BAB 2 - MAKAN MALAM

---

Nadia masih terbaring di kasurnya, memandangi langit-langit dengan tatapan kosong.

Seumur hidup, dia nggak pernah membayangkan skenario seperti ini.

Menikah? Dengan dokter? Minggu depan?

INI PASTI PRANK!

Tapi sayangnya, ini bukanlah mimpi buruk yang bisa di-skip dengan tombol ‘skip ad’.

Dia menggulingkan badan, menatap poster idolanya yang tertempel di dinding. "Oppa, tolong aku... Apa yang harus kulakukan?" bisiknya dramatis.

Tentu saja, sang idol di poster tetap tersenyum sempurna, tak memberikan solusi apa pun.

Nadia menghela napas panjang dan memeluk gulingnya erat-erat. "Aku masih muda. Aku masih ingin fangirling. Aku masih ingin begadang nonton drama dan debat di Twitter soal ending yang menyedihkan. Kenapa tiba-tiba dunia ingin menjodohkanku dengan dokter asing yang bahkan belum pernah kutemui?"

Dia meraih ponselnya, membuka Twitter, lalu mengetik status:

"Ketika hidupmu baik-baik saja lalu tiba-tiba kena jumpscare: 'Minggu depan lamaran'."

Dia menatap layarnya beberapa saat, lalu menghapus draft itu sebelum diposting. "Nggak, nggak, nanti malah dikira aku cari simpati."

Dia melempar ponselnya ke kasur dan berteriak tertahan ke dalam bantal.

"Lari? Nggak bisa."

"Bilang ke ibu kalau aku nggak siap? Nggak akan didengar."

"Minta bantuan alien buat nyulik aku? Belum tentu ada yang mau repot-repot."

Dia menutup mata, mencoba mencari kemungkinan lain. Tapi otaknya malah memunculkan bayangan absurd—dirinya memakai gaun pengantin, duduk di pelaminan dengan pria asing bernama Adrian, sementara keluarganya tersenyum puas.

"Tidak... TIDAK! Ini terlalu mengerikan!"

“Bisa nggak ya, aku masuk ke dunia isekai aja sekarang?” gumamnya sambil menggulingkan badan.

Belum sempat menemukan portal ke dunia lain, suara ibunya terdengar dari luar kamar.

“Nadia! Makan malam sekarang! Jangan cuma rebahan terus, nanti kasur kamu demo!”

Nadia mendecak kesal. "Bahkan kasur pun dianggap punya hak buat protes, sedangkan aku nggak?"

Tapi dia tahu kalau dia nggak turun sekarang, ibunya bakal naik level jadi mode 'seruan maut'.

Dengan berat hati, dia bangkit dan menyeret kakinya ke ruang makan.

---

Di meja makan, suasana terlihat tenang. Ayam goreng, sayur sop, dan sambal yang menggoda sudah tersaji. Tapi bagi Nadia, semuanya terasa… berbeda.

Dia duduk di depan kedua orang tuanya dengan perasaan tidak nyaman.

Ayahnya mengangkat sendok dan berkata dengan nada santai, “Mulai sekarang, kita harus ngobrol serius.”

Nadia langsung waspada. “Ngobrol serius? Kayaknya nggak enak nih.”

Ibunya menyeringai. “Bagus kalau kamu sadar.”

Nadia menghela napas. Dia meraih ayam goreng di piring, tapi tangannya berhenti di udara. Dia butuh jawaban dulu sebelum bisa makan dengan tenang.

“Bu, Ayah, aku boleh tanya sesuatu?”

“Boleh. Tapi makan dulu,” kata ayahnya santai.

“Jawab dulu, baru aku makan,” balas Nadia cepat.

Ibunya menyipitkan mata. “Kamu ngancam, Nad?”

“Bukan, Bu. Aku cuma ingin kejelasan. Ini hidup aku lho yang dipermainkan.”

Ayahnya terkekeh. “Yang mempermainkan hidup kamu itu bukan kami, tapi kamu sendiri.”

SKAKMAT.

Nadia meringis, tapi tetap bertahan. “Oke, serius. Aku mau tanya, kenapa dokter? Kenapa Adrian?”

Ibunya dan ayahnya saling bertukar pandang sebelum akhirnya ibunya menjawab, “Karena dia anak teman lama Ayah. Sudah mapan, tampan, dan baik. Cocok buat kamu.”

Nadia memutar matanya. “Ayah punya banyak teman, kenapa harus yang ini?”

Ayahnya mengangkat bahu. “Karena dia satu-satunya yang nggak nolak.”

OUCH.

Nadia mendadak kehilangan selera makan. “Jadi kalian tuh jual aku ke pria yang terpaksa?”

“Bukan terpaksa, lebih ke… penasaran,” kata ibunya santai sambil menyendok sayur sop ke mangkuknya.

Nadia terbatuk. “HAH?! Jadi dia tahu aku sebelumnya?”

Ibunya mengangguk. “Ya, waktu Ayah ngobrol sama papanya Adrian, mereka cerita tentang dia yang sibuk kerja terus. Nggak ada waktu buat pacaran.”

Nadia mengangguk. Oke, ini masih masuk akal.

Terus ayahnya nambahin, “Nah, terus Papa Adrian nanya, ‘Kalau anakmu gimana?’ Aku jawab, ‘Oh, anak saya sibuk... nganggur.’”

NADIA NYARIS SEMBURATAN NASI.

“AYAH!!” teriaknya marah.

Ayahnya cuek. “Lho, bener kan?”

“MASA GITU JUGA DIOMONGIN?! BISA KELIHATAN BAGUS DI DEPAN MERTUA DIKIT NGGAK?!”

Ibunya terkekeh. “Tapi kamu harus tahu reaksi Papa Adrian.”

Nadia mengerutkan kening. “Reaksinya gimana?”

“Iya, dia diem sebentar, terus ketawa kecil dan bilang, ‘Wah, kebalikan anak saya ya? Mungkin bisa saling melengkapi.’”

Nadia menutup wajahnya dengan kedua tangan. “YA ALLAH, MALU BANGET.”

Ayahnya tertawa. “Lihat dari sisi positifnya, Nad. Setidaknya, ini berarti dia nggak keberatan.”

Nadia mendengus. “Nggak keberatan apa? Dapat calon istri yang kerjanya rebahan?”

Ibunya tersenyum puas. “Tepat sekali.”

Nadia ingin mengutuk dirinya sendiri. “Aku udah nggak lapar.”

Ibunya menunjuk ayam goreng di piringnya. “Jangan drama. Makan.”

“Tapi yang penting,” lanjut ibunya, “dia setuju buat menikah denganmu. Jadi, terima saja takdirmu.”

TAKDIR KEPALA BAPAKMU.

Akhirnya, dengan sisa-sisa harga diri yang tersisa, Nadia mulai makan dalam diam. Tapi dalam hatinya, dia bersumpah:

Dia harus tahu siapa Adrian ini sebenarnya.

Karena nggak mungkin cowok normal mau nikah sama cewek yang udah dibilang "sibuk nganggur" sebelum pertemuan pertama mereka.

---