Share

Bab 002

Secara alami pada saat lahir dalam tubuh Bayu sudah tertanam dua kekuatan angin dan petir, sementara kesaktian Darah Peri tidak ikut masuk ke dalamnya.

Jadi anak ini sudah memiliki kelebihan dalam tubuhnya, hanya belum bisa mengendalikan dan memanfaatkannya.

Bayu juga mewarisi bakat luar biasa ayahnya, yaitu daya ingat yang kuat. Hanya saja dia lambat dalam mempraktekkan arahan sang ayah untuk mengendalikan kekuatan yang dia miliki.

Sehingga sampai di umur yang keduabelas, Bayu belum mampu mengendalikan dan memanfaatkan kesaktian angin petir dalam tubuhnya.

Ditambah lagi peristiwa di Padepokan Cakrabuana yang menyeret nama Panji membuat upaya sang ayah dalam mengajari anaknya jadi terhambat.

Akhirnya Panji menyerahkan pendidikan sang anak kepada Eyang Ismaya. Siapa tahu walaupun tidak bisa menggunakan kekuatan alami yang dimiliki, tapi masih memiliki ilmu lain warisan dari Eyang Ismaya.

"Tentu saja, aku sudah menganggap Bayu seperti cucuku sendiri. Aku juga senang ada orang yang akan mewarisi semua ilmuku. Aku percaya pada rencanamu, Panji. Dan aku yakin kalian akan bisa mengatasinya."

"Terima kasih, Eyang!" Panji menjura.

"Jaga dirimu baik-baik, Bayu!" Paramita mengusap kepala anaknya lembut penuh kasih sayang. "Untuk sementara kau akan tinggal bersama Eyang. Jangan nakal, turuti apa yang Eyang perintahkan."

"Baik, Ibu."

Paramita memeluk Bayu beberapa lama seolah hendak berpisah dalam waktu yang lama. Betapa pun hati seorang ibu begitu lembut menyayangi anaknya.

"Oh, ya. Satu lagi, Eyang," kata Panji. "Aku sudah membawakan sesuatu untuk Eyang di ruang belakang. Nyai, ayo kita hadapi mereka!"

Eyang Ismaya hanya mengangguk pelan dengan kening sedikit mengkerut karena belum tahu apa yang telah dibawa Panji.

Kemudian sepasang suami istri itu keluar yang langsung disambut oleh para pendekar dalam jumlah banyak -mungkin sampai seratus orang lebih- mengurung halaman rumah.

Bayu dan Eyang Ismaya tidak bisa melihat keluar karena pintu sudah ditutup kembali. Lalu terdengar suara teriakan dan bentakan yang menuntut pertanggungjawaban atas perbuatan Panji.

"Aku tidak berguna, Eyang. Aku tidak mampu membantu Ayah dan Ibu," ucap Bayu dengan nada menyesal.

"Bukan begitu," sanggah Eyang Ismaya. "Tapi belum saatnya!"

Kemudian Eyang Ismaya mengambil sebuah buntalan kecil yang sudah tersimpan di sebelah kanan si kakek sepuh ini. Buntalan tersebut dibuka dan diletakkan di depan Bayu.

"Apa ini, Eyang?"

"Ayahmu menitipkan dua benda itu untuk kau pakai agar selalu dalam keadaan selamat dan tidak kurang suatu apa pun."

Bayu mengambil kedua benda itu. Ternyata berupa ikat pinggang dan rompi berwarna hitam.

"Itu adalah Sabuk Ajaib dan Rompi Halimunan. Pakailah sebagai pelapis bagian dalam. Kau sangat membutuhkan dua benda itu."

Tanpa banyak kata lagi, Bayu bangkit lalu melangkah ke kamarnya membawa dua benda pusaka yang dulu selalu menemani petualangan ayahnya.

Beberapa saat kemudian anak berumur dua belas tahun ini muncul lagi. Dua pakaian pusaka tadi sudah dikenakan di bagian dalam.

"Sabuk Ajaib akan membuatmu selalu bertenaga, tidak pernah merasa kelelahan. Kalau terluka di bagian dalam atau luar, maka akan cepat menyembuhkan."

"Lalu Rompi Halimunan?" tanya Bayu.

"Bila kau usap bahu sebelah kanan, maka sosokmu tidak akan terlihat termasuk benda yang kau pegang. Jika ingin terlihat lagi, maka usap bahu kiri."

Wajah Bayu ternganga mendengar fungsi kedua pakaian pusaka ini. Rasanya ingin segera mencoba, tapi di luar sana sudah terdengar gemuruh angin dari ilmu-ilmu tingkat tinggi.

Ayah dan ibunya telah terlibat dalam pertarungan tidak seimbang. Dua orang melawan banyak. Namun, baik Bayu atau Eyang Ismaya tampak tenang saja.

Sebab, mereka yakin bisa saja Panji dan Paramita membantai habis lawan-lawannya walaupun jumlahnya sangat banyak.

"Kita lihat apa yang dibawa ayahmu!" Eyang Ismaya malah mengajak Bayu ke ruang belakang.

Sementara di luar memang terjadi pertempuran sengit. Sepasang pendekar digjaya, Pendekar Angin Petir bersama istrinya yang memiliki pusaka Pedang Seribu Kembang melawan lebih dari seratus pendekar aliran putih.

Seperti dugaan Eyang Ismaya dan Bayu, sepasang suami istri sakti ini tidak sungguh-sungguh dalam bertarung. Mereka lebih banyak menghindar.

Jikapun menyerang, maka serangannya tidak menimbulkan luka serius. Memang benar, bisa saja Panji mengendalikan angin dan memunculkan petir guna menghempaskan semua lawannya, tetapi tidak dilakukan.

Panji mempunyai rencana sendiri untuk membersihkan namanya yang sudah tercoreng. Padepokan terbesar kini hancur dan semua orang menetapkan Panji adalah pelakunya.

Dalam satu kesempatan, suami istri ini saling pandang lalu sama-sama mengangguk. Kejap berikutnya mereka melesat meninggalkan pengeroyok yang terus melepaskan serangan bertubi-tubi.

"Mereka kabur!"

"Kejar!"

Sebagai pendekar aliran putih tentu mereka bersikap kesatria. Yang diburu adalah Panji Saksana Pendekar Angin Petir saja. Maka tidak akan melibatkan yang lainnya, bahkan istrinya sekalipun. Karena yang menjadi sasaran hanya Panji saja.

Sepasukan pendekar golongan putih ini dipimpin oleh Wirapati si Tapak Sakti. Murid-murid dari Perguruan Teratai Emas juga ikut turun membantu.

Bahkan di antara mereka juga ada Jaya Antea alias Pendekar Cakar Sakti yang mendapatkan ilmu Dewa Racun secara tidak sengaja.

Dulu Jaya Antea sempat ditolong Panji ketika hampir tewas di tangan dedengkot Laskar Kalong Hideung. Sekarang demi menegakkan keadilan dia harus memburu sang penolongnya. Dia harus mengesampingkan balas budi terlebih dahulu.

Semua pendekar akhirnya mengejar Panji dan Paramita yang melesat cepat. Dalam waktu singkat halaman rumah itu menjadi sepi lagi.

Sementara itu di ruang belakang rumah. Eyang Ismaya dan Bayu sama-sama terkejut melihat benda yang tergeletak di lantai.

Ternyata jasad Ki Abiasa. Rupanya diam-diam Panji pergi ke Padepokan Cakrabuana dengan ilmu meringankan tubuh yang sangat cepat lalu mengambil jasad Ki Abiasa dan dibawa ke sini.

"Apa maksudnya ini, Eyang?"

"Ini akan menjadi tugasmu, dan tugasku juga. Walaupun aku sudah meninggalkan padepokan, tapi rasa tanggung jawabku masih ada."

Eyang Ismaya jongkok di depan jasad Ki Abiasa yang dulu menjadi bawahannya sewaktu masih di Padepokan Cakrabuana. Tangan kanannya yang dialiri hawa sakti menjulur memeriksa mayat itu.

Sementara Bayu memperhatikan bentuk luka yang tercetak di bagian dada atas sebelah kanan. Dia memang baru melihat korban akibat terkena ilmu Pukulan Geledek.

Tiba-tiba Eyang Ismaya terkejut sambil menarik tangannya.

"Ada apa, Eyang?"

"Ikut ke rumahku!"

Eyang Ismaya memanggul jasad Ki Abiasa ke bahunya. Lalu segera keluar meninggalkan rumah ini. Bayu hanya bisa mengikuti dari belakang.

Setelah kepergian dua orang ini, datanglah satu pasukan prajurit yang dikirim kerajaan untuk menangkap Panji terkait Padepokan Cakrabuana. Peristiwa tragis itu telah sampai juga ke istana.

Namun, saat diperiksa rumah sudah dalam keadaan kosong.

"Mereka sudah kabur. Tetapkan Pendekar Angin Petir beserta keluarganya adalah buronan kerajaan. Siapa pun yang menemukan harus menangkap mereka!" kata pemimpin pasukan yang tidak lain adalah Senapati Pranajaya, suaminya Nala Ratih.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status