Sesuai kesepakatan, kami bertemu di kantor milik keluarganya. Di sinilah kami sekarang, berada dalam ruangan kerja Rendra.
Aku duduk di sofa yang tersedia di ruangan Rendra, menikmati secangkir teh yang telah disiapkan untukku.Sepuluh menit menunggu, Rendra masuk dengan membawa laptop miliknya, lalu duduk di sebelahku.“Ayo kita tulis perjanjian itu bersama,” ajaknya.“Seperti yang aku tawarkan kemarin di taman, aku akan menuliskan pasal-pasal dalam pernikahan kontrak kita,” ucap Rendra sambil mengetik.“Aku penasaran, mengapa kamu begitu ingin menjadi penerus perusahaan ini? Bukankah kamu sudah pasti akan menjadi penerus perusahaan ini?” tanyaku kepada Rendra.“Tidak, perusahaan ini tidak akan diserahkan kepadaku kecuali jika aku menikah denganmu dan bertahan setidaknya satu tahun,” jelas Rendra padaku.“Kenapa situasi menjadi seperti itu? Bukankah kamu saat ini adalah pewaris tunggal di keluargamu?"Rendra melihatku sekilas, lalu menghela napas. “Keluargkaku tidak sehangat keluargamu,” jelas Rendra, membuatku terkejut.Seolah ingin mengalihkan topik, Rendra langsung menggeser laptopnya ke depanku.“Baca ini dan tambahkan jika ada yang kurang,” ucap Rendra setelah menyelesaikan pengetikan dari apa yang telah disampaikannya sebelumnya.Aku membaca dengan cermat apa yang tertera di sana, aku tidak ingin ada kesalahpahaman yang mungkin timbul di antara kami.“Jadi, maksudmu kita akan bercerai setelah satu tahun?” tanyaku memastikan.“Iya, tulis saja aturan-aturan yang kamu inginkan di sana,” pintanya padaku.Aku memandang laptop, ragu dengan keputusan yang harus kubuat.Aku mulai mengetik lembaran perjanjian itu, “Aturan pertama, kita tidak boleh ikut campur urusan pribadi satu sama lain,” ucapku sambil mengetik.“Aturan kedua, kontrak akan berakhir setelah satu tahun, tanpa pengecualian,” lanjutku setelah melihat Rendra tidak memberikan respon negatif terhadap aturan pertama.“Aturan ketiga, tidak boleh menyentuh tanpa izin,” ucapku membacakan aturan ketiga.Aku berhenti mengetik sejenak dan bertanya kepada Rendra, “Bagaimana kita merespons jika keluarga kita menanyakan tentang anak?”“Mari kita katakan kita masih ingin menikmati masa berdua,” jawab Rendra, dan aku menyetujuinya.Aku terdiam lagi sambil membaca ulang hal-hal yang baru kuketik. Sesekali aku melirik ke arah pria itu.Ya, kuakui, dia memang tampan tanpa cela. Rambutnya hitam legam, sama seperti warna matanya. Alisnya tebal dan hidungnya mancung. Jangan lewatkan juga tubuhnya yang tampak kokoh dan otot tangannya yang kekar.Perempuan normal mungkin akan berteriak ketika melihatnya. Tapi, aku yang sudah merasakan bagaimana sikap dingin dan tegasnya pria ini, lebih baik mengubur diri daripada menikah dengannya.“Aturan selanjutnya apa lagi?” tanyaku pada Rendra lagi.“Tidak boleh ada perasaan cinta,” balas Rendra.Aku mendecih pelan sambil mengetik aturan keempat, “Kemudian, aturan kelima?”“Harus berperilaku seperti pasangan sesungguhnya di depan umum.”“Ada lagi?” tanyaku kepada Rendra, dan mendapat gelengan kepala sebagai jawaban.Aku memberikan kembali laptop kepada Rendra sebagai tanda bahwa semua yang telah kita sepakati telah tercatat di sana.Rendra memeriksa ulang lembar kontrak tersebut. Setelah merasa yakin, Rendra mencetak lembaran itu menggunakan printer yang tersedia di ruangannya.“Setelah tanda tangan, itu berarti kita telah setuju dengan semua perjanjian ini,” ucap Rendra sambil memberikan lembaran kontrak pernikahan kami.Aku mengambil bulpen, masih ada keraguan di dalam hatiku. Sejujurnya, aku masih belum yakin tentang pernikahan ini.“Cepatlah tanda tangani, aku tidak akan membiarkanmu berubah pikiran,” ucap Rendra, seolah melihat keraguanku.Akupun menandatangani surat itu dengan harapan semuanya akan berjalan lancar. Setidaknya, kesehatan Kakek akan membaik setelah ini.Aku melihat Rendra tanpa keraguan menandatangani surat itu juga.Ceklek!Aku sontak menoleh ke arah pintu yang dibuka tanpa diketuk lebih dulu.Dengan langkah yang ringan dan elegan, seorang perempuan masuk dengan memancarkan aura keanggunan yang memikat seisi ruangan.Rona kulitnya yang bersinar menambah pesonanya, menciptakan aura kecantikan yang memancar dari setiap gerakannya. Sorot matanya yang tajam dan bijaksana menyiratkan kecerdasan.“Sayang, kita akan makan di mana?” ucap seorang perempuan itu.Perempuan itu kemudain berjalan ke arahku dan memperhatikanku dari atas hingga bawah. “Oh, ada tamu rupanya. Maaf kalau mengganggu,” ucapnya, meskipun maafnya terdengar tidak tulus.Perempuan itu meraih lembaran kontrak pernikahan kami dan mengamatinya sambil menganggukkan kepalanya.“Ternyata kamu yang bernama Delusi,” ucapnya kepadaku setelah selesai membaca surat kontrak itu.“Perkenalkan, aku Anya kekasih Rendra,” sapanya mengenalkan diri kepadaku.“Lusi,” balasku menyapanya.“Jadi, kapan pernikahan kalian?” Anya melontarkan pertanyaan yang seharusnya tidak dilakukan sebagai sepasang kekasih, seharusnya dia marah bukan menerimaku dengan hangat seperti itu.“Secepatnya,” balas Rendra sambil bergelanyutan manja memeluk Anya.Pasangan yang aneh. Bagaimana bisa dia menerima kekasihnya menikah dengan perempuan lain seterbuka itu? Rendra dan Anya sudah benar-benar gila. Aku masih berada di ruangan yang sama dengan mereka, tapi mereka justru berciuman di depanku?Sambil mendengus, aku memilih untuk keluar dari ruangan itu.Aku sendiri bahkan belum mengatakan apapun tentang ini kepada kekasihku. Begitu sudah sampai di depan lift, aku membuka ponselku untuk menghubungi Raju, meminta pertemuan. Aku harus segera mengatakannya padanya.****“Aku akan menikah,” ucapku kepada Raju setelah kami bertemu.“Dengan laki-laki yang selalu dijodohkan dengan kakekmu itu?” tanya Raju untuk memastikan.“Iya,” jawabku.“Ya, baguslah. Akhirnya kamu tidak bingung harus menolak permintaan kakekmu,” jawab Raju dengan tenang, tanpa menunjukkan sedikitpun kesedihan atas kabar yang aku berikan.“Kami menikah kontrak, rencananya akan bercerai setelah satu tahun,” jelasku pada Raju.“Kamu pikir di antara kalian nanti tidak akan ada yang jatuh cinta?”“Kami sudah menyepakati untuk tetap bercerai jika salah satu dari kami jatuh cinta.”Raju tampak tidak suka dengan jawabanku. Dia terus menodongku. “Bagaimana jika keduanya saling mencintai?”“Aku yakin itu tidak akan terjadi,” ucapku, mencoba meyakinkan Raju.“Aku tidak bodoh. Bagaimana mungkin dua orang dewasa lawan jenis tinggal satu atap selama satu tahun dan tidak saling jatuh cinta? Itu hal yang mustahil terjadi!”Aku hanya diam, tidak memberikan respon.Apa yang dikatakan Raju memang benar. Kami hanya manusia yang memiliki perasaan.Aku tidak berani mengatakan bahwa aku tidak akan jatuh cinta pada Rendra, namun aku juga tidak ingin kehilangan Raju, seseorang yang sangat kucintai.“Kita putus saja,” ucap Raju mangatakan keputusannya.Raju langsung meninggalkanku sendirian di sana tanpa memberikanku waktu untuk membujuknya.Aku memandangi cangkir kopi di depanku. Aku tidak yakin apa yang sedang kurasakan sekarang. Kenapa aku tidak menangis? Kenapa aku tidak mau menahan Raju untuk bersabar?“Hah....” aku menghela napas panjang.Aku berharap ini adalah keputusan yang tepat dan terbaik untukku. Tidak akan sia-sia ketika aku berbakti kepada orang tua, bukan? Meskipun aku yakin akan selalu melihat Rendra bermesraan dengan Anya, aku hanya perlu menganggap mereka orang asing.Drtt. Drtt.Tepat sekali, Rendra meneleponku.“Dia selalu saja mengganggu ketenanganku. Kali ini apa yang dia inginkan?” gerutuku kesal pada ponselku.“Halo?” sapaku.“HA? MINGGU DEPAN?”"Kenapa secepat itu?" tanyaku kebingungan atas sesuatu yang diucapkan Rendra melaui telepon bahwa pernikahan kami akan dilaksanakan satu minggu lagi.Rendra tidak memberikan alasan yang jelas padaku, dia hanya menyuruhku untuk segera bergegas kembali ke rumah sakit, tempat Kakek dirawat. "Hal gila apa lagi ini?" umpatku dalam hati. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, aku memaki-maki Rendra, menyumpahi namanya karena selalu berbuat seenaknya.Bagaimana bisa dia selalu berbuat seenaknya? Aku berjalan cepat dengan perasaan membara. Segera saja aku masuk ke ruangan rawat Kakek yang penuh dengan aroma obat-obatan menusuk hidung. Pandanganku langsung tertuju ke arah ranjang, namun yang kulihat bukan hanya Kakek yang terbaring di kasur. Di sana, ada banyak sekali orang yang mengelilinginya. Ada keluarga Rendra juga di sana."Kamu sudah datang, Lusi. Kemarilah," sapa Kakek ketika melihatku masuk ke dalam ruangan.Kakek terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku bertanya-tanya menga
Sekarang adalah hari pernikahanku. Aku berada di ruang makeup, rambutku dihias dengan mahkota bunga segar yang menambah pesonaku. Gaun putih yang elegan menempel dengan manis di tubuhku yang mungil. Perasaanku campur aduk, antara gugup dan gelisah karena momen besar ini.Orang yang sedang meriasku dengan penuh antusiasme memuji, "Cantik sekali, pengantin pria pasti terpesona melihat anda," seraya menambahkan sentuhan akhir pada riasan wajahku.Ucapan pujian itu membawa senyum ke wajahku, meskipun hatiku masih dipenuhi oleh sejumlah emosi yang sulit diungkapkan. "Pengantin wanita sudah siap untuk keluar?" tanya seseorang kepadaku.Aku menjawab dengan anggukan ringan, mencoba menyembunyikan ketidakpastian dalam suaraku. Langkah-langkahku terasa berat saat aku berjalan menuju pintu keluar. Rasa gelisah semakin menguat, seperti tak terbendung oleh keindahan sekelilingku.Papaku sudah berdiri dan siap untuk mengantarku ke pelaminan, aku melihat cahaya kebahagiaan yang terpancar dalam dirin
Aku dan Rendra sudah sampai di kediaman Rendra.Rumah milik Rendra adalah sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi dengan arsitektur modern yang menawan. Dikelilingi oleh taman yang rimbun dan indah, pintu masuk utama dilapisi dengan panel kayu yang elegan. Langit-langit tinggi memberikan kesan luas dan anggun saat memasuki ruang utama.Interior rumah dipenuhi dengan furnitur mewah dan sentuhan artistik yang menghadirkan suasana yang hangat dan mengundang.Dinding-dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan indah dan hiasan seni yang menambah keanggunan ruangan.Cahaya alami memasuki ruangan melalui jendela-jendela besar, menciptakan permainan cahaya yang menawan di sepanjang hari.Rumah Rendra adalah tempat yang memancarkan kemewahan dan kenyamanan."Kamarmu sebelah sana, dan kamarku sebelah sini. Jangan pernah sesekali masuk ke kamarku tanpa izin. Dan ada tangga mengarah ke ruang bawah tanah, kamu dilarang ke sana," ucap Rendra dan pergi meninggalkanku ke kamarnya. Aku juga masuk k
Sesuai apa yang telah aku rencanakan kemarin, misiku hari ini adalah mencari tukang untuk memperbaiki dinding dan pintuku. "Ah, lapar sekali," ucapku sambil meng-scroll aplikasi pesan antar makanan. Aku akan memesan makanan untukku dan Rendra, "Kamu seharusnya beruntung memiliki istri sepertiku. Lihat, aku juga memesankan makanan untukmu," ucapku berbangga diri. Sambil menunggu pesanan, aku duduk di sofa ruang tamu sambil berpikir, "Kira-kira siapa yang punya kenalan seorang tukang?" "OH! SELLA!!!" pekikku teringat seorang teman masa kuliah yang memiliki banyak kenalan tukang karena kelurganya selalu melakukan renovasi rumah tiap dua bulan sekali. "Halo Sella," sapaku pada Sella melalui telepon. "Iya Lusi. Ada apa nih?" tanya Sella "Jadi gini Sel, aku lagi mau merenovasi kamarku. Kamu ada rekomendasi tukang gak?" jelasku pada Sella. "Butuh kapan Lus?" tanya Sella memastikan. "Aku butuh hari ini, ada gak ya Sel?" ucapku pada Sella. "Coba aku cariin ya, nanti aku hubungi lagi,"
"Nanti malam ada acara keluarga," ucap Rendra ketika aku lewat di depannya, sedang duduk di sofa ruang tamu."Artinya aku harus bersandiwara menjadi pasangan sungguhan dengannya?" pikirku dalam hati mengenai ucapan Rendra.Aku tidak memedulikan ucapannya, melewatinya begitu saja dan menyambut para tukang yang sudah datang.Aku berjalan keluar rumah dan berhenti di depan pintu, "Halo, kamu mau kerjaan?" tanyaku kepada seseorang melalui telepon."Temui aku di butikku," ucapku yang kemudian mengakhiri telepon.Aku melirik Rendra sejenak, "Dia sedang siap-siap untuk berangkat ke kantor."Kruyuk, kruyuk.Perutku berbunyi."Sabar, habis ini kita makan enak," ucapku kepada perut rataku.Aku berjalan menuju tempat mobilku terparkir, saat aku hendak membuka pintu, sebuah mobil berhenti di halaman rumahku."Siapa itu?" gumamku dalam hati memperhatikan seseorang tersebut hingga keluar dari mobilnya."Hai," sapa seseorang padaku, dan dia adalah...."Anya," gumamku pelan.Aku masuk ke dalam mobilku
"Memangnya aku akan berbuat apa?" gumamku dengan kesal mendengar ucapan Rendra.Aku bersiap-siap dengan dress ungu muda yang Rendra berikan. Dress itu terlihat begitu indah dan pas di tubuhku."Bagaimana sekretaris Rendra tahu kalau aku mengincar dress ini?" tanyaku seorang diri masih penasaran.Aku tersenyum, "Tapi dia manis juga membelikanku dress ini."Aku berputar-putar di depan kaca, melihat penampilanku.Ketika merasa sudah siap, aku berjalan keluar kamar untuk menemui Rendra yang sepertinya sudah menunggu di depan. "Rendra," sapaku pada Rendra ketika aku melihatnya dari belakang sedang duduk di sofa.Rendra menoleh saat aku memanggil namanya, tatapannya terpaku selama beberapa detik, "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" tanyaku pada Rendra memastikan bahwa tidak ada yang aneh dengan penampilanku."Tidak. Ayo berangkat," balasnya kemudian jalan keluar rumah.Aku mengikuti langkah kaki Rendra, mencoba mensejajarkan dengan langkahnya, "Apakah aku tidak terlihat cocok denga
Suasana di rumah terasa tegang dan penuh dengan ketegangan. Wajah Rendra masih memancarkan amarah, mencerminkan ketidakpuasan dan ketegangan yang mendalam dalam dirinya. Dengan langkah perlahan, aku memasuki dapur untuk mencari segelas air minum. Dengan suara yang lembut, aku menawarkan air tersebut kepadanya, mencoba memberikan sedikit ketenangan, "Minumlah agar kamu lebih tenang," ucapku sambil menyerahkan gelas air ke tangannya. Rendra menerima gelas air dengan tangan yang gemetar, menunjukkan kegelisahan yang masih terasa di dalam dirinya. Setelah mengambil beberapa tegukan air, ekspresinya sedikit mereda, tetapi suasana tegang masih terasa di sekitarnya, seolah-olah siap meledak setiap saat. Dengan napas yang masih memburu, Rendra menoleh ke arahku, "Kenapa kamu sendirian di sana?" tanyanya dengan nada tajam. Aku menjelaskan situasi yang terjadi sebelumnya, "Aku hendak berjalan ke arahmu, namun Tante Dewi-" "Jangan menyebut namanya, itu akan mengotori rumahku," potong Rendra
"Anya?" ucapku dengan terkejut ketika melihat yang ada di depan pintu bukan kurir, melainkan Anya. Anya mengernyitkan dahinya, "Kenapa kamu begitu terkejut?" tanyanya padaku. "Rendra di dalam kan?" tanyanya lagi sambil melihat ke arah dalam rumahku. Saat Anya hendak masuk ke dalam rumah, aku menahannya, "Hari ini libur dulu, biarkan Rendra istirahat," tegasku padanya. Anya menatapku dengan tatapan heran, mencoba memahami alasan di balik kata-kataku. Wajahnya memperlihatkan sedikit kebingungan, seolah tidak yakin dengan ucapan yang baru saja aku sampaikan. "Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran, mencerminkan ketidakpastian yang ada di benaknya. "Aku hanya ingin Rendra mendapatkan istirahat yang cukup," jawabku dengan mantap, mencoba meyakinkan Anya tentang ucapanku. "Dia akan lebih baik jika bersamaku," ucap Anya dan mendorong tubuhku agar bisa menerobos masuk ke dalam rumahku. Meskipun Anya berusaha keras, aku menahan langkahnya. "Aku mengerti bagaiman
Sementara aku masih mencoba mengumpulkan pikiran yang terbungkus kabut tidur, ponselku tiba-tiba berdering di samping tempat tidur. Dengan mengantuk, aku meraihnya dan melihat nama 'Frans' terpampang di layar."Kenapa dia menghubungiku di pagi buta seperti ini sih," aku mengeluh dalam hati.Rendra masih terbaring di kasur, menatapku dengan rasa penasaran yang jelas terpancar dari matanya."Siapa?" tanyanya dengan suara pelan.Aku menggeleng, "Bukan siapa-siapa, hanya seorang teman butik yang mencari Mama," balasku, berbohong sambil tersenyum tipis.Rendra mengangguk mengerti, meskipun ekspresinya masih penuh pertanyaan."Aku akan ke Mama sebentar ya," ucapku lagi, berbohong sekali lagi, sambil menepuk lembut bahunya."Iya, aku akan mandi," balas Rendra, lalu dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.Aku keluar dari kamar dengan hati-hati, sedikit merasa bersalah atas kebohongan kecilku. Sementar
Suasana di ruang makan hangat dan akrab, dihiasi tawa dan cerita yang mengalir dengan lancar. Kami menikmati hidangan dengan penuh kebahagiaan, merasakan kebersamaan yang memperkaya hubungan keluarga kami. Setelah makan malam selesai, kami secara bersama-sama membersihkan meja dengan riang. Aura keakraban masih terasa di udara, seolah-olah ruang makan itu adalah pusat kebahagiaan bagi kami semua.Ketika kami hendak pulang, Mama dengan hangat meminta kami untuk menginap saja. "Kenapa buru-buru pulang? Kalian bisa tidur di sini, ini juga rumah kalian. Lagipula, besok weekend kan?" ujarnya dengan senyuman lembut.Meskipun awalnya kami hendak pulang, namun permintaan Mama membuat kami tak bisa menolak. Dengan beragam pikiran, kami berdua naik ke kamar, menyadari pentingnya momen yang sedang kami alami.Kami memasuki kamar dengan ekspresi campur aduk, merasakan kecanggungan di udara. Saling pandang antara aku dan Rendra menggambarkan betapa sulitnya s
Setelah memastikan bahwa Rendra sedang mandi, aku masuk ke kamar Mama Papa untuk mencari pakaian yang cocok untuknya. Sambil memilih-milih, aku merasa senang bisa melakukan hal kecil ini untuknya."Apa ya, pakaian yang cocok untuk Rendra?" gumamku sambil menggali dalam ingatanku akan gaya fashionnya.Sambil mencari-cari baju di dalam lemari, aku menemukan kaos berwarna putih yang tampak santai dan nyaman. Tanpa pikir panjang, aku mengambilnya. "Mungkin kaos ini akan cocok untuknya," bisikku dalam hati.Aku membayangkan bagaimana Rendra akan terlihat sangat tampan saat mengenakan kaos itu. "Aku tidak pernah melihatnya menggunakan celana pendek, aku akan padukan dengan itu," ucapku sambil tersenyum.Kemudian, aku mengambil celana pendek yang senada dengan kaos tersebut untuk melengkapi penampilannya yang santai namun tetap menawan."Dengan ini, Rendra pasti akan terlihat tampan," pikirku sambil tersenyum puas.Kemudian, aku meletak
"Pengkhianatan dan kekerasan. Jangan pernah maklumi dua hal itu. Jika hal itu terjadi, dan kamu merasa bingung tentang bagaimana bertindak, kamu bisa meminta saran kepada Mama, Papa, atau siapapun. Jangan hadapi sendirian," jelas Mama dengan tegas, suaranya penuh dengan kearifan yang memberi kedamaian.Aku mengangguk, meresapi setiap kata yang disampaikan Mama. Percakapan tentang pernikahan yang dijodohkan juga mengalir, memberikan wawasan baru tentang makna hubungan yang sejati."Terima kasih, Ma karena Mama tidak pernah menuntutku untuk bahagia dalam pernikahan ini," ucapku, mengungkapkan rasa lega dan terima kasihku atas dukungan Mama.Mama mengangguk mantap, "Kebahagiaan tidak akan hadir karena tuntutan," ucapnya dengan keyakinan yang membangkitkan semangat.Kami berdua duduk di bangku taman, menikmati momen indah di bawah langit senja yang memukau. Suasana hangat dan penuh cinta menyelimuti kami, menciptakan aura kebersamaan yang tak terlupak
Saat itu, pintu ruangan butik terbuka dengan lembut, dan senyum ramah Mama menyambut kami. "Loh, lagi rame ternyata," ucapnya sambil melangkah masuk.Frans mengangguk sopan, "Iya Tante, ini kami mau pulang," ujarnya sambil tersenyum.Mama mengangkat kantong yang dibawanya dengan penuh semangat, "Boleh, tapi makan ini dulu," ajaknya sambil menempatkan kantong itu di atas meja."Apa itu, Ma?" tanyaku dengan rasa penasaran.Mama membuka kantong itu dengan hati-hati, "Ini kue-kue lezat yang Mama temui di perjalanan ke sini tadi," jelasnya sambil tersenyum.Aroma kue yang harum mulai menyelinap ke dalam ruangan, mengundang selera kami untuk segera menyantapnya. Frans dan Lia pun tersenyum berterima kasih kepada Mama."Ayo, mari kita duduk dan nikmati bersama," ajak Mama sambil mengatur beberapa kursi di sekitar meja, menciptakan suasana yang hangat dan ceria.Kami pun duduk bersama, menikmati setiap gigitan kue yang disajikan
Kami berdua terdiam sejenak, terpaku dalam pikiran masing-masing. Suara kerumunan orang dan bising kendaraan di sekitar butik menciptakan latar belakang yang hidup, menambah ketegangan saat kami berusaha memecahkan teka-teki yang mengelilingi Raju."Aku pikir kita perlu mencari tahu lebih dalam tentang hubungan antara Raju dan Deharson Group," kata Frans akhirnya, memecah keheningan dengan suara tenangnya.Aku mengangguk, "Ya, benar."Ketika kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, tiba-tiba suara langkah ringan mendekati kami."Hai, Lusi," sapa Lia, membawa beberapa kantong, menyela dengan keceriaan yang kontras dengan suasana tegang sekitar. Sinar mentari pagi menyoroti wajahnya, memberikan kesan hangat pada kedatangannya.Lia duduk di sebelah Frans, sementara kelelahan terpancar jelas dari wajahnya. Dengan napas panjang, ia mencoba meredakan kelelahannya. "Aku lama nggak? Rame banget di sana," ucap Lia kepada Frans dengan senyum leb
Aku menyusuri pandangan ke sekeliling, mencari Rendra yang ternyata sedang sibuk di ruang makan. Wajahnya terlihat tenang, sementara tangannya lincah mengatur meja untuk sarapan pagi.Sambil meraba-raba selimut yang masih terlilit di tubuhku, aku berusaha mengingat ingatan malam sebelumnya. Percakapan dengan Rendra tentang langkah selanjutnya dalam hubungan kami masih segar dalam ingatanku."Sudah bangun?" sapanya ketika melihatku bergerak.Aku mengangguk, "Ya, sudah."Rendra tersenyum ramah, "Aku sudah menyiapkan sarapan. Mandi dan bersiaplah, aku tunggu di sini.""Terima kasih, Rendra. Aku akan segera bersiap," ucapku sambil tersenyum.Dengan hati yang hangat, aku melangkah menuju kamar. Air hangat pancuran menyentuh tubuhku, memberikan kesegaran di pagi yang masih merona. Setelah mandi, aku mengenakan pakaian berwarna biru muda yang dipadukan dengan blouse hitam. Langkahku ringan ketika aku kembali ke ruang makan den
"Terima kasih Rendra, aku senang hari ini," ucapku pada Rendra dengan senyum yang masih terukir di wajahku saat kami sampai di rumah.Rendra membalas senyumku dengan hangat. Sambil menatapnya, aku mengangguk, merasa lega bahwa hari ini berakhir dengan baik. Namun, sebelum aku bisa melanjutkan langkahku menuju kamarku, suara panggilan dari Rendra membuatku berhenti."Lusi," panggilnya, suaranya terdengar agak ragu.Aku menoleh ke arahnya dengan rasa penasaran, "Ada apa, Rendra?" tanyaku, mencoba memahami ekspresinya.Rendra menggaruk kepalanya, tampaknya agak gugup, "Emm, kenapa kita tidak sekamar saja mulai sekarang?" usulnya tiba-tiba, membuatku terkejut dengan permintaannya.Tatapan kami bertemu, dan aku mencoba memproses apa yang baru saja dia katakan. "Pindah ke kamarmu?" ulangku, memastikan bahwa aku tidak salah dengar.Rendra mengangguk tegas, "Ya. Sepertinya sudah waktunya bagi kita untuk tidur bersama."Aku meras
Aku masih terus memandang Rendra, mencoba membaca ekspresinya yang sedikit tersembunyi. Pikiranku melayang ke kekhawatiran yang tak terucapkan tentang hubungannya dengan Anya. "Entah kenapa aku tidak begitu yakin dengan ucapan Rendra, aku harus memastikan hubungannya dengan Anya memang sudah berakhir," pikirku dalam hati.Setelah beberapa lama kami menikmati hidangan, suasana restoran mulai mereda. Dalam keheningan, kami berdua memutuskan untuk pulang. Namun, sebelum kami bisa meninggalkan restoran, suara akrab seorang kasir memecah keheningan."Loh, Mbak yang kemarin bukan? Yang tanya hubungan Mas Raju?" tanyanya, menyela langkahku menuju pintu keluar.Untungnya, Rendra sudah berjalan lebih dulu, jadi tidak mendengar pembicaraan kami.Aku mengangguk lemah, "Ya, benar. Tapi kamu tidak memberitahu Raju kan?" tanyaku dengan suara pelan, ingin memastikan kerahasiaan pembicaraan kami.Kasir itu menggeleng, "Tenang saja Mbak, aman. T