Beranda / Horor / PEREMPUAN PEMINUM DARAH / Bab 3 - Persyaratan Hanum

Share

Bab 3 - Persyaratan Hanum

Penulis: Nayandra78
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-15 17:02:05

“Selamat pagi, Laras. Wah … kamu terlihat semakin cantik saja, nih. Perawatan di salon mana? Mau dong, jadi bening kaya kamu,” seloroh Hanum yang terkesima melihat kecantikan asistennya yang semakin hari semakin terlihat cantik. 

“Ah, Bu Hanum, bisa aja. Saya gak pernah masuk nyalon, Bu. Eman uangnya, mending buat biaya yang lainnya,” jawab Laras dengan wajah sendu.

Seketika perasaan bersalah menyeruak dalam hati Hanum, melihat perubahan ekspresi wajah asistennya. Karena wanita itu tahu betul bagaimana pahitnya kehidupan wanita yang berhadapan dengannya saat ini. 

“Ah, maaf, Laras. Saya gak bermaksud ….”

“Gak apa. Bu. Saya mengerti, kalau begitu saya pamit masuk ke dalam. Mau rapi-rapi ruang periksa dulu, mumpung belum ada pasien yang datang,” ucap Laras seperti menghindari pembicaraan dengan Hanum kala itu.

“Silahkan, Ras. Kebetulan, ruangannya sudah aku buka sejak tadi,” timpal Hanum.

Kedua wanita itu segera berpisah untuk melanjutkan aktivitasnya masing-masing, Hanum yang mengangkati semua hasil bumi yang diberikan Darmo padanya, sementara Laras mengerjakan tugasnya sebagai asisten di tempat itu. Satu per satu pasien wanita hamil dan juga yang sedang bermasalah dengan kesehatannya, mulai nampak berdatangan melakukan pendaftaran. Laras dengan keramahannya segera memberikan nomor urut sesuai dengan kedatangan mereka, serta tidak lupa memeriksa sedikit keadaan pasien yang datang sebelum di tangani Hanum.

Hari itu sekitar dua belas orang pasien yang mengantri untuk di periksa Hanum, tiga diantaranya adalah pasien ibu hamil dengan perkiraan lahir hanya tinggal menghitung hari. Hanum yang kebetulan menerima juga pasien rawat inap, segera menganjurkan untuk langsung menginap pada salah satu pasien yang terlihat sudah mulai menunjukan tanda-tanda lahiran. 

“Ibu tinggal di mana?” tanya Hanum yang sepertnya belum pernah melihat wajah perempuan itu melakukan pemeriksaan dengannya sebelumnya.

“Di Kampung Sawah, Bu Bidan,” jawab seorang laki-laki yang menemani wanita hamil itu.

“Bapak?” tanya Hanum ingin memastikan status keduanya.

“Saya, suaminya, Bu Bidan.”

“tempat itu cukup jauh dari sini, Pak. Kenapatidak langsung di bawa ke puskesmas saja? Bukankah jaraknya dekat?” tanya Hanum yang tidak mengerti, seraya tangannya sibuk memeriksa keadaan pasiennya.

“Istri saya tidak mau dibawa ke sana, Bu Bidan. Karena istri saya mendapat cerita dari temannya, katanya kalau melahirkan di bantu Bu Bidan Hanum, selain tidak sakit dan langsung sehat, juga biayanya tidak mahal,” jawab pria itu jujur, membuat Hanum merasa bersyukur karena merasa di butuhkan. Sekaligus bingung, karena merasa tikda percaya dengan yang dikatakan lelaki itu, ‘Apa benar semua pasien yang ku bantu. Langsung segera sehat?’

Namun pikiran tersebut segera Hanum kesampingkan, ia memilih fokus memeriksa keadaan pasien yang semakin terlihat kepayahan menahan sakit di area perutnya. 

“Kapan mulai terasa kontraksi, Bu?” tanya Hanum pada pasiennya.

“Sejak semalam, Bu. Tapi tadi subuh ada sedikit darah di celana dalam saya, makanya tadi pagi minta antar suami saya segera kemari, Bu Bidan,” jawab wanita itu disela-sela ringisannya menahan kesakitan.

“Hmm, baiklah. Simpan tenaga Ibu, ya. Jangan dulu mengejan sebelum bukaannya lengkap dan ada instruksi dari saya, tarik napas dan hembuskan perlahan setiap kali kontraksi itu datang. Banyak berdoa agar persalinan Ibu, lancar. Begitu juga dengan Bapak, doakan keselamatan untuk istri dan calon buah hatinya. Saya akan berusaha semaksimal mungkin, hasilnya hanya Tuhan yang menentukan,” kata Hanum mengucapkan kata-kata yang membuat erasaan pasiennya sedikit tenang.

Sementara Laras menatap keadaan wanita hamil itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Wanita itu pun ikut mempersiapkan segalanya, mulai dari peralatan medis dan obat-obatan yang akan digunakan ketika wanita itu melahirkan. Juga perlengkapan bayi yang akan dipakaikan pada bayi setelah lahir dan di bersihkan nantinya.

Karena Hanum melihat baru bukaan tiga, sehingga biasanya masih memerlukan waktu yang lama untuk persalinan. Wanita itu pun kemudianmelanjutkan memeriksa pasien lainnya yang sudah terlihat sabar menunggu.

“Waaah, mohon maaf semuanya. Jadi sedikit lama menunggu,” ucap Hanum dengan senyumnya yang tulus.

“Tidak apa, Bu Bidan. Kami paham, kok. Orang mau bersalin, kan gak bisa menunggu. Harus segera di tangani. Kami masih bisa kok menunggu, iya gak Bapak-bapak dan Ibu-ibu?” ujar seseorang yang ada di sana menjawab perkataan Hanum, lalu semua pasien yang ada di sana pun mengamini ucapan orang itu.

“Terima kasih atas pengertiannya, kita lanjutkan ya,” kata Hanum dengan senyum ramahnya.

Akhirnya pagi itu sekitar jam sepuluh, Hanum selesai dengan tugasnya menerima pasien. Biasanya akan dilanjutkan sore hari mulai jam empat sore sampai masuk Maghrib. Sekarang waktunya bagi Hanum, kembali memeriksa keadaan pasien yang hendak melahirkan. Sejak dirinya memeriksa pasien lain, tugasnya di serahkan pada Laras. 

“Bagaimana keadaannya, Ras? Apakah ada kemajuan?” tanya Hanum pada gadis muda itu.

“Belum, Bu. Masih sama seperti tadi, apakah harus di rujuk ke rumah sakit atau gimana, Bu?” tanya Laras dengan setengah berbisik.

“Kita tunggu dulu dalam dua jam terakhir, jika tidak ada perkembangan dan keadaan pasien semakin memburuk, terpaksa harus di rujuk,” jawab Hanum.

Keduanya pun kemudian melakukan tugasnya dengan memeriksa keadaan wanita itu lebih teliti dan memperhatikan setiap perkembangan yang terjadi. Hingga empat jam mereka menunggu, nampak wanita itu pun semakin lemah keadaannya. Akhirnya Hanum pun terpaksa merujuk pasien tersebut untuk di bawa ke fasilitas kesehatan tempat lain yang lebih lengkap. 

Akan tetapi wanita itu tetap ngotot dengan pendiriannya, hanya ingin dibantu oleh Bidan Hanum.

“Tapi, Bu. Saya tidak memiliki peralatan yang mendukung untuk membantu persalinan Ibu. Keadaan Ibu, pun saya perhatikan semakin lemas. Saya khawatir jika tetap saya yang melakukannya, akan terjadi komplikasi yang akan membahayakan ibu dan janinnya nanti,” beber Hanum, mencoba memberi perngertian pada wanita itu.

“Tidak, Bu Bidan! Lebih baik saya mati dari pada harus melahirkan di tempat itu. Tidak!” kata wanita itu tetap menolaj anjuran yang di berikan Hanum.

“Pak, tolong beri pengertian sama istrinya. Saya tidak sanggup membantu persalinan dengan keadaan Ibu, seperti ini, Pak.”

“Bagaimana, Bu? Apa tetap ingin di sini, atau ikuti anjuran Bu Bidan?” tanya lelaki itu membuat Hanum merasa kecewa. Bukannya mengambil keputusan yang tegas untuk keselamatan istri dan bayinya, malah menanyakan hal yang sudah tahu pasti jawabannya.

“Tidak mau, Pak. Aku mau lahiran di sini saja, titik!” tegas wanita itu menatap penh harap ke arah Hanum.

“Baiklah, tapi jika terjadi sesuatu di luar perkiraan, tolong jangan libatkan saya. Silahkan buat dulu surat pernyataan, Bapak. Biar di bantu asisten saya, silahkan.” Pada akhirnya Hanum mengalah, dengan sebuah persyaratan yang diajukannya.

Seketika wajah pasangan suami istri itu berubah lega, lalu suami dari wanita itu pun mengikuti langkah Laras keluar ruangan tersebut untuk membuat surat yang diminta Hanum sebelumnya.

“Lalu bagaimana selanjutnya, Bu Bidan?”

Bab terkait

  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 4 - Pilihan yang Sulit

    Ketika sore menjelang, tiba-tiba saja Hanum mendapat panggilan dari kecamatan untuk segera datang ke rumah sakit di sana. Karena tenaganya dibutuhkan untuk membantu dan menerangkan beberapa hal yang mana hanya Hanum yang tahu pada dokter yang baru saja datang bertugas dari pusat. Wanita itu pun merasa kebingungan antara menjalankan kewajibannya menepati janji dengan pasiennya, atau memilih menjalankan tugasnya ke rumah sakit. Hanum pun membaicarakan masalah tersbut dengan Gunawan, suaminya, ketika lelaki itu telah pulang ke rumah mereka.“Pak, aku boleh minta pendapatmu?” tanya wanita itu saat melihat suaminya tengah bersanti melepas penatnya.“Apa itu, Bu?” “Aku ada pasien yang hendak melahirkan di ruang bersalin, aku sudah berjanji untuk menolongnya. Tapi beberapa saat yang lalu, aku dipanggil ke kecamatan untuk membantu dokter yang akan bertugas di rumah sakit. Mana yang harus ku pilih, Pak?” tanya Hanum dengan raut wajah yang kebingungan.Nampak Gunawan pun ikut berpikir sejenak,

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-15
  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 5 - Siapa yang Menyamar?

    Pagi harinya ketika Hanum melakukan pemeriksaan pada pasiennya, nampak wanita itu yang bernama Aminah, tengah duduk di bantu Laras yang dengan telaten mengajari bagaimana caranya memberi ASI pada bayinya. Raut wajah bahagia jelas terlihat di wajahnya yang masih menampakan kelelahan setalah berjuang melahirkan bayinya semalam. Bidan cantik itu pun seakan ikut larut dalam kebahagiaan wanita itu, mengingat keadaannya yang terasa tidak mungkin dapat bersalin dengan normal.Wah, selamat ya, Bu Minah, atas kelahiran bayinya, maaf semalam saya pulang sangat larut. Beruntung Laras, bisa menangani membantu persalinan Ibu, dengan baik dan lancar,” sapa Hanum dengan senyum hangatnya. Sontak pernyataan Hanum membuat kedua wanita itu tertegun dan saling berpandangan satu sama lain dengan ekpresi bingung.“Bu Hanum, jangan bercanda. Jelas-jelas semalam Bu Hanum, yang membantu persalinan tersebut. Ibu pulang sendiri, katanya Pak Gunawan, mampir ke rumah temannya. Ibu juga pulang gak terlalu larut k

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-15
  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 1 - Malam Persalinan

    “Paak … tolong panggilkan Bidan Hanum! Perutku sejak dari tadi sore sudah mulai terasa mulas, mungkin sudah saatnya bayiku ini lahir, Pak.” Suara seorang wanita merintih menahan sakit dari atas bale-bale yang menjadi tempat tidurnya. Wanita itu nampak sudah sangat kepayahan menahan sakit yang menderanya, sehingga tak sanggup lagi bergerak meski hanya sekedar untuk pindah ke kamarnya.“Paaak ….!” Pekiknya sekali lagi, kala orang yang dipanggilnya belum juga datang menemuinya.“Paaaak!!! Aaaah …!” teriak wanita itu terus berusaha memanggil seseorang. “Hah! I-iya, Nduk? Bapak tadi sedang membenarkan lampu di samping rumah yang tiba-tiba mati, ada apa?” tanya seorang pria paruh baya itu khawatir melihat kondisi anaknya yan tengah menahan sakit.“Tolong panggilkan Bidan Hanum, Pak. Sepertinya cucumu ini sudah akan lahir, perutku sakit sekali, Pak. Aaaah …” pekik kesakitan wanita itu kembali terdengar, kali ini semakin kuat. Pertanda jika sakit yang ia rasakan saat ini sudah tidak dapat t

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-15
  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 2 - Tak Baik Menolak Rejeki

    Perlahan wujud Bidan Hanum menampakan wajah aslinya, lidahnya mulai menjulur hingga menyentuh bagian perutnya. Kedua bola matanya melotot penuh nafsu mengarah pada jalan lahir wanita itu, bau anyir tiba-tiba menyeruak memenuhi ruangan tersebut. Rambut sang bidan yang semula rapi tergelung, kini tergerai dengan warna putih menjuntai manyapu lantai. Kuku-kukunya yang runcing juga gigi yang mulai memperlihatkan taring tajamnya. Langkah demi langkah makhluk itu semakin mendekati wanta yang kini terlihat sangat ketakutan. Keringat sebesar biji jagung mulai membasahi sekujur tubuhnya, ingin rasanya wanita itu berteriak sekencang mungkin. Namun mulutnya serasa terkatup tak mampu bergerak, meskipun berkali-kali wanita itu mencobanya. Karena tak sanggup melihat pemandangan yang dilihatnya, wanita itu pun akhirnya tak sadarkan diri. Terdengar suara tawa bahagia yang membuat merinding siapapun yang mendengarnya.“Hihihi ….”*****Saat pagi hari menjelang, kehidupan di dusun Warnajati terlihat s

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-15

Bab terbaru

  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 5 - Siapa yang Menyamar?

    Pagi harinya ketika Hanum melakukan pemeriksaan pada pasiennya, nampak wanita itu yang bernama Aminah, tengah duduk di bantu Laras yang dengan telaten mengajari bagaimana caranya memberi ASI pada bayinya. Raut wajah bahagia jelas terlihat di wajahnya yang masih menampakan kelelahan setalah berjuang melahirkan bayinya semalam. Bidan cantik itu pun seakan ikut larut dalam kebahagiaan wanita itu, mengingat keadaannya yang terasa tidak mungkin dapat bersalin dengan normal.Wah, selamat ya, Bu Minah, atas kelahiran bayinya, maaf semalam saya pulang sangat larut. Beruntung Laras, bisa menangani membantu persalinan Ibu, dengan baik dan lancar,” sapa Hanum dengan senyum hangatnya. Sontak pernyataan Hanum membuat kedua wanita itu tertegun dan saling berpandangan satu sama lain dengan ekpresi bingung.“Bu Hanum, jangan bercanda. Jelas-jelas semalam Bu Hanum, yang membantu persalinan tersebut. Ibu pulang sendiri, katanya Pak Gunawan, mampir ke rumah temannya. Ibu juga pulang gak terlalu larut k

  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 4 - Pilihan yang Sulit

    Ketika sore menjelang, tiba-tiba saja Hanum mendapat panggilan dari kecamatan untuk segera datang ke rumah sakit di sana. Karena tenaganya dibutuhkan untuk membantu dan menerangkan beberapa hal yang mana hanya Hanum yang tahu pada dokter yang baru saja datang bertugas dari pusat. Wanita itu pun merasa kebingungan antara menjalankan kewajibannya menepati janji dengan pasiennya, atau memilih menjalankan tugasnya ke rumah sakit. Hanum pun membaicarakan masalah tersbut dengan Gunawan, suaminya, ketika lelaki itu telah pulang ke rumah mereka.“Pak, aku boleh minta pendapatmu?” tanya wanita itu saat melihat suaminya tengah bersanti melepas penatnya.“Apa itu, Bu?” “Aku ada pasien yang hendak melahirkan di ruang bersalin, aku sudah berjanji untuk menolongnya. Tapi beberapa saat yang lalu, aku dipanggil ke kecamatan untuk membantu dokter yang akan bertugas di rumah sakit. Mana yang harus ku pilih, Pak?” tanya Hanum dengan raut wajah yang kebingungan.Nampak Gunawan pun ikut berpikir sejenak,

  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 3 - Persyaratan Hanum

    “Selamat pagi, Laras. Wah … kamu terlihat semakin cantik saja, nih. Perawatan di salon mana? Mau dong, jadi bening kaya kamu,” seloroh Hanum yang terkesima melihat kecantikan asistennya yang semakin hari semakin terlihat cantik. “Ah, Bu Hanum, bisa aja. Saya gak pernah masuk nyalon, Bu. Eman uangnya, mending buat biaya yang lainnya,” jawab Laras dengan wajah sendu.Seketika perasaan bersalah menyeruak dalam hati Hanum, melihat perubahan ekspresi wajah asistennya. Karena wanita itu tahu betul bagaimana pahitnya kehidupan wanita yang berhadapan dengannya saat ini. “Ah, maaf, Laras. Saya gak bermaksud ….”“Gak apa. Bu. Saya mengerti, kalau begitu saya pamit masuk ke dalam. Mau rapi-rapi ruang periksa dulu, mumpung belum ada pasien yang datang,” ucap Laras seperti menghindari pembicaraan dengan Hanum kala itu.“Silahkan, Ras. Kebetulan, ruangannya sudah aku buka sejak tadi,” timpal Hanum.Kedua wanita itu segera berpisah untuk melanjutkan aktivitasnya masing-masing, Hanum yang mengangka

  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 2 - Tak Baik Menolak Rejeki

    Perlahan wujud Bidan Hanum menampakan wajah aslinya, lidahnya mulai menjulur hingga menyentuh bagian perutnya. Kedua bola matanya melotot penuh nafsu mengarah pada jalan lahir wanita itu, bau anyir tiba-tiba menyeruak memenuhi ruangan tersebut. Rambut sang bidan yang semula rapi tergelung, kini tergerai dengan warna putih menjuntai manyapu lantai. Kuku-kukunya yang runcing juga gigi yang mulai memperlihatkan taring tajamnya. Langkah demi langkah makhluk itu semakin mendekati wanta yang kini terlihat sangat ketakutan. Keringat sebesar biji jagung mulai membasahi sekujur tubuhnya, ingin rasanya wanita itu berteriak sekencang mungkin. Namun mulutnya serasa terkatup tak mampu bergerak, meskipun berkali-kali wanita itu mencobanya. Karena tak sanggup melihat pemandangan yang dilihatnya, wanita itu pun akhirnya tak sadarkan diri. Terdengar suara tawa bahagia yang membuat merinding siapapun yang mendengarnya.“Hihihi ….”*****Saat pagi hari menjelang, kehidupan di dusun Warnajati terlihat s

  • PEREMPUAN PEMINUM DARAH   Bab 1 - Malam Persalinan

    “Paak … tolong panggilkan Bidan Hanum! Perutku sejak dari tadi sore sudah mulai terasa mulas, mungkin sudah saatnya bayiku ini lahir, Pak.” Suara seorang wanita merintih menahan sakit dari atas bale-bale yang menjadi tempat tidurnya. Wanita itu nampak sudah sangat kepayahan menahan sakit yang menderanya, sehingga tak sanggup lagi bergerak meski hanya sekedar untuk pindah ke kamarnya.“Paaak ….!” Pekiknya sekali lagi, kala orang yang dipanggilnya belum juga datang menemuinya.“Paaaak!!! Aaaah …!” teriak wanita itu terus berusaha memanggil seseorang. “Hah! I-iya, Nduk? Bapak tadi sedang membenarkan lampu di samping rumah yang tiba-tiba mati, ada apa?” tanya seorang pria paruh baya itu khawatir melihat kondisi anaknya yan tengah menahan sakit.“Tolong panggilkan Bidan Hanum, Pak. Sepertinya cucumu ini sudah akan lahir, perutku sakit sekali, Pak. Aaaah …” pekik kesakitan wanita itu kembali terdengar, kali ini semakin kuat. Pertanda jika sakit yang ia rasakan saat ini sudah tidak dapat t

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status