"Sudah malam, Eyang. Kita akan istirahat di mana?"
"Kita makan jamur Suung dulu. Mari, cari tempat yang nyaman!" Eyang Ismaya melangkah ke arah gubuk tempat tadi Bayu duduk. Walaupun gelap mereka berdua mampu melihat dalam kegelapan. Kalau Eyang Ismaya menggunakan hawa sakti yang disalurkan ke mata, sedangkan Bayu sudah pembawaan dari lahir karena adanya tenaga petir dalam tubuhnya. Sampai di gubuk, Bayu mengeluarkan jamur dari dalam buntalannya. Lalu tidak lama kemudian dia sudah mengumpulkan ranting-ranting kering untuk membuat pembakaran. "Coba kau buatlah api dengan tenaga petirmu," suruh Eyang Ismaya. Untuk hal-hal yang ringan seperti itu, Bayu memang sudah bisa melakukannya berkat bimbingan sang ayah. Anak ini hanya mengibas kecil ujung tangan sebatas pergelangan. Praatt! Keluar percikan petir kecil dari salah satu jari menimpa ranting-ranting yang telah ditumpuk di atas tanah, lalu timbul api yang langsung membakar ranting-ranting tersebut. Seketika tempat itu jadi agak terang. Sementara Eyang Ismaya sudah membuat jamur-jamur tersusun dalam sebuah tusukan seperti sate. Kemudian kakek ini memanggang jamur tersebut di atas api. Beberapa lama kemudian mereka sudah menyantap jamur panggang tersebut. Namun, tiba-tiba saja Eyang Ismaya mengibaskan tangan ke bawah sehingga api yang membakar ranting padam seketika. "Ada apa, Eyang?" "Gunakan Rompi Halimunan dan pegang aku!" Bayu langsung menuruti perintah eyangnya. Sekejap kemudian sosok mereka berdua tak terlihat oleh mata kasar. Setelah itu terdengar suara langkah kaki mendekat ke gubuk ini. Ternyata mereka sekelompok pendekar yang sedang mencari Panji Saksana dan Paramita. "Ada bekas pembakaran, masih panas pula. Sepertinya ada orang di gubuk ini sebelumnya," kata salah satu pendekar. "Belum lama, seharusnya belum jauh, tapi tidak merasakan keberadaan orang itu," sahut yang lain. "Mungkin bukan orang sakti, jadi tidak meninggalkan hawa sakti!" "Kadang orang yang sudah kelewat sakti bisa menyembunyikan hawa saktinya." "Sudahlah, kita tidak perlu mengurusi hal yang tidak penting. Kita terus cari dan tangkap Pendekar Angin Petir. Kita dari kalangan dunia persilatan hanya mencari dia saja." "Benar, aku juga tidak setuju dengan pihak kerajaan yang menyeret anak dan istrinya juga!" "Setuju, aku juga!" "Tapi untuk menangkapnya, kita butuh bantuan tokoh yang lebih sakti dari dia. Sedangkan tokoh-tokoh Padepokan Cakrabuana sudah tiada." "Hanya Gusti Prabu Jayadewata yang mampu menandingi Panji, tapi beliau malah mengutus beberapa senapati yang kepandaiannya setingkat dengan kita." "Kita tunggu saja, beliau pasti turun tangan pada waktunya!" "Ya, sudah kita lanjutkan saja!" Rombongan yang terdiri dari tujuh orang pendekar ini kemudian meninggalkan tempat itu. Setelah benar-benar jauh dan tidak terasa lagi hawa saktinya, barulah Bayu mengusap bahu kiri. "Kalau begitu, aku akan membawamu ke tempat paling aman yang tidak akan ditemukan siapa pun," kata Eyang Ismaya. "Ke mana, Eyang?" "Ke tempat leluhurku, sudah lama aku tidak pulang sejak memutuskan untuk berpetualang." "Memang berapa lama, Eyang?" "Ketika keluar dari perkampungan leluhur, aku berusia dua puluh tahun, sekarang aku sudah berumur seratus tahun lebih. Ya, selama itu aku tidak pulang lagi dan sekarang akhirnya aku harus kembali ke sana." "Di mana tempatnya, Eyang. Apakah masih jauh?" Eyang Ismaya berdiri, tangannya merogoh sesuatu dari balik bajunya. Sebuah batu bening berwarna biru sebesar ujung ibu jari. "Tempat ini bisa dikunjungi dari mana saja karena aku membawa kuncinya." Kemudian Eyang Ismaya menekan batu tersebut dengan dua jari. Tiba-tiba di hadapan kakek ini muncul sebuah cahaya biru berbentuk persegi memanjang ke atas. Seperti sebuah pintu. "Ini pintu masuknya," kata Eyang Ismaya. "Mari kita masuk!" Eyang Ismaya melangkah duluan, masuk menembus ke dalam cahaya biru itu. Bayu segera menyusul karena takut ketinggalan. Setelah di dalam, cahaya biru persegi tadi lenyap. Bayu menemukan sebuah tempat berupa hutan belantara dengan cahaya terang di atasnya sehingga terasa seperti siang hari. Tempat ini sangat asing. Berbeda dengan tempat tadi. Walaupun malam, tapi udaranya tidak begitu dingin apalagi sampai menusuk tulang. Secara sekilas memang seperti hutan biasa saja. Namun, hawa yang dirasakan sungguh berbeda. Terasa nyaman dan bikin betah. "Tempat apa ini? Bisakah Eyang ceritakan padaku?" Akhirnya Eyang Ismaya menceritakan semuanya sambil berjalan menelusuri jalan setapak dalam hutan yang lebat itu. "Diawali dari kakekku yang memiliki pusaka Pedang Pembelah Langit, Batu Permata Biru dan Kitab Gerbang Langit. Kakekku ingin mewariskan semuanya kepada ayahku, tapi waktu itu ayah tidak berminat menjadi pendekar." Bayu mendengarkan di belakang sambil mengikuti langkah Eyang Ismaya. "Namun, melalui perjalanan yang rumit akhirnya ayahku mewarisinya juga, tapi tidak terpaksa. Itu karena secara tidak sengaja ayah menemukan Kitab Aksara Sakti." "Siapa nama kakek dan ayahnya Eyang?" tanya Bayu memotong. "Nanti dulu," sanggah Eyang Ismaya. "Baiklah, teruskan cerita Eyang." "Singkat cerita setelah melewati banyak perjalanan dan pada waktu itu tidak ada lagi tokoh golongan hitam yang berbahaya. Akhirnya ayahku memutuskan untuk menyepikan diri menyusul kakek." Kemudian Eyang Ismaya menjelaskan tentang Batu Permata Biru yang didapat kakeknya dari makhluk cantik berwujud duyung dari Karatuan Duyung Lor di pantai utara sebelah timur. Batu permata itu selain bisa memanggil sang Ratu, juga bisa digunakan untuk membuat ruangan gaib. Alam yang sedang dimasuki Bayu inilah ruangan gaib itu yang diperluas oleh ayahnya Eyang Ismaya. "Alam inilah yang digunakan ayah dan kakekku untuk menyepi agar tidak terganggu oleh orang-orang dari luar. Selain mereka ada juga orang-orang yang menjadi pengikut kakekku ikut menyepi, tapi hanya sedikit." Di tempat inilah, kata Eyang Ismaya. Para penghuninya beranak pinak. "Kakekku bernama Dharma Satya, nenekku namanya Purdita. Memiliki anak tunggal yaitu ayahku bernama Kameswara. Ayahku memiliki istri dua ..." "Wah!" Bayu langsung menyela. "Istri pertama yaitu ibuku dan yang kedua adalah janda dari temannya. Teman ayah terbunuh dan meninggalkan istri yang sedang mengandung. Jadi ayah menikahinya agar anak yang dikandungnya mempunyai ayah." "Oh, begitu!" Prasangka Bayu ternyata salah. "Berarti Eyang punya kakak tiri?" "Benar, tapi tidak tahu apakah dia masih hidup. Dia menyayangiku seperti adik sendiri. Dia seorang perempuan baik hati. Lalu menikah dengan salah satu anak pengikut kakek." Langkah Eyang Ismaya berhenti di depan sebuah gerbang kecil yang terbuat dari tumbuhan bunga-bunga. Baru juga hendak melewati gerbang tersebut, satu suara sudah menyapa lebih dulu. "Ismaya, tidak salah lagi. Itu pasti kau karena tidak ada yang lain lagi!" Lalu muncullah seorang nenek yang rambutnya sudah memutih semua, tetapi badannya masih tegak dan hanya ada sedikit kerutan di wajahnya. "Tidak salah, Euceu. Tidak kusangka Euceu masih hidup padahal lebih tua dariku," sahut Eyang Ismaya. ***"Eh, kalau Tuhan belum mau ambil nyawaku, maka aku akan terus hidup. Kau juga sudah tua, apa itu cucumu?" Nenek ini menatap ke arah Bayu."Bukan, selama hidup di luar aku tidak pernah menikah dan punya anak. Dia muridku!""Aduh, kau ini bodoh sekali. Kenapa tidak kawin, nanti siapa yang meneruskan keluarga Pedang Pembelah Langit?""Mungkin anak ini yang berjodoh dengan pusaka itu, makanya aku bawa ke sini. Sekalian aku melepas rindu kepada orang-orang di sini.""Sudah, sudah. Bicaranya nanti saja, sudah malam, istirahat saja dulu!"Kemudian nenek ini membawa Eyang Ismaya dan Bayu ke dalam menapaki jalan kecil yang dipadati dengan batu-batu pipih dan rapi.Sepanjang jalan penuh dengan taman-taman indah. Suasana tengah hutan sudah tidak ada lagi. Mereka memasuki perkampungan yang asri dan nyaman.Keesokan harinya.Suasana kampung kecil ini semakin jelas keindahannya ketika tersiram oleh cahaya matahari pagi. Begitu tenang dan udara segar.Eyang Ismaya mengajak Bayu ke sebuah pemakaman.
Bayu tidak menjawab, kedua matanya terus terpaku pada lembaran pertama kitab Aksara Sakti. Anak ini melihat susunan aksara Sunda kuno.Untungnya sejak kecil Bayu diajari membaca beberapa aksara olah ayahnya. Di antaranya aksara Sunda, Jawa, Arab dan Palawa. Jadi Bayu bisa membaca rangkaian kalimat dalam kitab Aksara Sakti.Bayu hanya membaca dalam hati, tetapi dia merasakan ada sesuatu yang mengalir ke dalam tubuhnya. Seperti hawa sejuk merasuk menjalar ke setiap rongga dan syaraf dalam tubuhnya.Seketika Bayu merasakan tubuhnya menjadi segar, ringan dan berisi."Tampaknya dia merasakan sesuatu dalam tubuhnya seperti ayah kita dulu," ujar Nini Winah sambil memandangi wajah Bayu penuh selidik."Dia berjodoh dengan kitab itu," sahut Eyang Ismaya.Tanpa disadari Bayu membaca isi kitab itu sampai halaman terakhir. Beberapa saat anak ini termenung setelah selesai membaca. Lalu kitab itu ditutup kembali."Aku bisa melihat isinya, Eyang!" kata Bayu setelah menoleh kepada Eyang Ismaya. Dia ju
Lalu melesat beberapa kilatan petir menyambar semua lawannya kecuali satu, yaitu si guru cantik yang jadi incarannya.Sraaat! Byarr!Selain si guru tersebut, semuanya terlempar lalu terjatuh keras saat terkena hantaman petir tadi. Mereka kelojotan beberapa saat lalu diam tak berkutik.Tinggal si guru cantik ini tampak ketakutan ketika orang bertopeng kain itu mendekat dengan sorot mata penuh nafsu."Sepertinya kau harus mendapat perlakuan yang berbeda, Cantik. Tenanglah aku akan memberimu kenikmatan. Ha ha ha ...!"Tidak ada jalan lagi selain melarikan diri, maka si guru cantik segera bergerak cepat hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi gerakan si lelaki bertopeng lebih cepat lagi.Tahu-tahu si gadis sudah berada dalam dekapan lelaki yang tampak mengerikan itu. Selanjutnya si cantik ini tak memiliki daya lagi untuk melawan. Dia hanya bisa menjerit sekeras mungkin pada saat sekujur tubuhnya didera rasa sakit luar biasa.
Senapati Pranajaya tahu tiga senapati tua ini menyimpan dengki kepadanya. Ini pasti hanya siasat mereka saja untuk menyingkirkan dirinya."Kalian terlalu mengada-ada. Kalau ingin mengambil alih tugas ini tinggal bilang saja. Tidak perlu membuat fitnah seperti ini!" seru Senapati Pranajaya."Ini bukan fitnah. Kami punya bukti yang lain!" sanggah Senapati Bardasena."Tunjukkan!" teriak Senapati Wisrawa memberi perintah kepada beberapa prajurit.Kemudian dari dalam gerbang muncul empat prajurit yang menggiring dua wanita dalam keadaan terikat. Yang satu sudah dewasa, memiliki lekuk tubuh indah menggiurkan dan tentu saja berwajah menarik dengan sorot mata yang tajam.Yang satunya masih belia kira-kira baru berumur lima belas tahun, tapi bentuk tubuh dan wajahnya sudah mendekati wanita dewasa yang tidak lain adalah ibunya. Remaja putri ini calon gadis jelita yang akan menjadi rebutan para lelaki.Mereka adalah Nala Ratih dan Asmarini.
Mereka berdua duduk di ruang depan rumah peninggalan orang tua Eyang Ismaya."Apakah Eyang ada petunjuk lain?" tanya Bayu yang bentuk tubuhnya semakin menjadi. Tampak gagah dan kekar walaupun masih enam belas tahun. Sorot matanya pun semakin matang dan tajam."Ini hanya perkiraanku saja, mungkin guruku, Resi Kuncung Putih memiliki petunjuk.""Guru Eyang, apakah masih hidup?"Wajar saja Bayu bertanya seperti itu. Sebab Eyang Ismaya sendiri sudah berumur lebih seratus tahun. Kedua orang tua si Eyang juga sudah meninggal."Tentu saja masih, makanya aku membicarakan beliau. Seperti aku yang sudah mundur dari sesepuh Padepokan Cakrabuana, beliau juga hidup menyepi," jawab Eyang Ismaya."Di mana dia, Eyang?""Nanti aku kasih tahu, tapi kau harus pulang dulu ke rumahku yang di sana. Melihat keadaan dia yang aku tinggalkan."Bayu tampak menerawang lalu angguk-angguk, dia tahu siapa yang dimaksud Eyang Ismaya."
"Aki Baplang, Nini Padma, terima kasih sudah terus menjaga!" ucap Bayu kepada sepasang manusia setengah baya yang sedang menjaga seseorang yang duduk bersila di sudut ruangan."Bayu, kau sudah besar sekarang. Kenapa datang dari belakang? Di mana Eyang Ismaya?" tanya wanita setengah baya yang disebut Nini Padma."Eyang berada di tempat tinggal leluhurnya." Kemudian Bayu menceritakan secara singkat tentang alam dimensi lain tempat leluhur Eyang Ismaya."Begitu rupanya!" sahut lelaki setengah baya yang disebut Aki Baplang.Mereka berdua ikut mengasuh Bayu sejak lahir. Namun, sampai sekarang Bayu tidak tahu kalau mereka sebenarnya bukan manusia, tapi sepasang makhluk dari bangsa guriang.Bayu hanya tahu mereka berdua masih ada hubungan kekerabatan dengan ayahnya Lalu siapa yang duduk bersila di sudut ruangan? Dialah Ki Abiasa sesepuh Padepokan Cakrabuana. Empat tahun lalu jasadnya dibawa diam-diam oleh Pendekar Angin Petir.
Di ujung halaman yang berbatasan dengan hutan inilah terdapat istal atau kandang kuda.Masih di lapangan rumput, di seberangnya, yaitu berdekatan dengan rumah Ki Wirya di pojok kiri ada rumah kecil.Suasana sudah gelap ketika Bayu sampai di sana. Ki Wirya membawa pemuda ini ke rumah kecil itu."Inilah rumah pekati yang tewas itu. Namanya Ki Tanu lebih tua sedikit umurnya dariku. Dia tinggal bersama istrinya di sini!"Ki Wirya mengucap salam yang langsung disambut oleh istri Ki Tanu yang segera keluar dari dalam. Sepasang mata wanita tua ini tampak sembab bekas tangisan, wajahnya pun pucat.Mereka dipersilakan masuk. Begitu di dalam tampaklah seorang lelaki tua yang sudah tak bernyawa tergeletak di atas bale bambu. Cahaya damar cukup menerangi ruangan sehingga bisa melihat keadaan jasad Ki Tanu.Berarti sudah sejak tadi malam jasadnya lelaki tua ini belum dikebumikan. Kondisinya pun sudah kaku dan dingin."Aku tidak membu
Tidak banyak bicara lagi, dua lelaki bersenjata golok ini langsung memberikan serangan yang tidak tanggung-tanggung.Dua golok berkelebat mengejar sasaran, ke arah perut dan leher. Bayu menggunakan salah satu jurus dari Kitab Gerbang Langit. Ini pertama kalinya menghadapi pertarungan sungguhan.Karena sebelumnya hanya berupa latihan bersama Eyang Ismaya dan lainnya.Sosok pemuda tampan ini seperti bayangan yang tidak bisa disentuh. Ke mana pun dua golok bergerak, selalu menemui sasaran kosong.Untungnya dua orang ini tingkat tenaga dalamnya masih biasa saja. Bukan termasuk pendekar yang sudah kawakan. Entah kenapa si peternak brewok itu menyewa orang semacam ini?Lewat belasan jurus, Bayu masih mulus tak sedikit pun tergores senjata lawan. Sedangkan dua orang tersebut napasnya sudah mulai tidak teratur.Namun, mereka tidak kehabisan akal. Secara tiba-tiba mereka melemparkan senjata rahasia berupa pisau kecil tadi guna mengecoh Ba
"Keluarkan kemampuanmu Anak sialan, aku tidak takut sekalipun menghadapi bapakmu!" teriak Rukmini bermaksud memancing emosi. "Aku tidak menyangka, di balik kecantikan dan kemolekan tubuh bibi ternyata menyimpan hati yang busuk!" Bayu malah balas memancing kemarahan bibinya. "Bocah laknat, mampus kau!" Rukmini memutar pedang di atas kepala dua kali. Rupanya dia sedang menambah kekuatan. Karena pada putaran ketiga angin yang menyertai pedang tersebut mendadak lebih kuat. Hawa sakti yang keluar dari tubuh Rukmini juga semakin besar tekanannya. Namun, Bayu tetap bergeming di tempatnya. Terpaan angin kuat itu tidak membuatnya tersurut mundur. Sekarang bukan waktunya pura-pura lemah lagi. Sementara serangan Rukmini menjadi semakin berbahaya. Tidak diduga sama sekali, ternyata wanita ini masih menyimpan kekuatan lain. Wajah wanita ini berubah menjadi garang, terkesan menyeramkan seperti
Semua yang ada di sana terkejut kecuali Bayu. Belum hilang rasa terkejutnya dari balik pagar rumah yang mirip benteng melompat masuk sebelas orang dengan pakaian prajurit dan senjata lengkap. "Kau...!" Telunjuk senapati Hanggara bergetar menunjuk ke wajah orang yang berdiri tegap di depannya. Sementara Rukmini langsung pucat pasi melihat siapa yang baru datang ini. Bahkan sampai tersurut dua langkah saking kagetnya. "Ya, aku yang merencanakan semua ini agar menemukan siapa dalang yang telah merusak nama baikku. Setelah pemuda itu menyebut namamu..." Sosok yang tak lain adalah Arya Soma menunjuk ke Rukmini. "Aku langsung curiga ini pasti ulah kau Hanggara!" lanjut Arya Soma. Bagaimana Arya Soma bersama sebelas prajurit pengikutnya bisa sampai di sini? Karena dimulai ketika berangkat dari perguruan Kembang Sari, Bayu diam-diam mengirimkan informasi lewat burung merpati pengantar surat.
"Apa dia tahu rencana kita?" "Tidak mungkin, dia terlihat biasa saja. Tidak menandakan kalau dia curiga kepada kita!" "Lalu, kenapa tiba-tiba dia menawarkan diri untuk memasak?" "Mungkin bentuk terima kasih karena kau telah memberi tumpangan," "Tapi aku merasa ada yang aneh!" "Sudahlah, kita tunggu saja. Bayu pasti mengantuk juga!" Namun, setelah menunggu lama, Bayu terlihat masih kuat. Bahkan suaranya sampai terdengar ke dalam. Si kusir juga sampai terbawa hanyut dalam obrolan. Sementara rasa kantuk pada dua wanita yang gelisah karena lama tidak merasakan pelukan lelaki ini semakin berat. Akhirnya dua wanita itu terkulai karena tak kuat ingin tidur dan langsung terlelap. Pengaruh ngantuk pada Rukmini dan Pinasih cukup kuat, maka dua wanita ini bangun kesiangan. Pinasih tampak kesal rencananya gagal. Dia tidak mungkin meminta Rukmini menginap satu ma
"Nanti aku ceritakan, apa kau tidak mau menyuguhi kami minum dulu?" "Oh, iya. Mari masuk!" Ternyata Pinasih adalah seorang selir salah satu pejabat di istana Sumedang Larang yang berteman baik dengan kerabat Rukmini yang menjadi senapati di sana. Sampai saat ini Bayu belum tahu siapa nama senapati itu. Sementara dia tidak ingin menanyakan langsung kepada bibinya. Dia ingin mendengarnya tanpa harus bertanya. Pinasih belum memiliki anak. Sang suami akan mengunjunginya setiap satu purnama dan akan berdiam di rumah ini antara tiga sampai tujuh hari lamanya. Kebetulan saat ini Pinasih belum mendapat jatah kedatangan suami. Katanya sekitar sepuluh hari lagi suaminya akan datang. Jadi selama tidak ada suami, Pinasih hanya ditemani seorang pembantu yang sudah tua. Ketika sang tuan rumah menjamu mereka dengan menyuguhkan berbagai makanan dan minuman, Rukmini belum juga memberi tahukan tentang maksudnya
Sosok Bayu berputar mendatar, melayang di udara di antara sabetan dua pedang. Sekejap kemudian lawan di sebelah kanan menarik tangannya guna menghindari serangan tapak yang datang begitu cepat. Disusul lawan sebelah kiri juga menarik mundur diri karena mendapati kaki kanan Bayu meliuk bebas melewati sisi kosong sabetan pedang. Bayu melakukan hal ini karena ingin mendapat pengalaman bertarung dengan cara tidak selalu mengandalkan tenaga saktinya yang luar biasa. Sesuai anjuran ayahnya dalam mimpi. Sejurus kemudian ketika Bayu sudah berdiri sempurna di atas tanah, dua lawannya sudah menyerang lagi dengan jurus khas dari negeri seberang itu. Untungnya si pemuda sudah paham inti sari jurus serupa sewaktu melihat pertarungan antara Arya Soma dan Yamato. Setelah lewat beberapa jurus, kini Bayu ingat jurus yang digunakan lawan sama persis dengan jurus si topeng dulu. Memiliki gerakan inti membunuh law
Lagi-lagi senjata mereka kandas di tengah-tengah, berjatuhan ke sungai karena tertahan oleh angin yang dikendalikan Bayu tanpa terlihat oleh orang lain. Pada saat itu, tahu-tahu Bayu sudah melesat ke arah pemimpin mereka yang tidak ikut melompat. Si pemimpin terkejut bukan main. Dia tidak sempat selamatkan diri. Tangan kanan Bayu sudah mencengkram lehernya. Setelah berhasil mendarat di atas perahu sambil mencekik leher si pemimpin, Bayu jejakkan lagi kedua kakinya ke lantai perahu. Si pemuda melesat kembali ke atas perahu sambil membawa si pemimpin bagaikan menjinjing seekor kucing saja. Kini si pemimpin berada dalam tawanan Bayu. Semua anak buahnya yang telah kembali mendarat di perahu masing-masing tampak kebingungan. Sementara Bayu sudah memberikan beberapa totokan agar tawanannya tidak bisa bergerak. "Menyerahlah!" seru Bayu. Para penumpang lain dibuat kagum dengan ulah si pe
Bayu keluar dari kereta kuda untuk melihat-lihat isi kapal yang lebarnya sampai tiga perempat lebar sungai yang besar. Rasanya seperti di atas lautan, tapi masih terlihat dua tepian sungai di kedua sisi. Sambil berjalan keliling kapal, Bayu diam-diam memperhatikan beberapa orang yang selalu menguntitnya dan pura-pura menjadi penumpang kapal. Juga mendalami rencana yang sudah terpikirkan. Si pemuda hanya berharap rencana yang telah disusun bersama Arya Soma berjalan dengan lancar. Semoga saja bibinya masih percaya bahwa kepala Arya Soma adalah asli. Semakin lama kapal semaki penuh. Penumpang berdatangan dari berbagai arah. Ketika senja tiba kapal jung ini mulai bergerak ke arah selatan. Perjalanan yang cukup berat karena melawan arus, tapi sudah memiliki cara agar kapal tetap melaju. Rombongan Bayu berencana turun di dermaga Nunuk untuk kemudian melakukan perjalanan darat lagi ke arah barat. Sedangkan kapal ini akan berakhir
"Tinggalkan bayaran terakhir anak buahmu di rumah itu dan juga pesan agar mereka mencari jalan hidup masing-masing. Gagak Setan telah musnah dari dunia!" Begitulah pesan Arya Soma kepada Permani. Rencananya malam nanti mereka sekeluarga akan meninggalkan rumah yang telah lama di tempati ini. Para pembantu yang sudah setia bekerja di sana, diberi upah yang layak dan diperbolehkan mencari pekerjaan yang lain. Mereka tidak diberi tahu kemana sang majikan akan pergi. Sementara Bayu pun pamit untuk kembali ke Perguruan Kembang Sari melanjutkan penyelidikan yang semakin rumit ini. Pemuda ini sudah jauh melangkah meninggalkan kediaman Arya Soma. Namun, sepanjang jalan dia merasa ada yang mengikuti langkahnya. Awalnya dia mengira orang yang biasa selalu menguntitnya, tetapi setelah dirasakan lebih lama, ternyata bukan. Setelah ditunggu lama pun tidak ada pergerakan lagi selain membuntuti langkahnya dal
Apalagi Bayu sudah tahu kau kemana lawan bergerak sehingga selalu menemui jalan buntu. Wanita bertopeng mulai berpikir bagaimana cara untuk kabur. Sementara Arya Soma tampak sudah melangkah mendekat, ingin tahu lebih jelas lagi apa yang sebenarnya terjadi. Sedangkan Bayu kini mengubah sikap, dari bertahan ke menyerang. Tidak memberi ruang sedikit pun pada si topeng yang hendak kabur. Beberapa saat Arya Soma melihat jalannya pertarungan. Dari sini dia bisa membaca kalau Bayu akan mampu mengatasi lawannya. Kemudian sang tuan rumah ini memilih masuk ke bangunan tua yang sudah banyak kerusakan pada dindingnya itu. Betapa terkejutnya ketika sampai di dalam. Keadaan di dalam tampak bersih seperti ada yang mengurusnya. Dia juga menemukan kamar yang berisi kotak-kotak daun lontar. "Apa ini, seperti kumpulan nama-nama orang. Siapa yang menggunakan tempat ini secara diam-diam, kenapa aku sampai lengah. I