Beranda / Horor / PEREMPUAN PEMINUM DARAH / Bab 2 - Tak Baik Menolak Rejeki

Share

Bab 2 - Tak Baik Menolak Rejeki

Penulis: Nayandra78
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-15 17:01:26

Perlahan wujud Bidan Hanum menampakan wajah aslinya, lidahnya mulai menjulur hingga menyentuh bagian perutnya. Kedua bola matanya melotot penuh nafsu mengarah pada jalan lahir wanita itu, bau anyir tiba-tiba menyeruak memenuhi ruangan tersebut. Rambut sang bidan yang semula rapi tergelung, kini tergerai dengan warna putih menjuntai manyapu lantai. Kuku-kukunya yang runcing juga gigi yang mulai memperlihatkan taring tajamnya. 

Langkah demi langkah makhluk itu semakin mendekati wanta yang kini terlihat sangat ketakutan. Keringat sebesar biji jagung mulai membasahi sekujur tubuhnya, ingin rasanya wanita itu berteriak sekencang mungkin. Namun mulutnya serasa terkatup tak mampu bergerak, meskipun berkali-kali wanita itu mencobanya. Karena tak sanggup melihat pemandangan yang dilihatnya, wanita itu pun akhirnya tak sadarkan diri. Terdengar suara tawa bahagia yang membuat merinding siapapun yang mendengarnya.

“Hihihi ….”

*****

Saat pagi hari menjelang, kehidupan di dusun Warnajati terlihat sangat tenang. Sama sekali tak menampakan keramaian peristiwa semalam yang cukup membuat merinding bagi yang mengalaminya. Namun semua terlihat berjalan seperti biasanya, bahkan kini pria paruh baya yang semalam menjemput Bidan Hanum, tengah memasuki pekarangan rumah wanita yang dianggapnya berjasa bagi keluarganya.

“Selamat pagi, Bu Bidan,” sapa pria itu dengan senyum bahagianya.

Wanita yang disapa pun merasa terkejut, karena saat itu dirinya tengah menyapu pekarangan depan rumahnya.

“Oh, eh, Pak Darmo. Selamat pagi, mau ke mana, Pak? Pagi-pagi sudah membawa hasil kebun sebanyak itu,” jawab ramah sang bidan dengan senyum hangatnya.

“Anu, Bu Bidan, saya memang sengaja datang ke sini pagi-pagi. Selain ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan Bu Bidan semalam, juga mau mengantarkan hasil kebun yang kami tanam. Semoga Bu Bidan, berkenan menerimanya,” jawab Pak Darmo dengan sikapnya yang sopan, wajahnya berseri menandakan jika lelaki itu tengah berbahagia saat ini.

Sejenak wanita itu tertergun mendengar penuturan pria paruh baya di hadapannya, ia berusaha mengingat kejadian semalam.

‘Rasanya semalam aku tidak kemana-mana, setelah Maghrib, aku tidak melakukan pekerjaan apapun. Apalagi membantu persalinan,’ ucapnya dalam hati dengan ekpresi tak mengerti.

Namun karena tak tega melihat pria itu telah susah payah membawakan banyak aneka hasil kebun untuknya, Bidan Hanum menerimanya meski dengan perasaan bingung.

“Ooh, iya, Pak Darmo, sama-sama. Selamat atas kelahiran cucunya ya, semoga tumbuh jadi anak yang sholeh. Ini semua saya terima dengan senang hati, sekali lagi terima kasih banyak sudah repot-repot,” tutur Bidan Hanum lembut.

Dengan hati riang, pria itu menurunkan semua yang dibawanya dari atas sepeda ontel miliknya ke teras rumah. Sedikit pun tak ada rasa lelah terpancar dari wajah tuanya, hanya raut bahagia karena di usianya kini lengkap sudah kehidupannya sebagai orang tua. Dirinya kini telah resmi menyandang status sebagai seorang kakek dari bayi yang semalam baru saja dilahirkan putrinya. Hingga pria itu akan melakukan apapun sebagai ungkapan terima kasihnya pada wanita yang sudah membantunya.

Setelah selesai menurunkan semua bawaannya, pria itu pun berpamitan karena khawatir meninggalkan putrinya seorang diri.

“Memang suaminya belum pulang, Pak?” tanya bidan itu ingin tahu.

“Mungkin baru akhir pekan ini, Bu Bidan. Maklum lah, menantuku itu terlalu sibuk mencari uang. Padahal saya sudah memintanya untuk tetap tinggal menemani istrinya di rumah, tapi katanya sayang waktu terbuang percuma. Karena tidak tahu kapan bayinya lahir, gak tahunya malah semalam si utun keluar. Kalau tahu seperti itu, mungkin dia pun akan menunda kepergiannya, Bu,” jawab Pak Darmo. Meski pun dari nada bicaranya mengandung kesedihan dan kekecewaan pada sosok menantunya, akan tepai tak mengurangi binary bahagia di wajahnya. 

“Semoga menantu Pak Darmo, sepat pulang, ya. Dia pasti akan merasa sangat bahagia, ketika pulang mendapati kejutan yang selama ini dinantikan,” ucap Hanum dengan senyumnya.

“Semoga, Bu Bidan. Kalau begitu saya pamit, permisi.” Pria tua itu pun berlalu meninggalkan Hanum dengan pertanyaan yang masih belum ditemukan jawabannya.

Wanita itu bergegas duduk di kursi teras, seraya pikirannya kembali mengingat kegiatannya semalam. 

“Semalam setelah Maghrib, rasanya aku tidak ada panggilan Partus, tapi kenapa pagi ini Pak Darmo mengucapkan terima kasih dengan membawa hantaran segini banyaknya?” tanya wanita itu pada dirinya sendiri.

“Apa jangan-jangan Pak Darmo, salah kirim? Mungkin Bidan, lain, yang membantu putrinya melairkan. Tapi … kalau kuantarkan kembali ke rumahnya, tentu dia akan merasa kecewa. Lalu, kalau ternyata salah kirim gimana?” tanyanya lagi.

“Ya biarkan saja, Bu. Namanya juga rejeki, gak baik kalau di tolak,” kata Gunawan, suami Hanum, yang tiba-tiba muncul dan ikut duduk bersamanya.

“Ishh, Bapak, ini loh. Aku tuh lagi bingung, Pak. Semalam perasaan gak ada yang meminta bantuanku untuk bersalin, tapi pagi ini Pak Darmo datang dengan membawa semua ini. Katanya sebagai ucapan terima kasih, karena sudah menolong putrinya melahirkan . Bukankah kita habis isya’ langung tidur, Pak? Kok ….” Hanum tidak melanjutkan ucapannya. Entah mengapa perasaannya mendadak tidak enak, bulu kuduknya meremang seketika.

“Kenapa, Bu?” tanya sang suami padanya, melihat perubahan mimik di wajah sang istri yang tiba-tiba seperti ketakutan.

“Enggak Pak, apa jangan-jangan semalam, anaknya Pak Darmo, dibantu sama orang halus ya?” ucap Hanum seraya matanya celingukan ke sana-kemari dengan gelisah.

“Huush! Ngawur aja. Mana ada yang seperti itu, kalau pun ada pastinya salah satu itu akan celaka. Atau mungkin keduanya, ini kan enggak? Jangan bepikiran macam-macam, Bu. Masalah ini, biar kita simpan saja, takutnya Pak Darmo atau putrinya nanti dengar, malah jadi ribut nanti,” kata Gunawan mengingatkan istrinya. Seketika Hanum pun terdiam dengan perasaan masih belum plong, karena merasa teka-teki ini belum terungkap. Siapa yang menangani persalinan semalam di rumah Pak Darmo.  

Sementara Gunawan setelah berbicara sejenak bersama sang istri, lelaki berbadan tegap dan berwajah cukup tampan itu segera masuk ke dalam rumah. Suami dari Hanum itu bersiap untuk pergi mengajar di sebuah sekolah menengah kejuruan milik swasta yang berada cukup jauh dari rumahnya. Sehingga harus berangkat sedikit lebih awal agar tidak kesiangan, karena menggunakan sepeda untuk bisa sampai ke tempatnya bekerja.

Menyadari jika suaminya harus segera berangkat menunaikan kewajibannya, Hanum segera beranjak menuju kamarnya untuk membantu suaminya menyiapkan semua keperluannya. Setelah semuanya siap, barulah Gunawan diantar istrinya menuju depan rumah. Lelaki bertubuh tegap yang sudah berpenampilan rapi dan wangi, bergegas menaiki sepedanya kemudian di kayuhnya perlahan menuju sekolah tempatnya mengabdi.

Sepeninggal sang suami tercinta, Hanum pun bermaksud hendak masuk ke dalam rumahnya. Akan tetapi sebuah sapaan dari seorang wanita yang dikenalnya, menghentikan langkah wanita itu seketika.

“Selamat pagi, Bu Hanum.”

“Kamu ….”

Bab terkait

  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 3 - Persyaratan Hanum

    “Selamat pagi, Laras. Wah … kamu terlihat semakin cantik saja, nih. Perawatan di salon mana? Mau dong, jadi bening kaya kamu,” seloroh Hanum yang terkesima melihat kecantikan asistennya yang semakin hari semakin terlihat cantik. “Ah, Bu Hanum, bisa aja. Saya gak pernah masuk nyalon, Bu. Eman uangnya, mending buat biaya yang lainnya,” jawab Laras dengan wajah sendu.Seketika perasaan bersalah menyeruak dalam hati Hanum, melihat perubahan ekspresi wajah asistennya. Karena wanita itu tahu betul bagaimana pahitnya kehidupan wanita yang berhadapan dengannya saat ini. “Ah, maaf, Laras. Saya gak bermaksud ….”“Gak apa. Bu. Saya mengerti, kalau begitu saya pamit masuk ke dalam. Mau rapi-rapi ruang periksa dulu, mumpung belum ada pasien yang datang,” ucap Laras seperti menghindari pembicaraan dengan Hanum kala itu.“Silahkan, Ras. Kebetulan, ruangannya sudah aku buka sejak tadi,” timpal Hanum.Kedua wanita itu segera berpisah untuk melanjutkan aktivitasnya masing-masing, Hanum yang mengangka

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-15
  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 4 - Pilihan yang Sulit

    Ketika sore menjelang, tiba-tiba saja Hanum mendapat panggilan dari kecamatan untuk segera datang ke rumah sakit di sana. Karena tenaganya dibutuhkan untuk membantu dan menerangkan beberapa hal yang mana hanya Hanum yang tahu pada dokter yang baru saja datang bertugas dari pusat. Wanita itu pun merasa kebingungan antara menjalankan kewajibannya menepati janji dengan pasiennya, atau memilih menjalankan tugasnya ke rumah sakit. Hanum pun membaicarakan masalah tersbut dengan Gunawan, suaminya, ketika lelaki itu telah pulang ke rumah mereka.“Pak, aku boleh minta pendapatmu?” tanya wanita itu saat melihat suaminya tengah bersanti melepas penatnya.“Apa itu, Bu?” “Aku ada pasien yang hendak melahirkan di ruang bersalin, aku sudah berjanji untuk menolongnya. Tapi beberapa saat yang lalu, aku dipanggil ke kecamatan untuk membantu dokter yang akan bertugas di rumah sakit. Mana yang harus ku pilih, Pak?” tanya Hanum dengan raut wajah yang kebingungan.Nampak Gunawan pun ikut berpikir sejenak,

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-15
  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 5 - Siapa yang Menyamar?

    Pagi harinya ketika Hanum melakukan pemeriksaan pada pasiennya, nampak wanita itu yang bernama Aminah, tengah duduk di bantu Laras yang dengan telaten mengajari bagaimana caranya memberi ASI pada bayinya. Raut wajah bahagia jelas terlihat di wajahnya yang masih menampakan kelelahan setalah berjuang melahirkan bayinya semalam. Bidan cantik itu pun seakan ikut larut dalam kebahagiaan wanita itu, mengingat keadaannya yang terasa tidak mungkin dapat bersalin dengan normal.Wah, selamat ya, Bu Minah, atas kelahiran bayinya, maaf semalam saya pulang sangat larut. Beruntung Laras, bisa menangani membantu persalinan Ibu, dengan baik dan lancar,” sapa Hanum dengan senyum hangatnya. Sontak pernyataan Hanum membuat kedua wanita itu tertegun dan saling berpandangan satu sama lain dengan ekpresi bingung.“Bu Hanum, jangan bercanda. Jelas-jelas semalam Bu Hanum, yang membantu persalinan tersebut. Ibu pulang sendiri, katanya Pak Gunawan, mampir ke rumah temannya. Ibu juga pulang gak terlalu larut k

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-15
  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 1 - Malam Persalinan

    “Paak … tolong panggilkan Bidan Hanum! Perutku sejak dari tadi sore sudah mulai terasa mulas, mungkin sudah saatnya bayiku ini lahir, Pak.” Suara seorang wanita merintih menahan sakit dari atas bale-bale yang menjadi tempat tidurnya. Wanita itu nampak sudah sangat kepayahan menahan sakit yang menderanya, sehingga tak sanggup lagi bergerak meski hanya sekedar untuk pindah ke kamarnya.“Paaak ….!” Pekiknya sekali lagi, kala orang yang dipanggilnya belum juga datang menemuinya.“Paaaak!!! Aaaah …!” teriak wanita itu terus berusaha memanggil seseorang. “Hah! I-iya, Nduk? Bapak tadi sedang membenarkan lampu di samping rumah yang tiba-tiba mati, ada apa?” tanya seorang pria paruh baya itu khawatir melihat kondisi anaknya yan tengah menahan sakit.“Tolong panggilkan Bidan Hanum, Pak. Sepertinya cucumu ini sudah akan lahir, perutku sakit sekali, Pak. Aaaah …” pekik kesakitan wanita itu kembali terdengar, kali ini semakin kuat. Pertanda jika sakit yang ia rasakan saat ini sudah tidak dapat t

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-15

Bab terbaru

  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 5 - Siapa yang Menyamar?

    Pagi harinya ketika Hanum melakukan pemeriksaan pada pasiennya, nampak wanita itu yang bernama Aminah, tengah duduk di bantu Laras yang dengan telaten mengajari bagaimana caranya memberi ASI pada bayinya. Raut wajah bahagia jelas terlihat di wajahnya yang masih menampakan kelelahan setalah berjuang melahirkan bayinya semalam. Bidan cantik itu pun seakan ikut larut dalam kebahagiaan wanita itu, mengingat keadaannya yang terasa tidak mungkin dapat bersalin dengan normal.Wah, selamat ya, Bu Minah, atas kelahiran bayinya, maaf semalam saya pulang sangat larut. Beruntung Laras, bisa menangani membantu persalinan Ibu, dengan baik dan lancar,” sapa Hanum dengan senyum hangatnya. Sontak pernyataan Hanum membuat kedua wanita itu tertegun dan saling berpandangan satu sama lain dengan ekpresi bingung.“Bu Hanum, jangan bercanda. Jelas-jelas semalam Bu Hanum, yang membantu persalinan tersebut. Ibu pulang sendiri, katanya Pak Gunawan, mampir ke rumah temannya. Ibu juga pulang gak terlalu larut k

  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 4 - Pilihan yang Sulit

    Ketika sore menjelang, tiba-tiba saja Hanum mendapat panggilan dari kecamatan untuk segera datang ke rumah sakit di sana. Karena tenaganya dibutuhkan untuk membantu dan menerangkan beberapa hal yang mana hanya Hanum yang tahu pada dokter yang baru saja datang bertugas dari pusat. Wanita itu pun merasa kebingungan antara menjalankan kewajibannya menepati janji dengan pasiennya, atau memilih menjalankan tugasnya ke rumah sakit. Hanum pun membaicarakan masalah tersbut dengan Gunawan, suaminya, ketika lelaki itu telah pulang ke rumah mereka.“Pak, aku boleh minta pendapatmu?” tanya wanita itu saat melihat suaminya tengah bersanti melepas penatnya.“Apa itu, Bu?” “Aku ada pasien yang hendak melahirkan di ruang bersalin, aku sudah berjanji untuk menolongnya. Tapi beberapa saat yang lalu, aku dipanggil ke kecamatan untuk membantu dokter yang akan bertugas di rumah sakit. Mana yang harus ku pilih, Pak?” tanya Hanum dengan raut wajah yang kebingungan.Nampak Gunawan pun ikut berpikir sejenak,

  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 3 - Persyaratan Hanum

    “Selamat pagi, Laras. Wah … kamu terlihat semakin cantik saja, nih. Perawatan di salon mana? Mau dong, jadi bening kaya kamu,” seloroh Hanum yang terkesima melihat kecantikan asistennya yang semakin hari semakin terlihat cantik. “Ah, Bu Hanum, bisa aja. Saya gak pernah masuk nyalon, Bu. Eman uangnya, mending buat biaya yang lainnya,” jawab Laras dengan wajah sendu.Seketika perasaan bersalah menyeruak dalam hati Hanum, melihat perubahan ekspresi wajah asistennya. Karena wanita itu tahu betul bagaimana pahitnya kehidupan wanita yang berhadapan dengannya saat ini. “Ah, maaf, Laras. Saya gak bermaksud ….”“Gak apa. Bu. Saya mengerti, kalau begitu saya pamit masuk ke dalam. Mau rapi-rapi ruang periksa dulu, mumpung belum ada pasien yang datang,” ucap Laras seperti menghindari pembicaraan dengan Hanum kala itu.“Silahkan, Ras. Kebetulan, ruangannya sudah aku buka sejak tadi,” timpal Hanum.Kedua wanita itu segera berpisah untuk melanjutkan aktivitasnya masing-masing, Hanum yang mengangka

  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 2 - Tak Baik Menolak Rejeki

    Perlahan wujud Bidan Hanum menampakan wajah aslinya, lidahnya mulai menjulur hingga menyentuh bagian perutnya. Kedua bola matanya melotot penuh nafsu mengarah pada jalan lahir wanita itu, bau anyir tiba-tiba menyeruak memenuhi ruangan tersebut. Rambut sang bidan yang semula rapi tergelung, kini tergerai dengan warna putih menjuntai manyapu lantai. Kuku-kukunya yang runcing juga gigi yang mulai memperlihatkan taring tajamnya. Langkah demi langkah makhluk itu semakin mendekati wanta yang kini terlihat sangat ketakutan. Keringat sebesar biji jagung mulai membasahi sekujur tubuhnya, ingin rasanya wanita itu berteriak sekencang mungkin. Namun mulutnya serasa terkatup tak mampu bergerak, meskipun berkali-kali wanita itu mencobanya. Karena tak sanggup melihat pemandangan yang dilihatnya, wanita itu pun akhirnya tak sadarkan diri. Terdengar suara tawa bahagia yang membuat merinding siapapun yang mendengarnya.“Hihihi ….”*****Saat pagi hari menjelang, kehidupan di dusun Warnajati terlihat s

  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 1 - Malam Persalinan

    “Paak … tolong panggilkan Bidan Hanum! Perutku sejak dari tadi sore sudah mulai terasa mulas, mungkin sudah saatnya bayiku ini lahir, Pak.” Suara seorang wanita merintih menahan sakit dari atas bale-bale yang menjadi tempat tidurnya. Wanita itu nampak sudah sangat kepayahan menahan sakit yang menderanya, sehingga tak sanggup lagi bergerak meski hanya sekedar untuk pindah ke kamarnya.“Paaak ….!” Pekiknya sekali lagi, kala orang yang dipanggilnya belum juga datang menemuinya.“Paaaak!!! Aaaah …!” teriak wanita itu terus berusaha memanggil seseorang. “Hah! I-iya, Nduk? Bapak tadi sedang membenarkan lampu di samping rumah yang tiba-tiba mati, ada apa?” tanya seorang pria paruh baya itu khawatir melihat kondisi anaknya yan tengah menahan sakit.“Tolong panggilkan Bidan Hanum, Pak. Sepertinya cucumu ini sudah akan lahir, perutku sakit sekali, Pak. Aaaah …” pekik kesakitan wanita itu kembali terdengar, kali ini semakin kuat. Pertanda jika sakit yang ia rasakan saat ini sudah tidak dapat t

DMCA.com Protection Status