Share

PENGENDALI ANGIN PETIR
PENGENDALI ANGIN PETIR
Penulis: Nandar Hidayat

Bab 1

Sejak Eyang Ismaya memutuskan menjadi santri di Pesantren Quro, posisi sesepuh Padepokan Cakrabuana diserahkan kepada Ki Abiasa.

Semua kegiatan di padepokan berjalan seperti biasanya. Setiap dua tahun menerima murid baru dengan syarat yang sudah ditetapkan sejak dahulu.

Karena padepokan ini dekat dengan kerajaan, maka murid-murid yang sudah siap turun gunung kebanyakan direkrut menjadi pejabat di kerajaan khususnya di bidang keprajuritan.

Letak padepokan yang berada di lereng gunung bahkan mendekati puncaknya membuat kegiatan di dalamnya terasa tenang. Semua murid bisa mengambil pelajaran dengan tenang dan fokus.

Namun, di suatu pagi terjadi sebuah kegemparan yang tidak pernah disangka-sangka. Seluruh penghuni padepokan ditemukan tewas termasuk Ki Abiasa.

Yang pertama kali menemukan keadaan ini adalah sepasang suami isteri di mana sang suami adalah murid padepokan tersebut.

Mereka adalah Wirapati yang dikenal dengan julukan Tapak Sakti dan Parwati yang dijuluki Walet Putih. Yang paling terpukul tentu saja Wirapati.

Pada saat kejadian mereka berdua sedang berada di perguruan Teratai Emas, tempat tinggalnya Parwati. Kemudian karena Wirapati merindukan padepokan, maka mereka pergi ke gunung Cakrabuana.

Sampai di sana ternyata mereka mendapati keadaan yang begitu mengerikan. Setelah diperiksa tidak ada satu pun yang masih bernyawa, termasuk istri rahasia Wirapati yang dinikahi secara diam-diam sebelum menikah dengan Parwati. (Baca Pendekar Angin Petir)

"Ini tidak mungkin!" pekik Wirapati, "hanya orang berkekuatan seperti dewa yang bisa melakukan hal ini!"

Sementara Parwati sedang memeriksa beberapa jasad yang terkapar di sekelilingnya.

"Biadab!"

Parwati terfokus pada bentuk luka di tubuh korban. Setelah beberapa saat murid Nyai Gandalaras ini terkesiap seperti teringat sesuatu.

"Lihat ini!" seru Parwati.

Wirapati yang sedang menangisi jasad istri rahasianya segera berpaling dan mendekati Parwati. Si cantik itu menunjuk pada bentuk luka di tubuh korban.

"Apa yang kau temukan?"

"Semua bentuk lukanya sama, pasti pembunuhnya satu orang dan sepertinya aku sangat mengenali ilmu yang digunakan untuk membunuh mereka semua!"

"Ya! Aku juga tahu ciri-ciri ilmu ini!" sambung Wirapati.

"Pukulan Geledek!" seru mereka berdua bersamaan.

"Tidak salah, dia memang salah satu pendekar yang ilmunya mendekati dewa. Yang memiliki ilmu ini hanyalah Panji, Pendekar Angin Petir!" ungkap Wirapati.

Di hati yang paling dalam Wirapati memang membenci Panji lantaran sang pendekar itulah yang pertama kali mengambil kesucian Parwati.

Dengan melihat kejadian ini timbul niatnya untuk menekan Pendekar Angin Petir.

"Ada dendam apa Panji terhadap padepokan, bukankah hubungannya baik-baik saja. Bahkan Eyang Ismaya dan Ki Abiasa tampak akrab walaupun Panji bukan murid padepokan?" pikir Parwati.

"Yang terlihat di luar kadang bisa menipu untuk menutupi keadaan di dalam," ujar Wirapati.

"Seperti kita!" sahut Parwati, tapi hanya dalam hati.

Mereka berdua juga hanya terlihat seperti pasangan harmonis di luarnya, tapi sebenarnya keduanya tidak sejalan. Wirapati lebih mencintai istri rahasianya. Begitu juga Parwati lebih cenderung kepada Panji.

"Apa pun yang terjadi sebenarnya, sudah jelas pelaku biadab ini tidak lain adalah Panji Saksana!"

"Kenapa dia terang-terangan melakukannya dengan meninggalkan jejak?" tanya Parwati berusaha mencari alasan lain.

"Apa yang dia takutkan? Satu-satunya pewaris dua tokoh berkekuatan dewa yang jejak ilmunya kita saksikan saat ini. Bisa dibilang dia termasuk tokoh paling sakti. Jadi buat apa sembunyi-sembunyi?"

Apa yang dipaparkan Wirapati memang benar juga. Yang mampu menandingi Pendekar Angin Petir hanya sesepuh padepokan atau Maharaja Pajajaran. Namun, Ki Abiasa yang menjadi sesepuh juga ikut tewas.

"Sekarang kita kabarkan ke dunia persilatan. Semua pendekar harus turun menangkap Panji untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya!"

Wirapati segera mengajak istrinya turun gunung lagi. Pertama mereka kembali ke perguruan Teratai Emas untuk menyampaikan kabar duka ini.

Maka beberapa hari kemudian berita tewasnya seluruh penghuni padepokan telah menyebar ke setiap penjuru dunia persilatan.

Semua pendekar bisa percaya kalau Panji mampu melakukan pembunuhan tersebut. Namun, semuanya juga menaruh pertanyaan kenapa Panji melakukannya.

Kenapa pendekar yang dikenal baik hati, pembela kebenaran penumpas kejahatan malah membantai padepokan aliran putih yang terbesar?

Yakin karena bukti berupa bentuk luka yang tampak. Sekarang semua orang sudah tahu bagaimana kehebatan Pukulan Geledek milik Panji, tapi mereka ragu lantaran alasan apa Panji sampai tega dan keji seperti itu?

Tidak lama kemudian bergeraklah para pendekar ke tempat tinggal Panji Saksana yang tidak jauh dari Pesantren Quro.

***000***

Sejak melahirkan anak pertama, Panji dan Paramita memilih pindah dari dalam lingkungan pesantren ke luar. Mereka membangun rumah sendiri di perkampungan yang masih sepi penduduk. Kabar tragis dari Padepokan Cakrabuana tentu saja sudah sampai ke telinga mereka.

Di ruang depan dalam sebuah rumah kayu yang sederhana tampak empat orang duduk bersila berhadap-hadapan. Yang duduk di dekat pintu rumah tidak lain sepasang suami istri, Panji dan Paramita menghadap ke arah dalam.

Dua orang lagi duduk menghadap ke arah suami istri tersebut. Yang satu seorang lelaki yang sudah sangat sepuh, tapi masih terlihat segar dengan wajah teduh memancarkan cahaya kewibawaan.

Yang satu lagi seorang anak lelaki berumur dua belas tahun. Wajah anak ini perpaduan antara Panji dan Paramita. Sorot matanya tajam dan tegas.

Dialah Bayu Bentar putra Panji dan Paramita, sedangkan si kakek sepuh adalah Eyang Ismaya.

"Eyang adalah saksi pada saat kejadian aku selalu berada di dekat Eyang, Paramita dan juga Bayu. Tapi, aku yakin kesaksian Eyang akan diragukan. Mereka lebih percaya bukti yang tertampak," ucap Panji tampak tenang walau sudah tahu hari ini dia akan dikepung para pendekar.

"Aku akan membantumu," ujar Eyang Ismaya.

"Tidak perlu, Eyang. Aku sudah punya rencana sendiri mengatasi masalah ini. Aku hanya ingin Eyang merawat Bayu."

"Merawat Bayu?"

"Masalah sebesar ini tidak akan bisa diselesaikan dalam waktu singkat, dan pada saat itu aku tidak akan sempat membimbing Bayu. Ah... Sayang sekali!" desah Panji pelan.

"Jadi, apa rencanamu?" tanya Eyang Ismaya.

Panji menoleh ke arah istrinya. Paramita balas menatap suaminya, lalu mengangguk pelan. Wanita cantik juga tampak tegar atas kabar yang beredar menimpa suaminya.

"Eyang dan Bayu jangan keluar saat aku dan Paramita menghadapi mereka. Jangan melakukan tindakan apa pun sampai para pendekar meninggalkan tempat ini. Cara ini harus aku lakukan demi mengungkap kebenaran." Panji menjelaskan.

Eyang Ismaya angguk-angguk kecil sambil mengusap jenggotnya. Sepertinya sang sesepuh yang sudah berusia lebih dari seratus tahun ini sudah bisa membaca maksud Panji.

Sementara Bayu yang hanya sedikit mengerti tentang kasus yang menimpa ayahnya hanya bisa menatap bergantian wajah ibu dan ayahnya.

"Baiklah, aku mengerti," ujar Eyang Ismaya.

"Selanjutnya aku serahkan Bayu kepada Eyang. Didiklah dia supaya menjadi orang berbudi baik." Panji menatap menyesal ke arah putranya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status