Secara alami pada saat lahir dalam tubuh Bayu sudah tertanam dua kekuatan angin dan petir, sementara kesaktian Darah Peri tidak ikut masuk ke dalamnya.
Jadi anak ini sudah memiliki kelebihan dalam tubuhnya, hanya belum bisa mengendalikan dan memanfaatkannya. Bayu juga mewarisi bakat luar biasa ayahnya, yaitu daya ingat yang kuat. Hanya saja dia lambat dalam mempraktekkan arahan sang ayah untuk mengendalikan kekuatan yang dia miliki. Sehingga sampai di umur yang keduabelas, Bayu belum mampu mengendalikan dan memanfaatkan kesaktian angin petir dalam tubuhnya. Ditambah lagi peristiwa di Padepokan Cakrabuana yang menyeret nama Panji membuat upaya sang ayah dalam mengajari anaknya jadi terhambat. Akhirnya Panji menyerahkan pendidikan sang anak kepada Eyang Ismaya. Siapa tahu walaupun tidak bisa menggunakan kekuatan alami yang dimiliki, tapi masih memiliki ilmu lain warisan dari Eyang Ismaya. "Tentu saja, aku sudah menganggap Bayu seperti cucuku sendiri. Aku juga senang ada orang yang akan mewarisi semua ilmuku. Aku percaya pada rencanamu, Panji. Dan aku yakin kalian akan bisa mengatasinya." "Terima kasih, Eyang!" Panji menjura. "Jaga dirimu baik-baik, Bayu!" Paramita mengusap kepala anaknya lembut penuh kasih sayang. "Untuk sementara kau akan tinggal bersama Eyang. Jangan nakal, turuti apa yang Eyang perintahkan." "Baik, Ibu." Paramita memeluk Bayu beberapa lama seolah hendak berpisah dalam waktu yang lama. Betapa pun hati seorang ibu begitu lembut menyayangi anaknya. "Oh, ya. Satu lagi, Eyang," kata Panji. "Aku sudah membawakan sesuatu untuk Eyang di ruang belakang. Nyai, ayo kita hadapi mereka!" Eyang Ismaya hanya mengangguk pelan dengan kening sedikit mengkerut karena belum tahu apa yang telah dibawa Panji. Kemudian sepasang suami istri itu keluar yang langsung disambut oleh para pendekar dalam jumlah banyak -mungkin sampai seratus orang lebih- mengurung halaman rumah. Bayu dan Eyang Ismaya tidak bisa melihat keluar karena pintu sudah ditutup kembali. Lalu terdengar suara teriakan dan bentakan yang menuntut pertanggungjawaban atas perbuatan Panji. "Aku tidak berguna, Eyang. Aku tidak mampu membantu Ayah dan Ibu," ucap Bayu dengan nada menyesal. "Bukan begitu," sanggah Eyang Ismaya. "Tapi belum saatnya!" Kemudian Eyang Ismaya mengambil sebuah buntalan kecil yang sudah tersimpan di sebelah kanan si kakek sepuh ini. Buntalan tersebut dibuka dan diletakkan di depan Bayu. "Apa ini, Eyang?" "Ayahmu menitipkan dua benda itu untuk kau pakai agar selalu dalam keadaan selamat dan tidak kurang suatu apa pun." Bayu mengambil kedua benda itu. Ternyata berupa ikat pinggang dan rompi berwarna hitam. "Itu adalah Sabuk Ajaib dan Rompi Halimunan. Pakailah sebagai pelapis bagian dalam. Kau sangat membutuhkan dua benda itu." Tanpa banyak kata lagi, Bayu bangkit lalu melangkah ke kamarnya membawa dua benda pusaka yang dulu selalu menemani petualangan ayahnya. Beberapa saat kemudian anak berumur dua belas tahun ini muncul lagi. Dua pakaian pusaka tadi sudah dikenakan di bagian dalam. "Sabuk Ajaib akan membuatmu selalu bertenaga, tidak pernah merasa kelelahan. Kalau terluka di bagian dalam atau luar, maka akan cepat menyembuhkan." "Lalu Rompi Halimunan?" tanya Bayu. "Bila kau usap bahu sebelah kanan, maka sosokmu tidak akan terlihat termasuk benda yang kau pegang. Jika ingin terlihat lagi, maka usap bahu kiri." Wajah Bayu ternganga mendengar fungsi kedua pakaian pusaka ini. Rasanya ingin segera mencoba, tapi di luar sana sudah terdengar gemuruh angin dari ilmu-ilmu tingkat tinggi. Ayah dan ibunya telah terlibat dalam pertarungan tidak seimbang. Dua orang melawan banyak. Namun, baik Bayu atau Eyang Ismaya tampak tenang saja. Sebab, mereka yakin bisa saja Panji dan Paramita membantai habis lawan-lawannya walaupun jumlahnya sangat banyak. "Kita lihat apa yang dibawa ayahmu!" Eyang Ismaya malah mengajak Bayu ke ruang belakang. Sementara di luar memang terjadi pertempuran sengit. Sepasang pendekar digjaya, Pendekar Angin Petir bersama istrinya yang memiliki pusaka Pedang Seribu Kembang melawan lebih dari seratus pendekar aliran putih. Seperti dugaan Eyang Ismaya dan Bayu, sepasang suami istri sakti ini tidak sungguh-sungguh dalam bertarung. Mereka lebih banyak menghindar. Jikapun menyerang, maka serangannya tidak menimbulkan luka serius. Memang benar, bisa saja Panji mengendalikan angin dan memunculkan petir guna menghempaskan semua lawannya, tetapi tidak dilakukan. Panji mempunyai rencana sendiri untuk membersihkan namanya yang sudah tercoreng. Padepokan terbesar kini hancur dan semua orang menetapkan Panji adalah pelakunya. Dalam satu kesempatan, suami istri ini saling pandang lalu sama-sama mengangguk. Kejap berikutnya mereka melesat meninggalkan pengeroyok yang terus melepaskan serangan bertubi-tubi. "Mereka kabur!" "Kejar!" Sebagai pendekar aliran putih tentu mereka bersikap kesatria. Yang diburu adalah Panji Saksana Pendekar Angin Petir saja. Maka tidak akan melibatkan yang lainnya, bahkan istrinya sekalipun. Karena yang menjadi sasaran hanya Panji saja. Sepasukan pendekar golongan putih ini dipimpin oleh Wirapati si Tapak Sakti. Murid-murid dari Perguruan Teratai Emas juga ikut turun membantu. Bahkan di antara mereka juga ada Jaya Antea alias Pendekar Cakar Sakti yang mendapatkan ilmu Dewa Racun secara tidak sengaja. Dulu Jaya Antea sempat ditolong Panji ketika hampir tewas di tangan dedengkot Laskar Kalong Hideung. Sekarang demi menegakkan keadilan dia harus memburu sang penolongnya. Dia harus mengesampingkan balas budi terlebih dahulu. Semua pendekar akhirnya mengejar Panji dan Paramita yang melesat cepat. Dalam waktu singkat halaman rumah itu menjadi sepi lagi. Sementara itu di ruang belakang rumah. Eyang Ismaya dan Bayu sama-sama terkejut melihat benda yang tergeletak di lantai. Ternyata jasad Ki Abiasa. Rupanya diam-diam Panji pergi ke Padepokan Cakrabuana dengan ilmu meringankan tubuh yang sangat cepat lalu mengambil jasad Ki Abiasa dan dibawa ke sini. "Apa maksudnya ini, Eyang?" "Ini akan menjadi tugasmu, dan tugasku juga. Walaupun aku sudah meninggalkan padepokan, tapi rasa tanggung jawabku masih ada." Eyang Ismaya jongkok di depan jasad Ki Abiasa yang dulu menjadi bawahannya sewaktu masih di Padepokan Cakrabuana. Tangan kanannya yang dialiri hawa sakti menjulur memeriksa mayat itu. Sementara Bayu memperhatikan bentuk luka yang tercetak di bagian dada atas sebelah kanan. Dia memang baru melihat korban akibat terkena ilmu Pukulan Geledek. Tiba-tiba Eyang Ismaya terkejut sambil menarik tangannya. "Ada apa, Eyang?" "Ikut ke rumahku!" Eyang Ismaya memanggul jasad Ki Abiasa ke bahunya. Lalu segera keluar meninggalkan rumah ini. Bayu hanya bisa mengikuti dari belakang. Setelah kepergian dua orang ini, datanglah satu pasukan prajurit yang dikirim kerajaan untuk menangkap Panji terkait Padepokan Cakrabuana. Peristiwa tragis itu telah sampai juga ke istana. Namun, saat diperiksa rumah sudah dalam keadaan kosong. "Mereka sudah kabur. Tetapkan Pendekar Angin Petir beserta keluarganya adalah buronan kerajaan. Siapa pun yang menemukan harus menangkap mereka!" kata pemimpin pasukan yang tidak lain adalah Senapati Pranajaya, suaminya Nala Ratih. ***Apa yang ditemukan Eyang Ismaya pada jasad Ki Abiasa? Jawabannya disimpan dulu.Keesokan paginya.Sekarang berita tentang ditetapkannya Panji dan keluarga sebagai buronan kerajaan telah menyebar. Ini membuat Eyang Ismaya menjadi agak sempit gerakannya dalam membawa Bayu.Tidak mungkin dia akan terus tinggal di rumahnya bersama Bayu. Pihak kerajaan sewaktu-waktu pasti akan datang karena tahu sang sesepuh dekat dengan keluarga Panji Saksana."Bayu, sepertinya kita harus mengembara dari tempat ke tempat guna menghindari pengejaran pihak kerajaan. Kasihan sekali masih muda sudah menjadi buronan. Padahal tidak ada sangkut pautnya dengan ayahmu!""Aku menuruti apa saja yang menurut Eyang baik," sahut Bayu tegas. Wajahnya tak sedikit pun menunjukkan rasa takut. Tidak seperti ayahnya yang tengil dan suka bercanda, sifat Bayu lebih mirip ibunya yang pendiam."Baiklah, terlebih dahulu kita akan mengubah penampilan agar tidak mudah dikenali orang."Beberapa saat kemudian mereka sudah berganti pa
Bayu terpental sejauh tiga tombak setelah menahan pukulan si kakek yang bernama Setan Berambut Putih itu. Dalam beberapa saat dia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Setelah itu hilang lagi sakitnya dalam sekejap. Tenaganya kembali pulih.Ketika bangkit lagi, Setan Berambut Putih sudah tiga langkah di hadapannya dengan satu kaki mengangkat melepaskan tendangan ke arah kepala.Wush!Remaja ini cepat guling-gulingkan badannya hingga menjauh sampai mendapatkan kesempatan untuk berdiri. Setelah berhasil berdiri dia siap kabur.Namun, Setan Berambut Putih terus memburunya. Hawa membunuh kini terpancar dari tubuhnya. Dia tidak segan-segan walau korbannya masih anak remaja.Memiliki kesempatan untuk berlari, Bayu tak menyia-nyiakannya. Sekuat tenaga dia ambil langkah seribu.Setan Berambut Putih sangat geram. Bagaimana bisa anak yang dianggap masih ingusan ini begitu mudah lepas darinya? Tak ingin kehilangan muka, kakek kurus ini melesat menggunakan ilmu meringankan tubuh.Di depan, Bayu me
"Sudah malam, Eyang. Kita akan istirahat di mana?""Kita makan jamur Suung dulu. Mari, cari tempat yang nyaman!"Eyang Ismaya melangkah ke arah gubuk tempat tadi Bayu duduk. Walaupun gelap mereka berdua mampu melihat dalam kegelapan.Kalau Eyang Ismaya menggunakan hawa sakti yang disalurkan ke mata, sedangkan Bayu sudah pembawaan dari lahir karena adanya tenaga petir dalam tubuhnya.Sampai di gubuk, Bayu mengeluarkan jamur dari dalam buntalannya. Lalu tidak lama kemudian dia sudah mengumpulkan ranting-ranting kering untuk membuat pembakaran."Coba kau buatlah api dengan tenaga petirmu," suruh Eyang Ismaya.Untuk hal-hal yang ringan seperti itu, Bayu memang sudah bisa melakukannya berkat bimbingan sang ayah. Anak ini hanya mengibas kecil ujung tangan sebatas pergelangan.Praatt!Keluar percikan petir kecil dari salah satu jari menimpa ranting-ranting yang telah ditumpuk di atas tanah, lalu timbul api yang langsung membakar ranting-ranting tersebut.Seketika tempat itu jadi agak terang.
"Eh, kalau Tuhan belum mau ambil nyawaku, maka aku akan terus hidup. Kau juga sudah tua, apa itu cucumu?" Nenek ini menatap ke arah Bayu."Bukan, selama hidup di luar aku tidak pernah menikah dan punya anak. Dia muridku!""Aduh, kau ini bodoh sekali. Kenapa tidak kawin, nanti siapa yang meneruskan keluarga Pedang Pembelah Langit?""Mungkin anak ini yang berjodoh dengan pusaka itu, makanya aku bawa ke sini. Sekalian aku melepas rindu kepada orang-orang di sini.""Sudah, sudah. Bicaranya nanti saja, sudah malam, istirahat saja dulu!"Kemudian nenek ini membawa Eyang Ismaya dan Bayu ke dalam menapaki jalan kecil yang dipadati dengan batu-batu pipih dan rapi.Sepanjang jalan penuh dengan taman-taman indah. Suasana tengah hutan sudah tidak ada lagi. Mereka memasuki perkampungan yang asri dan nyaman.Keesokan harinya.Suasana kampung kecil ini semakin jelas keindahannya ketika tersiram oleh cahaya matahari pagi. Begitu tenang dan udara segar.Eyang Ismaya mengajak Bayu ke sebuah pemakaman.
Bayu tidak menjawab, kedua matanya terus terpaku pada lembaran pertama kitab Aksara Sakti. Anak ini melihat susunan aksara Sunda kuno.Untungnya sejak kecil Bayu diajari membaca beberapa aksara olah ayahnya. Di antaranya aksara Sunda, Jawa, Arab dan Palawa. Jadi Bayu bisa membaca rangkaian kalimat dalam kitab Aksara Sakti.Bayu hanya membaca dalam hati, tetapi dia merasakan ada sesuatu yang mengalir ke dalam tubuhnya. Seperti hawa sejuk merasuk menjalar ke setiap rongga dan syaraf dalam tubuhnya.Seketika Bayu merasakan tubuhnya menjadi segar, ringan dan berisi."Tampaknya dia merasakan sesuatu dalam tubuhnya seperti ayah kita dulu," ujar Nini Winah sambil memandangi wajah Bayu penuh selidik."Dia berjodoh dengan kitab itu," sahut Eyang Ismaya.Tanpa disadari Bayu membaca isi kitab itu sampai halaman terakhir. Beberapa saat anak ini termenung setelah selesai membaca. Lalu kitab itu ditutup kembali."Aku bisa melihat isinya, Eyang!" kata Bayu setelah menoleh kepada Eyang Ismaya. Dia ju
Lalu melesat beberapa kilatan petir menyambar semua lawannya kecuali satu, yaitu si guru cantik yang jadi incarannya.Sraaat! Byarr!Selain si guru tersebut, semuanya terlempar lalu terjatuh keras saat terkena hantaman petir tadi. Mereka kelojotan beberapa saat lalu diam tak berkutik.Tinggal si guru cantik ini tampak ketakutan ketika orang bertopeng kain itu mendekat dengan sorot mata penuh nafsu."Sepertinya kau harus mendapat perlakuan yang berbeda, Cantik. Tenanglah aku akan memberimu kenikmatan. Ha ha ha ...!"Tidak ada jalan lagi selain melarikan diri, maka si guru cantik segera bergerak cepat hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi gerakan si lelaki bertopeng lebih cepat lagi.Tahu-tahu si gadis sudah berada dalam dekapan lelaki yang tampak mengerikan itu. Selanjutnya si cantik ini tak memiliki daya lagi untuk melawan. Dia hanya bisa menjerit sekeras mungkin pada saat sekujur tubuhnya didera rasa sakit luar biasa.
Senapati Pranajaya tahu tiga senapati tua ini menyimpan dengki kepadanya. Ini pasti hanya siasat mereka saja untuk menyingkirkan dirinya."Kalian terlalu mengada-ada. Kalau ingin mengambil alih tugas ini tinggal bilang saja. Tidak perlu membuat fitnah seperti ini!" seru Senapati Pranajaya."Ini bukan fitnah. Kami punya bukti yang lain!" sanggah Senapati Bardasena."Tunjukkan!" teriak Senapati Wisrawa memberi perintah kepada beberapa prajurit.Kemudian dari dalam gerbang muncul empat prajurit yang menggiring dua wanita dalam keadaan terikat. Yang satu sudah dewasa, memiliki lekuk tubuh indah menggiurkan dan tentu saja berwajah menarik dengan sorot mata yang tajam.Yang satunya masih belia kira-kira baru berumur lima belas tahun, tapi bentuk tubuh dan wajahnya sudah mendekati wanita dewasa yang tidak lain adalah ibunya. Remaja putri ini calon gadis jelita yang akan menjadi rebutan para lelaki.Mereka adalah Nala Ratih dan Asmarini.
Mereka berdua duduk di ruang depan rumah peninggalan orang tua Eyang Ismaya."Apakah Eyang ada petunjuk lain?" tanya Bayu yang bentuk tubuhnya semakin menjadi. Tampak gagah dan kekar walaupun masih enam belas tahun. Sorot matanya pun semakin matang dan tajam."Ini hanya perkiraanku saja, mungkin guruku, Resi Kuncung Putih memiliki petunjuk.""Guru Eyang, apakah masih hidup?"Wajar saja Bayu bertanya seperti itu. Sebab Eyang Ismaya sendiri sudah berumur lebih seratus tahun. Kedua orang tua si Eyang juga sudah meninggal."Tentu saja masih, makanya aku membicarakan beliau. Seperti aku yang sudah mundur dari sesepuh Padepokan Cakrabuana, beliau juga hidup menyepi," jawab Eyang Ismaya."Di mana dia, Eyang?""Nanti aku kasih tahu, tapi kau harus pulang dulu ke rumahku yang di sana. Melihat keadaan dia yang aku tinggalkan."Bayu tampak menerawang lalu angguk-angguk, dia tahu siapa yang dimaksud Eyang Ismaya."
Parwati menoleh dan langsung kaget. Begitu juga Wirapati yang masih berendam di sungai langsung melesat ke samping Istrinya. Sepasang suami istri ini memang sedang dalam perjalanan menuju desa Rancawaru yang menjadi markas Laskar Raja Api. "Mau apa kau?" sentak Wirapati seraya langsung menyiapkan tenaga sakti. Tentu saja karena sekarang Kupra bukan yang dulu lagi. Sekarang Kupra menjadi pemimpin Laskar Raja Api. "Mau mengambil Parwati!" kata Kupra lantang dengan sorot mata tajam mengancam Wirapati. "Sejak pertama kali melihat dia, aku sudah jatuh hati. Sekarang ada kesempatan untuk membawanya tinggal bersamaku!" "Setan keparat, lancang!" umpat Wirapati. Kupra tertawa lantang sambil melepas hawa sakti panas guna menekan Wirapati. "Sekarang tidak ada lagi yang aku takutkan. Aku bisa membunuhmu semudah membalikkan telapak tangan. Aku adalah penguasa rimba persilatan. Yang kuat yang berkuasa!"
Amoksa langsung berkelebat dan berdiri di samping Lasmini. Gadis ini baru saja mengeringkan badan beserta pakaiannya menggunakan hawa saktinya. "Memangnya siapa dia sampai-sampai kau seperti melindunginya?" "Dia Lasmini putrinya Ki Rembong!" Belasan laki-laki itu langsung berubah sikap. Mereka membuang hasratnya yang tadi ingin menikmati tubuh Lasmini. Tentu saja karena tidak ingin kena semprot wakil ketua yaitu Ki Rembong. Mereka langsung memberi jalan ketika Amoksa hendak membawa Lasmini ke markas. Tiba di markas Amoksa menyuruh salah seorang untuk melaporkan bahwa Lasmini telah ditemukan. Tentu saja Ki Rembong sangat gembira mendengar kedatangan putrinya. Lasmini langsung disambut dan dibawa ke ruang utama bertemu dengan Ketua Agnibali. Pada saat itulah Kupra terbelalak matanya begitu melihat keanggunan Lasmini. Si gadis mencoba bersikap santun sebagaimana layaknya menghadap s
Ki Abiasa menarik napas sebelum berkata. "Kalau Eyang Resi sudah memerintahkan, apa lagi yang saya cemaskan. Saya sangat yakin dengan keputusan Eyang. Baiklah, saya akan membawa mereka segera bertindak." Hawa sakti berputar-putar di dalam ruangan menghasilkan tiupan udara lembut, lalu perlahan menghilang pertanda seseorang yang dipanggil Eyang tadi juga sudah pergi. Ki Abiasa menghembuskan napas lega. "Akhirnya Eyang Resi Kuncung Putih datang juga!" Tidak menunggu lama lagi, segera Ki Abiasa mengumpulkan empat murid Resi Kuncung Putih dan para pendekar lain yang sudah berkumpul di padepokan. ***000*** Malam hari sebelum Lasmini berangkat. Sepasang kekasih ini sudah diberikan kamar khusus untuk mereka. Walaupun belum terikat pernikahan, tetapi hubungan mereka sudah terlalu dalam. Sebelum Radika pulang dan sebelum Lasmini datang ke sini saja, mereka sudah sangat intim bag
Ada empat perguruan aliran hitam yang sudah bergabung dengan Laskar Raja Api yang diketuai oleh Kupra alias Agnibali. Selain perguruan Cengkar Wulung dan Oray Hideung ditambah perguruan Gunung Sindu yang dipimpin Kalacakra dan perguruan Elang Setan yang diketuai oleh Soca Srenggi. Laskar Raja Api menduduki sebuah desa yang akan dijadikan markas. Desa Rancawaru jadi sasaran karena tempatnya yang strategis, jauh dari desa-desa di sekitarnya dan juga subur. Ki Kuwu beserta perangkat desa sampai sesepuh dibunuh tanpa ampun. Balai desa dijadikan pusat markas. Penduduk desa juga menjadi sasaran kesemena-menaan mereka. Yang laki-laki dipaksa menjadi budak yang harus bekerja melayani segala keperluan mereka. Para wanita yang masih layak sudah pasti dijadikan pemuas nafsu. Sedangkan anak-anak dan orang yang sudah tua renta dihabisi karena tenaga mereka dianggap tidak berguna. Situasi yang mengerikan di
Segera saja gadis ini berkelebat ke arah sumber suara. Namun, belasan tombak sebelum tempat kejadian, Lasmini langsung bersembunyi naik ke atas pohon yang di dekatnya. "Itu murid-murid ayah sedang mengeroyok sekelompok gadis. Kurang ajar sekali mereka! Dasar golongan hitam!" umpat Lasmini. Lasmini memang anak seorang tokoh golongan hitam, tapi dalam hatinya menentang sifat dan watak buruk yang selalu ditonjolkan oleh ayah dan murid-muridnya. Di depan sana tampak satu kelompok murid perguruan Cengkar Wulung yang sedang bertugas mencari Lasmini berjumlah empat belas orang tengah mengeroyok tujuh orang gadis. Tujuh gadis yang rata-rata berusia dua puluhan itu adalah murid Nyai Purbasari yang sedang dalam perjalanan menuju Gunung Cakrabuana. Pertarungan itu tampak tidak seimbang. Karena kelompok murid perguruan Cengkar Wulung jumlahnya lebih banyak dan terlihat tujuh gadis itu sudah terkurung dan terdesak.
"Sudah kubilang aku Agnibali. Kalau kalian ingin lebih jelas, Iblis Petir adalah guruku!" Ki Rembong sedikit terkesiap. Beberapa waktu lalu sempat tersiar kabar bahwa Iblis Petir muncul lagi. Ternyata bukan kabar burung, bahkan sekarang muridnya yang muncul. Muridnya saja sudah begini sakti, apalagi gurunya. Tidak ada jalan lain, untuk menyelamatkan nyawanya dan juga murid-muridnya, mungkin harus menuruti kemauan si Agnibali ini. "Baiklah, tarik seranganmu. Kita bicarakan secara baik-baik!" pinta Ki Rembong. Untuk sementara tidak mengapa menjadi bawahan orang ini. Seketika kobaran api raksasa tertarik ke dalam tubuh Agnibali yang tidak lain adalah Kupra muridnya Iblis Petir. Api yang menyala di tubuhnya juga tampak menipis. "Bagus, seharusnya dari tadi begini!" Para murid perguruan Cengkar Wulung akhirnya menarik napas lega. Di antara mereka ada yang ilmunya rendah hampir saja tewas akibat hawa
Sementara itu di belakang padepokan agak naik mendekati puncak gunung, di bawah sebuah pohon besar. Bayu Bentar tengah duduk bersila sambil memejamkan kedua mata. Dulu selama dalam perjalanan bersama Eyang Ismaya, dia sering berkomunikasi lewat batin. Sekarang dia mencoba hal itu, barangkali bisa terdengar sampai alam dimensi lain tempatnya Eyang Ismaya berada. Ternyata upayanya tidak sia-sia. Dia tahu Eyang Ismaya bisa keluar dari alam dimensi lain ke tempat yang dikehendaki. Telinga Bayu mendengar suara kesiur udara di depannya. Lalu muncullah sebuah pintu transparan. Pintu itu tampak membuka, lalu dari dalamnya muncul orang yang dinantikan Bayu. "Assalamualaikum, Eyang!" ucap Bayu sambil membuka matanya. "Waaalikum salam!" "Akhirnya Eyang mendengar panggilan saya." "Kebetulan karena aku juga sudah merindukanmu, jadi langsung bisa mendengar suara batinmu, Bayu!"
Memang raut muka orang ini terlihat muram walaupun sudah dibasuh dengan air sungai. Pada mulanya dia kurang senang hati melihat Bayu, tapi merasa tidak ada masalah apa pun akhirnya dia buang perasaan tidak enaknya, lagi pula itu hanya perasaan yang timbul akibat sedikit iri saja. Seorang pemuda seumuran dengan Bayu ini tidak lain adalah Radika anak pasangan pendekar Wirapati dan Parwati. Dulu memang ada sekelumit rasa benci saat gagal mendekati Asmarini karena gadis itu malah dekat dengan Bayu. Sekarang perasaan itu telah dibuangnya. Tidak lagi menyalahkan orang lain, tapi justru introspeksi diri saja. Perlahan rasa tidak suka kepada Bayu pun memudar. "Sepertinya kau pandai membaca pikiran orang," ujar Radika mencoba lebih akrab dengan Bayu. "Oh, ya. Tidak aneh, kau pernah memecahkan kasus pembunuhan di istana Sanghyang Dora." "Hanya menebak saja, aku lihat wajahmu ditekuk. Kalau boleh tahu apa yang terjadi?" tanya Bayu.
Kumba alias Iblis Petir melangkah ke ujung ruangan. Di sana memang tampak seperti tidak ada lagi jalan atau ruangan lain. Namun, begitu tangan kanan Iblis Petir mengibas terdengar suara gemuruh memenuhi ruangan gua tersebut. Rukmini yang sudah berdiri di samping Iblis Petir melihat ujung ruangan yang berupa dinding batu itu bergerak perlahan, bergeser ke samping kanan lalu tampaklah sebuah lorong di balik batu yang bergeser tadi. Dari dalam lorong yang cukup jauh itu tampak cahaya merah menyala keluar ditambah udara yang terasa panas bertiup dari dalam sana. Iblis Petir melangkah Lagi memasuki lorong tersebut yang panjangnya sampai lima tombak. Rukmini mengikutinya dari belakang. Di ujung lorong itu ternyata ada sebuah ruangan yang cukup luas. Di tengah ruangan tersebut tampak satu sosok yang tengah duduk bersila. Yang membuat kedua mata rok mini terbelalak adalah sosok tersebut tengah dikabari api besar yang