Tidak bisa dipungkiri jika Shahin benar-benar frustasi. Selepas mendengar persetujuan Alana, kedua orang tuanya benar-benar mempercepat tanggal pernikahan, kini di tambah lagi dengan pacarnya, Raisa yang langsung meminta putus sebab sudah mengetahui jika hubungan keduanya tidak akan bisa berlanjut ke tahap selanjutnya. Sampai-sampai ia tidak bisa berkonsentrasi saat tengah memberikan materi pada mahasiswa/i.
Seharusnya Shahin bersikap profesional, tidak mencampur adukan masalah pribadi ke dalam pekerjaan, tetapi jika urusannya sudah mengenai hati. Siapa yang bisa menghalanginya, kan.“Risa, tolong beri aku waktu dua tahun. Saya yakin semua kekonyolan ini akan berakhir."“Dua tahun itu lama, Shah, kamu pikir aku harus apa selama dua tahun itu? Menyaksikan kamu tinggal satu atap bersama wanita pilihan mamamu. Begitu maksud kamu?”“Bukan seperti itu, Sa. Coba dengarkan dulu,sekali saja,” pinta Shahin melalui sambungan telepon. Berusaha memujuk sang kekasih supaya tidak berundur pergi.“Apa memangnya?”“Aku sudah membuat perjanjian dengan Alana."“Oh, jadi nama gadis itu Alana?” potong Raisa cepat.“Sa, dengar dulu,” tegur laki-laki itu.“Oke, terusin."“Aku dan dia sudah melakukan perjanjian. Kami tidak akan saling bersentuhan selama dua tahun. Kalau kami sampai melakukan itu, maka di antara kami akan melakukan putusan cerai,” papar Shahin pada Raisa.“Apa?”“Ya, seperti itu dan aku yakin pernikahan ini nggak akan bertahan lama."“Shah. Kamu laki-laki, mana ada yang bisa melakukan itu selama bertahun-tahun sedangkan ikatan di antara kalian mengharuskan itu. Oke, nggak usah bawa-bawa pernikahan dulu. Di sini, kebanyakan orang cowok-cewek berbagi kamar, mereka bukan siapa-siapa awalnya, tapi buktinya tetap kebobolan juga. Lalu atas dasar apa aku harus percaya sama janji kamu," keluh Raisa.“Sa, aku hanya mau sama kamu. Lagi pula kan, udah aku bilang, sekali sentuh kita sepakat buat pisah.”“Shah."“Please Sa. Aku bersedia menunggu kamu selama ini. Apa karena hal ini pun nggak mau berkorban untuk aku?”Terdengar helaan napas Raisa dari seberang sana. Wanita itu turut bingung dan tidak terima akan berita rencana pernikahan kekasihnya bersama gadis lain. Dan, entah apa ia harus senang atau bagaimana ketika tahu sikap macam apa yang sedang Shahin tunjukkan sekarang. Pria itu nampak memohon supaya tidak meninggalkan dirinya, Hingga nekat membuat perjanjian gila semacam itu.“Sa, kamu masih di sana, kan?” lirih Shahin.“Apa jaminannya kalau kamu sampai ingkar?”“Aku janji nggak akan ingkar, Sa.”“Shah."“Sa, please!”“Oke, aku setuju tapi aku juga ada syarat buat kamu."“Apa?”“Dua bulan lagi libur semester, aku akan pulang dan kamu harus menikahiku.”.Shahin belum menjawab syarat yang diajukan oleh Raisa. Ia bisa-bisa mati berdiri kalau ketahuan menikahi Raisa. Sebab bagaimana pun juga restu orang tua adalah hal paling utama di atas segalanya. Tak ayal, ini membuat pikiran Shahin semakin pusing tujuh keliling di buatnya.Sedang menghadapi dirinya sendiri, suara bu Siska menginterupsi sang putra dengan penampilan anggunnya, Bu Siska memerintahkan supaya anak laki-lakinya itu mengantar Alana untuk fiting baju pengantin yang akan digelar minggu depan. Meski awalnya tidak mau dengan melontarkan berbagai alasan, tetapi pada akhirnya lelaki itu mau menjemput Alana dan mengantarnya ke boutique yang sudah di pilih sang ibu.Setibanya di tempat tujuan, dua orang menyambut kedatangan Alana dan Shahin dengan hangat. Lalu Alana mengatakan bahwa ia sudah membuat janji dengan pemilik boutique terkenal itu, sampai tidak berapa lama ia pun diperkirakan masuk ke dalam.“Gimana, Kak. Bagusan yang mama?” Ini sudah gaun pernikahan ke empat yang Alana coba. Gadis itu berjalan secara hati-hati beberapa langkah lalu memutar tubuhnya sendiri do depan Shahin yang memerhatikan Alana tanpa minat.“Terserah!” kata pria itu sekilas.Alana cemberut, ia benar-benar kesal akan sikap yang Shahin tunjukkan. Semakin banyak berubah hanya karena adanya perjodohan ini.“Oke kalau gitu,” ucap Alana nampak tidak peduli terhadap Shahin sebab respon pria itu cukup menyebalkan. “Mbak, tolong simpan ke empat gaun ini dan antar ke rumah,” tukas Alana pada pekerja boutique ternama yang ditunjuk langsung oleh ibu nya Shahin.Mendengar Alana mengatakan bahwa semua gaun akan ia pesan, Shahin pun bangun dari duduknya. Menghampiri Alana dengan sorot mata diliputi kekesalam.“Kamu jangan gila, Al. Acara itu hanya sehari kenapa kamu pesan sampai sebanyak itu?” protes Shahin tak terima.“Kan tadi kamu bilang terserah. Jadi ya udah, ngapain marah?” sahut Alana tenang namun mengatakan itu tentu saja bukan tanpa maksud apa-apa. Jelas, Alana ingin membuat Shahin kapok. Pria itu tidak boleh terus-terusan menunjukkan sikap dingin padanya, makanya Alana akan terus menimpali setiap perilaku Shahin dengan sesuatu yang sama juga.Selesai dengan urusan pakaian pengantin, Alana mengajak Shahin makan siang bersama di rumahnya. Ia bilang, sebagai tanda ucapan terima kasih sebab Shahin cukup menuruti semua perintah ibunya meski ya tidak bisa Alana pungkiri jika Shahin yang sekarang sangat berbanding terbalik dengan Shahin yang ia kenal dulu.“Aku sudah meminta Bibi masak makanan enak,” ucap Alana ceria.“Nggak bisa, saya masih ada urusan di luar,” tolak Shahin.“Kok gitu?” Alana mendadak sedih.“Al, dengar nggak semua yang kamu mau harus saya turuti. Seharusnya saya bersedia menerima pernikahan ini pun sudah cukup. Tidak perlu menambahkan hal-hal konyol lainnya lagi," desis Shahin ketus lalu tanpa permisi ia melangkah menjauh pergi setelah mmengantar Alana.Sementara itu, Alana menyimpan kedua tangannya ke dalam dada. Matanya masih fokus pada kendaraan Shahin yang di detik selanjutnya sudah pun hilang di antara ramainya jalanan. Gadis itu tersenyum miring sebelum memasuki rumahnya yang megah.“Kalau kita sudah menikah, akan aku pastikan kamu menyesal Kak.” Gumamnya penuh percaya diri.Sesampainya di rumah, raut muka Shahin nampak kusut bahkan tak ada senyuman terpnncar dari wajahnya.Laki-laki itu masih kesal dengan Alana yang ternyata memiliki nyali cukup besar hanya untuk melawan dirinya. Padahal gadis itu tampak kecil dari postur tubuhnya, jika Shahin bandingkan jelas sangat jauh sekali dengan Raisa. Wanita yang menjadi kekasihnya itu memiliki bodo langsing, berwajah blasteran dengan bibir tipis, mata bulat serta dagu yang sedikit terbelah.Pokoknya, buat Shahin tidak ada perempuan di dunia ini yang lebih cantik dari Raisa. Kendati demikian bukan berarti Alana tidak memiliki visual menarik, gadis itu juga cantik hanya saja ia tidak memiliki rasa untuknya. Lalu bagaimana bisa pernikahan bisa berjalan baik tanpa adanya cinta di dalamnya. Itu akan sangat tidak baik dan hanya buang-buang waktu.Ma, aku cantik, kan?”“Jelas dong, kamu cantik sekali."Bibir Alana tersenyum samar, matanya sedikit berkaca-kaca. Di balik hari paling membahagiakan dalam hidupnya ini ada kesedihan mendalam tersimpan. Setelah statusnya berganti ia harus mempersiapkan diri bahwa hidupnya berada di ambang pertaruhan.“Kalau aku cantik, lalu kenapa kak Shahin enggan menerima ku, Ma," bisiknya dalam hati.Alana cukup sadar jika cinta tak selamanya tentang keindahan fisik. Ada hati yang saling terpaut demi menguatkan daya tarik satu sama lain. Mengikatnya kuat hingga tak mudah lepas begitu saja. Lalu hal yang akan dihadapi oleh Alana apa namanya?Pernikahan tanpa adanya rasa cinta, atau pernikahan paksa. Entahlah, yang pasti Alana hanya ingin egois kali ini. Sekadar memberi pelajaran pada Shahin, bahwa pernikahan tidak bisa begitu saja dipermainkan.“Yuk, sayang akad segera di mulai," ajak mama lalu menggandeng Alana dan melangkah pelan menuju pelaminan.Sesampainya di sana, di antara dekorasi gedung ind
Tiga hari berlalu, Alana dan Shahin telah pindah ke rumah baru. Hunian di tengah kota, bertempat di salah satu cluster terbaik dengan desain elegan. Meski ya untuk ukuran tidak terlalu luas, tetapi cukup untuk mereka berdua.“Kamarku yang itu, ya,” pinta Alana. Jari telunjuk dengan ujung kuku berwarna pink terang itu mengarah ke salah satu ruang tak jauh dari dapur.“Terserah!” jawab Shahin sekilas.Mata Alana menyipit, dari beberapa hari lalu setiap dirinya meminta sesuatu pasti jawabnya adalah terserah. Dasar, tidak punya pendirian sama sekali.Malas mengajak bicara Shahin lagi, Alana menggeret kopernya menuju kamar yang telah ia pilih. Di dalam sana, sudah ada ranjang berukuran sedang, pas untuk dirinya sendiri. Jendela dengan pemandangan langsung ke halaman belakang yang masih kosong. Juga lemari tiga pintu terletak tepat tak jauh dari kasur.Melihat situasi kamarnya Alana merasa ada yang kurang. Meja rias tak nampak di sana, padahal untuk Alana meja itu sangat penting sekali untu
"Ingat, jangan mengatakan pada siapapun tentang pernikahan kita." Itulah pesan Shahin pagi ini sewaktu pria itu bersiap berangkat ke tempat kerja.Tentu saja, kalimat itu membuat Alana badmood dan merasa bahwa Shahin memang tidak ada niat untuk hidup bersama dirinya.Akan tetapi, sama seperti istilah nasi sudah jadi bubur. Sesuatu yang telah terjadi tak dapat diubah kembali. Ingin mengatakan penyesalan karena mengambil keputusan ini membuat Alana ingin menjambak rambut sang suami sekuatnya.Bagaimana tidak, wanita muda secantik dirinya tak menarik bagi seorang Shahin Albyanshah. Bahkan terang-terangan membuat perjanjian aneh dengan tidak ada namanya sentuhan selama dua tahun pernikahan.Alana sendiri sempat berpikir, apa laki-laki itu sedikit lain?Namun seingat Alana, pria yang sudah menjadi suaminya itu pernah memiliki pacar perempuan beberapa kali. Lantas mengapa?. "Woy, kenapa lo?" Gladis, teman dekat Alana datang mengagetkan dari belakang."Sialan," umpat Alana."Santai, santai,
Alana Prameswari, gadis berusia dua puluh tahun berparas jelita itu tersenyum-senyum sendiri ketika ia secara tak sengaja mendengar obrolan antara ibu dan teman baiknya. Dari balik tembok penghalang, Alana yang hendak keluar pun hanya terdiam di tempat tatkala ada nama seseorang yang ia kagumi tercetus dari obrolan itu.“Iya Jeng, lebih cepat lebih baik, apa lagi kan Jeng Dewi mau pergi ke luar negeri, bagus kalau Alana ada yang jaga,” ucapnya kian serius.Sang lawan bicara pun tersenyum hangat seraya menyeruput teh hangat yang disajikan empunya rumah. “Setuju, Jeng Sis. Saya kan kadang khawatir meninggalkan Alana di sini, kalau kemarin-kemarin kan ada kakaknya jadi saya tidak waswas sama sekali. Sekarang kakaknya sudah menikah, Alana di sini dengan siapa?” jawabnya tak kalah riang.Sementara Alana, yang menjadi pusat pembicaraan semakin semringah dengan sorot mata berbinar-binar. Bagaimana tidak, sudah lama ia mengagumi sosok yang akan dijodohkan dengannya itu, sempat berpikir ratus
“Ma, Mama kan tahu kalau Shah ubah punya cewek.”“Kamu, kamu juga tahu kalau mama nggak setuju sama hubungan kamu dengan perempuan itu."“Ma, ayolah!”“Mama nggak mau mendengar yang namanya bantahan. Kamu, bulan depan menikah dengan Alana."“Astaga!”“Kenapa? Bagus, bukan. Semakin cepat semakin baik."“Shahin menganggap Alana, adik Shah, Ma."“Apa pun alasan kamu, Mama nggak peduli."“Ma!”“Apalagi, sih Shah?”“Kalau Mama menikahkan Alana dengan Shah, hanya karena dia mau ditinggal ke luar negeri sama tante Dewi, kita bisa membiarkan dia tinggal di sini sementara.” Shahin masih mencoba mencari jalan keluar demi menolak perjodohan yang mamanya ungkapkan semalam ketika acara makan malam berlangsung.Bu Siska menggeleng pelan, tatapannya lurus pada sang putra yang sudah seharusnya menikah sejak dua tahun lalu. Namun, malah terjebak dengan ikatan bersama kekasih yang masih menempuh pendidikan S2 di negara luar.“Mama juga akan lama tinggal di Surabaya bulan depan. Kamu tahu kan kondisi ka
Di pagi hari dengan sorot matahari hangat, Alana berdiam diri di atas balkon yang terdapat di luar kamar. Matanya masih sembab sebab menangisi perjodohan dirinya dengan pujaan hati yang mungkin saja batal. Dalam benak, Alana terus saja bertanya pada diri sendiri. Ada apa dan kenapa?Kalau memang tidak mau, ya terserah. Namun, bukan berarti harus melakukan pernikahan bersyarat. Itu benar-benar bodoh, konyol dan terkesan tidak ada keseriusan di dalamnya. Sebagai pasangan yang sah di mata hukum dan agama, bukankah yang namanya pernikahan itu sesuatu yang suci dan kita yang ada di sana harus bisa menjaga kesucian itu. Buka malah membuatnya seperti permainan.Alana sendiri tidak habis pikir, apa alasannya sehingga Shahin yang ia kenal begitu baik itu mendapat ide yang tak patut di tiru seperti itu? Kenapa mendadak tidak dewasa sekali? Namun, dari kerasnya ia mencoba menebak-nebak alasan, ia tak kunjung menemukan jawaban.Angin bertiup sepoi-sepoi, tetapi tidak dipungkiri hawa dingin yang
"Ingat, jangan mengatakan pada siapapun tentang pernikahan kita." Itulah pesan Shahin pagi ini sewaktu pria itu bersiap berangkat ke tempat kerja.Tentu saja, kalimat itu membuat Alana badmood dan merasa bahwa Shahin memang tidak ada niat untuk hidup bersama dirinya.Akan tetapi, sama seperti istilah nasi sudah jadi bubur. Sesuatu yang telah terjadi tak dapat diubah kembali. Ingin mengatakan penyesalan karena mengambil keputusan ini membuat Alana ingin menjambak rambut sang suami sekuatnya.Bagaimana tidak, wanita muda secantik dirinya tak menarik bagi seorang Shahin Albyanshah. Bahkan terang-terangan membuat perjanjian aneh dengan tidak ada namanya sentuhan selama dua tahun pernikahan.Alana sendiri sempat berpikir, apa laki-laki itu sedikit lain?Namun seingat Alana, pria yang sudah menjadi suaminya itu pernah memiliki pacar perempuan beberapa kali. Lantas mengapa?. "Woy, kenapa lo?" Gladis, teman dekat Alana datang mengagetkan dari belakang."Sialan," umpat Alana."Santai, santai,
Tiga hari berlalu, Alana dan Shahin telah pindah ke rumah baru. Hunian di tengah kota, bertempat di salah satu cluster terbaik dengan desain elegan. Meski ya untuk ukuran tidak terlalu luas, tetapi cukup untuk mereka berdua.“Kamarku yang itu, ya,” pinta Alana. Jari telunjuk dengan ujung kuku berwarna pink terang itu mengarah ke salah satu ruang tak jauh dari dapur.“Terserah!” jawab Shahin sekilas.Mata Alana menyipit, dari beberapa hari lalu setiap dirinya meminta sesuatu pasti jawabnya adalah terserah. Dasar, tidak punya pendirian sama sekali.Malas mengajak bicara Shahin lagi, Alana menggeret kopernya menuju kamar yang telah ia pilih. Di dalam sana, sudah ada ranjang berukuran sedang, pas untuk dirinya sendiri. Jendela dengan pemandangan langsung ke halaman belakang yang masih kosong. Juga lemari tiga pintu terletak tepat tak jauh dari kasur.Melihat situasi kamarnya Alana merasa ada yang kurang. Meja rias tak nampak di sana, padahal untuk Alana meja itu sangat penting sekali untu
Ma, aku cantik, kan?”“Jelas dong, kamu cantik sekali."Bibir Alana tersenyum samar, matanya sedikit berkaca-kaca. Di balik hari paling membahagiakan dalam hidupnya ini ada kesedihan mendalam tersimpan. Setelah statusnya berganti ia harus mempersiapkan diri bahwa hidupnya berada di ambang pertaruhan.“Kalau aku cantik, lalu kenapa kak Shahin enggan menerima ku, Ma," bisiknya dalam hati.Alana cukup sadar jika cinta tak selamanya tentang keindahan fisik. Ada hati yang saling terpaut demi menguatkan daya tarik satu sama lain. Mengikatnya kuat hingga tak mudah lepas begitu saja. Lalu hal yang akan dihadapi oleh Alana apa namanya?Pernikahan tanpa adanya rasa cinta, atau pernikahan paksa. Entahlah, yang pasti Alana hanya ingin egois kali ini. Sekadar memberi pelajaran pada Shahin, bahwa pernikahan tidak bisa begitu saja dipermainkan.“Yuk, sayang akad segera di mulai," ajak mama lalu menggandeng Alana dan melangkah pelan menuju pelaminan.Sesampainya di sana, di antara dekorasi gedung ind
Tidak bisa dipungkiri jika Shahin benar-benar frustasi. Selepas mendengar persetujuan Alana, kedua orang tuanya benar-benar mempercepat tanggal pernikahan, kini di tambah lagi dengan pacarnya, Raisa yang langsung meminta putus sebab sudah mengetahui jika hubungan keduanya tidak akan bisa berlanjut ke tahap selanjutnya. Sampai-sampai ia tidak bisa berkonsentrasi saat tengah memberikan materi pada mahasiswa/i.Seharusnya Shahin bersikap profesional, tidak mencampur adukan masalah pribadi ke dalam pekerjaan, tetapi jika urusannya sudah mengenai hati. Siapa yang bisa menghalanginya, kan.“Risa, tolong beri aku waktu dua tahun. Saya yakin semua kekonyolan ini akan berakhir."“Dua tahun itu lama, Shah, kamu pikir aku harus apa selama dua tahun itu? Menyaksikan kamu tinggal satu atap bersama wanita pilihan mamamu. Begitu maksud kamu?”“Bukan seperti itu, Sa. Coba dengarkan dulu,sekali saja,” pinta Shahin melalui sambungan telepon. Berusaha memujuk sang kekasih supaya tidak berundur pergi.“
Di pagi hari dengan sorot matahari hangat, Alana berdiam diri di atas balkon yang terdapat di luar kamar. Matanya masih sembab sebab menangisi perjodohan dirinya dengan pujaan hati yang mungkin saja batal. Dalam benak, Alana terus saja bertanya pada diri sendiri. Ada apa dan kenapa?Kalau memang tidak mau, ya terserah. Namun, bukan berarti harus melakukan pernikahan bersyarat. Itu benar-benar bodoh, konyol dan terkesan tidak ada keseriusan di dalamnya. Sebagai pasangan yang sah di mata hukum dan agama, bukankah yang namanya pernikahan itu sesuatu yang suci dan kita yang ada di sana harus bisa menjaga kesucian itu. Buka malah membuatnya seperti permainan.Alana sendiri tidak habis pikir, apa alasannya sehingga Shahin yang ia kenal begitu baik itu mendapat ide yang tak patut di tiru seperti itu? Kenapa mendadak tidak dewasa sekali? Namun, dari kerasnya ia mencoba menebak-nebak alasan, ia tak kunjung menemukan jawaban.Angin bertiup sepoi-sepoi, tetapi tidak dipungkiri hawa dingin yang
“Ma, Mama kan tahu kalau Shah ubah punya cewek.”“Kamu, kamu juga tahu kalau mama nggak setuju sama hubungan kamu dengan perempuan itu."“Ma, ayolah!”“Mama nggak mau mendengar yang namanya bantahan. Kamu, bulan depan menikah dengan Alana."“Astaga!”“Kenapa? Bagus, bukan. Semakin cepat semakin baik."“Shahin menganggap Alana, adik Shah, Ma."“Apa pun alasan kamu, Mama nggak peduli."“Ma!”“Apalagi, sih Shah?”“Kalau Mama menikahkan Alana dengan Shah, hanya karena dia mau ditinggal ke luar negeri sama tante Dewi, kita bisa membiarkan dia tinggal di sini sementara.” Shahin masih mencoba mencari jalan keluar demi menolak perjodohan yang mamanya ungkapkan semalam ketika acara makan malam berlangsung.Bu Siska menggeleng pelan, tatapannya lurus pada sang putra yang sudah seharusnya menikah sejak dua tahun lalu. Namun, malah terjebak dengan ikatan bersama kekasih yang masih menempuh pendidikan S2 di negara luar.“Mama juga akan lama tinggal di Surabaya bulan depan. Kamu tahu kan kondisi ka
Alana Prameswari, gadis berusia dua puluh tahun berparas jelita itu tersenyum-senyum sendiri ketika ia secara tak sengaja mendengar obrolan antara ibu dan teman baiknya. Dari balik tembok penghalang, Alana yang hendak keluar pun hanya terdiam di tempat tatkala ada nama seseorang yang ia kagumi tercetus dari obrolan itu.“Iya Jeng, lebih cepat lebih baik, apa lagi kan Jeng Dewi mau pergi ke luar negeri, bagus kalau Alana ada yang jaga,” ucapnya kian serius.Sang lawan bicara pun tersenyum hangat seraya menyeruput teh hangat yang disajikan empunya rumah. “Setuju, Jeng Sis. Saya kan kadang khawatir meninggalkan Alana di sini, kalau kemarin-kemarin kan ada kakaknya jadi saya tidak waswas sama sekali. Sekarang kakaknya sudah menikah, Alana di sini dengan siapa?” jawabnya tak kalah riang.Sementara Alana, yang menjadi pusat pembicaraan semakin semringah dengan sorot mata berbinar-binar. Bagaimana tidak, sudah lama ia mengagumi sosok yang akan dijodohkan dengannya itu, sempat berpikir ratus