Ma, aku cantik, kan?”
“Jelas dong, kamu cantik sekali."Bibir Alana tersenyum samar, matanya sedikit berkaca-kaca. Di balik hari paling membahagiakan dalam hidupnya ini ada kesedihan mendalam tersimpan. Setelah statusnya berganti ia harus mempersiapkan diri bahwa hidupnya berada di ambang pertaruhan.“Kalau aku cantik, lalu kenapa kak Shahin enggan menerima ku, Ma," bisiknya dalam hati.Alana cukup sadar jika cinta tak selamanya tentang keindahan fisik. Ada hati yang saling terpaut demi menguatkan daya tarik satu sama lain. Mengikatnya kuat hingga tak mudah lepas begitu saja. Lalu hal yang akan dihadapi oleh Alana apa namanya?Pernikahan tanpa adanya rasa cinta, atau pernikahan paksa. Entahlah, yang pasti Alana hanya ingin egois kali ini. Sekadar memberi pelajaran pada Shahin, bahwa pernikahan tidak bisa begitu saja dipermainkan.“Yuk, sayang akad segera di mulai," ajak mama lalu menggandeng Alana dan melangkah pelan menuju pelaminan.Sesampainya di sana, di antara dekorasi gedung indah nan mewah. Begitu banyak bunga-bunga segar dan ornamen hiasan beserta lampu berkelap-kelip bertema warna ungu dan gold. Alana terus berjalan, menuju Shahin yang sudah duduk menghadap penghulu.Alana pun menjadi pusat perhatian dari beberapa tamu yang datang. Akan tetapi sedikit mata Alana mengarah pada sang calon suami, laki-laki itu terlihat biasa saja. Apakah di hari istimewa ini pun, Shahin tidak memiliki daya ketertarikan sedikitpun pada Alana.Entahlah! Alana tak mau menerka-nerka jika pada akhirnya hanya akan membuat dirinya sakit kepala.“Calon pengantin wanitanya sudah hadir, bagaimana kalau langsung saja Pak?” tanya pak penghulu pada ayah Alana yang duduk bersisian dengannya dan juga pada kedua saksi yang ada di sana.“Ya, Pak silakan," ujar ayah Alana mempersilakan.Shahin menarik napas dalam-dalam, tidak bisa dipungkiri meski ia tak sepenuhnya setuju dengan pernikahannya sendiri. Namun debar dalam hati tetap saja tak dapat membohongi.“Baiklah, Pak. Silakan saling berjabat tangan dengan ananda Shahin,” titah Pak penghulu tersebut pada keduanya.Shahin menyambut uluran tangan dari calon ayah mertuanya dan dengan bibir sedikit berkomat-kamit, mata ayah Alana masih tertuju pada selembar kertas di mana laki-laki dengan usia senja itu sedang menghapal ijab dan qobul atas nama putrinya.“Bagaimana Pak sudah siap?”Ayah Alana mengangguk mantap, sang pemghulu lantas mengarahkan microphone pada lelaki yang sudah membesarkan anak perempuannya dengan sepenuh hati.“Ya, ananda Shahin Albyanshah saya nikahkan dan saya kawanan putri saya yang bernama Alana Prameswari dengan mas kawin seperangkat alat sholat, emas dua puluh empat gram, uang tunai tujuh juta dua ratus dua puluh dua ribu rupiah di bayar tunai.”“Saya terima nikah dan kawinnya Alana Prameswari dengan mas kawin tersebut tunai," ucap Shahin lancar dengan sekali tarikan napas.“Alhamdulillah,” ujar pak Penghulu lalu mengangkat kedua tangan guna memberikan do'a untuk sepasang pengantin baru tersebut. “Nak, Alana, coba cium tangan suaminya dulu," sambung pak penghulu lagi.Alana sedikit terhenyak mendengar status baru yang kini tersemat untuk Shahin dan juga tentu untuk dirinya. Dengan tangan gemetar, perasaan tak percaya Alana meraih tangan Shahin dan mengecupnya hangat. Di saat itu, Shahin merasakan sesuatu yang lain, seperti ada yang menjerat dirinya dengan begitu hebat, dan ketika Alana kembali mengangkat wajahnya, Shahin bak mendapati pancaran luar biasa dari Alana.“Bisa-bisanya gadis cerewet ini begitu cantik sekali.” Bisik Shahin dalam hati, entah ia baru menyadari rupa jelita Alana atau bagaimana? Shahin tidak mengerti.Tidak terasa, waktu seharian sudah membuat energi Alana dan Shahin nyaris terkuras habis. Berdiri menyambut para tamu yang memberi ucapan selamat untuk mereka seakan tanpa henti. Padahal keduanya tidak mengundang banyak orang, hanya beberapa kerabat dekat saja, tetapi ternyata bisa semelelahkan ini.“Aku capek mau mandi dulu,” kata Alana ketika ia sudah berada di kamar hotel.“Ya sudah sana."“Oke!” Alana pun melenggang ke dalam kamar mandi setelah mencopot habis benda-benda yang menempel di kepalanya. Juga sempat melepas pakaian pengantin dan menggantinya dengan bathrobe atau baju handuk serupa kimono. Di dalam sana, Alana berdiam diri, hati dan pikirannya berperang saling berselisih tentang apa ia akan sanggup atau tidak dengan surat perjanjian itu. Atau pada akhirnya ia akan menyerah dan menjadi janda di usia muda.“Ayolah, Alana ini hari pertama masa sudah memikirkan hal yang tidak-tidak," gerutunya pada diri sendiri.Sementara Shahin, pria itu berbaring di atas ranjang berukuran King size lengkap dengan seprai dan selimut berwarna putih dan juga hiasan sepasang angsa bertabur kelopak bunga mawar merah berbentuk hati tertata rapi di tengah-tengah.Mata laki-laki itu menatap lurus ke langit-langit kamar hotel mereka. Merasakan dengan seksama denyut dari dalam hati masih saja sama sejak beberapa jam lalu sesaat setelah ia sah menjadi suami Alana. Dengan pikiran seolah mendadak lupa pada Raisa, Shahin sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.Tiga puluh menit berlalu, Alana sudah selesai mandi. Aura yang terpancar masih terlihat lain di mata Shahin. Bahkan pria itu sama sekali tidak berkedip ketika melihat Alana keluar dari ruangan yang letaknya tepat di depannya.“Kakak nggak mau mandi?” tanya Alana setelah ia membuka lemari dan menarik koper miliknya. Menyeretnya keluar dan merendahkan tubuhnya dengan posisi berjongkok.“Nggak,” jawab Shahin sekilas.“Kenapa? Memang nggak gerah."“Nggak."“Ih, jawabnya nggak, nggak melulu. Awas ya tidurnya jangan dekat-dekat aku, ingat perjanjian itu,” ujar Alana sambil memilih pakaian mana yang sekiranya cocok untuk malam ini.Mendengar itu, Shahin berasa bak disambar petir. Ia lupa dengan adanya perjanjian bodoh yang ia lakukan sendiri dan mulai detik ini apa yang tertera di sana harus keduanya jalani.Hidup masing-masing, tidak boleh ikut campur satu sama lain, semua tanggung jawab dipenuhi oleh Shahin termasuk uang bulanan dan biaya kuliah Alana. Tidur di kamar terpisah, dan tidak saling bersentuhan satu sama lain, kecuali dalam urusan urgensi atau berada di depan keluarga dan orang tua masing-masing.Lalu masih bisa kah Shahin membatalkan surat konyol itu? Rasa-rasanya tidak, sebab siapa pun yang mengundurkan diri harus membayar ganti rugi tiga kali lipat dari biaya pernikahan, Mas kawin dan segalanya. Bisa-bisa Shahin rugi bandar, dan ia siap dengan itu..Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Alana sudah menguap sejak tadi tapi juga perutnya berbunyi berisik sekali. Sejak sore tadi, ia belum lagi menyempatkan diri untuk makan.Setelah istirahat sebentar tahu-tahu langit sudah menggelap. Dan mungkin saking capeknya, di jam segini ia sudah mengantuk lagi. Benar-benar ya, menggelar acara pernikahan ternyata cukup menguras energi. Dan Shahin, kemana pria itu.Alana sendiri tidak tahu, yang pasti saat ia terbangun tadi laki-laki itu sudah tidak nampak di dalam kamar. Alana pun tidak sepenuhnya peduli, ia sendiri yang membuat surat itu, ia juga yang harus siap menerima konsekuensi jika melanggar sendiri.Sungguh Alana masih kesal dengan keputusan Shahin yang seakan mempermainkan pernikahan mereka. Dan Alana sudah siap menghadapi pertarungan ini, melawan sang suami yang entah kini ada di mana.Tiga hari berlalu, Alana dan Shahin telah pindah ke rumah baru. Hunian di tengah kota, bertempat di salah satu cluster terbaik dengan desain elegan. Meski ya untuk ukuran tidak terlalu luas, tetapi cukup untuk mereka berdua.“Kamarku yang itu, ya,” pinta Alana. Jari telunjuk dengan ujung kuku berwarna pink terang itu mengarah ke salah satu ruang tak jauh dari dapur.“Terserah!” jawab Shahin sekilas.Mata Alana menyipit, dari beberapa hari lalu setiap dirinya meminta sesuatu pasti jawabnya adalah terserah. Dasar, tidak punya pendirian sama sekali.Malas mengajak bicara Shahin lagi, Alana menggeret kopernya menuju kamar yang telah ia pilih. Di dalam sana, sudah ada ranjang berukuran sedang, pas untuk dirinya sendiri. Jendela dengan pemandangan langsung ke halaman belakang yang masih kosong. Juga lemari tiga pintu terletak tepat tak jauh dari kasur.Melihat situasi kamarnya Alana merasa ada yang kurang. Meja rias tak nampak di sana, padahal untuk Alana meja itu sangat penting sekali untu
"Ingat, jangan mengatakan pada siapapun tentang pernikahan kita." Itulah pesan Shahin pagi ini sewaktu pria itu bersiap berangkat ke tempat kerja.Tentu saja, kalimat itu membuat Alana badmood dan merasa bahwa Shahin memang tidak ada niat untuk hidup bersama dirinya.Akan tetapi, sama seperti istilah nasi sudah jadi bubur. Sesuatu yang telah terjadi tak dapat diubah kembali. Ingin mengatakan penyesalan karena mengambil keputusan ini membuat Alana ingin menjambak rambut sang suami sekuatnya.Bagaimana tidak, wanita muda secantik dirinya tak menarik bagi seorang Shahin Albyanshah. Bahkan terang-terangan membuat perjanjian aneh dengan tidak ada namanya sentuhan selama dua tahun pernikahan.Alana sendiri sempat berpikir, apa laki-laki itu sedikit lain?Namun seingat Alana, pria yang sudah menjadi suaminya itu pernah memiliki pacar perempuan beberapa kali. Lantas mengapa?. "Woy, kenapa lo?" Gladis, teman dekat Alana datang mengagetkan dari belakang."Sialan," umpat Alana."Santai, santai,
Alana Prameswari, gadis berusia dua puluh tahun berparas jelita itu tersenyum-senyum sendiri ketika ia secara tak sengaja mendengar obrolan antara ibu dan teman baiknya. Dari balik tembok penghalang, Alana yang hendak keluar pun hanya terdiam di tempat tatkala ada nama seseorang yang ia kagumi tercetus dari obrolan itu.“Iya Jeng, lebih cepat lebih baik, apa lagi kan Jeng Dewi mau pergi ke luar negeri, bagus kalau Alana ada yang jaga,” ucapnya kian serius.Sang lawan bicara pun tersenyum hangat seraya menyeruput teh hangat yang disajikan empunya rumah. “Setuju, Jeng Sis. Saya kan kadang khawatir meninggalkan Alana di sini, kalau kemarin-kemarin kan ada kakaknya jadi saya tidak waswas sama sekali. Sekarang kakaknya sudah menikah, Alana di sini dengan siapa?” jawabnya tak kalah riang.Sementara Alana, yang menjadi pusat pembicaraan semakin semringah dengan sorot mata berbinar-binar. Bagaimana tidak, sudah lama ia mengagumi sosok yang akan dijodohkan dengannya itu, sempat berpikir ratus
“Ma, Mama kan tahu kalau Shah ubah punya cewek.”“Kamu, kamu juga tahu kalau mama nggak setuju sama hubungan kamu dengan perempuan itu."“Ma, ayolah!”“Mama nggak mau mendengar yang namanya bantahan. Kamu, bulan depan menikah dengan Alana."“Astaga!”“Kenapa? Bagus, bukan. Semakin cepat semakin baik."“Shahin menganggap Alana, adik Shah, Ma."“Apa pun alasan kamu, Mama nggak peduli."“Ma!”“Apalagi, sih Shah?”“Kalau Mama menikahkan Alana dengan Shah, hanya karena dia mau ditinggal ke luar negeri sama tante Dewi, kita bisa membiarkan dia tinggal di sini sementara.” Shahin masih mencoba mencari jalan keluar demi menolak perjodohan yang mamanya ungkapkan semalam ketika acara makan malam berlangsung.Bu Siska menggeleng pelan, tatapannya lurus pada sang putra yang sudah seharusnya menikah sejak dua tahun lalu. Namun, malah terjebak dengan ikatan bersama kekasih yang masih menempuh pendidikan S2 di negara luar.“Mama juga akan lama tinggal di Surabaya bulan depan. Kamu tahu kan kondisi ka
Di pagi hari dengan sorot matahari hangat, Alana berdiam diri di atas balkon yang terdapat di luar kamar. Matanya masih sembab sebab menangisi perjodohan dirinya dengan pujaan hati yang mungkin saja batal. Dalam benak, Alana terus saja bertanya pada diri sendiri. Ada apa dan kenapa?Kalau memang tidak mau, ya terserah. Namun, bukan berarti harus melakukan pernikahan bersyarat. Itu benar-benar bodoh, konyol dan terkesan tidak ada keseriusan di dalamnya. Sebagai pasangan yang sah di mata hukum dan agama, bukankah yang namanya pernikahan itu sesuatu yang suci dan kita yang ada di sana harus bisa menjaga kesucian itu. Buka malah membuatnya seperti permainan.Alana sendiri tidak habis pikir, apa alasannya sehingga Shahin yang ia kenal begitu baik itu mendapat ide yang tak patut di tiru seperti itu? Kenapa mendadak tidak dewasa sekali? Namun, dari kerasnya ia mencoba menebak-nebak alasan, ia tak kunjung menemukan jawaban.Angin bertiup sepoi-sepoi, tetapi tidak dipungkiri hawa dingin yang
Tidak bisa dipungkiri jika Shahin benar-benar frustasi. Selepas mendengar persetujuan Alana, kedua orang tuanya benar-benar mempercepat tanggal pernikahan, kini di tambah lagi dengan pacarnya, Raisa yang langsung meminta putus sebab sudah mengetahui jika hubungan keduanya tidak akan bisa berlanjut ke tahap selanjutnya. Sampai-sampai ia tidak bisa berkonsentrasi saat tengah memberikan materi pada mahasiswa/i.Seharusnya Shahin bersikap profesional, tidak mencampur adukan masalah pribadi ke dalam pekerjaan, tetapi jika urusannya sudah mengenai hati. Siapa yang bisa menghalanginya, kan.“Risa, tolong beri aku waktu dua tahun. Saya yakin semua kekonyolan ini akan berakhir."“Dua tahun itu lama, Shah, kamu pikir aku harus apa selama dua tahun itu? Menyaksikan kamu tinggal satu atap bersama wanita pilihan mamamu. Begitu maksud kamu?”“Bukan seperti itu, Sa. Coba dengarkan dulu,sekali saja,” pinta Shahin melalui sambungan telepon. Berusaha memujuk sang kekasih supaya tidak berundur pergi.“
"Ingat, jangan mengatakan pada siapapun tentang pernikahan kita." Itulah pesan Shahin pagi ini sewaktu pria itu bersiap berangkat ke tempat kerja.Tentu saja, kalimat itu membuat Alana badmood dan merasa bahwa Shahin memang tidak ada niat untuk hidup bersama dirinya.Akan tetapi, sama seperti istilah nasi sudah jadi bubur. Sesuatu yang telah terjadi tak dapat diubah kembali. Ingin mengatakan penyesalan karena mengambil keputusan ini membuat Alana ingin menjambak rambut sang suami sekuatnya.Bagaimana tidak, wanita muda secantik dirinya tak menarik bagi seorang Shahin Albyanshah. Bahkan terang-terangan membuat perjanjian aneh dengan tidak ada namanya sentuhan selama dua tahun pernikahan.Alana sendiri sempat berpikir, apa laki-laki itu sedikit lain?Namun seingat Alana, pria yang sudah menjadi suaminya itu pernah memiliki pacar perempuan beberapa kali. Lantas mengapa?. "Woy, kenapa lo?" Gladis, teman dekat Alana datang mengagetkan dari belakang."Sialan," umpat Alana."Santai, santai,
Tiga hari berlalu, Alana dan Shahin telah pindah ke rumah baru. Hunian di tengah kota, bertempat di salah satu cluster terbaik dengan desain elegan. Meski ya untuk ukuran tidak terlalu luas, tetapi cukup untuk mereka berdua.“Kamarku yang itu, ya,” pinta Alana. Jari telunjuk dengan ujung kuku berwarna pink terang itu mengarah ke salah satu ruang tak jauh dari dapur.“Terserah!” jawab Shahin sekilas.Mata Alana menyipit, dari beberapa hari lalu setiap dirinya meminta sesuatu pasti jawabnya adalah terserah. Dasar, tidak punya pendirian sama sekali.Malas mengajak bicara Shahin lagi, Alana menggeret kopernya menuju kamar yang telah ia pilih. Di dalam sana, sudah ada ranjang berukuran sedang, pas untuk dirinya sendiri. Jendela dengan pemandangan langsung ke halaman belakang yang masih kosong. Juga lemari tiga pintu terletak tepat tak jauh dari kasur.Melihat situasi kamarnya Alana merasa ada yang kurang. Meja rias tak nampak di sana, padahal untuk Alana meja itu sangat penting sekali untu
Ma, aku cantik, kan?”“Jelas dong, kamu cantik sekali."Bibir Alana tersenyum samar, matanya sedikit berkaca-kaca. Di balik hari paling membahagiakan dalam hidupnya ini ada kesedihan mendalam tersimpan. Setelah statusnya berganti ia harus mempersiapkan diri bahwa hidupnya berada di ambang pertaruhan.“Kalau aku cantik, lalu kenapa kak Shahin enggan menerima ku, Ma," bisiknya dalam hati.Alana cukup sadar jika cinta tak selamanya tentang keindahan fisik. Ada hati yang saling terpaut demi menguatkan daya tarik satu sama lain. Mengikatnya kuat hingga tak mudah lepas begitu saja. Lalu hal yang akan dihadapi oleh Alana apa namanya?Pernikahan tanpa adanya rasa cinta, atau pernikahan paksa. Entahlah, yang pasti Alana hanya ingin egois kali ini. Sekadar memberi pelajaran pada Shahin, bahwa pernikahan tidak bisa begitu saja dipermainkan.“Yuk, sayang akad segera di mulai," ajak mama lalu menggandeng Alana dan melangkah pelan menuju pelaminan.Sesampainya di sana, di antara dekorasi gedung ind
Tidak bisa dipungkiri jika Shahin benar-benar frustasi. Selepas mendengar persetujuan Alana, kedua orang tuanya benar-benar mempercepat tanggal pernikahan, kini di tambah lagi dengan pacarnya, Raisa yang langsung meminta putus sebab sudah mengetahui jika hubungan keduanya tidak akan bisa berlanjut ke tahap selanjutnya. Sampai-sampai ia tidak bisa berkonsentrasi saat tengah memberikan materi pada mahasiswa/i.Seharusnya Shahin bersikap profesional, tidak mencampur adukan masalah pribadi ke dalam pekerjaan, tetapi jika urusannya sudah mengenai hati. Siapa yang bisa menghalanginya, kan.“Risa, tolong beri aku waktu dua tahun. Saya yakin semua kekonyolan ini akan berakhir."“Dua tahun itu lama, Shah, kamu pikir aku harus apa selama dua tahun itu? Menyaksikan kamu tinggal satu atap bersama wanita pilihan mamamu. Begitu maksud kamu?”“Bukan seperti itu, Sa. Coba dengarkan dulu,sekali saja,” pinta Shahin melalui sambungan telepon. Berusaha memujuk sang kekasih supaya tidak berundur pergi.“
Di pagi hari dengan sorot matahari hangat, Alana berdiam diri di atas balkon yang terdapat di luar kamar. Matanya masih sembab sebab menangisi perjodohan dirinya dengan pujaan hati yang mungkin saja batal. Dalam benak, Alana terus saja bertanya pada diri sendiri. Ada apa dan kenapa?Kalau memang tidak mau, ya terserah. Namun, bukan berarti harus melakukan pernikahan bersyarat. Itu benar-benar bodoh, konyol dan terkesan tidak ada keseriusan di dalamnya. Sebagai pasangan yang sah di mata hukum dan agama, bukankah yang namanya pernikahan itu sesuatu yang suci dan kita yang ada di sana harus bisa menjaga kesucian itu. Buka malah membuatnya seperti permainan.Alana sendiri tidak habis pikir, apa alasannya sehingga Shahin yang ia kenal begitu baik itu mendapat ide yang tak patut di tiru seperti itu? Kenapa mendadak tidak dewasa sekali? Namun, dari kerasnya ia mencoba menebak-nebak alasan, ia tak kunjung menemukan jawaban.Angin bertiup sepoi-sepoi, tetapi tidak dipungkiri hawa dingin yang
“Ma, Mama kan tahu kalau Shah ubah punya cewek.”“Kamu, kamu juga tahu kalau mama nggak setuju sama hubungan kamu dengan perempuan itu."“Ma, ayolah!”“Mama nggak mau mendengar yang namanya bantahan. Kamu, bulan depan menikah dengan Alana."“Astaga!”“Kenapa? Bagus, bukan. Semakin cepat semakin baik."“Shahin menganggap Alana, adik Shah, Ma."“Apa pun alasan kamu, Mama nggak peduli."“Ma!”“Apalagi, sih Shah?”“Kalau Mama menikahkan Alana dengan Shah, hanya karena dia mau ditinggal ke luar negeri sama tante Dewi, kita bisa membiarkan dia tinggal di sini sementara.” Shahin masih mencoba mencari jalan keluar demi menolak perjodohan yang mamanya ungkapkan semalam ketika acara makan malam berlangsung.Bu Siska menggeleng pelan, tatapannya lurus pada sang putra yang sudah seharusnya menikah sejak dua tahun lalu. Namun, malah terjebak dengan ikatan bersama kekasih yang masih menempuh pendidikan S2 di negara luar.“Mama juga akan lama tinggal di Surabaya bulan depan. Kamu tahu kan kondisi ka
Alana Prameswari, gadis berusia dua puluh tahun berparas jelita itu tersenyum-senyum sendiri ketika ia secara tak sengaja mendengar obrolan antara ibu dan teman baiknya. Dari balik tembok penghalang, Alana yang hendak keluar pun hanya terdiam di tempat tatkala ada nama seseorang yang ia kagumi tercetus dari obrolan itu.“Iya Jeng, lebih cepat lebih baik, apa lagi kan Jeng Dewi mau pergi ke luar negeri, bagus kalau Alana ada yang jaga,” ucapnya kian serius.Sang lawan bicara pun tersenyum hangat seraya menyeruput teh hangat yang disajikan empunya rumah. “Setuju, Jeng Sis. Saya kan kadang khawatir meninggalkan Alana di sini, kalau kemarin-kemarin kan ada kakaknya jadi saya tidak waswas sama sekali. Sekarang kakaknya sudah menikah, Alana di sini dengan siapa?” jawabnya tak kalah riang.Sementara Alana, yang menjadi pusat pembicaraan semakin semringah dengan sorot mata berbinar-binar. Bagaimana tidak, sudah lama ia mengagumi sosok yang akan dijodohkan dengannya itu, sempat berpikir ratus