Share

Bab 005

"Sudah malam, Eyang. Kita akan istirahat di mana?"

"Kita makan jamur Suung dulu. Mari, cari tempat yang nyaman!"

Eyang Ismaya melangkah ke arah gubuk tempat tadi Bayu duduk. Walaupun gelap mereka berdua mampu melihat dalam kegelapan.

Kalau Eyang Ismaya menggunakan hawa sakti yang disalurkan ke mata, sedangkan Bayu sudah pembawaan dari lahir karena adanya tenaga petir dalam tubuhnya.

Sampai di gubuk, Bayu mengeluarkan jamur dari dalam buntalannya. Lalu tidak lama kemudian dia sudah mengumpulkan ranting-ranting kering untuk membuat pembakaran.

"Coba kau buatlah api dengan tenaga petirmu," suruh Eyang Ismaya.

Untuk hal-hal yang ringan seperti itu, Bayu memang sudah bisa melakukannya berkat bimbingan sang ayah. Anak ini hanya mengibas kecil ujung tangan sebatas pergelangan.

Praatt!

Keluar percikan petir kecil dari salah satu jari menimpa ranting-ranting yang telah ditumpuk di atas tanah, lalu timbul api yang langsung membakar ranting-ranting tersebut.

Seketika tempat itu jadi agak terang. Sementara Eyang Ismaya sudah membuat jamur-jamur tersusun dalam sebuah tusukan seperti sate.

Kemudian kakek ini memanggang jamur tersebut di atas api. Beberapa lama kemudian mereka sudah menyantap jamur panggang tersebut.

Namun, tiba-tiba saja Eyang Ismaya mengibaskan tangan ke bawah sehingga api yang membakar ranting padam seketika.

"Ada apa, Eyang?"

"Gunakan Rompi Halimunan dan pegang aku!"

Bayu langsung menuruti perintah eyangnya. Sekejap kemudian sosok mereka berdua tak terlihat oleh mata kasar. Setelah itu terdengar suara langkah kaki mendekat ke gubuk ini.

Ternyata mereka sekelompok pendekar yang sedang mencari Panji Saksana dan Paramita.

"Ada bekas pembakaran, masih panas pula. Sepertinya ada orang di gubuk ini sebelumnya," kata salah satu pendekar.

"Belum lama, seharusnya belum jauh, tapi tidak merasakan keberadaan orang itu," sahut yang lain.

"Mungkin bukan orang sakti, jadi tidak meninggalkan hawa sakti!"

"Kadang orang yang sudah kelewat sakti bisa menyembunyikan hawa saktinya."

"Sudahlah, kita tidak perlu mengurusi hal yang tidak penting. Kita terus cari dan tangkap Pendekar Angin Petir. Kita dari kalangan dunia persilatan hanya mencari dia saja."

"Benar, aku juga tidak setuju dengan pihak kerajaan yang menyeret anak dan istrinya juga!"

"Setuju, aku juga!"

"Tapi untuk menangkapnya, kita butuh bantuan tokoh yang lebih sakti dari dia. Sedangkan tokoh-tokoh Padepokan Cakrabuana sudah tiada."

"Hanya Gusti Prabu Jayadewata yang mampu menandingi Panji, tapi beliau malah mengutus beberapa senapati yang kepandaiannya setingkat dengan kita."

"Kita tunggu saja, beliau pasti turun tangan pada waktunya!"

"Ya, sudah kita lanjutkan saja!"

Rombongan yang terdiri dari tujuh orang pendekar ini kemudian meninggalkan tempat itu. Setelah benar-benar jauh dan tidak terasa lagi hawa saktinya, barulah Bayu mengusap bahu kiri.

"Kalau begitu, aku akan membawamu ke tempat paling aman yang tidak akan ditemukan siapa pun," kata Eyang Ismaya.

"Ke mana, Eyang?"

"Ke tempat leluhurku, sudah lama aku tidak pulang sejak memutuskan untuk berpetualang."

"Memang berapa lama, Eyang?"

"Ketika keluar dari perkampungan leluhur, aku berusia dua puluh tahun, sekarang aku sudah berumur seratus tahun lebih. Ya, selama itu aku tidak pulang lagi dan sekarang akhirnya aku harus kembali ke sana."

"Di mana tempatnya, Eyang. Apakah masih jauh?"

Eyang Ismaya berdiri, tangannya merogoh sesuatu dari balik bajunya. Sebuah batu bening berwarna biru sebesar ujung ibu jari.

"Tempat ini bisa dikunjungi dari mana saja karena aku membawa kuncinya." Kemudian Eyang Ismaya menekan batu tersebut dengan dua jari.

Tiba-tiba di hadapan kakek ini muncul sebuah cahaya biru berbentuk persegi memanjang ke atas. Seperti sebuah pintu.

"Ini pintu masuknya," kata Eyang Ismaya. "Mari kita masuk!"

Eyang Ismaya melangkah duluan, masuk menembus ke dalam cahaya biru itu. Bayu segera menyusul karena takut ketinggalan.

Setelah di dalam, cahaya biru persegi tadi lenyap. Bayu menemukan sebuah tempat berupa hutan belantara dengan cahaya terang di atasnya sehingga terasa seperti siang hari.

Tempat ini sangat asing. Berbeda dengan tempat tadi. Walaupun malam, tapi udaranya tidak begitu dingin apalagi sampai menusuk tulang.

Secara sekilas memang seperti hutan biasa saja. Namun, hawa yang dirasakan sungguh berbeda. Terasa nyaman dan bikin betah.

"Tempat apa ini? Bisakah Eyang ceritakan padaku?"

Akhirnya Eyang Ismaya menceritakan semuanya sambil berjalan menelusuri jalan setapak dalam hutan yang lebat itu.

"Diawali dari kakekku yang memiliki pusaka Pedang Pembelah Langit, Batu Permata Biru dan Kitab Gerbang Langit. Kakekku ingin mewariskan semuanya kepada ayahku, tapi waktu itu ayah tidak berminat menjadi pendekar."

Bayu mendengarkan di belakang sambil mengikuti langkah Eyang Ismaya.

"Namun, melalui perjalanan yang rumit akhirnya ayahku mewarisinya juga, tapi tidak terpaksa. Itu karena secara tidak sengaja ayah menemukan Kitab Aksara Sakti."

"Siapa nama kakek dan ayahnya Eyang?" tanya Bayu memotong.

"Nanti dulu," sanggah Eyang Ismaya.

"Baiklah, teruskan cerita Eyang."

"Singkat cerita setelah melewati banyak perjalanan dan pada waktu itu tidak ada lagi tokoh golongan hitam yang berbahaya. Akhirnya ayahku memutuskan untuk menyepikan diri menyusul kakek."

Kemudian Eyang Ismaya menjelaskan tentang Batu Permata Biru yang didapat kakeknya dari makhluk cantik berwujud duyung dari Karatuan Duyung Lor di pantai utara sebelah timur.

Batu permata itu selain bisa memanggil sang Ratu, juga bisa digunakan untuk membuat ruangan gaib. Alam yang sedang dimasuki Bayu inilah ruangan gaib itu yang diperluas oleh ayahnya Eyang Ismaya.

"Alam inilah yang digunakan ayah dan kakekku untuk menyepi agar tidak terganggu oleh orang-orang dari luar. Selain mereka ada juga orang-orang yang menjadi pengikut kakekku ikut menyepi, tapi hanya sedikit."

Di tempat inilah, kata Eyang Ismaya. Para penghuninya beranak pinak.

"Kakekku bernama Dharma Satya, nenekku namanya Purdita. Memiliki anak tunggal yaitu ayahku bernama Kameswara. Ayahku memiliki istri dua ..."

"Wah!" Bayu langsung menyela.

"Istri pertama yaitu ibuku dan yang kedua adalah janda dari temannya. Teman ayah terbunuh dan meninggalkan istri yang sedang mengandung. Jadi ayah menikahinya agar anak yang dikandungnya mempunyai ayah."

"Oh, begitu!" Prasangka Bayu ternyata salah. "Berarti Eyang punya kakak tiri?"

"Benar, tapi tidak tahu apakah dia masih hidup. Dia menyayangiku seperti adik sendiri. Dia seorang perempuan baik hati. Lalu menikah dengan salah satu anak pengikut kakek."

Langkah Eyang Ismaya berhenti di depan sebuah gerbang kecil yang terbuat dari tumbuhan bunga-bunga. Baru juga hendak melewati gerbang tersebut, satu suara sudah menyapa lebih dulu.

"Ismaya, tidak salah lagi. Itu pasti kau karena tidak ada yang lain lagi!"

Lalu muncullah seorang nenek yang rambutnya sudah memutih semua, tetapi badannya masih tegak dan hanya ada sedikit kerutan di wajahnya.

"Tidak salah, Euceu. Tidak kusangka Euceu masih hidup padahal lebih tua dariku," sahut Eyang Ismaya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status