"Lusi, kamu harus menikah dengan cucu sahabat Kakek."
Itu adalah kalimat yang selalu diucapkan Kakek padaku. Dan aku tidak pernah bosan selalu menjawab dengan kalimat yang sama."Kek, Lusi sudah bicara berapa kali kalau Lusi tidak mau. Lusi mau menikah dengan pilihan Lusi sendiri," balasku kepada Kakek karena sudah malas dimintai menikah dengan orang yang tidak kukenal.Kakek menggenggam tanganku dengan lemah. Dari posisi berbaringnya, pria tua itu menatapku dengan tatapan memohon."Kakek sudah berjanji dengan sahabat kakek untuk menjodohkan kalian,” ucap Kakek dengan suaranya yang lirih. “Kakek harus menepatinya sebelum Kakek tiada.""Sudahlah, Kakek istirahat saja.”Aku memutuskan untuk mengabaikan permintaan Kakek, menyudahi obrolan pernikahan yang sangat tidak aku inginkan itu.Aku menarik selimut Kakek, menyuruhnya untuk berhenti mengoceh. “Kakek sedang sakit, tidak baik membicarakan hal berat seperti ini."“Lusi,” panggil Kakek lagi. "Ini tinggal persetujuan dari kamu Lusi, cucu sahabat Kakek sudah menyetujuinya."Aku tidak membalas ucapan terakhir Kakek, memilih untuk pergi dari kamar rawat Kakek untuk mencari udara segar.Sudah beberapa kali aku mengatakan pada Kakek bahwa aku sudah memiliki kekasih, tapi mengapa Kakek terus memaksa aku menikah dengan cucu sahabatnya? Itu membuatku kesal.Perasaan itu membawaku melangkah ke taman rumah sakit, tempat yang rindang karena masih banyak pepohonan di sana, dan ketenangan yang membuatku sedikit lebih rileks.Aku mendekati tempat duduk kosong dan memilih untuk duduk sejenak, merenungkan permintaan konyol Kakek.Sudah dua bulan Kakek terbaring di rumah sakit karena penyakit jantungnya. Dokter bilang, kondisinya sudah semakin lemah.Dan semakin ke sini, Kakek semakin sering menyinggung soal perjodohan itu. Dia bilang, dia bisa mati dengan tenang jika melihatku menikah dengan cucu temannya.Aku bingung, harus menolak atau tidak.Bagaimanapun, aku sangat menyayangi Kakek."Sepertinya aku perlu mendiskusikannya dengan Raju," gumamku seorang diri.Aku berniat mengambil ponsel dari saku bajuku untuk menghubungi Raju, kekasihku.Salah satu alasan mengapa aku menolak perjodohan ini adalah karena aku masih memiliki Raju. Tidak mungkin aku meninggalkannya demi orang lain yang tak kukenal.Namun, ketika aku hendak menekan nomor telepon Raju, seseorang tiba-tiba berdiri di hadapanku."Apakah kamu Delusi, cucu Kakek Jaya?" tanya pria itu langsung.Aku mengangkat kepala. "Siapa kamu?" tanyaku dengan was-was, menyelidiki sosoknya dengan cermat.Aku melihatnya dari atas hingga bawah. Dengan setelan jas biru muda yang melengkapi pesonanya, dia tampak begitu elegan dan berkarisma.Sorot matanya yang tajam seolah mencerminkan kepercayaan diri, sementara senyum hangatnya menambahkan sentuhan ramah pada penampilannya yang berkelas."Aku seseorang yang dijodohkan denganmu, Derendra," jawabnya dengan santai. Kemudian, pria itu duduk di sebelahku.Kemudian, pria asing ini mengatakan sesuatu yang membuatku terbelalak."Terima saja perjodohan kita.”Aku jelas langsung protes!"Tidak mau! Aku sudah punya pasangan," kataku."Tenang saja, aku juga sudah punya pasangan," balasnya tenang sambil menyeruput kopi yang dibawanya. Ia bahkan tidak mau menatapku.Aku terkejut mendengar kejujuran yang dikatakannya itu. Lalu kenapa pria ini ingin agar aku menerima perjodohan itu?"Kamu gila, ya?!” ucapku lagi. “Kalau punya pasangan, kenapa–”"Kita nikah demi keuntungan masing-masing saja, dan tidak saling mencampuri urusan satu sama lain," ucap Rendra dengan tenang.Aku mengernyit. "Keuntungan apa yang kamu maksud?" tanyaku mencoba menggali lebih dalam tawaran Rendra.Rendra menghadap padaku dengan muka serius."Pertama, kamu akan menjadi anak yang sangat berbakti kepada keluargamu. Kedua, kita tidak akan didesak untuk menikah lagi. Ketiga, aku tidak akan menyentuhmu sama sekali, jadi kamu tidak perlu khawatir. Keempat, perusahaan keluarga kita akan bekerja sama, dan untungnya akan sangat besar. Dan yang kelima..."Rendra menghentikan ucapannya dan mendekatkan dirinya padaku. Dia berbisik, "Aku akan menjadi penerus perusahaan keluargaku."Aku menatap Rendra sambil merenungkan tawaran yang diberikannya.Memang benar, aku sudah lelah didesak untuk menikah dengan pria ini. Tapi tentang menjadi penerus itu hanya akan menguntungkannya."Kamu tidak perlu putus, lanjutkan saja. Anggap saja ikatan pernikahan ini tidak ada, lakukan semau kalian dan semauku dengan pasanganku," sambung Rendra sambil menyenderkan tangannya di bangku taman.Apakah aku akan berkhianat pada Raju jika menerima pernikahan ini?Jika aku menolak perjodohan ini, aku takut kesehatan Kakek akan menurun. Tetapi aku tidak siap dengan pernikahan ini, aku hanya ingin menikah dengan Raju."Jangan khawatir, kita akan bercerai dalam waktu singkat. Setelah itu, kamu bisa menikah dengan kekasihmu itu," jelas Rendra yang sepertinya bisa membaca kekhawatiran yang aku rasakan."Anggap santai saja pernikahan ini, kamu tidak perlu melakukan tugasmu sebagai istri," tambah Rendra."Bagaimana jika salah satu dari kita ada yang jatuh cinta?" tanyaku lagi karena ingin memastikan bahwa tawarannya tidak akan merugikanku.Rendra hanya diam untuk berpikir, sepertinya dia belum memikirkan ini sebelumnya."Dia yang jatuh cinta tidak boleh menuntut untuk dicintai balik dan tetap bercerai setelah satu tahun," tawarnya padaku setelah berpikir beberapa lama.Tawaran Rendra cukup menarik, hanya saja aku takut jika Raju tidak bisa menerima keputusan ini. Bagaimana jika Raju memilih untuk putus denganku?"Sepertinya kamu perlu waktu berpikir," ucap Rendra dan memberikan ponselnya kepadaku. "Catat nomormu di sini, aku akan menghubungimu kembali nanti untuk menanyakan keputusanmu."Aku mengambil ponsel Rendra dan mengetik nomor ponselku."Telepon aku terlebih dahulu jika kamu sudah membuat keputusan," ucap Rendra setelah menutup panggilan.Mengapa aku harus berada dalam situasi yang begitu rumit ini?Menikah dengan seseorang yang tidak aku kenali, terutama ketika kami masih memiliki pasangan masing-masing? Hanya orang tidak waras yang akan menyetujui tawaran gila seperti ini.Drtt. Drtt.Teleponku berbunyi, dan tertera nama Mama di sana."Halo, Ma?"Mama menjawab sambil terisak. Hatiku berdegup kencang saat mendengar berita dari Mama bahwa kondisi Kakek sangat buruk.Tanpa ragu, aku segera berlari kembali ke kamar Kakek, di mana gelapnya suasana menyatu dengan kegelapan perasaanku yang tak karuan."Kakek harus baik-baik saja," gumamku dalam hati, berharap dengan keras agar tidak terjadi hal buruk kepada Kakek.Dengan napas tersengal-sengal, aku terus berlari hingga sampai di depan pintu ICU, di mana kegelapan koridor menyambutku dengan dinginnya. Di sana, orangtuaku berdiri, wajah mereka mencerminkan kekhawatiran yang sama seperti yang kurasakan."Masuklah, Lusi," pinta Mama kepadaku seraya menatapku dengan wajah penuh harap,."Kakek tidak mau ditangani sebelum bertemu denganmu." Suaranya terdengar serak.Dengan hati yang berdebar-debar, aku segera mengikuti perintahnya dan melangkah masuk ke dalam ruang ICU.Di sana, aku melihat Kakek terbaring lemah dengan berbagai macam alat di sekitarnya. Beberapa dokter yang hanya diam, tampaknya tidak melakukan apapun pada Kakek.Suasana tegang dan hening menyelimuti ruangan, menciptakan aura ketegangan yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata."Kenapa kalian diam saja?" pekikku kepada para dokter yang hanya berdiri diam di sekeliling Kakek. "Cepat lakukan sesuatu untuk Kakek!"Suaraku memecah keheningan ruangan, mencerminkan kegelisahan dan keputusasaan yang melanda hatiku."Jangan salahkan mereka, Lusi...," lirih Kakek dengan suara lemahnya. "Kakek yang tidak mau."Suaranya hampir hilang di antara kebisingan alat-alat medis yang berdenyut."Berjanjilah untuk menikah dengan Rendra, Lusi," pinta Kakek dengan suara yang semakin lemah, namun permintaannya terdengar begitu tulus dan berat untuk diabaikan.Aku tidak punya waktu untuk berpikir, aku tidak punya pilihan lain.Dengan suara gemetar, menahan tangis yang hampir pecah, aku menjawab, "Akan aku lakukan, Kek, asalkan Kakek berjanji untuk tidak melakukan hal seperti ini lagi."Kakekku hanya diam dan tersenyum lemah, sepertinya menerima janji yang baru saja kuberikan.Aku segera menyuruh para dokter untuk segera menangani Kakek. Dengan cepat, para dokter mulai melakukan tindakan yang diperlukan, bergerak dengan sigap dan penuh perhatian terhadap kondisi Kakek.Aku meninggalkan ICU dengan perasaan cemas terhadap Kakek. Lebih dari segalanya, aku takut kehilangan Kakek daripada menjalani pernikahan ini.Aku pun segera mengambil ponsel, menghubungi seseorang."Di mana kita sebaiknya bertemu untuk membahas perjanjian pernikahan ini?" tanyaku kepada Rendra melalui telepon.Sesuai kesepakatan, kami bertemu di kantor milik keluarganya. Di sinilah kami sekarang, berada dalam ruangan kerja Rendra. Aku duduk di sofa yang tersedia di ruangan Rendra, menikmati secangkir teh yang telah disiapkan untukku. Sepuluh menit menunggu, Rendra masuk dengan membawa laptop miliknya, lalu duduk di sebelahku. “Ayo kita tulis perjanjian itu bersama,” ajaknya. “Seperti yang aku tawarkan kemarin di taman, aku akan menuliskan pasal-pasal dalam pernikahan kontrak kita,” ucap Rendra sambil mengetik. “Aku penasaran, mengapa kamu begitu ingin menjadi penerus perusahaan ini? Bukankah kamu sudah pasti akan menjadi penerus perusahaan ini?” tanyaku kepada Rendra. “Tidak, perusahaan ini tidak akan diserahkan kepadaku kecuali jika aku menikah denganmu dan bertahan setidaknya satu tahun,” jelas Rendra padaku. “Kenapa situasi menjadi seperti itu? Bukankah kamu saat ini adalah pewaris tunggal di keluargamu?" Rendra melihatku sekilas, lalu menghela napas. “Keluargkaku tidak sehangat k
"Kenapa secepat itu?" tanyaku kebingungan atas sesuatu yang diucapkan Rendra melaui telepon bahwa pernikahan kami akan dilaksanakan satu minggu lagi.Rendra tidak memberikan alasan yang jelas padaku, dia hanya menyuruhku untuk segera bergegas kembali ke rumah sakit, tempat Kakek dirawat. "Hal gila apa lagi ini?" umpatku dalam hati. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, aku memaki-maki Rendra, menyumpahi namanya karena selalu berbuat seenaknya.Bagaimana bisa dia selalu berbuat seenaknya? Aku berjalan cepat dengan perasaan membara. Segera saja aku masuk ke ruangan rawat Kakek yang penuh dengan aroma obat-obatan menusuk hidung. Pandanganku langsung tertuju ke arah ranjang, namun yang kulihat bukan hanya Kakek yang terbaring di kasur. Di sana, ada banyak sekali orang yang mengelilinginya. Ada keluarga Rendra juga di sana."Kamu sudah datang, Lusi. Kemarilah," sapa Kakek ketika melihatku masuk ke dalam ruangan.Kakek terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku bertanya-tanya menga
Sekarang adalah hari pernikahanku. Aku berada di ruang makeup, rambutku dihias dengan mahkota bunga segar yang menambah pesonaku. Gaun putih yang elegan menempel dengan manis di tubuhku yang mungil. Perasaanku campur aduk, antara gugup dan gelisah karena momen besar ini.Orang yang sedang meriasku dengan penuh antusiasme memuji, "Cantik sekali, pengantin pria pasti terpesona melihat anda," seraya menambahkan sentuhan akhir pada riasan wajahku.Ucapan pujian itu membawa senyum ke wajahku, meskipun hatiku masih dipenuhi oleh sejumlah emosi yang sulit diungkapkan. "Pengantin wanita sudah siap untuk keluar?" tanya seseorang kepadaku.Aku menjawab dengan anggukan ringan, mencoba menyembunyikan ketidakpastian dalam suaraku. Langkah-langkahku terasa berat saat aku berjalan menuju pintu keluar. Rasa gelisah semakin menguat, seperti tak terbendung oleh keindahan sekelilingku.Papaku sudah berdiri dan siap untuk mengantarku ke pelaminan, aku melihat cahaya kebahagiaan yang terpancar dalam dirin
Aku dan Rendra sudah sampai di kediaman Rendra.Rumah milik Rendra adalah sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi dengan arsitektur modern yang menawan. Dikelilingi oleh taman yang rimbun dan indah, pintu masuk utama dilapisi dengan panel kayu yang elegan. Langit-langit tinggi memberikan kesan luas dan anggun saat memasuki ruang utama.Interior rumah dipenuhi dengan furnitur mewah dan sentuhan artistik yang menghadirkan suasana yang hangat dan mengundang.Dinding-dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan indah dan hiasan seni yang menambah keanggunan ruangan.Cahaya alami memasuki ruangan melalui jendela-jendela besar, menciptakan permainan cahaya yang menawan di sepanjang hari.Rumah Rendra adalah tempat yang memancarkan kemewahan dan kenyamanan."Kamarmu sebelah sana, dan kamarku sebelah sini. Jangan pernah sesekali masuk ke kamarku tanpa izin. Dan ada tangga mengarah ke ruang bawah tanah, kamu dilarang ke sana," ucap Rendra dan pergi meninggalkanku ke kamarnya. Aku juga masuk k
Sesuai apa yang telah aku rencanakan kemarin, misiku hari ini adalah mencari tukang untuk memperbaiki dinding dan pintuku. "Ah, lapar sekali," ucapku sambil meng-scroll aplikasi pesan antar makanan. Aku akan memesan makanan untukku dan Rendra, "Kamu seharusnya beruntung memiliki istri sepertiku. Lihat, aku juga memesankan makanan untukmu," ucapku berbangga diri. Sambil menunggu pesanan, aku duduk di sofa ruang tamu sambil berpikir, "Kira-kira siapa yang punya kenalan seorang tukang?" "OH! SELLA!!!" pekikku teringat seorang teman masa kuliah yang memiliki banyak kenalan tukang karena kelurganya selalu melakukan renovasi rumah tiap dua bulan sekali. "Halo Sella," sapaku pada Sella melalui telepon. "Iya Lusi. Ada apa nih?" tanya Sella "Jadi gini Sel, aku lagi mau merenovasi kamarku. Kamu ada rekomendasi tukang gak?" jelasku pada Sella. "Butuh kapan Lus?" tanya Sella memastikan. "Aku butuh hari ini, ada gak ya Sel?" ucapku pada Sella. "Coba aku cariin ya, nanti aku hubungi lagi,"
"Nanti malam ada acara keluarga," ucap Rendra ketika aku lewat di depannya, sedang duduk di sofa ruang tamu."Artinya aku harus bersandiwara menjadi pasangan sungguhan dengannya?" pikirku dalam hati mengenai ucapan Rendra.Aku tidak memedulikan ucapannya, melewatinya begitu saja dan menyambut para tukang yang sudah datang.Aku berjalan keluar rumah dan berhenti di depan pintu, "Halo, kamu mau kerjaan?" tanyaku kepada seseorang melalui telepon."Temui aku di butikku," ucapku yang kemudian mengakhiri telepon.Aku melirik Rendra sejenak, "Dia sedang siap-siap untuk berangkat ke kantor."Kruyuk, kruyuk.Perutku berbunyi."Sabar, habis ini kita makan enak," ucapku kepada perut rataku.Aku berjalan menuju tempat mobilku terparkir, saat aku hendak membuka pintu, sebuah mobil berhenti di halaman rumahku."Siapa itu?" gumamku dalam hati memperhatikan seseorang tersebut hingga keluar dari mobilnya."Hai," sapa seseorang padaku, dan dia adalah...."Anya," gumamku pelan.Aku masuk ke dalam mobilku
"Memangnya aku akan berbuat apa?" gumamku dengan kesal mendengar ucapan Rendra.Aku bersiap-siap dengan dress ungu muda yang Rendra berikan. Dress itu terlihat begitu indah dan pas di tubuhku."Bagaimana sekretaris Rendra tahu kalau aku mengincar dress ini?" tanyaku seorang diri masih penasaran.Aku tersenyum, "Tapi dia manis juga membelikanku dress ini."Aku berputar-putar di depan kaca, melihat penampilanku.Ketika merasa sudah siap, aku berjalan keluar kamar untuk menemui Rendra yang sepertinya sudah menunggu di depan. "Rendra," sapaku pada Rendra ketika aku melihatnya dari belakang sedang duduk di sofa.Rendra menoleh saat aku memanggil namanya, tatapannya terpaku selama beberapa detik, "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" tanyaku pada Rendra memastikan bahwa tidak ada yang aneh dengan penampilanku."Tidak. Ayo berangkat," balasnya kemudian jalan keluar rumah.Aku mengikuti langkah kaki Rendra, mencoba mensejajarkan dengan langkahnya, "Apakah aku tidak terlihat cocok denga
Suasana di rumah terasa tegang dan penuh dengan ketegangan. Wajah Rendra masih memancarkan amarah, mencerminkan ketidakpuasan dan ketegangan yang mendalam dalam dirinya. Dengan langkah perlahan, aku memasuki dapur untuk mencari segelas air minum. Dengan suara yang lembut, aku menawarkan air tersebut kepadanya, mencoba memberikan sedikit ketenangan, "Minumlah agar kamu lebih tenang," ucapku sambil menyerahkan gelas air ke tangannya. Rendra menerima gelas air dengan tangan yang gemetar, menunjukkan kegelisahan yang masih terasa di dalam dirinya. Setelah mengambil beberapa tegukan air, ekspresinya sedikit mereda, tetapi suasana tegang masih terasa di sekitarnya, seolah-olah siap meledak setiap saat. Dengan napas yang masih memburu, Rendra menoleh ke arahku, "Kenapa kamu sendirian di sana?" tanyanya dengan nada tajam. Aku menjelaskan situasi yang terjadi sebelumnya, "Aku hendak berjalan ke arahmu, namun Tante Dewi-" "Jangan menyebut namanya, itu akan mengotori rumahku," potong Rendra
Sementara aku masih mencoba mengumpulkan pikiran yang terbungkus kabut tidur, ponselku tiba-tiba berdering di samping tempat tidur. Dengan mengantuk, aku meraihnya dan melihat nama 'Frans' terpampang di layar."Kenapa dia menghubungiku di pagi buta seperti ini sih," aku mengeluh dalam hati.Rendra masih terbaring di kasur, menatapku dengan rasa penasaran yang jelas terpancar dari matanya."Siapa?" tanyanya dengan suara pelan.Aku menggeleng, "Bukan siapa-siapa, hanya seorang teman butik yang mencari Mama," balasku, berbohong sambil tersenyum tipis.Rendra mengangguk mengerti, meskipun ekspresinya masih penuh pertanyaan."Aku akan ke Mama sebentar ya," ucapku lagi, berbohong sekali lagi, sambil menepuk lembut bahunya."Iya, aku akan mandi," balas Rendra, lalu dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.Aku keluar dari kamar dengan hati-hati, sedikit merasa bersalah atas kebohongan kecilku. Sementar
Suasana di ruang makan hangat dan akrab, dihiasi tawa dan cerita yang mengalir dengan lancar. Kami menikmati hidangan dengan penuh kebahagiaan, merasakan kebersamaan yang memperkaya hubungan keluarga kami. Setelah makan malam selesai, kami secara bersama-sama membersihkan meja dengan riang. Aura keakraban masih terasa di udara, seolah-olah ruang makan itu adalah pusat kebahagiaan bagi kami semua.Ketika kami hendak pulang, Mama dengan hangat meminta kami untuk menginap saja. "Kenapa buru-buru pulang? Kalian bisa tidur di sini, ini juga rumah kalian. Lagipula, besok weekend kan?" ujarnya dengan senyuman lembut.Meskipun awalnya kami hendak pulang, namun permintaan Mama membuat kami tak bisa menolak. Dengan beragam pikiran, kami berdua naik ke kamar, menyadari pentingnya momen yang sedang kami alami.Kami memasuki kamar dengan ekspresi campur aduk, merasakan kecanggungan di udara. Saling pandang antara aku dan Rendra menggambarkan betapa sulitnya s
Setelah memastikan bahwa Rendra sedang mandi, aku masuk ke kamar Mama Papa untuk mencari pakaian yang cocok untuknya. Sambil memilih-milih, aku merasa senang bisa melakukan hal kecil ini untuknya."Apa ya, pakaian yang cocok untuk Rendra?" gumamku sambil menggali dalam ingatanku akan gaya fashionnya.Sambil mencari-cari baju di dalam lemari, aku menemukan kaos berwarna putih yang tampak santai dan nyaman. Tanpa pikir panjang, aku mengambilnya. "Mungkin kaos ini akan cocok untuknya," bisikku dalam hati.Aku membayangkan bagaimana Rendra akan terlihat sangat tampan saat mengenakan kaos itu. "Aku tidak pernah melihatnya menggunakan celana pendek, aku akan padukan dengan itu," ucapku sambil tersenyum.Kemudian, aku mengambil celana pendek yang senada dengan kaos tersebut untuk melengkapi penampilannya yang santai namun tetap menawan."Dengan ini, Rendra pasti akan terlihat tampan," pikirku sambil tersenyum puas.Kemudian, aku meletak
"Pengkhianatan dan kekerasan. Jangan pernah maklumi dua hal itu. Jika hal itu terjadi, dan kamu merasa bingung tentang bagaimana bertindak, kamu bisa meminta saran kepada Mama, Papa, atau siapapun. Jangan hadapi sendirian," jelas Mama dengan tegas, suaranya penuh dengan kearifan yang memberi kedamaian.Aku mengangguk, meresapi setiap kata yang disampaikan Mama. Percakapan tentang pernikahan yang dijodohkan juga mengalir, memberikan wawasan baru tentang makna hubungan yang sejati."Terima kasih, Ma karena Mama tidak pernah menuntutku untuk bahagia dalam pernikahan ini," ucapku, mengungkapkan rasa lega dan terima kasihku atas dukungan Mama.Mama mengangguk mantap, "Kebahagiaan tidak akan hadir karena tuntutan," ucapnya dengan keyakinan yang membangkitkan semangat.Kami berdua duduk di bangku taman, menikmati momen indah di bawah langit senja yang memukau. Suasana hangat dan penuh cinta menyelimuti kami, menciptakan aura kebersamaan yang tak terlupak
Saat itu, pintu ruangan butik terbuka dengan lembut, dan senyum ramah Mama menyambut kami. "Loh, lagi rame ternyata," ucapnya sambil melangkah masuk.Frans mengangguk sopan, "Iya Tante, ini kami mau pulang," ujarnya sambil tersenyum.Mama mengangkat kantong yang dibawanya dengan penuh semangat, "Boleh, tapi makan ini dulu," ajaknya sambil menempatkan kantong itu di atas meja."Apa itu, Ma?" tanyaku dengan rasa penasaran.Mama membuka kantong itu dengan hati-hati, "Ini kue-kue lezat yang Mama temui di perjalanan ke sini tadi," jelasnya sambil tersenyum.Aroma kue yang harum mulai menyelinap ke dalam ruangan, mengundang selera kami untuk segera menyantapnya. Frans dan Lia pun tersenyum berterima kasih kepada Mama."Ayo, mari kita duduk dan nikmati bersama," ajak Mama sambil mengatur beberapa kursi di sekitar meja, menciptakan suasana yang hangat dan ceria.Kami pun duduk bersama, menikmati setiap gigitan kue yang disajikan
Kami berdua terdiam sejenak, terpaku dalam pikiran masing-masing. Suara kerumunan orang dan bising kendaraan di sekitar butik menciptakan latar belakang yang hidup, menambah ketegangan saat kami berusaha memecahkan teka-teki yang mengelilingi Raju."Aku pikir kita perlu mencari tahu lebih dalam tentang hubungan antara Raju dan Deharson Group," kata Frans akhirnya, memecah keheningan dengan suara tenangnya.Aku mengangguk, "Ya, benar."Ketika kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, tiba-tiba suara langkah ringan mendekati kami."Hai, Lusi," sapa Lia, membawa beberapa kantong, menyela dengan keceriaan yang kontras dengan suasana tegang sekitar. Sinar mentari pagi menyoroti wajahnya, memberikan kesan hangat pada kedatangannya.Lia duduk di sebelah Frans, sementara kelelahan terpancar jelas dari wajahnya. Dengan napas panjang, ia mencoba meredakan kelelahannya. "Aku lama nggak? Rame banget di sana," ucap Lia kepada Frans dengan senyum leb
Aku menyusuri pandangan ke sekeliling, mencari Rendra yang ternyata sedang sibuk di ruang makan. Wajahnya terlihat tenang, sementara tangannya lincah mengatur meja untuk sarapan pagi.Sambil meraba-raba selimut yang masih terlilit di tubuhku, aku berusaha mengingat ingatan malam sebelumnya. Percakapan dengan Rendra tentang langkah selanjutnya dalam hubungan kami masih segar dalam ingatanku."Sudah bangun?" sapanya ketika melihatku bergerak.Aku mengangguk, "Ya, sudah."Rendra tersenyum ramah, "Aku sudah menyiapkan sarapan. Mandi dan bersiaplah, aku tunggu di sini.""Terima kasih, Rendra. Aku akan segera bersiap," ucapku sambil tersenyum.Dengan hati yang hangat, aku melangkah menuju kamar. Air hangat pancuran menyentuh tubuhku, memberikan kesegaran di pagi yang masih merona. Setelah mandi, aku mengenakan pakaian berwarna biru muda yang dipadukan dengan blouse hitam. Langkahku ringan ketika aku kembali ke ruang makan den
"Terima kasih Rendra, aku senang hari ini," ucapku pada Rendra dengan senyum yang masih terukir di wajahku saat kami sampai di rumah.Rendra membalas senyumku dengan hangat. Sambil menatapnya, aku mengangguk, merasa lega bahwa hari ini berakhir dengan baik. Namun, sebelum aku bisa melanjutkan langkahku menuju kamarku, suara panggilan dari Rendra membuatku berhenti."Lusi," panggilnya, suaranya terdengar agak ragu.Aku menoleh ke arahnya dengan rasa penasaran, "Ada apa, Rendra?" tanyaku, mencoba memahami ekspresinya.Rendra menggaruk kepalanya, tampaknya agak gugup, "Emm, kenapa kita tidak sekamar saja mulai sekarang?" usulnya tiba-tiba, membuatku terkejut dengan permintaannya.Tatapan kami bertemu, dan aku mencoba memproses apa yang baru saja dia katakan. "Pindah ke kamarmu?" ulangku, memastikan bahwa aku tidak salah dengar.Rendra mengangguk tegas, "Ya. Sepertinya sudah waktunya bagi kita untuk tidur bersama."Aku meras
Aku masih terus memandang Rendra, mencoba membaca ekspresinya yang sedikit tersembunyi. Pikiranku melayang ke kekhawatiran yang tak terucapkan tentang hubungannya dengan Anya. "Entah kenapa aku tidak begitu yakin dengan ucapan Rendra, aku harus memastikan hubungannya dengan Anya memang sudah berakhir," pikirku dalam hati.Setelah beberapa lama kami menikmati hidangan, suasana restoran mulai mereda. Dalam keheningan, kami berdua memutuskan untuk pulang. Namun, sebelum kami bisa meninggalkan restoran, suara akrab seorang kasir memecah keheningan."Loh, Mbak yang kemarin bukan? Yang tanya hubungan Mas Raju?" tanyanya, menyela langkahku menuju pintu keluar.Untungnya, Rendra sudah berjalan lebih dulu, jadi tidak mendengar pembicaraan kami.Aku mengangguk lemah, "Ya, benar. Tapi kamu tidak memberitahu Raju kan?" tanyaku dengan suara pelan, ingin memastikan kerahasiaan pembicaraan kami.Kasir itu menggeleng, "Tenang saja Mbak, aman. T