Hampir saja Jiena terjerembab, ditambah dengan kepalanya yang masih pusing, sehingga tubuhnya tidak stabil. Untung saja pria itu dengan sigap menangkap Jiena, tepat di pinggangnya. Walau pemandangan itu terlihat agak aneh, sampai membuat gadis apoteker menganga, tapi pinggul Jiena selamat dari benturan lantai.
"Maaf, saya tidak sengaja," kata Jiena setelah berdiri seimbang. Dia mendongak, tapi tak melihat dengan jelas wajah pria itu. Jiena lupa menggunakan kacamata, dia menyipit."Nggak apa-apa? Kamu baik-baik saja?" tanya pria itu. Sekelebatan dia merasa indra penciumannya terusik, nyaman.Jiena tak bisa melihat raut wajah pria itu, tapi dia yakin, pria itu bisa maklum. "Aku baik, terima kasih." Jiena menyingkirkan tangan pria itu dari pinggangnya tanpa ragu.Pria itu tersentak dan mundur selangkah. "Ah iya, maaf.""Iya, tidak masalah. Saya permisi." Tanpa berkata apa-apa lagi Jiena berlalu pergi. Tanpa dia tau, si pria tersenyum melihat kepergiannya."Mas …." Gadis apoteker memanggil, tapi pria itu diam saja."Mas, Halo!" Panggilan kedua, intonasi gadis itu menaik.Barulah si pria tersadar dan segera berbalik. "Ahh, iya. Kenapa, Mbak?" Si pria mendekat ke etalase."Segitunya liatin cowok ganteng. Naksir ya?" tanya gadis itu dengan candaan.Alis pria itu menukik. "Eh, bukanlah, Mbak. Saya normal, masih doyan cewek," jawab si pria seraya terkekeh.Mungkin dari cara pria itu melihat Jiena, gadis apoteker bisa berpikiran demikian."Ya kali aja Mas mau. Muka-muka kaya Mas yang tadi kan lagi naik daun.""Hehe, bener juga. Cowok-cowok sekarang pada glow up ya. Kalau saya cewek kayak Mbaknya, mungkin bakal naksir," tunjuk si pria pada gadis apoteker.Si gadis tersenyum malu. "Mas nya juga nggak kalah ganteng loh. Biar muka keliatan pribumi, tapi nggak kalah sama cetakan dari luar.""Mbaknya bisa aja." Si pria tersenyum. "Tapi saya memang ganteng, Mbak. Pake banget, kan? Makasih loh.""Yee … Masnya ternyata narsis." Bola mata gadis apoteker itu memutar malas, bibirnya mengerucut. Niat menggoda, justru dia yang dibuat kesal.Sementara si pria tertawa melihat ekspresi gadis itu. Setelah puas barulah dia menyampaikan maksud kedatangannya.***Lima belas menit sebelum jam masuk kantor. Jiena bergegas menuju gedung tempatnya bekerja—Shadow Crop. Telah berdiri sejak sepuluh tahun dan sudah terkenal dengan hasil iklan yang luar biasa. Saat Jiena sampai di pintu masuk gedung yang tinggi itu, kaki Jiena berhenti. Keningnya mengkerut, pandangannya tertuju pada karpet merah yang membentang dari luar hingga lobby. Siapakah yang ingin disambut seistimewa ini?"Ngapain lo berdiri di sini, Jie." Seorang pria menepuk bahunya. Teman satu divisinya Jiena—Met. Nama aslinya Memet, karena namanya terlalu jadul, jadi panggilannya dipersingkat.Jiena menoleh ke samping. "Mau ada penyambutan siapa, Met?""Lo nggak tau? Hari ini CEO baru kita datang. Lo kan ikut briefing kemarin," ujar Met."Ah, sialan si Yujie. Dia ternyata kemarin ke kantor!" batin Jiena marah. "Ohh, iya gue lupa," jawab Jiena akhirnya, bingung bagaimana menjelaskan.Mereka berjalan bersama masuk ke dalam gedung. Mengarahkan kartu karyawan ke mesin presensi. Lalu menuju ke depan lift.Setiap kali Jiena bertukar tempat dengan Yujie. Ada beberapa hal yang tidak Jiena tau. Untung dia bisa mengakali Mat, dan meminta informasi di kantor. Dengan begitu Jiena akan mencari tau pekerjaan apa saja yang telah Yujie lakukan."Lo amnesia lagi? Penyakit lo apaan sih, Jie? Kalau udah ganti mode keren kayak kemaren pasti ada yang lo lupa." Met melanjutkan obrolan setelah mereka masuk lift.Jiena memang berpenampilan biasa. Cardigan dan kemeja panjang di dalam. Celana katun, rambut disisir rapi, serta kacamata. Tidak seperti Yujie yang selalu bergaya. Orang-orang bahkan mengatainya si plin plan fashion."Entahlah," jawab Jiena singkat"Untung aja kerjaan lo beres.""Iya."Jawaban singkat Jiena memutus obrolan mereka, seperti biasa. Bisa-bisa wajah datar Jiena menghilangkan mood kerja Met hari ini, dan dia tak mau itu sampai terjadi.Jiena memang irit bersuara di lingkungan kerjanya. Hanya Met satu-satunya teman yang sering mengajaknya berbicara. Jiena selalu membatasi pergaulan di kantor. Dia pendiam, dan selalu menutup diri. Hanya masalah pekerjaan saja yang bisa membuatnya banyak bicara.Saat sampai di meja kerja, Jiena segera memeriksa buku agendanya. Biasanya Yujie meninggalkan pesan untuk dirinya terkait pekerjaan. Ternyata tak banyak yang Yujie lakukan. Paling dia banyak santai dan hanya membuat laporan harian. Tubuhnya pasti banyak kafein untuk menghilangkan rasa ngantuk ketika Yujie muncul.Jiena tak habis pikir, bagaimana tubuhnya bisa bertahan dengan tidak tidur selama tiga hari. Waktu dulu awal kemunculan Yujie, Jiena belum mengerti bagaimana cara mereka bertukar tempat. Setelah Jiena tau celahnya, Jiena akan mengambil kesempatan bangkit saat Yujie tidur. Namun, kini sulit, karena Yujie sudah tau, tubuhnya akan dipaksa tidak tidur selama berhari-hari. Sebesar itu keinginan Yujie untuk menguasai tubuhnya.Jiena tidak tau apakah Yujie sudah melemah atau belum. Yang pasti dia tidak akan bisa melawan saat Yujie ingin bangun. Jiena berencana, akan menemui dokter, mumpung Yujie sekarang sedang istirahat. Jiena sudah menandai, jika dalam keadaan seperti ini, Yujie tak akan mengusiknya dalam beberapa hari.Sepuluh menit setelah pekerjaan di mulai. Karyawan diminta berkumpul untuk menyambut kedatangan CEO baru. Mereka bergegas menuju lobby dan berbaring di sisi karpet merah.Sebuah mobil SUV mewah berwarna putih berhenti di pelataran depan gedung. Asisten CEO yang telah bersiap di teras menyambut sang atasan. Seorang pria nampak keluar dari pintu kemudi. Semua karyawan terlihat antusias menyambut atasan baru mereka.Pria bertubuh tinggi, berpakaian ala bos besar pun masuk ke lobby. Setelan jas yang ditafsir dengan harga mahal memperlihatkan kegagahannya. Disusul sang asisten di belakangnya. Dengan senyumannya yang paling menawan, dia berjalan di atas karpet merah. Semua mata tertuju pada pria itu. Bagaimana tidak, wajah tampan khas Indonesia-nya telah menyihir mereka. Terutama para wanita.Namun, beda dengan Jiena. Wanita satu ini tak tertarik sama sekali. Berbeda dari wanita yang hampir histeris melihat pesona sang CEO. Hingga bos barunya itu berhenti tepat di depannya. Kening Jiena mengkerut. Pasalnya, si bos memandangi dirinya seraya tersenyum."Hai, ketemu lagi. Kamu bekerja di sini? Ck ck ck, dunia sempit ternyata," kata pria itu. Dia tersenyum penuh arti lalu meneruskan langkahnya."Hah?" Jiena pun keheranan. Dengan wajah datarnya itu, menatap kepergian si bos dari hadapannya.Hal itu membuat semua mata langsung tertuju pada Jiena. Dalam pikiran mereka Jiena telah mengenal sang CEO baru. Jiena pun merasa heran, kenapa si bos menyapanya? Dia tidak merasa pernah bertemu.Tahap perkenalan langsung dilakukan saat itu juga. Sang asisten meminta para karyawan inti yang hadir untuk mendekat, mengelilingi sang atasan dan asistennya.Yudistira—asisten yang dulu bekerja untuk pemilik perusahaan ini. Sekarang ditugaskan untuk mendampingi bos baru. Putra satu-satunya pemilik perusahaan yang semula bertugas di cabang luar negeri. Sang pewaris akan mengelola kantor utama. Beban yang sangat besar akan berada di pundaknya mulai sekarang.Tatapan mata Jiena bertemu dengan sang CEO baru. Ternyata pria itu masih tersenyum padanya."Dia kenapa?" tanya Jiena dalam hati.Para karyawan tampak berbisik-bisik. Hal itu membuat Yudi memasang wajah sangar. Dia menarik napas panjang, menghentikan kebisingan."Perhatian semua!" Suara bariton Yudistira membuat semua terdiam."Huff … akhirnya tenang juga. Saya tau saya ganteng. Tidak perlu bicara di belakang saya. Bilang aja di depan saya. Saya paling suka orang yang jujur. Hahaha …." Ucapan sang bos baru, terdengar sangat percaya diri.Karyawan yang terdiam menganga seketika. Ternyata bos mereka sangat percaya diri. Sudah di level narsis tingkat tinggi sepertinya. Sebagian ada yang kagum. Mata mereka terlihat berbinar memandangi pesona si bos baru. Sebagian lagi ada yang merasa itu lucu. Sehingga tanpa sadar tersenyum geli. Ada juga yang diam tanpa ekspresi apapun, termasuk Jiena.Si bos malah senang melihat respon semua karyawan. Senyuman manis tak pernah pudar dari bibirnya yang kemerahan. Setelah menjeda sejenak, dia melanjutkan ucapannya."Selamat pagi karyawan semuanya," sapa pria berbadan tegap itu denga
"Jie, waktunya makan siang, yuk!"Tepukan pada bahu, membuat Jiena tersentak seketika. Tubuh dan pikiran terasa tidak pada tempatnya dari pagi tadi. Efek dari minuman keras yang Yujie konsumsi secara berlebihan. Obat penghilang pengar yang dia minum tadi pun, tidak banyak membantu. Jiena benar-benar tidak bisa fokus pada pekerjaan.Met menyadari itu, dia yang berdiri di sebelah Jiena mengamati lebih dekat. "Kamu kenapa, Jie? Sakit?" Kedua belah pipi Jiena ditangkupnya. "Muka lo pucet banget, Jie." Hal itu membuat Jiena sedikit gugup, lalu segera menepis kedua tangan Met. "Gue nggak apa-apa, cuma lelah aja. Lo pergi makan aja sana, gue mau pesan delivery aja," ucapnya seraya memalingkan wajah."Tapi lo pucet banget, sebaiknya lo ke klinik biar diperiksa dokter." Memet memberi saran."Nggak perlu, cuma pusing dikit aja. Abis makan nanti gue minum obat." Jiena berucap dengan wajah datar seperti biasa. Dia pikir juga hanya pusing sedikit tidak akan ada masalah."Lo yakin?" Jiena menjawab
“Bukakan pintunya, cepat!”Yudhistira yang mendapat perintah langsung membukan pintu ruang kantor sang atasan. Sekilas dia melirik wajah Haikal yang terlihat tenang, tapi sudah tampak gurat kecemasan semejak di lift. Wajar saja jika si asisten akan berpikir bahwa tindakan Haikal sangat berlebihan. Terlebih lagi hanya untuk karyawan yang baru hari ini dia kenal. Bos-nya itu bahkan melangkahkan kakinya dengan sangat cepat. Dengan kaki panjang itu tak akan butuh waktu lama untuk mencapai depan pintu ruangan kerjanya.“Aku akan membaringkannya.” Haikal menuju sofa hitam panjang berbahan kulit di ruangannya.Yudhistira gegas menata bantal duduk agar bisa digunakan Jiena untuk berbaring. “Sudah, Bos.” Dia memundurkan tubuh untuk memberi sang atasan ruang gerak.Tubuh Jiena dibaringkan secara perlahan. “Badannya kecil, tapi bugar,” gumam Haikal seraya melatakkan perlahan kepala wanita itu di bantal. Tanpa disadari dia telah terpesona dengan kulit putih Jiena yang sangat dekat di pandangannya
“Maaf, Pak ... saya makan sendiri saja.”Sedikit ragu wanita itu menolak, lalu mengulurkan tangan meminta sendok yang diarahkan padanya. Rasanya kurang pantas ketika dia menerima perlakuan sang atasan seperti ini. Terlebih lagi dia baru saja mengenal atasan barunya itu.“Kenapa? Keberatan saya suapin?”“Bukan gitu, Pak. Tapi ....”Dengan santainya Haikal bertanya, tanpa memahami secanggung apa Jiena saat ini. Entah apa yang membuat pria itu bersikap baik seperti ini. Semua terasa tidak biasa, bahkan jika sekretarisnya ada, juga akan merasa heran dengan sikapnya. Terutama bagi Jiena yang pastinya lebih binggung. Jelas wanita itu juga merasa sungkan, sampai dia berpikir ingin cepat-cepat keluar dari ruangan itu.“Se-sebaiknya saya kembali ke ruangan saya.”“Hmm ... oke, oke.” Haikal krmudian baru sadar akan penolakan wanita yang di matanya adalah seorang laki-laki. Pria itu pun mengalah dan meletakkan sendok di tangannya. Lalu berdiri dan berjalan ke mini dispenser mengambil air minum.
Jiena adalah seorang wanita 26 tahun yang memiliki krisis identitas dalam dirinya. Sejak menginjak usia remaja tubuh Jiena mulai terlihat gejala-gejala aneh. Dia mengalami masa pubertas untuk kedua jenis kelamin. Terkadang merasa feminin dan juga maskulin. Tumbuh bulu, menstruasi dan pertumbuhan payudara yang tidak normal. Seiring berjalannya waktu, leher Jiena mengeras, seperti memiliki jakun layaknya pria dewasa. Otot tubuhnya juga perlahan terlihat. Tak menampakkan ciri sebagai seorang wanita sama sekali. Jiena berusaha menutupi semua itu dengan baik, sehingga keluarganya tidak ada yang tahu. Pernah sekali dia memeriksakan diri ke dokter. Ternyata Jiena mengidap penyakit langka, Polycystic ovary syndrome (PCOS). Tubuhnya memproduksi hormon laki-laki (androgen) secara berlebihan.Semua pertumbuhan aneh itu terus berlanjut hingga dia lulus dari SMA. Jiena memutuskan untuk berkuliah jauh dari rumahnya agar bisa tinggal sendiri. Gejala aneh lainnya kembali muncul. Dia sering bermimpi
Permainan, kata yang disebut Yujie saat ingin mendapat kesenangan. Matanya masih menatap rakus pada sosok wanita di sana. Menelisik tiap jengkal tubuh langsing itu. Seolah matanya bisa menilai apa yang dia lihat walau dari jauh.Seraya meneguk minumannya, Yujie memikirkan hal yang akan dia lakukan. "Pria seperti apa yang dia mau?" Paras wanita itu cukup cantik, wajar jika dia berselera tinggi. "Cihh, sombong!""Kurang tau, wanita itu terlalu rumit," jawab Bob.Sudut bibir kiri Yujie terangkat. Permainan baru akan segera ia mulai. "Menarik, dia akan jadi milikku malam ini. Berikan aku seperti biasa."Bob mengangguk, lalu tersenyum kecil. Pria itu sangat tau apa yang akan Yujie lakukan. Lalu Bob menyerahkan botol kecil yang berisi bubuk putih.Setelah meminum seteguk, kaki Yujie mulai melangkah, menghampiri wanita itu. Tak ketinggalan, dia membawa gelas wiski miliknya. Wanita pemilih tidak ayal sebuah pajangan berdebu di sudut ruangan, itu yang ada dalam pikiran Yujie. Bermodal polesan
Yujie membiarkan rintihan wanita itu. Dia masih berdiri dengan bersedekap. Terus memandangi, menikmati kesakitan Marta atas perbuatannya. Pemandangan yang sangat menyenangkan bagi Yujie. Marta terlihat sangat menderita, tubuhnya seperti sudah tidak bisa dikendalikan. Tali yang mengikat pergelangan tangan, mulai menggores kulit cantiknya. Hingga waktunya sudah tiba, Yujie melangkahkan kaki ke arah pintu. "It's time," gumamnya. "Lakukan tugasmu!" Perintah Yujie pada seorang pria yang telah menunggu di depan pintu."Baik, Bos.""Namanya Marta, dia ingin dipanggil ketika dipuaskan," ucap Yujie dingin.Pria yang baru saja masuk kedalam kamar itu pun tersenyum. Tentu saja itu hal yang paling dia inginkan. "Apa alasannya kali ini, Bos?" tanya Pria itu.Yujie selalu punya alasan yang berbeda setiap kali memutuskan untuk mencari mangsa. Banyak pria di bar ini yang akan dia beri kesempatan untuk bersenang-senang. "Wanita itu pemilih, aku hanya muak dengannya.""Anda selalu nakal seperti biasa
“Maaf, Pak ... saya makan sendiri saja.”Sedikit ragu wanita itu menolak, lalu mengulurkan tangan meminta sendok yang diarahkan padanya. Rasanya kurang pantas ketika dia menerima perlakuan sang atasan seperti ini. Terlebih lagi dia baru saja mengenal atasan barunya itu.“Kenapa? Keberatan saya suapin?”“Bukan gitu, Pak. Tapi ....”Dengan santainya Haikal bertanya, tanpa memahami secanggung apa Jiena saat ini. Entah apa yang membuat pria itu bersikap baik seperti ini. Semua terasa tidak biasa, bahkan jika sekretarisnya ada, juga akan merasa heran dengan sikapnya. Terutama bagi Jiena yang pastinya lebih binggung. Jelas wanita itu juga merasa sungkan, sampai dia berpikir ingin cepat-cepat keluar dari ruangan itu.“Se-sebaiknya saya kembali ke ruangan saya.”“Hmm ... oke, oke.” Haikal krmudian baru sadar akan penolakan wanita yang di matanya adalah seorang laki-laki. Pria itu pun mengalah dan meletakkan sendok di tangannya. Lalu berdiri dan berjalan ke mini dispenser mengambil air minum.
“Bukakan pintunya, cepat!”Yudhistira yang mendapat perintah langsung membukan pintu ruang kantor sang atasan. Sekilas dia melirik wajah Haikal yang terlihat tenang, tapi sudah tampak gurat kecemasan semejak di lift. Wajar saja jika si asisten akan berpikir bahwa tindakan Haikal sangat berlebihan. Terlebih lagi hanya untuk karyawan yang baru hari ini dia kenal. Bos-nya itu bahkan melangkahkan kakinya dengan sangat cepat. Dengan kaki panjang itu tak akan butuh waktu lama untuk mencapai depan pintu ruangan kerjanya.“Aku akan membaringkannya.” Haikal menuju sofa hitam panjang berbahan kulit di ruangannya.Yudhistira gegas menata bantal duduk agar bisa digunakan Jiena untuk berbaring. “Sudah, Bos.” Dia memundurkan tubuh untuk memberi sang atasan ruang gerak.Tubuh Jiena dibaringkan secara perlahan. “Badannya kecil, tapi bugar,” gumam Haikal seraya melatakkan perlahan kepala wanita itu di bantal. Tanpa disadari dia telah terpesona dengan kulit putih Jiena yang sangat dekat di pandangannya
"Jie, waktunya makan siang, yuk!"Tepukan pada bahu, membuat Jiena tersentak seketika. Tubuh dan pikiran terasa tidak pada tempatnya dari pagi tadi. Efek dari minuman keras yang Yujie konsumsi secara berlebihan. Obat penghilang pengar yang dia minum tadi pun, tidak banyak membantu. Jiena benar-benar tidak bisa fokus pada pekerjaan.Met menyadari itu, dia yang berdiri di sebelah Jiena mengamati lebih dekat. "Kamu kenapa, Jie? Sakit?" Kedua belah pipi Jiena ditangkupnya. "Muka lo pucet banget, Jie." Hal itu membuat Jiena sedikit gugup, lalu segera menepis kedua tangan Met. "Gue nggak apa-apa, cuma lelah aja. Lo pergi makan aja sana, gue mau pesan delivery aja," ucapnya seraya memalingkan wajah."Tapi lo pucet banget, sebaiknya lo ke klinik biar diperiksa dokter." Memet memberi saran."Nggak perlu, cuma pusing dikit aja. Abis makan nanti gue minum obat." Jiena berucap dengan wajah datar seperti biasa. Dia pikir juga hanya pusing sedikit tidak akan ada masalah."Lo yakin?" Jiena menjawab
Para karyawan tampak berbisik-bisik. Hal itu membuat Yudi memasang wajah sangar. Dia menarik napas panjang, menghentikan kebisingan."Perhatian semua!" Suara bariton Yudistira membuat semua terdiam."Huff … akhirnya tenang juga. Saya tau saya ganteng. Tidak perlu bicara di belakang saya. Bilang aja di depan saya. Saya paling suka orang yang jujur. Hahaha …." Ucapan sang bos baru, terdengar sangat percaya diri.Karyawan yang terdiam menganga seketika. Ternyata bos mereka sangat percaya diri. Sudah di level narsis tingkat tinggi sepertinya. Sebagian ada yang kagum. Mata mereka terlihat berbinar memandangi pesona si bos baru. Sebagian lagi ada yang merasa itu lucu. Sehingga tanpa sadar tersenyum geli. Ada juga yang diam tanpa ekspresi apapun, termasuk Jiena.Si bos malah senang melihat respon semua karyawan. Senyuman manis tak pernah pudar dari bibirnya yang kemerahan. Setelah menjeda sejenak, dia melanjutkan ucapannya."Selamat pagi karyawan semuanya," sapa pria berbadan tegap itu denga
Hampir saja Jiena terjerembab, ditambah dengan kepalanya yang masih pusing, sehingga tubuhnya tidak stabil. Untung saja pria itu dengan sigap menangkap Jiena, tepat di pinggangnya. Walau pemandangan itu terlihat agak aneh, sampai membuat gadis apoteker menganga, tapi pinggul Jiena selamat dari benturan lantai. "Maaf, saya tidak sengaja," kata Jiena setelah berdiri seimbang. Dia mendongak, tapi tak melihat dengan jelas wajah pria itu. Jiena lupa menggunakan kacamata, dia menyipit."Nggak apa-apa? Kamu baik-baik saja?" tanya pria itu. Sekelebatan dia merasa indra penciumannya terusik, nyaman.Jiena tak bisa melihat raut wajah pria itu, tapi dia yakin, pria itu bisa maklum. "Aku baik, terima kasih." Jiena menyingkirkan tangan pria itu dari pinggangnya tanpa ragu.Pria itu tersentak dan mundur selangkah. "Ah iya, maaf.""Iya, tidak masalah. Saya permisi." Tanpa berkata apa-apa lagi Jiena berlalu pergi. Tanpa dia tau, si pria tersenyum melihat kepergiannya. "Mas …." Gadis apoteker memang
Yujie membiarkan rintihan wanita itu. Dia masih berdiri dengan bersedekap. Terus memandangi, menikmati kesakitan Marta atas perbuatannya. Pemandangan yang sangat menyenangkan bagi Yujie. Marta terlihat sangat menderita, tubuhnya seperti sudah tidak bisa dikendalikan. Tali yang mengikat pergelangan tangan, mulai menggores kulit cantiknya. Hingga waktunya sudah tiba, Yujie melangkahkan kaki ke arah pintu. "It's time," gumamnya. "Lakukan tugasmu!" Perintah Yujie pada seorang pria yang telah menunggu di depan pintu."Baik, Bos.""Namanya Marta, dia ingin dipanggil ketika dipuaskan," ucap Yujie dingin.Pria yang baru saja masuk kedalam kamar itu pun tersenyum. Tentu saja itu hal yang paling dia inginkan. "Apa alasannya kali ini, Bos?" tanya Pria itu.Yujie selalu punya alasan yang berbeda setiap kali memutuskan untuk mencari mangsa. Banyak pria di bar ini yang akan dia beri kesempatan untuk bersenang-senang. "Wanita itu pemilih, aku hanya muak dengannya.""Anda selalu nakal seperti biasa
Permainan, kata yang disebut Yujie saat ingin mendapat kesenangan. Matanya masih menatap rakus pada sosok wanita di sana. Menelisik tiap jengkal tubuh langsing itu. Seolah matanya bisa menilai apa yang dia lihat walau dari jauh.Seraya meneguk minumannya, Yujie memikirkan hal yang akan dia lakukan. "Pria seperti apa yang dia mau?" Paras wanita itu cukup cantik, wajar jika dia berselera tinggi. "Cihh, sombong!""Kurang tau, wanita itu terlalu rumit," jawab Bob.Sudut bibir kiri Yujie terangkat. Permainan baru akan segera ia mulai. "Menarik, dia akan jadi milikku malam ini. Berikan aku seperti biasa."Bob mengangguk, lalu tersenyum kecil. Pria itu sangat tau apa yang akan Yujie lakukan. Lalu Bob menyerahkan botol kecil yang berisi bubuk putih.Setelah meminum seteguk, kaki Yujie mulai melangkah, menghampiri wanita itu. Tak ketinggalan, dia membawa gelas wiski miliknya. Wanita pemilih tidak ayal sebuah pajangan berdebu di sudut ruangan, itu yang ada dalam pikiran Yujie. Bermodal polesan
Jiena adalah seorang wanita 26 tahun yang memiliki krisis identitas dalam dirinya. Sejak menginjak usia remaja tubuh Jiena mulai terlihat gejala-gejala aneh. Dia mengalami masa pubertas untuk kedua jenis kelamin. Terkadang merasa feminin dan juga maskulin. Tumbuh bulu, menstruasi dan pertumbuhan payudara yang tidak normal. Seiring berjalannya waktu, leher Jiena mengeras, seperti memiliki jakun layaknya pria dewasa. Otot tubuhnya juga perlahan terlihat. Tak menampakkan ciri sebagai seorang wanita sama sekali. Jiena berusaha menutupi semua itu dengan baik, sehingga keluarganya tidak ada yang tahu. Pernah sekali dia memeriksakan diri ke dokter. Ternyata Jiena mengidap penyakit langka, Polycystic ovary syndrome (PCOS). Tubuhnya memproduksi hormon laki-laki (androgen) secara berlebihan.Semua pertumbuhan aneh itu terus berlanjut hingga dia lulus dari SMA. Jiena memutuskan untuk berkuliah jauh dari rumahnya agar bisa tinggal sendiri. Gejala aneh lainnya kembali muncul. Dia sering bermimpi