Pagi harinya ketika Hanum melakukan pemeriksaan pada pasiennya, nampak wanita itu yang bernama Aminah, tengah duduk di bantu Laras yang dengan telaten mengajari bagaimana caranya memberi ASI pada bayinya. Raut wajah bahagia jelas terlihat di wajahnya yang masih menampakan kelelahan setalah berjuang melahirkan bayinya semalam. Bidan cantik itu pun seakan ikut larut dalam kebahagiaan wanita itu, mengingat keadaannya yang terasa tidak mungkin dapat bersalin dengan normal.
Wah, selamat ya, Bu Minah, atas kelahiran bayinya, maaf semalam saya pulang sangat larut. Beruntung Laras, bisa menangani membantu persalinan Ibu, dengan baik dan lancar,” sapa Hanum dengan senyum hangatnya.
Sontak pernyataan Hanum membuat kedua wanita itu tertegun dan saling berpandangan satu sama lain dengan ekpresi bingung.
“Bu Hanum, jangan bercanda. Jelas-jelas semalam Bu Hanum, yang membantu persalinan tersebut. Ibu pulang sendiri, katanya Pak Gunawan, mampir ke rumah temannya. Ibu juga pulang gak terlalu larut kok, jam setengah delapan sudah kembali. Tak lama kemudian Bu Hanum, membantu persalinan sekaligus membimbing saya bagaimana seharusnya jika terjadi persalinan seperti semalam,” tutur Laras, membuat seketika perasaan Hanum terkejut bukan main. BIdan itu merasakan bulu kuduknya meremang, pikirannya kalut seketika.
Hanum sebisa mungkin menyembunyikan perasaan anehnya, ia pun bersikap seakan-akan lupa karena tidak mau membuat pasiennya itu ketakutan.
“Banarkah? Mungkin karena kecapean, jadi saya skip peristiwa semalam. Saya kira sedang bermimpi gak tahunya beneran, hehehe,” ujar Hanum dengan tawanya yang terkekeh, menertawakan kebodohannya yang harus berpura-pura di depan pasiennya.
“Astaga! Bu Bidan ini, becandanya kok ekstrim sih? Hampir copot jantungku barusan, jika benar bukan Bu Bidan, lalu semalam siapa? Wong jelas-jelas yang aku lihat itu Bu Bidan sendiri, iya kan, Mbak?” timpal sang pasien, kini ekpresinya telah berubah lega setelah mendengar pengakuan Hanum yang berdusta.
“Iya, Bu. Saya sendiri jadi gak mau kalau di tinggal sendiri nangani pasien, kalau seperti ini kejadiannya. Tapi syukurlah, mungkin lebih baik Bu Hanum, istirahat saja dulu sekarang. Terima pasiennya nanti sore saja,” kata Laras memberi saran untuk Hanum.
“Gak usah, nanti saja saya istirahatnya sekalian. Sekarang, biar saya cek dulu keadaan Bu Minah dan bayinya. Oya, sudah di azani?” tanya Hanum seraya mendekati pasien itu dengan menempelkan stetoskop di bagian dada wanita tersebut.
“Belum, Dok. Suami saya belum kembali sejak kemarin siang. Pamitnya cuma mau ambil pakaian bayi, sampai sekarang belum kembali,” jawab wanita itu dengan menundukan kepalanya.
“Gak apa, Bu. Mungkin sedang ada kesibukan mendadak, kan lumayan bisa buat nambah-nambah beli bedak buat bayi cantik ini, iya kan?” seloroh Hanum berusaha membuat perasaan pasiennya tetap stabil seraya meraih bayi mungil itu ke dalam gendongannya. Hanum sangat menjaga setiap pasiennya mengalami tekanan batin, karena wanita pasca melahirkan lebih rentan terkena Baby Blues Syndrom.
Laras yang merasa sedikit lelah, berpamitan meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan tugasnya yang lain. Membiarkan bidan dan pasiennya berbicara, mungkin akan ada pembicaraan serius yang akan terjadi diantara keduanya. Gadis itu enggan ikut campur dengan urusan yang tidak berhubungan dengannya, karena itu lebih memilih untuk keluar dari ruangan tersebut.
Tak lama kemudian, Hanum pun terlihat menyusul ikut keluar menghampiri suaminya yang saat itu baru saja usai membersihkan tubuhnya.
“Pak, aku mau bicara sebentar.” Hanum menarik lengan suaminya ke salah satu sudut kamarnya, membuat Gunawan tersenyum simpul karenanya.
“Masa iya, mau sekarang. Bu? Nanti saja, ya?” kata Gunawan dengan kerlingan nakalnya, membuat Hanum melongo melihat sikap suaminya tersebut.
“Apaan sih maksud, Bapak?” tanyanya menatap suaminya menuntut jawaban segera.
“Lah, Ibu, juga ngapain narik-narik tanganku seperti ini? Ke pojokan, lagi,” ujar pria itu tak kalah bingungnya.
“Haissh, Bapak, itu lho, pagi-pagi sudah omes,” gerutu Hanum pada suaminya.
“Yaa, omes sama istrinya sendiri. Emang boleh, kalau aku omes sama perempuan lain?” tanya Gunawan menggoda istrinya.
“Coba aja kalau berani!” kata Hanum seraya mendelikan kedua matanya, membuat Gunawan tergelak karenanya.
“Bercanda toh, Bu. Jangan terlalu serius, cepat tua nanti. Buatku, kamu seorang sudah menyempurnakan kebahagiaanku. Tidak ada tempat untuk wanita lain dalam hati,” ucap Gunawan seraya meraih tubuh Hanum kedalam pelukannya.
Sejenak mereka larut dalam kehangatan suasana romantis yang tercipta tanpa sengaja, berharap kebersamaan mereka takkan pernah terusik dengan kehadiran orang ketiga. Meskipun kebahagiaan mereka belum terasa lengkap karena sampai usia pernikahan mereka menginjak lima tahun, Tuhan masih belum memberikan kepercayaan pada mereka untuk mendapatkan buah hati yang hadir diantara keduanya.
“Sudah ah, aku kesini itu untuk membicarakan masalah lain. Kok, malah jadi mellow seperti ini,” kata Hanum yang tersadar dengan yang akan dibicarakan bersama suaminya itu.
“Ada apa lagi, Bu? Apa Dokter yang semalam itu, memintamu ke sana lagi? Kalau begitu, nanti ku pinjamkan motor lagi, kamu berangkat sendiri bisa, kan? Aku gak bisa temani, ada ulangan yang sudah gak bisa di tunda lagi,” tutur Gunawan menjeaskan.
“Bukan itu, Pak. Tapi masalah lain, ada kejanggalan lagi yang terjadi semalam. Di sini, di rumah kita, Pak.” Hanum menjelaskan dengan wajah serius, sehingga membuat Gunawan pun menjadi semakin tak mengerti.
“Maksudnya gimana, toh, Bu. Coba jelaskan pelan-pelan, jangan buru-buru. Biar aku juga jadi gak bingung,” kata sang suami.
“Begini, bukankah semalam kita berdua berada di kecamatan? Kita pun kembali lewat tengah malam, bukan?” tanya Hanum seakan ingin memastikan keberadaan mereka semalam.
“Iya, betul. Lalu?”
“Nah, bukankah kemarin aku sudah cerita kalau ada pasien yang menungguku di rumah?”
“Iya. Terus apa, Bu? Bicara itu jangan setengah-setengah, biar gak semakin puyeng ke akunya.” Gunawan menegur istrinya yang mereasa ceritanya muter-muter gak jelas.
“Sebentar, toh, Pak! Biar runtut ceritanya.” Hanum pun tak mau kalah dengan mengatakan alasannya.
“Jadi begini, semalam pasien itu sudah melahirkan seorang bayi dengan selamat. Masalahnya mereka, dalam artian pasien dan Laras mengatakan jika semalam aku yang membantu persalinan itu. Padahal jekas-jelas kalau kita sedang di kecamatan. Lalu siapa yang menyamar jadi aku, Pak?” tanya Hanum gugup sekaligus cemas dan ketakutan bercampur jadi satu.
Gunawan pun tertegun mendengar cerita yang disampaikan istrinya, merasa ikut aneh dengan kejadian yang dalam waktu yang berturut-turut. Pak Darmo yang mengaku jika putrinya di tolong oleh istrinya, sementara sekarang sudah ada cerita aneh lainnya.
“Ibu, yakin dengan cerita ini? Takutnya kali ini, Ibu, yang keliru. Ibu, beneran menolong wanita itu semalam, sepulangnya dari kecamatan. Bukankah semalam Ibu, gak langsung masuk ke rumah? Tapi malah langsung ke ruang bersalin?” tanya Gunawan lagi.
“Aku memeng ke sana, Pak. Tadinya ingin melihat kondisi pasien, tapi ternyata sudah ada di ruang perawatan. Ku kira Laras, yang membantunya. Tapi rupanya kata mereka justru aku yang melakukannya. Katanya lagi, aku pulang jam setengah delapan. Padahal di jam segitu aku lagi mengantar Dokter Dika, keliling rumah sakit. Bapak juga tahu itu, kan?” ungkap Hanum menjelaskan.
Lalu keduanya pun kembali terdiam, mengingat dan mengulas kembali apa yang mereka lakukan semalam.
“Lalu … siapa yang menyamar jadi kamu, Bu?”
“Paak … tolong panggilkan Bidan Hanum! Perutku sejak dari tadi sore sudah mulai terasa mulas, mungkin sudah saatnya bayiku ini lahir, Pak.” Suara seorang wanita merintih menahan sakit dari atas bale-bale yang menjadi tempat tidurnya. Wanita itu nampak sudah sangat kepayahan menahan sakit yang menderanya, sehingga tak sanggup lagi bergerak meski hanya sekedar untuk pindah ke kamarnya.“Paaak ….!” Pekiknya sekali lagi, kala orang yang dipanggilnya belum juga datang menemuinya.“Paaaak!!! Aaaah …!” teriak wanita itu terus berusaha memanggil seseorang. “Hah! I-iya, Nduk? Bapak tadi sedang membenarkan lampu di samping rumah yang tiba-tiba mati, ada apa?” tanya seorang pria paruh baya itu khawatir melihat kondisi anaknya yan tengah menahan sakit.“Tolong panggilkan Bidan Hanum, Pak. Sepertinya cucumu ini sudah akan lahir, perutku sakit sekali, Pak. Aaaah …” pekik kesakitan wanita itu kembali terdengar, kali ini semakin kuat. Pertanda jika sakit yang ia rasakan saat ini sudah tidak dapat t
Perlahan wujud Bidan Hanum menampakan wajah aslinya, lidahnya mulai menjulur hingga menyentuh bagian perutnya. Kedua bola matanya melotot penuh nafsu mengarah pada jalan lahir wanita itu, bau anyir tiba-tiba menyeruak memenuhi ruangan tersebut. Rambut sang bidan yang semula rapi tergelung, kini tergerai dengan warna putih menjuntai manyapu lantai. Kuku-kukunya yang runcing juga gigi yang mulai memperlihatkan taring tajamnya. Langkah demi langkah makhluk itu semakin mendekati wanta yang kini terlihat sangat ketakutan. Keringat sebesar biji jagung mulai membasahi sekujur tubuhnya, ingin rasanya wanita itu berteriak sekencang mungkin. Namun mulutnya serasa terkatup tak mampu bergerak, meskipun berkali-kali wanita itu mencobanya. Karena tak sanggup melihat pemandangan yang dilihatnya, wanita itu pun akhirnya tak sadarkan diri. Terdengar suara tawa bahagia yang membuat merinding siapapun yang mendengarnya.“Hihihi ….”*****Saat pagi hari menjelang, kehidupan di dusun Warnajati terlihat s
“Selamat pagi, Laras. Wah … kamu terlihat semakin cantik saja, nih. Perawatan di salon mana? Mau dong, jadi bening kaya kamu,” seloroh Hanum yang terkesima melihat kecantikan asistennya yang semakin hari semakin terlihat cantik. “Ah, Bu Hanum, bisa aja. Saya gak pernah masuk nyalon, Bu. Eman uangnya, mending buat biaya yang lainnya,” jawab Laras dengan wajah sendu.Seketika perasaan bersalah menyeruak dalam hati Hanum, melihat perubahan ekspresi wajah asistennya. Karena wanita itu tahu betul bagaimana pahitnya kehidupan wanita yang berhadapan dengannya saat ini. “Ah, maaf, Laras. Saya gak bermaksud ….”“Gak apa. Bu. Saya mengerti, kalau begitu saya pamit masuk ke dalam. Mau rapi-rapi ruang periksa dulu, mumpung belum ada pasien yang datang,” ucap Laras seperti menghindari pembicaraan dengan Hanum kala itu.“Silahkan, Ras. Kebetulan, ruangannya sudah aku buka sejak tadi,” timpal Hanum.Kedua wanita itu segera berpisah untuk melanjutkan aktivitasnya masing-masing, Hanum yang mengangka
Ketika sore menjelang, tiba-tiba saja Hanum mendapat panggilan dari kecamatan untuk segera datang ke rumah sakit di sana. Karena tenaganya dibutuhkan untuk membantu dan menerangkan beberapa hal yang mana hanya Hanum yang tahu pada dokter yang baru saja datang bertugas dari pusat. Wanita itu pun merasa kebingungan antara menjalankan kewajibannya menepati janji dengan pasiennya, atau memilih menjalankan tugasnya ke rumah sakit. Hanum pun membaicarakan masalah tersbut dengan Gunawan, suaminya, ketika lelaki itu telah pulang ke rumah mereka.“Pak, aku boleh minta pendapatmu?” tanya wanita itu saat melihat suaminya tengah bersanti melepas penatnya.“Apa itu, Bu?” “Aku ada pasien yang hendak melahirkan di ruang bersalin, aku sudah berjanji untuk menolongnya. Tapi beberapa saat yang lalu, aku dipanggil ke kecamatan untuk membantu dokter yang akan bertugas di rumah sakit. Mana yang harus ku pilih, Pak?” tanya Hanum dengan raut wajah yang kebingungan.Nampak Gunawan pun ikut berpikir sejenak,
Pagi harinya ketika Hanum melakukan pemeriksaan pada pasiennya, nampak wanita itu yang bernama Aminah, tengah duduk di bantu Laras yang dengan telaten mengajari bagaimana caranya memberi ASI pada bayinya. Raut wajah bahagia jelas terlihat di wajahnya yang masih menampakan kelelahan setalah berjuang melahirkan bayinya semalam. Bidan cantik itu pun seakan ikut larut dalam kebahagiaan wanita itu, mengingat keadaannya yang terasa tidak mungkin dapat bersalin dengan normal.Wah, selamat ya, Bu Minah, atas kelahiran bayinya, maaf semalam saya pulang sangat larut. Beruntung Laras, bisa menangani membantu persalinan Ibu, dengan baik dan lancar,” sapa Hanum dengan senyum hangatnya. Sontak pernyataan Hanum membuat kedua wanita itu tertegun dan saling berpandangan satu sama lain dengan ekpresi bingung.“Bu Hanum, jangan bercanda. Jelas-jelas semalam Bu Hanum, yang membantu persalinan tersebut. Ibu pulang sendiri, katanya Pak Gunawan, mampir ke rumah temannya. Ibu juga pulang gak terlalu larut k
Ketika sore menjelang, tiba-tiba saja Hanum mendapat panggilan dari kecamatan untuk segera datang ke rumah sakit di sana. Karena tenaganya dibutuhkan untuk membantu dan menerangkan beberapa hal yang mana hanya Hanum yang tahu pada dokter yang baru saja datang bertugas dari pusat. Wanita itu pun merasa kebingungan antara menjalankan kewajibannya menepati janji dengan pasiennya, atau memilih menjalankan tugasnya ke rumah sakit. Hanum pun membaicarakan masalah tersbut dengan Gunawan, suaminya, ketika lelaki itu telah pulang ke rumah mereka.“Pak, aku boleh minta pendapatmu?” tanya wanita itu saat melihat suaminya tengah bersanti melepas penatnya.“Apa itu, Bu?” “Aku ada pasien yang hendak melahirkan di ruang bersalin, aku sudah berjanji untuk menolongnya. Tapi beberapa saat yang lalu, aku dipanggil ke kecamatan untuk membantu dokter yang akan bertugas di rumah sakit. Mana yang harus ku pilih, Pak?” tanya Hanum dengan raut wajah yang kebingungan.Nampak Gunawan pun ikut berpikir sejenak,
“Selamat pagi, Laras. Wah … kamu terlihat semakin cantik saja, nih. Perawatan di salon mana? Mau dong, jadi bening kaya kamu,” seloroh Hanum yang terkesima melihat kecantikan asistennya yang semakin hari semakin terlihat cantik. “Ah, Bu Hanum, bisa aja. Saya gak pernah masuk nyalon, Bu. Eman uangnya, mending buat biaya yang lainnya,” jawab Laras dengan wajah sendu.Seketika perasaan bersalah menyeruak dalam hati Hanum, melihat perubahan ekspresi wajah asistennya. Karena wanita itu tahu betul bagaimana pahitnya kehidupan wanita yang berhadapan dengannya saat ini. “Ah, maaf, Laras. Saya gak bermaksud ….”“Gak apa. Bu. Saya mengerti, kalau begitu saya pamit masuk ke dalam. Mau rapi-rapi ruang periksa dulu, mumpung belum ada pasien yang datang,” ucap Laras seperti menghindari pembicaraan dengan Hanum kala itu.“Silahkan, Ras. Kebetulan, ruangannya sudah aku buka sejak tadi,” timpal Hanum.Kedua wanita itu segera berpisah untuk melanjutkan aktivitasnya masing-masing, Hanum yang mengangka
Perlahan wujud Bidan Hanum menampakan wajah aslinya, lidahnya mulai menjulur hingga menyentuh bagian perutnya. Kedua bola matanya melotot penuh nafsu mengarah pada jalan lahir wanita itu, bau anyir tiba-tiba menyeruak memenuhi ruangan tersebut. Rambut sang bidan yang semula rapi tergelung, kini tergerai dengan warna putih menjuntai manyapu lantai. Kuku-kukunya yang runcing juga gigi yang mulai memperlihatkan taring tajamnya. Langkah demi langkah makhluk itu semakin mendekati wanta yang kini terlihat sangat ketakutan. Keringat sebesar biji jagung mulai membasahi sekujur tubuhnya, ingin rasanya wanita itu berteriak sekencang mungkin. Namun mulutnya serasa terkatup tak mampu bergerak, meskipun berkali-kali wanita itu mencobanya. Karena tak sanggup melihat pemandangan yang dilihatnya, wanita itu pun akhirnya tak sadarkan diri. Terdengar suara tawa bahagia yang membuat merinding siapapun yang mendengarnya.“Hihihi ….”*****Saat pagi hari menjelang, kehidupan di dusun Warnajati terlihat s
“Paak … tolong panggilkan Bidan Hanum! Perutku sejak dari tadi sore sudah mulai terasa mulas, mungkin sudah saatnya bayiku ini lahir, Pak.” Suara seorang wanita merintih menahan sakit dari atas bale-bale yang menjadi tempat tidurnya. Wanita itu nampak sudah sangat kepayahan menahan sakit yang menderanya, sehingga tak sanggup lagi bergerak meski hanya sekedar untuk pindah ke kamarnya.“Paaak ….!” Pekiknya sekali lagi, kala orang yang dipanggilnya belum juga datang menemuinya.“Paaaak!!! Aaaah …!” teriak wanita itu terus berusaha memanggil seseorang. “Hah! I-iya, Nduk? Bapak tadi sedang membenarkan lampu di samping rumah yang tiba-tiba mati, ada apa?” tanya seorang pria paruh baya itu khawatir melihat kondisi anaknya yan tengah menahan sakit.“Tolong panggilkan Bidan Hanum, Pak. Sepertinya cucumu ini sudah akan lahir, perutku sakit sekali, Pak. Aaaah …” pekik kesakitan wanita itu kembali terdengar, kali ini semakin kuat. Pertanda jika sakit yang ia rasakan saat ini sudah tidak dapat t