"Ingat, jangan mengatakan pada siapapun tentang pernikahan kita." Itulah pesan Shahin pagi ini sewaktu pria itu bersiap berangkat ke tempat kerja.
Tentu saja, kalimat itu membuat Alana badmood dan merasa bahwa Shahin memang tidak ada niat untuk hidup bersama dirinya. Akan tetapi, sama seperti istilah nasi sudah jadi bubur. Sesuatu yang telah terjadi tak dapat diubah kembali. Ingin mengatakan penyesalan karena mengambil keputusan ini membuat Alana ingin menjambak rambut sang suami sekuatnya. Bagaimana tidak, wanita muda secantik dirinya tak menarik bagi seorang Shahin Albyanshah. Bahkan terang-terangan membuat perjanjian aneh dengan tidak ada namanya sentuhan selama dua tahun pernikahan. Alana sendiri sempat berpikir, apa laki-laki itu sedikit lain? Namun seingat Alana, pria yang sudah menjadi suaminya itu pernah memiliki pacar perempuan beberapa kali. Lantas mengapa? . "Woy, kenapa lo?" Gladis, teman dekat Alana datang mengagetkan dari belakang. "Sialan," umpat Alana. "Santai, santai," ucap Gladis lantas mendaratkan pinggul ke kursi yang ada di sisi kiri Alana. "Kenapa lo, pagi-pagi gini bete gitu?" Tanyanya lagi. "Males masuk kelas, gue," pungkas Alana. "Bukannya itu udah biasa?" ejek Gladis. Namun, Alana hanya mengembuskan napasnya kasar. Tangannya lantas mengaduk minuman di depannya. "Lo punya masalah, ya?" Gladis bertanya sekali lagi. Mimil wajahnya terlihat serius menatap manik mata sang teman. Alana hanya menjungkitkan kedua bahu. Ia sendiri bingung dengan hidupnya, keinginannya menikah dengan laki-laki pujaan sudah terlaksana. Namun rasa-rasanya itu tidak cukup karena memang patahan hatinya tak berbalas sama sekali. Gadis itu merasa sia-sia dengan semua yang baru saja dilewati olehnya. "Gue hari ini titip absen, ya," ucapnya tiba-tiba. "Hmmm," tukas Gladis merespons. "Gue mau balik dulu, kepala gue pusing." Tukasnya langsung berdiri dari tempatnya. Gladis menatap heran pada Alana yang berjalan kian jauh dari dirinya. Raut wajah Alana begitu murung, bahkan kalau disimpulkan, selama mereka berteman dekat baru kali ini Gladis melihat tekukan garis wajah Alana nampak buruk. Anehnya lagi, biasanya Alana akan bercerita panjang lebar tentang segala hal yang terjadi pada hidupnya. Namun, barusan, Alana hanya diam dengan tatap tanpa minat penuh kesenduan. Hati siapa yang tak terpilin nyeri ketika diperlakukan tidak selayaknya seperti pasangan pada umumnya. Alana merasa dirinya tidak berharga sebagai perempuan yang telah dinikahi oleh Shahin. Jika bersentuhan saja, itu bisa mengakibatkan perpisahan. Lucu sekali bukan? Orang bodoh mana yang sudah menyetujui kekonyolan macam itu hanya demi sebuah keinginan demi bisa hidup bersama atau memang benar yang ia lakukan hanya sekadar meloloskan obsesi dan ambisi. *** Jam satu siang, Alana tiba di rumah. Ketika Alana turun dari kendaraan online yang ia pesan dan membawanya berkeliling sesukanya. Alana menemukan kendaraan roda empat milik Shahin sudah terparkir di garasi. Artinya, suaminya sudah pulang dan itu sebuah ketumbenan untuk Alana. . "Kamu kenapa nggak masuk kelas?" Pertanyaan serius itu menyambut Alana ketika dirinya membuka pintu. Shahin sudah duduk di sofa dengan tatap bola serupa anak panah yang siap melesat dan menusuk tajam melukai tubuhnya. "Nggak apa-apa," jawab Alana singkat. "Al," panggil Shahin. "Aku capek, mau istirahat." Pungkas Alana masih menjawab tanpa minat, tanpa semangat. "Kamu kalau ada masalah bilang, Al," tegur Shahin. Alana yang sudah berjalan melintasi sang suami pun menghentikan tungkai kaki. Ia menoleh sekilas pada Shahin disertai segaris senyum menyedihkan. "Masalahku ada di kamu, Kak." Ujarnya, lalu kembali melanjutkan langkah. Memasuki kamar dan menguncinya. Alana di dalam sana, menjatuhkan badannya kasar. Menenggelamkan wajah di antara kedua tangan, membiarkan kedua bahunya naik turun demi bisa melampiaskan apa yang mengganjal di hatinya. "Tak perlu menyesal Alana. Ini pilihanmu, ini keinginanmu, jadi jalani saja apa pun yang terjadi." Benaknya menguatkan Alana sekali lagi. Namun itu tak mengurangi apa-apa saat Alana merasa pilihannya bak boomerang yang siap meluluhlantahkan hidupnya. *** Suara gemerincik hujan terdengar lirih. Berbisik pada daun-daun kering yang katuh kemudian sebab terusik oleh angin. Malam ini, temaran tanpa pendar bulan seperti hari kemarin. Alana masih menghabiskan waktunya di dalam kamar. Duduk melutut dengan wajah yang ... entahlah. Rambutnya saja ia biarkan berantakan, benar-benar persis seperti seorang gadis yang sedang mengalami patah hati. Kasihan sekali. . Jam sudah menunjukkan waktu makan malam. Shahin sudah memanggil Alana berulang kali, hanya saja sang istri sengaja pura-pura tuli. "Al," seru Shahin dari balik pintu. "Buka pintunya, sudah waktunya makan." Ujarnya berulang kali. Alana ingin saja abai untuk itu. Sayangnya, perut Alana tidak bisa diajak kerja sama. Barisan cacing yang ada di dalam ususnya sudah bernyanyi sumbang meminta di isi. Sehingga mau tidak mau, Alana harus bangun dari sana. Suara kunci yang diputar membuat Shahin sedikit berundur dari tempatnya barusan. Alana menyibak daun pintu tanpa mau memperbaiki penampilan dirinya terlebih dahulu. Sampai-sampai Shahin saja terkejut melihat mata Alana yang sembab, juga ada jejak air mata di antara pipi Alana. Rambutnya, jangan ditanya. Persis gulungan camilan arumanis yang dijual di pasar malam. "Kamu ... kenapa?" Alana tetap diam, jangankan mau menjawab pertanyaan dari suaminya. Gadis itu malah melengos menuju meja makan. "Al," panggil Shahin lagi. "Ganti baju dulu, sana." Titahnya. Alana menggeleng lesu. Tenaganya benar-benar menipis sekali, juga suara orkestra dari dalam perutnya kian berbunyi nyaring "Al, kamu ada masalah cerita. Jangan diam begini." Shahin mencoba menasehati. "Aku cuma mau makan, lalu tidur," jawabnya pelan. "Kamu sakit?" Alana menggeleng lagi. "Terus kenapa? Biasanya kamu semangat banget. Kok hari ini melempem begitu?" Cibir Shahin. "Aku mau berhenti kuliah, aku mau nyusul mama ke luar negeri. Aku mau ke mama." Ungkapnya, menahan getir. Ada air mata lagi-lagi menetes melintasi pipinya. "Kamu sekarang sudah jadi istri saya, Al. Saya nggak akan mengijinkan kamu," jawab Shahin. "Kenapa? Harusnya kakak senang kan, aku nggak ada di sini," pungkasnya masih menyembunyikan wajah. "Kita sudah kita sudah sepakat menandatangani surat perjanjian itu, kamu sudah terikat dengan saya." Ucap Shahin mengingatkan. "Aku mau minta bantuan Om Ega, buat mengajukan pembatalan pernikahan ke catatan sipil dan kantor urusan agama." Putus Alana. "Kalau gitu kamu ngapain kemarin minta pernikahan dipercepat. Menyetujui surat, ujungnya begini juga." Sergah Shahin membungkam Alana. Memang yang namanya penyesalan itu datangnya di akhir, bukan di awal. Kalau di awal namanya percobaan. Mendengar itu, Alana menarik diri dari depan Shahin. Berjalan kembali menuju kamar dan menutupnya kasar. Menyaksikan tingkah Alana yang berbanding terbalik dari biasanya. Shahin hanya mengerutkan kening. "Dasar cewek abege labil!" Ujarnya disertai gelengan. Sementara Alana sendiri, duduk di depan cermin yang menempel di dinding. Berkaca, melihat bayangan diri sendiri. "Rencanamu kan ingin merebut hati dia, Al. Kenapa sekarang kamu menyesal?"Keesokan harinya, Shahin memerhatikan Alana yang ceria. Mungkin mood wanita itu sudah kembali seperti sedia kala.Kemarin Alana terlihat begitu berantakan sepanjang hari, bahkan kehilangan semangat hidup."Makan yang banyak," Ujar Shahin mengawali obrolan pagi ini."Aku lagi diet," cetusnya.Mendengar itu, Shahin berekspresi penuh keheranan. Terbukti ada liptan di antara keningnya yang lebar disertai jungkitan alis dibagian kirinya."Diet?"Alana mengangguk pelan."Badan sudah kurus begitu juga," timpal Shahin nampak tidak setuju."Ya, nggak apa-apa," tukasnya cuek. "Aku juga nggak mau lagi minum susu, tinggi kalori." Sambungnya sembari menggeser gelas tinggi berisikan cairan putih itu ke tengah meja."Ya sudah, terserah!" cibir Shahin. "Tapi kalau ampai sakit, itu urusan kamu." pungkasnya lalu berdiri dari duduknya."Oke." Jawab Alana, ia pun turut berdiri dari sana dengan sebutir buah apel di tangannya..Keduanya lantas keluar dari rumah. Mereka mengambil arah berlainan, dan Shahin
Hari minggu yang cerah, Shahin baru pulang dari lari pagi dan pria itu menemukan Alana sedang duduk di atas karpet dengan laptop terbuka juga beberapa tumpukan buku di ata meja."Ngapain kamu?" tanya Shahin.Alana melirik sekilas. "Main karet," jawabnya asal."Saya nanya serius, loh," protes Shahin."Ya lagian emangnya aku lagi apa? Harusnya kakak tahu sendiri dong." Pungkasnya."Ribet ngomong sama kamu." Ucapnya lantas melengos dari hadapan Alana.Di meja makan, sudah terhidang sarapan. Shahin yang awalnya hendak mandi, malah membelokkan langkah kaki menuju meja makan."Ini siapa yang masak?""Aku," sahut Alana."Memang kamu, bisa?""Kakak baru saja meragukan keahlianku," gerutu Alana sedikit menekuk wajah."Bukan begitu, selama mengenal kamu, saya belum pernah melihat kamu memasak," terang Shahin."Kakak, kan enggak dua puluh empat jam berada di sisiku, memerhatikanku. Memangnya aku anak manja yang bisanya menghambur-hamburkan uang milik orang tua. Cantik-cantik begini aku juga pun
Shahin menatap tak percaya dengan apa yang ada di bawah kakinya sekarang. Potongan kertas yang berisikan surat perjanjian pernikahan kini berjatuhan tak berbentuk lagi.Usai itu, mata Shahin beralih pada Alana yang menatapnya bengis. Jelas saja, hatinya terlampau sakit menerima kenyataan pahit tentang adanya wanita lain yang tidak suaminya itu lepaskan kendati sudah menikahi dirinya. Parahnya lagi, perempuan yang masih menetap di luar negeri itu akan segera pulang dan meminta dinikahi oleh suaminya."Al, apa-apaan kamu?""Membuat surat perjanjian, aku juga bisa, Kak.""Tapi ini ... ""Aku akan membuat ulang surat itu seperti kemauanku sendiri, dan mulai detik ini surat perjanjian darimu, aku anggap batal." Pungkasnya dengan intonasi suara sangat serius."Al, nggak gini. Kita bisa bicarakan ini tanpa kamu harus merusak surat perjanjian itu.""Aku nggak mau tahu, kamu setuju dengan surat perjanjian baru atau akan kulaporkan kelakuanmu pada mama?""Al.""Oke. By!" Alana berlalu melewati
"Apa-apaan ini? Nggak, saya nggak setuju.""Ya, udah kalau nggak setuju. Aku juga nggak maksa, tapi jangan salahin aku kalau besok-besok mama kamu tahu kelakuan kamu." Kata Alana tetap tenang di tempat duduknya."Al, masih ada jalan lain, kan. Atau kita bisa mengganti syarat nomor lima dengan yang lain. Apa pun itu yang kamu mau," pujuk Shahin.Alana mencebikkan bibir, lalu kemudian menarik napas dalam-dalam. Sejenak, perhatiannya teralihkan oleh bunyi teko yang bersiul menandakan air sudah matang."Seingatku, sewaktu kemarin aku meminta surat perjanjian bikinan kakak sedikit direvisi. Kakak, menolak, bukan. Jadi, apa alasanku untuk mengubah berkas yang ada di tanganmu." Timpal Alana sembari beranjak dari kursi meja makan menuju kompor, untuk mematikan bara api yang menyala-nyala di sana.Mau tidak mau, Shahin bungkam untuk beberapa saat. Perkataan istrinya barusan, tentu saja membuat Shahin geram. Namun, tak memiliki alasan lagi untuk memperpanjang argumentasi yang jelas-jelas akan d
"Kamu tidur di sana, saya biar tidur di bawah saja.""Di surat perjanjian tertulis, tidur di satu tempat yang sama, bukan di tempat berbeda.""Al.""Kakak mau ya, aku menghubungi Mama Siska, sekarang?"Shahin tidak menjawab, ia sudah sangat lelah berdebat bersama Alana. Terbukti, rahangnya kini terlihat mengeras disertai tatap mata menyipit tajam tertuju pada Alana, itu sudah bisa menyimpulkan bahwa kegeraman yang pria itu simpan telah melewati batas seharusnya.Dengan perasaan kesal, ia mendengkus napasnya kasar. Bantal yang sudah ia pegang pun ia simpan setengah melempar ke atas ranjang. Lalu, mengempaskan buntalan pinggulnya di antara busa empuk yang biasa ia kuasai sendiri, kini di sisi lain sudah ditempati oleh istrinya, Alana.Sejak pernikahan mereka, baru kali ini pasangan yang sudah dua bulan menikah itu berada dalam satu ruang sama untuk tidur selain kamar hotel tempo hari ketika Alana dan Shahin sah menjadi suami istri. Meski terlihat jelas Shahin tidak setuju, tapi Alana e
"Kamu hari ini berangkat bareng saya," kata Shahin sewaktu Alana sudah berjalan mencapai pintu."Kok tumben?" tanya Alana keheranan."Satu arah, satu tempat," ujarnya beralasan."Kakak nggak takut mereka curiga?" Alana bertanya sekaligus mengingatkan suaminya itu."Saya nggak perlu takut, mereka sudah tahu sejak lama saya sering antar jemput kamu." Pungkasnya lantas meraih tas jinjing berisikan laptop dan dan beberapa berkas di sana."Ya, sudah. Ini, bukan aku yang minta, ya." Ucap Alana, lalu mengikuti Shahin yang berjalan mendahului dirinya.Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Alana sekarang. Bahkan perutnya terasa digelitiki ratusan kupu-kupu yang beterbangan di sana."Mimpi apa aku semalam?" Benaknya bertanya pada diri sendiri.Cuaca pagi ini, sangat cerah sekali. Matahari menyorot sempurna mengiringi perjalanan Alana dan Shahin menuju kampus. Meski keduanya saling diam, tetapi ekor mata Shahin diam-diam melirik sekilas pada Alana yang sedang membalas pesan."Pesan dari siapa?" Pri
"Kamu di rumah?""Ya, tentu saja. Memang mau ke mana lagi.""Katanya mau menginap di rumah Andre."Alana menggeleng. "Nggak jadi, kejauhan. Aku bawa Kaelina pulang ke sini aja.""Oh!""Kakak tumben baru pulang?""Mmm, tadi pertemuannya agak telat.""Udah makan, belum?""Udah.""Oke.""Saya masuk dulu kalau gitu, gerah pingin mandi." Ucap Shahin lantas menggeser tungkai kaki dari hadapan Alana untuk menuju ke kamarnya.Alana mengangguk pelan, matanya kembali melihat nyala api kompor yang sedang merebus air untuknya membuat sereal. Ada helaan napas berat saat itu. Sedikit banyak, Alana berharap suaminya mau sedikit memerhatikan dirinya lagi. Semisal, bertanya seperti ia menanyakan perihal sisa kegiatannya hari ini. Dan tentang apa ia sudah makan atau belum.Sayang, Alana memang harus menelan bulat-bulat rasa kecewa lagi dan lagi. Tatkala harus sadar diri jika Shahin memang sudah berubah..Keesokan pagi, Shahin sudah siap-siap untuk pergi. Alana yang sedang membuat sarapan untuk Kaelina
Alana Prameswari, gadis berusia dua puluh tahun berparas jelita itu tersenyum-senyum sendiri ketika ia secara tak sengaja mendengar obrolan antara ibu dan teman baiknya. Dari balik tembok penghalang, Alana yang hendak keluar pun hanya terdiam di tempat tatkala ada nama seseorang yang ia kagumi tercetus dari obrolan itu.“Iya Jeng, lebih cepat lebih baik, apa lagi kan Jeng Dewi mau pergi ke luar negeri, bagus kalau Alana ada yang jaga,” ucapnya kian serius.Sang lawan bicara pun tersenyum hangat seraya menyeruput teh hangat yang disajikan empunya rumah. “Setuju, Jeng Sis. Saya kan kadang khawatir meninggalkan Alana di sini, kalau kemarin-kemarin kan ada kakaknya jadi saya tidak waswas sama sekali. Sekarang kakaknya sudah menikah, Alana di sini dengan siapa?” jawabnya tak kalah riang.Sementara Alana, yang menjadi pusat pembicaraan semakin semringah dengan sorot mata berbinar-binar. Bagaimana tidak, sudah lama ia mengagumi sosok yang akan dijodohkan dengannya itu, sempat berpikir ratus
"Kamu di rumah?""Ya, tentu saja. Memang mau ke mana lagi.""Katanya mau menginap di rumah Andre."Alana menggeleng. "Nggak jadi, kejauhan. Aku bawa Kaelina pulang ke sini aja.""Oh!""Kakak tumben baru pulang?""Mmm, tadi pertemuannya agak telat.""Udah makan, belum?""Udah.""Oke.""Saya masuk dulu kalau gitu, gerah pingin mandi." Ucap Shahin lantas menggeser tungkai kaki dari hadapan Alana untuk menuju ke kamarnya.Alana mengangguk pelan, matanya kembali melihat nyala api kompor yang sedang merebus air untuknya membuat sereal. Ada helaan napas berat saat itu. Sedikit banyak, Alana berharap suaminya mau sedikit memerhatikan dirinya lagi. Semisal, bertanya seperti ia menanyakan perihal sisa kegiatannya hari ini. Dan tentang apa ia sudah makan atau belum.Sayang, Alana memang harus menelan bulat-bulat rasa kecewa lagi dan lagi. Tatkala harus sadar diri jika Shahin memang sudah berubah..Keesokan pagi, Shahin sudah siap-siap untuk pergi. Alana yang sedang membuat sarapan untuk Kaelina
"Kamu hari ini berangkat bareng saya," kata Shahin sewaktu Alana sudah berjalan mencapai pintu."Kok tumben?" tanya Alana keheranan."Satu arah, satu tempat," ujarnya beralasan."Kakak nggak takut mereka curiga?" Alana bertanya sekaligus mengingatkan suaminya itu."Saya nggak perlu takut, mereka sudah tahu sejak lama saya sering antar jemput kamu." Pungkasnya lantas meraih tas jinjing berisikan laptop dan dan beberapa berkas di sana."Ya, sudah. Ini, bukan aku yang minta, ya." Ucap Alana, lalu mengikuti Shahin yang berjalan mendahului dirinya.Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Alana sekarang. Bahkan perutnya terasa digelitiki ratusan kupu-kupu yang beterbangan di sana."Mimpi apa aku semalam?" Benaknya bertanya pada diri sendiri.Cuaca pagi ini, sangat cerah sekali. Matahari menyorot sempurna mengiringi perjalanan Alana dan Shahin menuju kampus. Meski keduanya saling diam, tetapi ekor mata Shahin diam-diam melirik sekilas pada Alana yang sedang membalas pesan."Pesan dari siapa?" Pri
"Kamu tidur di sana, saya biar tidur di bawah saja.""Di surat perjanjian tertulis, tidur di satu tempat yang sama, bukan di tempat berbeda.""Al.""Kakak mau ya, aku menghubungi Mama Siska, sekarang?"Shahin tidak menjawab, ia sudah sangat lelah berdebat bersama Alana. Terbukti, rahangnya kini terlihat mengeras disertai tatap mata menyipit tajam tertuju pada Alana, itu sudah bisa menyimpulkan bahwa kegeraman yang pria itu simpan telah melewati batas seharusnya.Dengan perasaan kesal, ia mendengkus napasnya kasar. Bantal yang sudah ia pegang pun ia simpan setengah melempar ke atas ranjang. Lalu, mengempaskan buntalan pinggulnya di antara busa empuk yang biasa ia kuasai sendiri, kini di sisi lain sudah ditempati oleh istrinya, Alana.Sejak pernikahan mereka, baru kali ini pasangan yang sudah dua bulan menikah itu berada dalam satu ruang sama untuk tidur selain kamar hotel tempo hari ketika Alana dan Shahin sah menjadi suami istri. Meski terlihat jelas Shahin tidak setuju, tapi Alana e
"Apa-apaan ini? Nggak, saya nggak setuju.""Ya, udah kalau nggak setuju. Aku juga nggak maksa, tapi jangan salahin aku kalau besok-besok mama kamu tahu kelakuan kamu." Kata Alana tetap tenang di tempat duduknya."Al, masih ada jalan lain, kan. Atau kita bisa mengganti syarat nomor lima dengan yang lain. Apa pun itu yang kamu mau," pujuk Shahin.Alana mencebikkan bibir, lalu kemudian menarik napas dalam-dalam. Sejenak, perhatiannya teralihkan oleh bunyi teko yang bersiul menandakan air sudah matang."Seingatku, sewaktu kemarin aku meminta surat perjanjian bikinan kakak sedikit direvisi. Kakak, menolak, bukan. Jadi, apa alasanku untuk mengubah berkas yang ada di tanganmu." Timpal Alana sembari beranjak dari kursi meja makan menuju kompor, untuk mematikan bara api yang menyala-nyala di sana.Mau tidak mau, Shahin bungkam untuk beberapa saat. Perkataan istrinya barusan, tentu saja membuat Shahin geram. Namun, tak memiliki alasan lagi untuk memperpanjang argumentasi yang jelas-jelas akan d
Shahin menatap tak percaya dengan apa yang ada di bawah kakinya sekarang. Potongan kertas yang berisikan surat perjanjian pernikahan kini berjatuhan tak berbentuk lagi.Usai itu, mata Shahin beralih pada Alana yang menatapnya bengis. Jelas saja, hatinya terlampau sakit menerima kenyataan pahit tentang adanya wanita lain yang tidak suaminya itu lepaskan kendati sudah menikahi dirinya. Parahnya lagi, perempuan yang masih menetap di luar negeri itu akan segera pulang dan meminta dinikahi oleh suaminya."Al, apa-apaan kamu?""Membuat surat perjanjian, aku juga bisa, Kak.""Tapi ini ... ""Aku akan membuat ulang surat itu seperti kemauanku sendiri, dan mulai detik ini surat perjanjian darimu, aku anggap batal." Pungkasnya dengan intonasi suara sangat serius."Al, nggak gini. Kita bisa bicarakan ini tanpa kamu harus merusak surat perjanjian itu.""Aku nggak mau tahu, kamu setuju dengan surat perjanjian baru atau akan kulaporkan kelakuanmu pada mama?""Al.""Oke. By!" Alana berlalu melewati
Hari minggu yang cerah, Shahin baru pulang dari lari pagi dan pria itu menemukan Alana sedang duduk di atas karpet dengan laptop terbuka juga beberapa tumpukan buku di ata meja."Ngapain kamu?" tanya Shahin.Alana melirik sekilas. "Main karet," jawabnya asal."Saya nanya serius, loh," protes Shahin."Ya lagian emangnya aku lagi apa? Harusnya kakak tahu sendiri dong." Pungkasnya."Ribet ngomong sama kamu." Ucapnya lantas melengos dari hadapan Alana.Di meja makan, sudah terhidang sarapan. Shahin yang awalnya hendak mandi, malah membelokkan langkah kaki menuju meja makan."Ini siapa yang masak?""Aku," sahut Alana."Memang kamu, bisa?""Kakak baru saja meragukan keahlianku," gerutu Alana sedikit menekuk wajah."Bukan begitu, selama mengenal kamu, saya belum pernah melihat kamu memasak," terang Shahin."Kakak, kan enggak dua puluh empat jam berada di sisiku, memerhatikanku. Memangnya aku anak manja yang bisanya menghambur-hamburkan uang milik orang tua. Cantik-cantik begini aku juga pun
Keesokan harinya, Shahin memerhatikan Alana yang ceria. Mungkin mood wanita itu sudah kembali seperti sedia kala.Kemarin Alana terlihat begitu berantakan sepanjang hari, bahkan kehilangan semangat hidup."Makan yang banyak," Ujar Shahin mengawali obrolan pagi ini."Aku lagi diet," cetusnya.Mendengar itu, Shahin berekspresi penuh keheranan. Terbukti ada liptan di antara keningnya yang lebar disertai jungkitan alis dibagian kirinya."Diet?"Alana mengangguk pelan."Badan sudah kurus begitu juga," timpal Shahin nampak tidak setuju."Ya, nggak apa-apa," tukasnya cuek. "Aku juga nggak mau lagi minum susu, tinggi kalori." Sambungnya sembari menggeser gelas tinggi berisikan cairan putih itu ke tengah meja."Ya sudah, terserah!" cibir Shahin. "Tapi kalau ampai sakit, itu urusan kamu." pungkasnya lalu berdiri dari duduknya."Oke." Jawab Alana, ia pun turut berdiri dari sana dengan sebutir buah apel di tangannya..Keduanya lantas keluar dari rumah. Mereka mengambil arah berlainan, dan Shahin
"Ingat, jangan mengatakan pada siapapun tentang pernikahan kita." Itulah pesan Shahin pagi ini sewaktu pria itu bersiap berangkat ke tempat kerja.Tentu saja, kalimat itu membuat Alana badmood dan merasa bahwa Shahin memang tidak ada niat untuk hidup bersama dirinya.Akan tetapi, sama seperti istilah nasi sudah jadi bubur. Sesuatu yang telah terjadi tak dapat diubah kembali. Ingin mengatakan penyesalan karena mengambil keputusan ini membuat Alana ingin menjambak rambut sang suami sekuatnya.Bagaimana tidak, wanita muda secantik dirinya tak menarik bagi seorang Shahin Albyanshah. Bahkan terang-terangan membuat perjanjian aneh dengan tidak ada namanya sentuhan selama dua tahun pernikahan.Alana sendiri sempat berpikir, apa laki-laki itu sedikit lain?Namun seingat Alana, pria yang sudah menjadi suaminya itu pernah memiliki pacar perempuan beberapa kali. Lantas mengapa?. "Woy, kenapa lo?" Gladis, teman dekat Alana datang mengagetkan dari belakang."Sialan," umpat Alana."Santai, santai,
Tiga hari berlalu, Alana dan Shahin telah pindah ke rumah baru. Hunian di tengah kota, bertempat di salah satu cluster terbaik dengan desain elegan. Meski ya untuk ukuran tidak terlalu luas, tetapi cukup untuk mereka berdua.“Kamarku yang itu, ya,” pinta Alana. Jari telunjuk dengan ujung kuku berwarna pink terang itu mengarah ke salah satu ruang tak jauh dari dapur.“Terserah!” jawab Shahin sekilas.Mata Alana menyipit, dari beberapa hari lalu setiap dirinya meminta sesuatu pasti jawabnya adalah terserah. Dasar, tidak punya pendirian sama sekali.Malas mengajak bicara Shahin lagi, Alana menggeret kopernya menuju kamar yang telah ia pilih. Di dalam sana, sudah ada ranjang berukuran sedang, pas untuk dirinya sendiri. Jendela dengan pemandangan langsung ke halaman belakang yang masih kosong. Juga lemari tiga pintu terletak tepat tak jauh dari kasur.Melihat situasi kamarnya Alana merasa ada yang kurang. Meja rias tak nampak di sana, padahal untuk Alana meja itu sangat penting sekali untu