10. Dia bangun?

“Jie? Seberapa cepat kamu mengemudi?” Pertanyaan pertama yang Haikal ajukan saat wanita itu hendak turun dari motor besarnya.

Wanita itu tidak segera menjawab, dia segera turun setelah menerima helm pria yang dia bonceng. Ini sudah terlambat, klien akan semakin kecewa jika masih mengulur waktu. Studio juga akan digunakan oleh tim lain, jadi mereka harus menyelesaikan proses syuting dengan cepat.

“Tidak ada waktu, Pak. Nanti saja saya jawab.” Jiena lalu memberi isyarat pada model yang dia jemput untuk segera masuk. “Permisi, Pak Haikal. Klien sudah menunggu,” pamit Jiena segera berlalu pergi. Haikal hanya terdiam merasa terabaikan.

Sebelum melangkah masuk, Jiena melempar kunci motornya pada satpam yang berjaga di pintu. Dengan memberi isyarat pada sang satpam untuk membantunya memindahkan motor di tempat parkir.

“Wow … itu benar-benar keren,” seru pria yang berada di sampingnya. “Bro, bisa bawa aku naik motormu lagi lain kali?” tanya pria itu sambil menopang lengannya di bahu Jiena.

Jiena tak menanggapi, hanya menoleh sesaat dan terus berjalan dengan cepat, bersikap dingin seperti biasa. Sampai di studio mereka langsung disibukkan dengan pekerjaan. Klien sempat marah karena merasa telah membuang waktu, tetapi Jiena bisa meyakinkan bahwa ada kecelakaan yang tak bisa dihindari. Akhirnya klien bisa mengerti dan proses syuting pun bisa berjalan dengan lancar.

Sepanjang proses syuting berlangsung, Haikal selalu mengawasi di sebuah sudut ruangan. Pandangannya selalu tertuju pada satu arah. Pada sosok yang berhasil membuatnya terkesan. Bagaimana dia berinteraksi, baik dengan artis maupun klien. Bagaimana dia mengatur setiap bagian agar mendapat hasil yang baik. Sosok yang dia amati itu lebih terlihat menarik ketika bekerja.

“Bocah itu selalu bekerja seperti ini?” tanya Haikal pada sang asisten yang duduk di sebelahnya.

“Dia yang terbaik di timnya, Bos,” jawab Yudi tanpa menoleh, dia sudah tau siapa yang bosnya maksud. Sedari tadi dia juga tahu siapa yang Haikal awasi.

Yudistira tampak sibuk dengan tab-nya, mengatur pekerjaan untuk Haikal. Seharusnya hari ini dia menemani CEO baru itu memeriksa setiap departemen di perusahaan, tapi Haikal malah memilih diam di sini. Pekerjaannya jadi berantakan karena tidak sesuai jadwal, dan Yudi paling tidak suka semua berjalan tidak teratur.

“Emm.”

“Bos … jangan katakan Bos tetarik padanya.” Yudistira menghela napas sejenak. Dia bertanya karena gelagat Haikal mulai aneh dari kemarin. “Masih banyak wanita yang menarik, Bos!”

Seketika Haikal melotot pada sang asisten. “Gila! Aku masih masih normal, Yud.” Dia sadar telah bereaksi berlebihan. Pria itu pun berdeham mengurangi rasa gugupnya.

“Aku pikir ….” Yudistira mengaruk lehernya yang tidak gatal.

“Kamu pikir apa?” Haikal lantas bangun dari duduknya, memasang kancing jas dan merapikan. “Ayo periksa tempat lain!”

Sang atasan meninggalkan Yudistira begitu saja, tidak menerima perdebatan lebih lanjut. Sang asisten hanya bisa menghela napas. Bukan karena sesak, tapi karena lelah meladeni bos yang kadang sulit untuk dipahami.

Haikal tengah berpikir, apa yang tadi dia lakukan mungkin memang suatu ketertarikan. Namun, bukan tertarik seperti yang Yudistira pikirkan. Entah tertarik jenis apa ini. Mungkin karena akhir-akhir ini dia sedang kecanduan dengan drama korea. Jadi saat melihat seseorang yang berwajah ras negara itu, sedikit menarik minatnya.

***

Waktu konsultasi Jiena dengan dokter pun tiba. Setelah menyelesaikan pekerjaan hari ini dia langsung menuju klinik tempat praktik dokter-nya. Jiena terpaksa menggunakan motor Yujie lagi hari ini. Dia membuat janji di jam enam sore, jika naik kendaraan umum dia tidak akan sampai tepat waktu.  

Begitu sampai di klinik, Jiena mulai merasa aneh. Dia selalu mengalami situasi ini ketika akan mengunjungi dokter. Dadanya akan terasa sesak, pikiran-pikiran aneh akan muncul, kepala pun mulai berat. Perasaan Jiena mulai cemas, dan … keadaan ini hanya karena satu sebab. Dia menekan dada sesaat, berusaha mengendalikan diri. Semoga saja ketakutannya ini tidak akan terjadi.

“Jiena, lama tidak bertemu,” sapa Dokter Kevin mengulurkan tangan. Dia ingat terakhir kali wanita itu datang enam bulan yang lalu. Keadaannya tidak begitu baik dan Dokter Kevin juga tidak bisa banyak membantu.

Jiena menyambut dan mengangguk ringan, lalu duduk di hadapan sang Dokter. Wajahnya tampak kaku, tersirat jelas kecemasan dari wanita itu. Dokter langsung mengerti, ini bukan pertama kalinya pasiennya ini bersikap seperti ini. Dua hari lalu Dokter Kevin merasa senang menerima panggilan dari Jiena. Wanita ini salah satu pasien yang sulit untuk ditangani.

“Terima kasih sudah datang. Santai saja, Jiena.” Dokter Kevin tersenyun ramah.

Wanita itu pun mencoba mengurangi rasa gugupnya. Dia menarik napas dan besandar pada sofa tunggal yang didudukinya. Melihat sang Dokter selalu ramah dan sabar menghadapinya, sepertinya Jiena bisa sedikit tenang. Kali ini dia mencoba untuk lebih terbuka, tidak seperti pertama kali datang, dia lebih banyak terpengaruh akan Yujie yang akan muncul.

Untuk seorang pengidap PCOS dan punya alter-ego sepertinya, serasa semua begitu komplek. Semua terasa sangat berat, dengan stres, dan tekanan yang Jiena alami. Sudah mulai sedikit terlepas dari dari beratnya PCOS kini masih harus berjuang menghadapi kepribadian yang lain. Jika bukan karena bantuan kakak laki-lakinya, Jiena mungkin tidak bisa bertahan sampai sekarang.

Seumur hidupnya, Jiena tidak bisa terlepas dari PCOS. Tetapi, setidaknya dia sangat ingin terlepas dari kepribadian yang lain. Trauma yang dialami sejak kecil, benar-benar telah mengikatnya hingga terjebak seperti ini.

“Yang kamu lakukan sudah bagus. Kamu punya pengendalian diri yang baik.” Dokter Kevin terlebih dulu memberikan pujian setelah mendegar pernyataan Jiena. Saran yang dia berikan terakhir kali sepertinya bekerja.

Namun, pada pertukaran jiwa terakhir kali, Jiena sedikit tidak terkendali. Sebab itu tekanan yang dia rasakan kini lebih dari sebelumnya. Mungkin karena sudah tidak tahan dengan Yujie yang selalu berbuat sesuka hati.

Hanya tatapan datar yang Dokter Kevin lihat dari pasiennya itu. Seolah pujiannya tidak berpengaruh, mungkin karena Jiena merasa tidak terlalu membuatnya lega.

“Dia semakin ingin mengendalikan saya. Saya semakin sulit mengendalikan diri.”

“Jika ada seseorang yang bisa mengendalikan pria itu mungkin akan lebih membantu. Kalau bisa saya bertemu dengan kakak kamu, karena kita butuh peran keluarga jika ingin ini berhasil.”

Lagi-lagi Jiena tidak menjawab. Terakhir kali saat kakaknya ingin membantu, malah membuat Lingga hampir celaka karena Yujie.

“Kamu bisa beri saya kontaknya saja.” Dokter Kevin kemudian memberi jalan karena tidak adanya jawaban.

Selesai sesi koselingnya, Jiena pun pulang. Dia terdiam sejenak sebelum masuk ke dalam rumah. Sepanjang jalan dia terus berpikir, apa tindakannya sudah benar dengan memberikan kontak Lingga ke Dokter Kevin? Jiena tidak ingin membahayakan keselamatan kakaknya, tapi Lingga selalu minta dilibatkan jika perlu bantuan.

Ketika berdiri di depan cermin kamar mandi, Jiena kembali merasakan sakit kepala hebat. Tidak, dia sudah bangun? Bertepatan dengan bunyi ketukan di pintu, suara lain muncul dalam kepalanya.

“Kamu ingin aku melakukan apa pada Kakak kita?”