukang yang sudah datang.Aku berjalan keluar rumah dan berhenti di depan pintu, "Halo, kamu mau kerjaan?" tanyaku kepada seseorang melalui telepon."Temui aku di butikku," ucapku yang kemudian mengakhiri telepon.Aku melirik Rendra sejenak, "Dia sedang siap-siap untuk berangkat ke kantor."Kruyuk, kruyuk.Perutku berbunyi."Sabar, habis ini kita makan enak," ucapku kepada perut rataku.Aku berjalan menuju tempat mobilku terparkir, saat aku hendak membuka pintu, sebuah mobil berhenti di halaman rumahku."Siapa itu?" gumamku dalam hati memperhatikan seseorang tersebut hingga keluar dari mobilnya."Hai," sapa seseorang padaku, dan dia adalah...."Anya," gumamku pelan.Aku masuk ke dalam mobilku dan mengabaikan kehadirannya, "Memangnya dia tidak ada pekerjaan lain?" pikirku melihat Anya yang selalu ada di rumah kami.Sepanjang perjalanan aku berpikir "Apa yang harus aku lakukan nanti malam sebagai pasangan bersama Rendra?""Aku tidak yakin, tapi setahuku keluarga Rendra cukup ketat," lanjutku dalam hati.****"Sudah menunggu lama?" tanyaku pada Frans ketika aku melihatnya di depan butik."Cukup," balasnya dengan tenang."Pergilah sekarang kamu ke rumahku, di sana ada para tukang yang sedang memperbaiki kamarku. Lakukan untuk hari ini dan besok," perintahku pada Frans."Maksudmu kamu menyuruhku mengawasi para tukang yang ada di rumahmu?" tanya Frans memastikan."Ya, benar," balasku sambil tersenyum.Frans mengangguk mengerti, "Berapa yang akan kamu berikan padaku?" tanya Frans.Aku tersenyum kecil mendengar ucapan Frans, "Kamu tidak pernah berubah. Aku akan memberikan sesuai yang kamu minta.""Baiklah, aku hanya perlu mengawasi mereka bukan?" tanya Frans merogoh kunci mobilnya yang ada di saku bajunya."Tunggu," ucapku menghentikan pergerakan Frans."Di rumahku sepertinya sedang ada tamu, aku tidak tahu sudah pergi atau tidak. Tapi pastikan kamu masuk ke rumahku ketika tidak ada siapapun di sana," jelasku pada Frans.Frans memandangku dengan intens seperti ingin membaca maksud di balik ucapanku."Baiklah," ucap Frans yang masih menatapku.Frans kemudian berbalik badan dan berjalan mendekati mobilnya.Frans adalah orang kepercayaanku yang dikenalkan oleh Papa. Frans akan selalu membantuku selama uang yang aku tawarkan sesuai yang dia harapkan, baginya uang adalah segalanya.Setelah mobil Frans kulihat menjauh dari pandanganku, aku kembali menoleh ke tempatku berada."Wah, beberapa hari yang lalu aku mendatangi tempat ini sebagai calon pengantin," ucapku seorang diri melihat tempat yang membuatku teringat ketika aku melakukan fitting baju bersama Rendra.Aku berjalan memasuki butik yang cukup ramai dengan adanya beberapa pelanggan, aku mengendarkan pandangan untuk mengamati baju-baju yang ada di sana."Dress itu, cantik. Sepertinya akan cocok untuk aku pakai nanti malam," ucapku melihat dress cantik itu dari kejauhan.Aku hendak berjalan mendekati dress berwana ungu muda itu, "Mbak Lusi?" sapa salah satu karyawan yang ada di sana membuatku menghentikan langkahku.Aku menoleh padanya dan membalas dengan senyuman, "Hai Rani," balasku pada Rani."Mbak Lusi kenapa kemari? Seharusnya Mbak Lusi masih istirahat di rumah," tanya Rani penasaran atas kehadiranku yang harusnya datang ke butik beberapa hari lagi. "Aku hanya bosan di rumah, maka dari itu aku datang kesini," balasku yang dibalas anggukan oleh Rani.Aku kembali melihat ke tempat dress ungu muda tadi dipajang, namun "Di mana dress itu?" tanyaku terkejut melihat dress yang aku inginkan sudah tidak ada di sana."Rani, dress ungu muda yang awalnya ada di sana. Apakah ada lagi?" tanyaku pada Rani, karyawan yang tadi menyapaku.Rani melihat ke tempat aku menunjuk dress ungu muda berada, "Tidak ada Mbak, dress itu hanya tinggal satu, dan sepertinya sudah ada yang membelinya," jelas Rani kepadaku."Hah...." aku menghela napas, "Sayang sekali aku tidak mendapatkan dress itu," gumamku seorang diri."Mama ada di dalam?" tanyaku pada Rani dan dibalas anggukan olehnya.Dengan perasaan kecewa, aku berjalan masuk ke ruangan Mama berada.Tok, tok, tok.Aku mengetuk pintu."Ma?" sapaku dari luar pintu."Masuklah Lusi," balas Mama dari dalam ruangan.Aku masuk ruangan dengan hati-hati, agar tidak mengganggu pekerjaan Mama."Ada apa Lusi?" tanya Mama kepadaku."Tidak, aku hanya ingin datang ke sini Ma. Aku bosan di rumah," jelasku pada Mama."Sudah makan?" tanya Mama kepadaku."Belum," balasku dengan nada memelas.Mama memesankanku makanan di aplikasi pesan antar miliknya.Setelah makanan itu datang, sambil menikmati makanan, aku dan Mama berbincang banyak hal.Aku melihat-lihat beberapa karya baru yang tengah dipamerkan di butik. Mama selalu sibuk dengan bisnisnya, tetapi dia selalu menyisihkan waktu untuk berbicara denganku."Aku ingin mengambil dress ungu muda yang tadi ada di sini, tapi sepertinya sudah ada yang membelinya," curhatku pada Mama.Mama berpikir sejenak, "Kenapa tidak coba model yang lain? Mama yakin kamu akan tetap cantik dengan apa pun yang kamu pilih."Aku menggeleng, "Tidak. Lusi hanya tertarik dengan itu."Mama melanjutkan pekerjaannya, dan aku berjalan keluar ruangan butik.Saat kembali ke mobil, aku berpikir tentang persiapan untuk acara keluarga malam ini."Sudah siapkah aku bersandiwara sebagai pasangan sungguhan dengan Rendra?" pikirku, sambil mengemudi pulang menuju rumah.Sementara aku mengemudi pulang menuju rumah, aku mencoba merenungkan strategi yang bisa aku gunakan untuk menghadapi acara keluarga Rendra nanti malam.Sesampainya di rumah, suasana masih ramai dengan aktivitas para tukang yang sedang bekerja."Pulanglah, aku sudah di sini," perintahku pada Frans.Frans hanya diam tidak bergerak, aku mengerti jalan pikirannya, "Tenang saja, uangnya tidak akan berkurang," ucapku memberi tahu Frans."Oke kalau gitu," ucap Frans langsung berdiri dan bergegas keluar meninggalkan rumahku.Saat Frans hendak melewati pintu, dia kembali mendekat ke arahku, "Sepertinya memang terjadi sesuatu di rumah tanggamu," bisik Frans padaku.Aku hanya diam tidak memberikan jawaban atas ucapan Frans.Frans adalah orang yang peka terhadap situasi, sehingga tidak heran kalau dia merasakan ada hal yang ganjal di rumah tanggaku. Terlebih, tadi saat aku tinggalkan rumah, ada Anya di sini. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu."Kalau kamu sudah tahu, seharusnya kamu diam Frans," tegasku pada Frans."Tenang. Kamu tahu sendiri kalau aku tidak suka ikut campur urusan orang lain, hanya saja kamu bisa meminta bantuanku jika diperlukan," ucap Frans padaku."Sampai jumpa Lusi," lanjut Frans berjalan meninggalkan rumahku.Aku hendak masuk ke dalam rumah, namun ketika aku akan melangkah, aku mendengar suara sebuah mobil memasuki area rumahku."Rendra sudah pulang?" ucapku setelah melihat bahwa itu adalah mobil Rendra dan jam menunjukkan pukul 3 sore.Aku diam menunggu Rendra keluar dari mobil, penasaran apa yang dilakukannya.Rendra keluar dari mobil dengan senyum lebar di wajahnya, "Halo, Lusi. Aku punya sesuatu untukmu," ucapnya sambil mengeluarkan sebuah kotak berukuran sedang dari dalam mobilnya.Aku merasa penasaran dan curiga sekaligus, "Apa ini?" tanyaku sambil menyambut kotak tersebut dari tangan Rendra."Pakailah itu untuk acara nanti malam," pintanya.Aku membuka kotak itu dengan hati-hati dan di dalamnya terdapat sebuah dress ungu muda yang aku incar di butik Mama tadi."Ini.. Dari mana kamu mendapatkannya?" tanyaku penasaran pada Rendra."Apa maksudmu? Tentu saja aku membelinya," balas Rendra tidak paham apa yang ditanyakan olehku.Aku menggeleng, "Bukan itu, aku tadi melihat dress ini di butikku. Dan aku tidak melihatmu ada di sana," jelasku pada Rendra."Oh itu, memang aku menyuruh sekretarisku untuk membelinya," balas Rendra dan kemudian berjalan masuk ke dalam rumah.Aku memasuki rumah dengan rasa campur aduk di dalam hati. Sambil memikirkan dress yang Rendra berikan, aku merasa bersyukur namun juga penasaran dengan alasan di balik pemberian itu."Berperilaku baiklah nanti di acara, jangan membuat kegaduhan," tegas Rendra padaku sebelum dia masuk ke kamarnya."Memangnya aku akan berbuat apa?" gumamku dengan kesal mendengar ucapan Rendra.Aku bersiap-siap dengan dress ungu muda yang Rendra berikan. Dress itu terlihat begitu indah dan pas di tubuhku."Bagaimana sekretaris Rendra tahu kalau aku mengincar dress ini?" tanyaku seorang diri masih penasaran.Aku tersenyum, "Tapi dia manis juga membelikanku dress ini."Aku berputar-putar di depan kaca, melihat penampilanku.Ketika merasa sudah siap, aku berjalan keluar kamar untuk menemui Rendra yang sepertinya sudah menunggu di depan. "Rendra," sapaku pada Rendra ketika aku melihatnya dari belakang sedang duduk di sofa.Rendra menoleh saat aku memanggil namanya, tatapannya terpaku selama beberapa detik, "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" tanyaku pada Rendra memastikan bahwa tidak ada yang aneh dengan penampilanku."Tidak. Ayo berangkat," balasnya kemudian jalan keluar rumah.Aku mengikuti langkah kaki Rendra, mencoba mensejajarkan dengan langkahnya, "Apakah aku tidak terlihat cocok denga
Suasana di rumah terasa tegang dan penuh dengan ketegangan. Wajah Rendra masih memancarkan amarah, mencerminkan ketidakpuasan dan ketegangan yang mendalam dalam dirinya. Dengan langkah perlahan, aku memasuki dapur untuk mencari segelas air minum. Dengan suara yang lembut, aku menawarkan air tersebut kepadanya, mencoba memberikan sedikit ketenangan, "Minumlah agar kamu lebih tenang," ucapku sambil menyerahkan gelas air ke tangannya. Rendra menerima gelas air dengan tangan yang gemetar, menunjukkan kegelisahan yang masih terasa di dalam dirinya. Setelah mengambil beberapa tegukan air, ekspresinya sedikit mereda, tetapi suasana tegang masih terasa di sekitarnya, seolah-olah siap meledak setiap saat. Dengan napas yang masih memburu, Rendra menoleh ke arahku, "Kenapa kamu sendirian di sana?" tanyanya dengan nada tajam. Aku menjelaskan situasi yang terjadi sebelumnya, "Aku hendak berjalan ke arahmu, namun Tante Dewi-" "Jangan menyebut namanya, itu akan mengotori rumahku," potong Rendra
"Anya?" ucapku dengan terkejut ketika melihat yang ada di depan pintu bukan kurir, melainkan Anya. Anya mengernyitkan dahinya, "Kenapa kamu begitu terkejut?" tanyanya padaku. "Rendra di dalam kan?" tanyanya lagi sambil melihat ke arah dalam rumahku. Saat Anya hendak masuk ke dalam rumah, aku menahannya, "Hari ini libur dulu, biarkan Rendra istirahat," tegasku padanya. Anya menatapku dengan tatapan heran, mencoba memahami alasan di balik kata-kataku. Wajahnya memperlihatkan sedikit kebingungan, seolah tidak yakin dengan ucapan yang baru saja aku sampaikan. "Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran, mencerminkan ketidakpastian yang ada di benaknya. "Aku hanya ingin Rendra mendapatkan istirahat yang cukup," jawabku dengan mantap, mencoba meyakinkan Anya tentang ucapanku. "Dia akan lebih baik jika bersamaku," ucap Anya dan mendorong tubuhku agar bisa menerobos masuk ke dalam rumahku. Meskipun Anya berusaha keras, aku menahan langkahnya. "Aku mengerti bagaiman
Aku terkejut, sontak membuka mata dan merasakan suasana yang hening. Mengalihkan pandanganku ke arah pintu, aku menyadari bahwa aku tertidur di sofa. "Aku ketiduran di sini, lalu bagaimana dengan Anya?" pikirku dalam hati, sambil mencoba memahami keadaan sekitar.Aku keluar untuk melihat mobil Anya yang awalnya terparkir di sana. Sial! Tapi mobil Anya sudah tidak berada di tempatnya. Perasaanku campur aduk."Bukan aku yang mengerjainya tapi dia yang mengerjaiku," gumamku pelan sambil mengusap wajah kasar, mencoba memahami apa yang terjadi.Drtt. Drtt. Telepon dari Frans masuk."Jam berapa aku harus ke sana?" tanya Frans melalui telepon."Sekarang aja, sekalian bawakan makanan, aku lapar," jawabku cepat."Ini hari terakhir para tukang bekerja. Apa saja yang akan aku lakukan hari ini?" pikirku dalam hati, mencoba merencanakan langkah selanjutnya."Pertama aku harus makan dulu," ucapku sambil membayangkan makanan yang lezat, mencoba menenangkan perut yang kosong."Kemudian, aku akan ke b
Aku terus mengamati pergerakan Raju dan wanita itu di tengah keramaian restoran yang penuh dengan aroma makanan lezat dan gemerlap lampu. Lampu-lampu berwarna-warni memantulkan cahaya yang memperindah suasana, sementara bau rempah-rempah dari masakan yang sedang dimasak membuat perutku bergelora.Seketika aku teringat ucapan Raju ketika kami masih berpacaran, "Aku akan membangun restoranku sendiri satu atau dua tahun kemudian, aku akan memberi nama Ra-food. Bagaimana menurutmu?" Ucapannya menggema di telingaku, dan rasanya aneh untuk menyadari bahwa restoran ini adalah buah dari mimpi yang pernah diucapkannya padaku."Jadi, inilah restoran milik Raju. Dia tidak lagi bekerja di restoran keluarganya," gumamku seorang diri, memperhatikan pergerakan Raju dan wanita itu dari kejauhan."Lalu, siapa wanita itu?" tambahku penasaran, mencoba mengintip percakapan mereka dari kejauhan.Rasa penasaranku membuatku berjalan mendekat ke arah kasir. Aku ingin memastikan apakah pemilik restoran ini be
Malam itu, aku kembali ke rumah dengan perasaan kosong. Aku memutuskan untuk memberikan waktu dan ruang bagi diriku sendiri, untuk menyembuhkan luka dan menerima kenyataan yang sulit ini.Sesampai di rumah, aku tidak merasakan keberadaan Rendra. Aku memilih untuk mengabaikannya dan segera masuk ke kamar untuk istirahat."Raju. Aku tidak menyangka dia pandai membalikan fakta. Membuat seolah-olah dia adalah korban," ucapku pada diri sendiri, mencoba meredakan kekesalan dan kekecewaan yang melanda hatiku. Perasaan itu terus menghantuiku bahkan di dalam kegelapan kamar yang sunyi. Aku membiarkan diriku terlelap dalam kelelahan yang menyelimuti hatiku. Sesak. Sesaat, semua terasa sesak.Pagi-pagi buta, mentari menyapa jendela kamarku dengan sinar hangatnya. Kuatkan hati, aku bersiap untuk menghadapi hari dengan tekad baru. Aku meninggalkan kamar dan menuju ke dapur untuk mengambil segelas air. Saat itu, Rendra terlihat sibuk di dapur, sementara Anya dengan senyuman penuh kemenangan menya
Setelah menempelkan kertas pemberitahuan di sebelah bel rumahku, aku memasuki rumah dan memilih untuk melanjutkan aktivitasku di ruang tamu. Aku ingin memantau pergerakan kurir yang datang.Dari dalam rumah, aku memperhatikan beberapa kurir yang berdatangan dan meletakkan paket-paket mereka sesuai petunjuk yang aku tulis di kertas yang aku tempelkan di depan pintu. Suara derap langkah kaki yang terdengar dari ruang tamu yang sepi. Sambil bersandar di sofa yang empuk, aku menggumam sendiri, "Berapa banyak pesanan Anya?"Keramaian dari para kurir yang masuk dan keluar tidak mengganggu ketenanganku di ruang tamu. Aku memilih untuk membiarkan mereka bergerak dengan leluasa, membawa paket-paket yang ditujukan untuk Anya."Hah... Anya Anya," desisku tak habis pikir atas tindakan yang dilakukannya untuk membalasku. Rasa heran campur jengkel menyelinap ke dalam hatiku, menghadapi serangan balasan yang begitu tak terduga."Ini bukan levelku, Anya. Mudah sekali untuk kuatasi," gumamku pelan, men
Drrtt. Drrtt.Telepon pagi itu menghentikan mimpiku yang masih hangat di dalam selimut. Kusentuh layar ponselku dan mataku segera tertuju pada angka 08:00 yang berkilau di jam dinding."Hmm?" tanyaku dengan suara masih terdengar mengantuk."Mama...." suara Rendra terdengar cemas di ujung telepon.Segera terbangun dari kantukku, "Ada apa, Rendra? Katakan dengan jelas!" ucapku, mencoba menghilangkan kebingungan."Orangtuaku ada di depan," ucap Rendra, dan rasanya detak jantungku langsung berhenti sejenak."Anya, ada di kamarku," tambahnya lagi.Sial!! Masih pagi, tapi ada saja masalah yang datang.Aku merasa kebingungan, mengutuk dalam hati. Orangtua Rendra datang di pagi hari seperti ini? Dan Anya ada di kamarnya? Aku meminta Rendra untuk menemui orangtuanya terlebih dahulu, mencoba untuk menenangkan diri. "Datangilah mereka terlebih dahulu," pintaku padanya.Tapi Rendra bertanya, "Kenapa begit
Sementara aku masih mencoba mengumpulkan pikiran yang terbungkus kabut tidur, ponselku tiba-tiba berdering di samping tempat tidur. Dengan mengantuk, aku meraihnya dan melihat nama 'Frans' terpampang di layar."Kenapa dia menghubungiku di pagi buta seperti ini sih," aku mengeluh dalam hati.Rendra masih terbaring di kasur, menatapku dengan rasa penasaran yang jelas terpancar dari matanya."Siapa?" tanyanya dengan suara pelan.Aku menggeleng, "Bukan siapa-siapa, hanya seorang teman butik yang mencari Mama," balasku, berbohong sambil tersenyum tipis.Rendra mengangguk mengerti, meskipun ekspresinya masih penuh pertanyaan."Aku akan ke Mama sebentar ya," ucapku lagi, berbohong sekali lagi, sambil menepuk lembut bahunya."Iya, aku akan mandi," balas Rendra, lalu dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.Aku keluar dari kamar dengan hati-hati, sedikit merasa bersalah atas kebohongan kecilku. Sementar
Suasana di ruang makan hangat dan akrab, dihiasi tawa dan cerita yang mengalir dengan lancar. Kami menikmati hidangan dengan penuh kebahagiaan, merasakan kebersamaan yang memperkaya hubungan keluarga kami. Setelah makan malam selesai, kami secara bersama-sama membersihkan meja dengan riang. Aura keakraban masih terasa di udara, seolah-olah ruang makan itu adalah pusat kebahagiaan bagi kami semua.Ketika kami hendak pulang, Mama dengan hangat meminta kami untuk menginap saja. "Kenapa buru-buru pulang? Kalian bisa tidur di sini, ini juga rumah kalian. Lagipula, besok weekend kan?" ujarnya dengan senyuman lembut.Meskipun awalnya kami hendak pulang, namun permintaan Mama membuat kami tak bisa menolak. Dengan beragam pikiran, kami berdua naik ke kamar, menyadari pentingnya momen yang sedang kami alami.Kami memasuki kamar dengan ekspresi campur aduk, merasakan kecanggungan di udara. Saling pandang antara aku dan Rendra menggambarkan betapa sulitnya s
Setelah memastikan bahwa Rendra sedang mandi, aku masuk ke kamar Mama Papa untuk mencari pakaian yang cocok untuknya. Sambil memilih-milih, aku merasa senang bisa melakukan hal kecil ini untuknya."Apa ya, pakaian yang cocok untuk Rendra?" gumamku sambil menggali dalam ingatanku akan gaya fashionnya.Sambil mencari-cari baju di dalam lemari, aku menemukan kaos berwarna putih yang tampak santai dan nyaman. Tanpa pikir panjang, aku mengambilnya. "Mungkin kaos ini akan cocok untuknya," bisikku dalam hati.Aku membayangkan bagaimana Rendra akan terlihat sangat tampan saat mengenakan kaos itu. "Aku tidak pernah melihatnya menggunakan celana pendek, aku akan padukan dengan itu," ucapku sambil tersenyum.Kemudian, aku mengambil celana pendek yang senada dengan kaos tersebut untuk melengkapi penampilannya yang santai namun tetap menawan."Dengan ini, Rendra pasti akan terlihat tampan," pikirku sambil tersenyum puas.Kemudian, aku meletak
"Pengkhianatan dan kekerasan. Jangan pernah maklumi dua hal itu. Jika hal itu terjadi, dan kamu merasa bingung tentang bagaimana bertindak, kamu bisa meminta saran kepada Mama, Papa, atau siapapun. Jangan hadapi sendirian," jelas Mama dengan tegas, suaranya penuh dengan kearifan yang memberi kedamaian.Aku mengangguk, meresapi setiap kata yang disampaikan Mama. Percakapan tentang pernikahan yang dijodohkan juga mengalir, memberikan wawasan baru tentang makna hubungan yang sejati."Terima kasih, Ma karena Mama tidak pernah menuntutku untuk bahagia dalam pernikahan ini," ucapku, mengungkapkan rasa lega dan terima kasihku atas dukungan Mama.Mama mengangguk mantap, "Kebahagiaan tidak akan hadir karena tuntutan," ucapnya dengan keyakinan yang membangkitkan semangat.Kami berdua duduk di bangku taman, menikmati momen indah di bawah langit senja yang memukau. Suasana hangat dan penuh cinta menyelimuti kami, menciptakan aura kebersamaan yang tak terlupak
Saat itu, pintu ruangan butik terbuka dengan lembut, dan senyum ramah Mama menyambut kami. "Loh, lagi rame ternyata," ucapnya sambil melangkah masuk.Frans mengangguk sopan, "Iya Tante, ini kami mau pulang," ujarnya sambil tersenyum.Mama mengangkat kantong yang dibawanya dengan penuh semangat, "Boleh, tapi makan ini dulu," ajaknya sambil menempatkan kantong itu di atas meja."Apa itu, Ma?" tanyaku dengan rasa penasaran.Mama membuka kantong itu dengan hati-hati, "Ini kue-kue lezat yang Mama temui di perjalanan ke sini tadi," jelasnya sambil tersenyum.Aroma kue yang harum mulai menyelinap ke dalam ruangan, mengundang selera kami untuk segera menyantapnya. Frans dan Lia pun tersenyum berterima kasih kepada Mama."Ayo, mari kita duduk dan nikmati bersama," ajak Mama sambil mengatur beberapa kursi di sekitar meja, menciptakan suasana yang hangat dan ceria.Kami pun duduk bersama, menikmati setiap gigitan kue yang disajikan
Kami berdua terdiam sejenak, terpaku dalam pikiran masing-masing. Suara kerumunan orang dan bising kendaraan di sekitar butik menciptakan latar belakang yang hidup, menambah ketegangan saat kami berusaha memecahkan teka-teki yang mengelilingi Raju."Aku pikir kita perlu mencari tahu lebih dalam tentang hubungan antara Raju dan Deharson Group," kata Frans akhirnya, memecah keheningan dengan suara tenangnya.Aku mengangguk, "Ya, benar."Ketika kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, tiba-tiba suara langkah ringan mendekati kami."Hai, Lusi," sapa Lia, membawa beberapa kantong, menyela dengan keceriaan yang kontras dengan suasana tegang sekitar. Sinar mentari pagi menyoroti wajahnya, memberikan kesan hangat pada kedatangannya.Lia duduk di sebelah Frans, sementara kelelahan terpancar jelas dari wajahnya. Dengan napas panjang, ia mencoba meredakan kelelahannya. "Aku lama nggak? Rame banget di sana," ucap Lia kepada Frans dengan senyum leb
Aku menyusuri pandangan ke sekeliling, mencari Rendra yang ternyata sedang sibuk di ruang makan. Wajahnya terlihat tenang, sementara tangannya lincah mengatur meja untuk sarapan pagi.Sambil meraba-raba selimut yang masih terlilit di tubuhku, aku berusaha mengingat ingatan malam sebelumnya. Percakapan dengan Rendra tentang langkah selanjutnya dalam hubungan kami masih segar dalam ingatanku."Sudah bangun?" sapanya ketika melihatku bergerak.Aku mengangguk, "Ya, sudah."Rendra tersenyum ramah, "Aku sudah menyiapkan sarapan. Mandi dan bersiaplah, aku tunggu di sini.""Terima kasih, Rendra. Aku akan segera bersiap," ucapku sambil tersenyum.Dengan hati yang hangat, aku melangkah menuju kamar. Air hangat pancuran menyentuh tubuhku, memberikan kesegaran di pagi yang masih merona. Setelah mandi, aku mengenakan pakaian berwarna biru muda yang dipadukan dengan blouse hitam. Langkahku ringan ketika aku kembali ke ruang makan den
"Terima kasih Rendra, aku senang hari ini," ucapku pada Rendra dengan senyum yang masih terukir di wajahku saat kami sampai di rumah.Rendra membalas senyumku dengan hangat. Sambil menatapnya, aku mengangguk, merasa lega bahwa hari ini berakhir dengan baik. Namun, sebelum aku bisa melanjutkan langkahku menuju kamarku, suara panggilan dari Rendra membuatku berhenti."Lusi," panggilnya, suaranya terdengar agak ragu.Aku menoleh ke arahnya dengan rasa penasaran, "Ada apa, Rendra?" tanyaku, mencoba memahami ekspresinya.Rendra menggaruk kepalanya, tampaknya agak gugup, "Emm, kenapa kita tidak sekamar saja mulai sekarang?" usulnya tiba-tiba, membuatku terkejut dengan permintaannya.Tatapan kami bertemu, dan aku mencoba memproses apa yang baru saja dia katakan. "Pindah ke kamarmu?" ulangku, memastikan bahwa aku tidak salah dengar.Rendra mengangguk tegas, "Ya. Sepertinya sudah waktunya bagi kita untuk tidur bersama."Aku meras
Aku masih terus memandang Rendra, mencoba membaca ekspresinya yang sedikit tersembunyi. Pikiranku melayang ke kekhawatiran yang tak terucapkan tentang hubungannya dengan Anya. "Entah kenapa aku tidak begitu yakin dengan ucapan Rendra, aku harus memastikan hubungannya dengan Anya memang sudah berakhir," pikirku dalam hati.Setelah beberapa lama kami menikmati hidangan, suasana restoran mulai mereda. Dalam keheningan, kami berdua memutuskan untuk pulang. Namun, sebelum kami bisa meninggalkan restoran, suara akrab seorang kasir memecah keheningan."Loh, Mbak yang kemarin bukan? Yang tanya hubungan Mas Raju?" tanyanya, menyela langkahku menuju pintu keluar.Untungnya, Rendra sudah berjalan lebih dulu, jadi tidak mendengar pembicaraan kami.Aku mengangguk lemah, "Ya, benar. Tapi kamu tidak memberitahu Raju kan?" tanyaku dengan suara pelan, ingin memastikan kerahasiaan pembicaraan kami.Kasir itu menggeleng, "Tenang saja Mbak, aman. T