Tiga hari berlalu, Alana dan Shahin telah pindah ke rumah baru. Hunian di tengah kota, bertempat di salah satu cluster terbaik dengan desain elegan. Meski ya untuk ukuran tidak terlalu luas, tetapi cukup untuk mereka berdua.
“Kamarku yang itu, ya,” pinta Alana. Jari telunjuk dengan ujung kuku berwarna pink terang itu mengarah ke salah satu ruang tak jauh dari dapur.“Terserah!” jawab Shahin sekilas.Mata Alana menyipit, dari beberapa hari lalu setiap dirinya meminta sesuatu pasti jawabnya adalah terserah. Dasar, tidak punya pendirian sama sekali.Malas mengajak bicara Shahin lagi, Alana menggeret kopernya menuju kamar yang telah ia pilih. Di dalam sana, sudah ada ranjang berukuran sedang, pas untuk dirinya sendiri. Jendela dengan pemandangan langsung ke halaman belakang yang masih kosong. Juga lemari tiga pintu terletak tepat tak jauh dari kasur.Melihat situasi kamarnya Alana merasa ada yang kurang. Meja rias tak nampak di sana, padahal untuk Alana meja itu sangat penting sekali untuk menyimpan kosmetik dan skincare miliknya.“Kak, Shah,” panggil Alana seraya berjalan kembali ke luar.“Apa?” sahut Shahin yang sedang menata dapur.“Kok di kamarku nggak ada meja rias, sih?”“Emang harus?”“Ya, harus dong. Bedak aku mau ditaruh di mana kalau nggak ada meja,” adunya.Shahin menegakkan badan, “Ya udah, pakai aja tuh yang ada di kamar," titahnya.Alana tidak menyahut lagi, ia menggeser tungkai kaki lagi menuju kamar utama. Dan setelah membuka papan pintu, Alana sempat terpaku di tempatnya. Matanya tampak takjub sebab kamar milik Shahin cukup luas, ada kamar mandi di dalamnya dan juga ranjang berukuran besar. Cukup untuk mereka berdua kalau benar-benar menjalani ikatan pernikahan ini dengan baik. Tanpa adanya perjanjian sialan yang dibuat oleh suaminya.“Kok malah diem di sana?” tegur Shahin yang sudah selesai membereskan beberapa barang di belakang.Alana mendadak cemberut, matanya mendelik lalu mengurungkan diri untuk mengambil meja dari dalam sana. Tanpa melihat ke arah Shahin, atau kembali berucap kata, Alana kembali ke kamarnya dengan kedua kaki menghentak keras ke lantai.Shahin mengerutkan dahi, ada apa dengan Alana?“Harusnya aku ikut mama aja," gumam Alana seraya mengusap ujung netranya yang basah.Ya, Alana menangis, ia cukup menyesal dengan keputusannya kali ini. Hanya karena perasaan untuk laki-laki bernama Shahin, Alana sebegitu nekatnya menyanggupi pernikahan dengan syarat konyol dan memuakkan.Namun, mau bagaimana lagi semua sudah terjadi Alana hanya perlu menjalankan setiap aturan yang ada di dalam kertas itu tanpa bisa lagi meraba seberapa parah sakit yang ada di hatinya kini.Memang sih, kata orang. Jangan hidup dengan seseorang yang tidak mencintai kita sama sekali. Atau kalau tidak, taruhannya adalah hati kita sendiri yang akan habis tercabik-cabik. Dan itu yang Alana rasakan sekarang.“Padahal kalau ikut Mama, aku bisa lanjutin kuliah di luar negeri, bisa ketemu bang Anas, nggak begini, Mama minggu depan pergi ke Amerika untuk pengobatan. Dan aku, harus menghabiskan waktu di sini bergelut dengan masa depan yang ... entahlah.” Alana bermonolog sendirian.“Al, makan dulu,” seru Shahin dari balik pintu.Dengan berat hati, gadis itu turun dari ranjangnya untuk menggeser pintu.“Ayo makan,” ajak Shahin.“Emang udah ada makanannya?”“Kalau belum ada ngapain saya manggil kamu,” tukas Shahin seraya melengos dari depan kamar Alana.“Dih, biasa aja lagi!” tuturnya sembari mengekori Shahin.“Harusnya kamu yang masak, gimana sih?” protes Shahin.Alana menatap Shahin sekilas sebelum tangannya mengambil nasi dan beberapa lauk pauk yang entah Shahin dapat dari mana. Sebab ia tahu sendiri di dalam kulkas masih belum ada makanan apapun kecuali minuman milik Shahin.“Dalam perjanjian nomor delapan tertulis, masak, cuci baju, belanja itu tugas kamu, Kak,” ucap Alana mengingatkan.“Hadeuh! Iya, tahu."“Terus ngapain protes?”“Ya siapa tahu aja kamu mau baik hati bantu."“Nggak mau!” jawab Alana singkat dan padat.Jelas ia akan menolak, Alana sendiri ingin memberi pelajaran pada Shahin jadi apa yang tertulis di daftar perjanjian. Maka itu yang menjadi kesepakatan bersama.Shahin diam, ia melanjutkan makannya dengan pikiran yang tak bisa dijelaskan. Ada kalanya ia menyesali tentang adanya surat itu, sebab kalau diingat-ingat lagi yang Shahin lakukan hanya sedang menyusahkan diri sendiri.“Udah ah, aku duluan.” pamit Alana kemudian, ia mengambil piring yang masih tersisa sedikit lauk di sana. Lalu mencuci piring itu dan meletakkan nya di rak. Dengan acuh, ia lagi-lagi melenggang bebas menuju kamar dan menguncinya. Meninggalkan Shahin sendirian dengan mood yang mendadak tidak baik.“Bego banget sih, Shah!” omelnya pada diri sendiri.Sehabis makan malam, Shahin tidak berminat melakukan apa-apa lagi. Ia pun turut memilih masuk ke kamar, berjalan menuju meja kerja dan mengambil laptop miliknya. Merasa gerah bukan main, Shahin bangun lagi dari duduknya ia membuka jendela dan merasakan indera penciumannya menangkap wangi tanah basah yang tersiram air hujan.Benar saja, di sana langit tampak menggelap, seolah mengerti akan suasana hatinya pun yang kian berwarna serupa.Sa, aku harus apa sekarang?” tanyanya pada diri. Kepalanya mendongak ke arah langit berharap Raisa, sang pacar akan mendengar aduannya.Sementara Alana ia mencoba memejamkan mata, tetapi yang ada ia hanya bergulang-guling sejak tadi.Entah karena ini malam pertama ia tak lagi tidur di kamarnya yang terdahulu atau terlalu memikirkan pernikahannya akan di bawa ke arah mana.“Heuh! Tadi perasaan ngantuk berat, kenapa sekarang malah melek?” ujarnya kesal pada diri sendiri.“Minum air putih keknya bagus tuh.” Lagi, ia bermonolog. Namun kali ini dari dalam hati.Alana pun beranjak dari atas kasur, melangkah menggeser pintu lalu keluar menuju dapur.Secara bersamaan, entah suatu kebetulan atau bukan, tetapi Shahin turut keluar dari kamarnya dan menemukan Alana sedang minum di sana.Shahin sempat terpaku di tempatnya. Sejak dua hari lalu, ia merasakan ada sesuatu yang aneh jika melihat Alana. Setidaknya, debat jantungnya sedikit memacu lebih cepat dari biasanya. Juga terkadang secara diam-diam Shahin mencuri-curi pandang pada Alana. Tidak! Ini bukan pertanda dari rasa itu, kan.“Kakak ngapain di sana?” sergah Alana mengejutkan Shahin.Laki-laki itu tidak langsung menjawab, ia malah menggaruk tengkuknya yang digigit nyamuk. Wah, rumah sebagus ini masa ada nyamuk.“Kak?” panggil Alana lagi.“Nggak apa-apa. Cuma mau ngambil ...,” Shahin menggantungkan kalimat, matanya mendadak mencari-cari sesuatu yang dekat dari posisinya.“Nih, nyari ini.” tukasnya lalu kembali ke kamar dengan membawa boneka boba milik Alana yang tertinggal di atas kursi.“Sejak kapan doyan, boneka?” Batin Alana benar terheran-heran.Bersambung ...."Ingat, jangan mengatakan pada siapapun tentang pernikahan kita." Itulah pesan Shahin pagi ini sewaktu pria itu bersiap berangkat ke tempat kerja.Tentu saja, kalimat itu membuat Alana badmood dan merasa bahwa Shahin memang tidak ada niat untuk hidup bersama dirinya.Akan tetapi, sama seperti istilah nasi sudah jadi bubur. Sesuatu yang telah terjadi tak dapat diubah kembali. Ingin mengatakan penyesalan karena mengambil keputusan ini membuat Alana ingin menjambak rambut sang suami sekuatnya.Bagaimana tidak, wanita muda secantik dirinya tak menarik bagi seorang Shahin Albyanshah. Bahkan terang-terangan membuat perjanjian aneh dengan tidak ada namanya sentuhan selama dua tahun pernikahan.Alana sendiri sempat berpikir, apa laki-laki itu sedikit lain?Namun seingat Alana, pria yang sudah menjadi suaminya itu pernah memiliki pacar perempuan beberapa kali. Lantas mengapa?. "Woy, kenapa lo?" Gladis, teman dekat Alana datang mengagetkan dari belakang."Sialan," umpat Alana."Santai, santai,
Keesokan harinya, Shahin memerhatikan Alana yang ceria. Mungkin mood wanita itu sudah kembali seperti sedia kala.Kemarin Alana terlihat begitu berantakan sepanjang hari, bahkan kehilangan semangat hidup."Makan yang banyak," Ujar Shahin mengawali obrolan pagi ini."Aku lagi diet," cetusnya.Mendengar itu, Shahin berekspresi penuh keheranan. Terbukti ada liptan di antara keningnya yang lebar disertai jungkitan alis dibagian kirinya."Diet?"Alana mengangguk pelan."Badan sudah kurus begitu juga," timpal Shahin nampak tidak setuju."Ya, nggak apa-apa," tukasnya cuek. "Aku juga nggak mau lagi minum susu, tinggi kalori." Sambungnya sembari menggeser gelas tinggi berisikan cairan putih itu ke tengah meja."Ya sudah, terserah!" cibir Shahin. "Tapi kalau ampai sakit, itu urusan kamu." pungkasnya lalu berdiri dari duduknya."Oke." Jawab Alana, ia pun turut berdiri dari sana dengan sebutir buah apel di tangannya..Keduanya lantas keluar dari rumah. Mereka mengambil arah berlainan, dan Shahin
Hari minggu yang cerah, Shahin baru pulang dari lari pagi dan pria itu menemukan Alana sedang duduk di atas karpet dengan laptop terbuka juga beberapa tumpukan buku di ata meja."Ngapain kamu?" tanya Shahin.Alana melirik sekilas. "Main karet," jawabnya asal."Saya nanya serius, loh," protes Shahin."Ya lagian emangnya aku lagi apa? Harusnya kakak tahu sendiri dong." Pungkasnya."Ribet ngomong sama kamu." Ucapnya lantas melengos dari hadapan Alana.Di meja makan, sudah terhidang sarapan. Shahin yang awalnya hendak mandi, malah membelokkan langkah kaki menuju meja makan."Ini siapa yang masak?""Aku," sahut Alana."Memang kamu, bisa?""Kakak baru saja meragukan keahlianku," gerutu Alana sedikit menekuk wajah."Bukan begitu, selama mengenal kamu, saya belum pernah melihat kamu memasak," terang Shahin."Kakak, kan enggak dua puluh empat jam berada di sisiku, memerhatikanku. Memangnya aku anak manja yang bisanya menghambur-hamburkan uang milik orang tua. Cantik-cantik begini aku juga pun
Shahin menatap tak percaya dengan apa yang ada di bawah kakinya sekarang. Potongan kertas yang berisikan surat perjanjian pernikahan kini berjatuhan tak berbentuk lagi.Usai itu, mata Shahin beralih pada Alana yang menatapnya bengis. Jelas saja, hatinya terlampau sakit menerima kenyataan pahit tentang adanya wanita lain yang tidak suaminya itu lepaskan kendati sudah menikahi dirinya. Parahnya lagi, perempuan yang masih menetap di luar negeri itu akan segera pulang dan meminta dinikahi oleh suaminya."Al, apa-apaan kamu?""Membuat surat perjanjian, aku juga bisa, Kak.""Tapi ini ... ""Aku akan membuat ulang surat itu seperti kemauanku sendiri, dan mulai detik ini surat perjanjian darimu, aku anggap batal." Pungkasnya dengan intonasi suara sangat serius."Al, nggak gini. Kita bisa bicarakan ini tanpa kamu harus merusak surat perjanjian itu.""Aku nggak mau tahu, kamu setuju dengan surat perjanjian baru atau akan kulaporkan kelakuanmu pada mama?""Al.""Oke. By!" Alana berlalu melewati
"Apa-apaan ini? Nggak, saya nggak setuju.""Ya, udah kalau nggak setuju. Aku juga nggak maksa, tapi jangan salahin aku kalau besok-besok mama kamu tahu kelakuan kamu." Kata Alana tetap tenang di tempat duduknya."Al, masih ada jalan lain, kan. Atau kita bisa mengganti syarat nomor lima dengan yang lain. Apa pun itu yang kamu mau," pujuk Shahin.Alana mencebikkan bibir, lalu kemudian menarik napas dalam-dalam. Sejenak, perhatiannya teralihkan oleh bunyi teko yang bersiul menandakan air sudah matang."Seingatku, sewaktu kemarin aku meminta surat perjanjian bikinan kakak sedikit direvisi. Kakak, menolak, bukan. Jadi, apa alasanku untuk mengubah berkas yang ada di tanganmu." Timpal Alana sembari beranjak dari kursi meja makan menuju kompor, untuk mematikan bara api yang menyala-nyala di sana.Mau tidak mau, Shahin bungkam untuk beberapa saat. Perkataan istrinya barusan, tentu saja membuat Shahin geram. Namun, tak memiliki alasan lagi untuk memperpanjang argumentasi yang jelas-jelas akan d
"Kamu tidur di sana, saya biar tidur di bawah saja.""Di surat perjanjian tertulis, tidur di satu tempat yang sama, bukan di tempat berbeda.""Al.""Kakak mau ya, aku menghubungi Mama Siska, sekarang?"Shahin tidak menjawab, ia sudah sangat lelah berdebat bersama Alana. Terbukti, rahangnya kini terlihat mengeras disertai tatap mata menyipit tajam tertuju pada Alana, itu sudah bisa menyimpulkan bahwa kegeraman yang pria itu simpan telah melewati batas seharusnya.Dengan perasaan kesal, ia mendengkus napasnya kasar. Bantal yang sudah ia pegang pun ia simpan setengah melempar ke atas ranjang. Lalu, mengempaskan buntalan pinggulnya di antara busa empuk yang biasa ia kuasai sendiri, kini di sisi lain sudah ditempati oleh istrinya, Alana.Sejak pernikahan mereka, baru kali ini pasangan yang sudah dua bulan menikah itu berada dalam satu ruang sama untuk tidur selain kamar hotel tempo hari ketika Alana dan Shahin sah menjadi suami istri. Meski terlihat jelas Shahin tidak setuju, tapi Alana e
"Kamu hari ini berangkat bareng saya," kata Shahin sewaktu Alana sudah berjalan mencapai pintu."Kok tumben?" tanya Alana keheranan."Satu arah, satu tempat," ujarnya beralasan."Kakak nggak takut mereka curiga?" Alana bertanya sekaligus mengingatkan suaminya itu."Saya nggak perlu takut, mereka sudah tahu sejak lama saya sering antar jemput kamu." Pungkasnya lantas meraih tas jinjing berisikan laptop dan dan beberapa berkas di sana."Ya, sudah. Ini, bukan aku yang minta, ya." Ucap Alana, lalu mengikuti Shahin yang berjalan mendahului dirinya.Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Alana sekarang. Bahkan perutnya terasa digelitiki ratusan kupu-kupu yang beterbangan di sana."Mimpi apa aku semalam?" Benaknya bertanya pada diri sendiri.Cuaca pagi ini, sangat cerah sekali. Matahari menyorot sempurna mengiringi perjalanan Alana dan Shahin menuju kampus. Meski keduanya saling diam, tetapi ekor mata Shahin diam-diam melirik sekilas pada Alana yang sedang membalas pesan."Pesan dari siapa?" Pri
"Kamu di rumah?""Ya, tentu saja. Memang mau ke mana lagi.""Katanya mau menginap di rumah Andre."Alana menggeleng. "Nggak jadi, kejauhan. Aku bawa Kaelina pulang ke sini aja.""Oh!""Kakak tumben baru pulang?""Mmm, tadi pertemuannya agak telat.""Udah makan, belum?""Udah.""Oke.""Saya masuk dulu kalau gitu, gerah pingin mandi." Ucap Shahin lantas menggeser tungkai kaki dari hadapan Alana untuk menuju ke kamarnya.Alana mengangguk pelan, matanya kembali melihat nyala api kompor yang sedang merebus air untuknya membuat sereal. Ada helaan napas berat saat itu. Sedikit banyak, Alana berharap suaminya mau sedikit memerhatikan dirinya lagi. Semisal, bertanya seperti ia menanyakan perihal sisa kegiatannya hari ini. Dan tentang apa ia sudah makan atau belum.Sayang, Alana memang harus menelan bulat-bulat rasa kecewa lagi dan lagi. Tatkala harus sadar diri jika Shahin memang sudah berubah..Keesokan pagi, Shahin sudah siap-siap untuk pergi. Alana yang sedang membuat sarapan untuk Kaelina
"Kamu di rumah?""Ya, tentu saja. Memang mau ke mana lagi.""Katanya mau menginap di rumah Andre."Alana menggeleng. "Nggak jadi, kejauhan. Aku bawa Kaelina pulang ke sini aja.""Oh!""Kakak tumben baru pulang?""Mmm, tadi pertemuannya agak telat.""Udah makan, belum?""Udah.""Oke.""Saya masuk dulu kalau gitu, gerah pingin mandi." Ucap Shahin lantas menggeser tungkai kaki dari hadapan Alana untuk menuju ke kamarnya.Alana mengangguk pelan, matanya kembali melihat nyala api kompor yang sedang merebus air untuknya membuat sereal. Ada helaan napas berat saat itu. Sedikit banyak, Alana berharap suaminya mau sedikit memerhatikan dirinya lagi. Semisal, bertanya seperti ia menanyakan perihal sisa kegiatannya hari ini. Dan tentang apa ia sudah makan atau belum.Sayang, Alana memang harus menelan bulat-bulat rasa kecewa lagi dan lagi. Tatkala harus sadar diri jika Shahin memang sudah berubah..Keesokan pagi, Shahin sudah siap-siap untuk pergi. Alana yang sedang membuat sarapan untuk Kaelina
"Kamu hari ini berangkat bareng saya," kata Shahin sewaktu Alana sudah berjalan mencapai pintu."Kok tumben?" tanya Alana keheranan."Satu arah, satu tempat," ujarnya beralasan."Kakak nggak takut mereka curiga?" Alana bertanya sekaligus mengingatkan suaminya itu."Saya nggak perlu takut, mereka sudah tahu sejak lama saya sering antar jemput kamu." Pungkasnya lantas meraih tas jinjing berisikan laptop dan dan beberapa berkas di sana."Ya, sudah. Ini, bukan aku yang minta, ya." Ucap Alana, lalu mengikuti Shahin yang berjalan mendahului dirinya.Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Alana sekarang. Bahkan perutnya terasa digelitiki ratusan kupu-kupu yang beterbangan di sana."Mimpi apa aku semalam?" Benaknya bertanya pada diri sendiri.Cuaca pagi ini, sangat cerah sekali. Matahari menyorot sempurna mengiringi perjalanan Alana dan Shahin menuju kampus. Meski keduanya saling diam, tetapi ekor mata Shahin diam-diam melirik sekilas pada Alana yang sedang membalas pesan."Pesan dari siapa?" Pri
"Kamu tidur di sana, saya biar tidur di bawah saja.""Di surat perjanjian tertulis, tidur di satu tempat yang sama, bukan di tempat berbeda.""Al.""Kakak mau ya, aku menghubungi Mama Siska, sekarang?"Shahin tidak menjawab, ia sudah sangat lelah berdebat bersama Alana. Terbukti, rahangnya kini terlihat mengeras disertai tatap mata menyipit tajam tertuju pada Alana, itu sudah bisa menyimpulkan bahwa kegeraman yang pria itu simpan telah melewati batas seharusnya.Dengan perasaan kesal, ia mendengkus napasnya kasar. Bantal yang sudah ia pegang pun ia simpan setengah melempar ke atas ranjang. Lalu, mengempaskan buntalan pinggulnya di antara busa empuk yang biasa ia kuasai sendiri, kini di sisi lain sudah ditempati oleh istrinya, Alana.Sejak pernikahan mereka, baru kali ini pasangan yang sudah dua bulan menikah itu berada dalam satu ruang sama untuk tidur selain kamar hotel tempo hari ketika Alana dan Shahin sah menjadi suami istri. Meski terlihat jelas Shahin tidak setuju, tapi Alana e
"Apa-apaan ini? Nggak, saya nggak setuju.""Ya, udah kalau nggak setuju. Aku juga nggak maksa, tapi jangan salahin aku kalau besok-besok mama kamu tahu kelakuan kamu." Kata Alana tetap tenang di tempat duduknya."Al, masih ada jalan lain, kan. Atau kita bisa mengganti syarat nomor lima dengan yang lain. Apa pun itu yang kamu mau," pujuk Shahin.Alana mencebikkan bibir, lalu kemudian menarik napas dalam-dalam. Sejenak, perhatiannya teralihkan oleh bunyi teko yang bersiul menandakan air sudah matang."Seingatku, sewaktu kemarin aku meminta surat perjanjian bikinan kakak sedikit direvisi. Kakak, menolak, bukan. Jadi, apa alasanku untuk mengubah berkas yang ada di tanganmu." Timpal Alana sembari beranjak dari kursi meja makan menuju kompor, untuk mematikan bara api yang menyala-nyala di sana.Mau tidak mau, Shahin bungkam untuk beberapa saat. Perkataan istrinya barusan, tentu saja membuat Shahin geram. Namun, tak memiliki alasan lagi untuk memperpanjang argumentasi yang jelas-jelas akan d
Shahin menatap tak percaya dengan apa yang ada di bawah kakinya sekarang. Potongan kertas yang berisikan surat perjanjian pernikahan kini berjatuhan tak berbentuk lagi.Usai itu, mata Shahin beralih pada Alana yang menatapnya bengis. Jelas saja, hatinya terlampau sakit menerima kenyataan pahit tentang adanya wanita lain yang tidak suaminya itu lepaskan kendati sudah menikahi dirinya. Parahnya lagi, perempuan yang masih menetap di luar negeri itu akan segera pulang dan meminta dinikahi oleh suaminya."Al, apa-apaan kamu?""Membuat surat perjanjian, aku juga bisa, Kak.""Tapi ini ... ""Aku akan membuat ulang surat itu seperti kemauanku sendiri, dan mulai detik ini surat perjanjian darimu, aku anggap batal." Pungkasnya dengan intonasi suara sangat serius."Al, nggak gini. Kita bisa bicarakan ini tanpa kamu harus merusak surat perjanjian itu.""Aku nggak mau tahu, kamu setuju dengan surat perjanjian baru atau akan kulaporkan kelakuanmu pada mama?""Al.""Oke. By!" Alana berlalu melewati
Hari minggu yang cerah, Shahin baru pulang dari lari pagi dan pria itu menemukan Alana sedang duduk di atas karpet dengan laptop terbuka juga beberapa tumpukan buku di ata meja."Ngapain kamu?" tanya Shahin.Alana melirik sekilas. "Main karet," jawabnya asal."Saya nanya serius, loh," protes Shahin."Ya lagian emangnya aku lagi apa? Harusnya kakak tahu sendiri dong." Pungkasnya."Ribet ngomong sama kamu." Ucapnya lantas melengos dari hadapan Alana.Di meja makan, sudah terhidang sarapan. Shahin yang awalnya hendak mandi, malah membelokkan langkah kaki menuju meja makan."Ini siapa yang masak?""Aku," sahut Alana."Memang kamu, bisa?""Kakak baru saja meragukan keahlianku," gerutu Alana sedikit menekuk wajah."Bukan begitu, selama mengenal kamu, saya belum pernah melihat kamu memasak," terang Shahin."Kakak, kan enggak dua puluh empat jam berada di sisiku, memerhatikanku. Memangnya aku anak manja yang bisanya menghambur-hamburkan uang milik orang tua. Cantik-cantik begini aku juga pun
Keesokan harinya, Shahin memerhatikan Alana yang ceria. Mungkin mood wanita itu sudah kembali seperti sedia kala.Kemarin Alana terlihat begitu berantakan sepanjang hari, bahkan kehilangan semangat hidup."Makan yang banyak," Ujar Shahin mengawali obrolan pagi ini."Aku lagi diet," cetusnya.Mendengar itu, Shahin berekspresi penuh keheranan. Terbukti ada liptan di antara keningnya yang lebar disertai jungkitan alis dibagian kirinya."Diet?"Alana mengangguk pelan."Badan sudah kurus begitu juga," timpal Shahin nampak tidak setuju."Ya, nggak apa-apa," tukasnya cuek. "Aku juga nggak mau lagi minum susu, tinggi kalori." Sambungnya sembari menggeser gelas tinggi berisikan cairan putih itu ke tengah meja."Ya sudah, terserah!" cibir Shahin. "Tapi kalau ampai sakit, itu urusan kamu." pungkasnya lalu berdiri dari duduknya."Oke." Jawab Alana, ia pun turut berdiri dari sana dengan sebutir buah apel di tangannya..Keduanya lantas keluar dari rumah. Mereka mengambil arah berlainan, dan Shahin
"Ingat, jangan mengatakan pada siapapun tentang pernikahan kita." Itulah pesan Shahin pagi ini sewaktu pria itu bersiap berangkat ke tempat kerja.Tentu saja, kalimat itu membuat Alana badmood dan merasa bahwa Shahin memang tidak ada niat untuk hidup bersama dirinya.Akan tetapi, sama seperti istilah nasi sudah jadi bubur. Sesuatu yang telah terjadi tak dapat diubah kembali. Ingin mengatakan penyesalan karena mengambil keputusan ini membuat Alana ingin menjambak rambut sang suami sekuatnya.Bagaimana tidak, wanita muda secantik dirinya tak menarik bagi seorang Shahin Albyanshah. Bahkan terang-terangan membuat perjanjian aneh dengan tidak ada namanya sentuhan selama dua tahun pernikahan.Alana sendiri sempat berpikir, apa laki-laki itu sedikit lain?Namun seingat Alana, pria yang sudah menjadi suaminya itu pernah memiliki pacar perempuan beberapa kali. Lantas mengapa?. "Woy, kenapa lo?" Gladis, teman dekat Alana datang mengagetkan dari belakang."Sialan," umpat Alana."Santai, santai,
Tiga hari berlalu, Alana dan Shahin telah pindah ke rumah baru. Hunian di tengah kota, bertempat di salah satu cluster terbaik dengan desain elegan. Meski ya untuk ukuran tidak terlalu luas, tetapi cukup untuk mereka berdua.“Kamarku yang itu, ya,” pinta Alana. Jari telunjuk dengan ujung kuku berwarna pink terang itu mengarah ke salah satu ruang tak jauh dari dapur.“Terserah!” jawab Shahin sekilas.Mata Alana menyipit, dari beberapa hari lalu setiap dirinya meminta sesuatu pasti jawabnya adalah terserah. Dasar, tidak punya pendirian sama sekali.Malas mengajak bicara Shahin lagi, Alana menggeret kopernya menuju kamar yang telah ia pilih. Di dalam sana, sudah ada ranjang berukuran sedang, pas untuk dirinya sendiri. Jendela dengan pemandangan langsung ke halaman belakang yang masih kosong. Juga lemari tiga pintu terletak tepat tak jauh dari kasur.Melihat situasi kamarnya Alana merasa ada yang kurang. Meja rias tak nampak di sana, padahal untuk Alana meja itu sangat penting sekali untu