"Kamu Joni, kan?" tanya laki-laki yang duduk di sebelahku ketika aku baru masuk ke warung Bu Inah. Laki-laki berumur sekitar setengah abad itu memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki, mungkin sedang menelusuri maksud kedanganku kesini."Iya, benar," jawabku agak risih dilihat seperti itu. Dua orang lainnya juga memandang aku dengan cara yang sama. Detak jantungku mulai berlompatan kemana-mana, tapi aku tetap berusaha terlihat biasa aja di depan mereka."Kamu sudah sehat?" salah satu dari dua orang yang duduk di sebelahnya mengajukan pertannyaan yang terdengar aneh bagiku."Bagaimana mereka tahu kalau aku baru sembuh?" timbul tanda tanya di pikiranku."Apakah mereka mengenalku?" muncul satu pertannyaan lagi walaupun belum ada jawaban dari pertanyaan sebelumnya.Kedatangannku ke warung Bu Inah bermaksud untuk mencari tahu siap
"Dapat informasi apa dari warung Bu Inah, Mas?" tanya Dysta kepadaku setelah masuk rumah. Maklum aku tadi berpamitan mau ngopi ke warung Bu Inah kepada Dysta. Tujuanku untuk mencari informasi tentang mantan tukang taman rumah kepada warga desa."Aku bertemu dengan Pak Darsono, Tejo, dan juga Pak Minto. Mereka bercerita bahwa mantan tukang taman di rumah ini sudah menjadi Pak Lurah di desa," jawabku kepada Dysta, karena memang hanya informasi itu yang kudapat dari warung Bu Inah."Bagaimana dia bisa menjadi Pak Lurah?" rasa penasaran tercipta di benak Dysta. Sepertinya Dysta masih tak percaya dengan ceritaku.Aku tak tahu bagaimana ceritanya mantan tukang taman rumah ini menjadi Pak Lurah. Hanya ada satu cara mengetahui bagaimana ceritanya. Aku harus bertanya kepada penulis cerita ini, mungkin dia tahu bagaimana ceritanya.Apa? Mau tanya kepadaku tentang Cerita Pak Lu
"Dysta kemarin bercerita kalau yang memasung Anda adalah istri Anda sendiri. Kalau boleh tahu bagaimana ceritanya, Pak?" pancingku untuk membuatnya bercerita. Dalam hati aku ingin sekali membebaskannya, tapi aku masih tak tahu penyebab pasti yang membuatnya di pasung disini. Beberapa hari yang lalu dia bercerita kalau dia dipasung karena dianggap gila. Namun, aku ingin tahu penyebab yang sebenarnya."Dulu sepulang dari sawah, aku mendengar kabar bahwa pemilik rumah mewah di depan sana telah membunuh anak dan istrinya. Kemudian pemilik rumah mewah itu dianggap sudah gila karena telah membunuh istri dan anaknya. Akhirnya warga desa memasung pemilik rumah mewah itu di sini," dengan lancar dia bercerita. Cerita ini sama dengan cerita yang diucapkan oleh Dysta. Berarti cerita ini bukan hanya isapan jempol belaka."Aku sudah pernah mendengar cerita ini dari Dysta. Lalu apa yang terjadi, Pak?" tanyaku penasaran terhadap kelanjutan
"Apa yang akan Kamu lakukan, Mas?" tanya Dysta penasaran. Dalam hati Dysta ingin mengetahui rencanaku.Kutarik nafas panjang dan menghembuskan dengan kasar, "Aku akan melepaskan dan membawa ayahmu pergi dari pasungan.""Apakah aku tidak salah dengar, Mas?" Dysta menanyakan kepastian ucapanku."Iya, tekadku sudah bulat. Namun, aku tak tahu harus membawanya kemana?" Aku mengeluh agar Dysta mau membantuku.Dysta menghela nafas panjang. Diam beberapa detik, kemudian berkata, "Ayah punya satu sahabat di kampung, namanya Pak Darmo.""Pak Darmo?" ucapku memastikan."Iya, Pak Darmo. Beliau adalah sahabat ayah dari kecil, tapi aku tak tahu masih hidup atau sudah meninggal," jawab Dysta.Kuusap kepalanya dan menarik rambutnya ke belakang. Dia memikirkan cara menemukan Pak Darmo di kampung tanpa menimbulkan kecurigaan dari Durgandini -- mertuaku. Aku tak habis pikir, siapa penulis cerita yang tega memberiku mertua perempuan yang jahat. Penulis c
"Dimana aku?" terbesit tanya di pikiranku. Dengan mata yang masih sulit terbuka, kulihat cahaya terang masuk dari sela-sela jendela yang tirainya sedikit terbuka, sepertinya sekarang ini adalah pagi yang sangat cerah. Sinar mentari begitu hangat masuk ke sela-sela jendela menghangatkan keningku. Semakin lama hangatnya semakin menusuk dan terasa hampir membakar kulit di dahiku. Aku berusaha duduk dengan maksud menutup tirai jendela yang sedikit terbuka, namun tak bisa.Kutengok jam dinding masih menunjukkan pukul setengah sembilan, masih cukup pagi bagiku untuk melanjutkan tidur lagi dalam keadaan seperti ini. Kepalaku masih terasa berat dan masih terasa sangat pusing untuk bisa ku angkat. Aku berusaha mengangkat namun sia-sia, kepalaku masih lengket dengan bantal yang menyanggah kepalaku dari bawah. Aku hanya bisa pasrah untuk memejamkan mata.Terdengar langkah kaki masuk ke dalam kamarku, semakin lama langkah itu terdengar
"Siapa aku?" pertanyaan yang tinggal di dalam benakku sejak seminggu yang lalu. Kini berubah menjadi rasa penasaran yang sangat butuh adanya satu jawaban. Mirisnya, sampai sekarang masih tak menemukan jawaban yang bisa melepaskan rasa penasaran itu dari dalam benakku.Kepalaku masih sering sakit, tubuhku masih sangat lemah untuk mencari jawaban dari pertanyaanku. Hari-hari kulewati hanya dengan berbaring menghitung matahari terbit dan tenggelam sambil memendam rasa penasaranku di dalam kalbu.Tak sia-sia aku menghitung matahari terbit dan tenggelam, aku menjadi tahu bahwa tujuh kali matahari terbit dan tujuh kali matahari tenggelam telah kulalui di dalam kamar. Tubuhku masih terasa sangat lemah dan tidak bisa bergerak kemana-mana. Baru kemarin kakiku mulai bisa menginjakkan tanah.Hari ini aku bangun agak pagi dari biasanya, penunjuk waktu di dinding menunjukkan pukul setengah tujuh. Matah
Hari mulai petang, matahari sudah mulai condong ke barat, ke tempat Sun Go Kong dan teman-temannya mencari kitab suci. Sudah pasti cahayanya mulai redup tak secerah tengah hari tadi. Langit berwarna merah jingga sudah menjadi cerita lama. Sayangnya aku masih tak tahu siapa namaku, Dysta tak pernah memberitahu siapa namaku, kecuali tadi pagi dia menyebutku sebagai 'Mas Joko', tapi tak memberitahu kelanjutan dari nama itu.Dari sepengetahuanku, 'Joni' adalah nama jenis kelamin laki-laki yang berasal dari jawa. Mungkin ayah dan ibuku adalah orang jawa karena memberikan nama 'Joko' untukku. Aku sama sekali tak mempersoalkan nama itu."Bagaimana jika ternyata ayahku adalah seorang pertapa dari jawa?"tiba-tiba terbesit satu pertanyaan di dalam pikiranku. Aku tak tahu darimana datangnya pikiran itu. Namun penulis kisah ini pasti mendengar semua yang ada di dalam pikiranku. Sialnya lagi, penulis itu membenciku.
Aku dan ratusan juta butir gula ditampung dalam satu wadah oleh perempuan cantik, bermata belok dengan bulu mata lentik, berbibir tipis, bersenyum manis, berhidung mancung, dengan tubuh sintal, seakan membopong dua bola ketika menyilangkan kedua tangannya di depan. Panas, pengap, tanpa ada sirkulasi udara, sesak, sakit di sekujur tubuh akibat saling tumpang tindih, betapa menderitanya berada di dunia ini.Keadaan seperti ini bukan hanya sekali dua kali kami alami, tapi berulang-ulang kali. Kami akan menceritakan bagaimana roda kehidupan berputar dalam hidup kami. Kami lahir sebagai tebu yang ditanam, dirawat dan disayangi oleh penanam kami. Disiram, dipupuk, dibersihkan dan dilindungi dari ancaman semut dan serangga-serangga yang berniat buruk kepada kami. Sampai beberapa bulan hingga kami tumbuh dewasa dan terlihat matang dimata penanam kami.Masa-masa itu adalah masa bahagia bagi kami, bisa berkumpul dan tumbuh dengan jut
"Apa yang akan Kamu lakukan, Mas?" tanya Dysta penasaran. Dalam hati Dysta ingin mengetahui rencanaku.Kutarik nafas panjang dan menghembuskan dengan kasar, "Aku akan melepaskan dan membawa ayahmu pergi dari pasungan.""Apakah aku tidak salah dengar, Mas?" Dysta menanyakan kepastian ucapanku."Iya, tekadku sudah bulat. Namun, aku tak tahu harus membawanya kemana?" Aku mengeluh agar Dysta mau membantuku.Dysta menghela nafas panjang. Diam beberapa detik, kemudian berkata, "Ayah punya satu sahabat di kampung, namanya Pak Darmo.""Pak Darmo?" ucapku memastikan."Iya, Pak Darmo. Beliau adalah sahabat ayah dari kecil, tapi aku tak tahu masih hidup atau sudah meninggal," jawab Dysta.Kuusap kepalanya dan menarik rambutnya ke belakang. Dia memikirkan cara menemukan Pak Darmo di kampung tanpa menimbulkan kecurigaan dari Durgandini -- mertuaku. Aku tak habis pikir, siapa penulis cerita yang tega memberiku mertua perempuan yang jahat. Penulis c
"Dysta kemarin bercerita kalau yang memasung Anda adalah istri Anda sendiri. Kalau boleh tahu bagaimana ceritanya, Pak?" pancingku untuk membuatnya bercerita. Dalam hati aku ingin sekali membebaskannya, tapi aku masih tak tahu penyebab pasti yang membuatnya di pasung disini. Beberapa hari yang lalu dia bercerita kalau dia dipasung karena dianggap gila. Namun, aku ingin tahu penyebab yang sebenarnya."Dulu sepulang dari sawah, aku mendengar kabar bahwa pemilik rumah mewah di depan sana telah membunuh anak dan istrinya. Kemudian pemilik rumah mewah itu dianggap sudah gila karena telah membunuh istri dan anaknya. Akhirnya warga desa memasung pemilik rumah mewah itu di sini," dengan lancar dia bercerita. Cerita ini sama dengan cerita yang diucapkan oleh Dysta. Berarti cerita ini bukan hanya isapan jempol belaka."Aku sudah pernah mendengar cerita ini dari Dysta. Lalu apa yang terjadi, Pak?" tanyaku penasaran terhadap kelanjutan
"Dapat informasi apa dari warung Bu Inah, Mas?" tanya Dysta kepadaku setelah masuk rumah. Maklum aku tadi berpamitan mau ngopi ke warung Bu Inah kepada Dysta. Tujuanku untuk mencari informasi tentang mantan tukang taman rumah kepada warga desa."Aku bertemu dengan Pak Darsono, Tejo, dan juga Pak Minto. Mereka bercerita bahwa mantan tukang taman di rumah ini sudah menjadi Pak Lurah di desa," jawabku kepada Dysta, karena memang hanya informasi itu yang kudapat dari warung Bu Inah."Bagaimana dia bisa menjadi Pak Lurah?" rasa penasaran tercipta di benak Dysta. Sepertinya Dysta masih tak percaya dengan ceritaku.Aku tak tahu bagaimana ceritanya mantan tukang taman rumah ini menjadi Pak Lurah. Hanya ada satu cara mengetahui bagaimana ceritanya. Aku harus bertanya kepada penulis cerita ini, mungkin dia tahu bagaimana ceritanya.Apa? Mau tanya kepadaku tentang Cerita Pak Lu
"Kamu Joni, kan?" tanya laki-laki yang duduk di sebelahku ketika aku baru masuk ke warung Bu Inah. Laki-laki berumur sekitar setengah abad itu memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki, mungkin sedang menelusuri maksud kedanganku kesini."Iya, benar," jawabku agak risih dilihat seperti itu. Dua orang lainnya juga memandang aku dengan cara yang sama. Detak jantungku mulai berlompatan kemana-mana, tapi aku tetap berusaha terlihat biasa aja di depan mereka."Kamu sudah sehat?" salah satu dari dua orang yang duduk di sebelahnya mengajukan pertannyaan yang terdengar aneh bagiku."Bagaimana mereka tahu kalau aku baru sembuh?" timbul tanda tanya di pikiranku."Apakah mereka mengenalku?" muncul satu pertannyaan lagi walaupun belum ada jawaban dari pertanyaan sebelumnya.Kedatangannku ke warung Bu Inah bermaksud untuk mencari tahu siap
"Bagaimana ceritanya mamamu tega memasukkan ayahmu ke dalam kurungan itu?" terucap tanya di bibirku kepada Dysta yang sedang memandangi langit hitam dengan mata nanar. Dari balik matanya aku tahu ada yang sedang disembunyikannya, atau sebenarnya Dysta ingin bercerita sesuatu tapi tak tahu harus mengawalinya dari mana."Dulu ada seorang tukang taman bekerja di rumah ini, namanya Pak Darto. Dia sangat dekat dengan mama, aku pun sangat dekat dengannya. Jika ada waktu luang, Pak Darto selalu mengajak aku main. Aku sangat senang bermain dengan Pak Darto. Usiaku masih sebelas tahun ketika itu," bibir Dysta membentuk lengkungan senyum yang sangat indah ketika bercerita.Namun, air mata seakan tak menunggu persetujuan dari Dysta untuk meluncur keluar, buliran hangat itu mengalir deras di tengah senyuman Dysta. Aku sungguh tak paham apa yang sedang dirasakan Dysta, lagi sedih ataukah senang.Pikira
Aku dan ratusan juta butir gula ditampung dalam satu wadah oleh perempuan cantik, bermata belok dengan bulu mata lentik, berbibir tipis, bersenyum manis, berhidung mancung, dengan tubuh sintal, seakan membopong dua bola ketika menyilangkan kedua tangannya di depan. Panas, pengap, tanpa ada sirkulasi udara, sesak, sakit di sekujur tubuh akibat saling tumpang tindih, betapa menderitanya berada di dunia ini.Keadaan seperti ini bukan hanya sekali dua kali kami alami, tapi berulang-ulang kali. Kami akan menceritakan bagaimana roda kehidupan berputar dalam hidup kami. Kami lahir sebagai tebu yang ditanam, dirawat dan disayangi oleh penanam kami. Disiram, dipupuk, dibersihkan dan dilindungi dari ancaman semut dan serangga-serangga yang berniat buruk kepada kami. Sampai beberapa bulan hingga kami tumbuh dewasa dan terlihat matang dimata penanam kami.Masa-masa itu adalah masa bahagia bagi kami, bisa berkumpul dan tumbuh dengan jut
Hari mulai petang, matahari sudah mulai condong ke barat, ke tempat Sun Go Kong dan teman-temannya mencari kitab suci. Sudah pasti cahayanya mulai redup tak secerah tengah hari tadi. Langit berwarna merah jingga sudah menjadi cerita lama. Sayangnya aku masih tak tahu siapa namaku, Dysta tak pernah memberitahu siapa namaku, kecuali tadi pagi dia menyebutku sebagai 'Mas Joko', tapi tak memberitahu kelanjutan dari nama itu.Dari sepengetahuanku, 'Joni' adalah nama jenis kelamin laki-laki yang berasal dari jawa. Mungkin ayah dan ibuku adalah orang jawa karena memberikan nama 'Joko' untukku. Aku sama sekali tak mempersoalkan nama itu."Bagaimana jika ternyata ayahku adalah seorang pertapa dari jawa?"tiba-tiba terbesit satu pertanyaan di dalam pikiranku. Aku tak tahu darimana datangnya pikiran itu. Namun penulis kisah ini pasti mendengar semua yang ada di dalam pikiranku. Sialnya lagi, penulis itu membenciku.
"Siapa aku?" pertanyaan yang tinggal di dalam benakku sejak seminggu yang lalu. Kini berubah menjadi rasa penasaran yang sangat butuh adanya satu jawaban. Mirisnya, sampai sekarang masih tak menemukan jawaban yang bisa melepaskan rasa penasaran itu dari dalam benakku.Kepalaku masih sering sakit, tubuhku masih sangat lemah untuk mencari jawaban dari pertanyaanku. Hari-hari kulewati hanya dengan berbaring menghitung matahari terbit dan tenggelam sambil memendam rasa penasaranku di dalam kalbu.Tak sia-sia aku menghitung matahari terbit dan tenggelam, aku menjadi tahu bahwa tujuh kali matahari terbit dan tujuh kali matahari tenggelam telah kulalui di dalam kamar. Tubuhku masih terasa sangat lemah dan tidak bisa bergerak kemana-mana. Baru kemarin kakiku mulai bisa menginjakkan tanah.Hari ini aku bangun agak pagi dari biasanya, penunjuk waktu di dinding menunjukkan pukul setengah tujuh. Matah
"Dimana aku?" terbesit tanya di pikiranku. Dengan mata yang masih sulit terbuka, kulihat cahaya terang masuk dari sela-sela jendela yang tirainya sedikit terbuka, sepertinya sekarang ini adalah pagi yang sangat cerah. Sinar mentari begitu hangat masuk ke sela-sela jendela menghangatkan keningku. Semakin lama hangatnya semakin menusuk dan terasa hampir membakar kulit di dahiku. Aku berusaha duduk dengan maksud menutup tirai jendela yang sedikit terbuka, namun tak bisa.Kutengok jam dinding masih menunjukkan pukul setengah sembilan, masih cukup pagi bagiku untuk melanjutkan tidur lagi dalam keadaan seperti ini. Kepalaku masih terasa berat dan masih terasa sangat pusing untuk bisa ku angkat. Aku berusaha mengangkat namun sia-sia, kepalaku masih lengket dengan bantal yang menyanggah kepalaku dari bawah. Aku hanya bisa pasrah untuk memejamkan mata.Terdengar langkah kaki masuk ke dalam kamarku, semakin lama langkah itu terdengar