Sejak Eyang Ismaya memutuskan menjadi santri di Pesantren Quro, posisi sesepuh Padepokan Cakrabuana diserahkan kepada Ki Abiasa.
Semua kegiatan di padepokan berjalan seperti biasanya. Setiap dua tahun menerima murid baru dengan syarat yang sudah ditetapkan sejak dahulu. Karena padepokan ini dekat dengan kerajaan, maka murid-murid yang sudah siap turun gunung kebanyakan direkrut menjadi pejabat di kerajaan khususnya di bidang keprajuritan. Letak padepokan yang berada di lereng gunung bahkan mendekati puncaknya membuat kegiatan di dalamnya terasa tenang. Semua murid bisa mengambil pelajaran dengan tenang dan fokus. Namun, di suatu pagi terjadi sebuah kegemparan yang tidak pernah disangka-sangka. Seluruh penghuni padepokan ditemukan tewas termasuk Ki Abiasa. Yang pertama kali menemukan keadaan ini adalah sepasang suami isteri di mana sang suami adalah murid padepokan tersebut. Mereka adalah Wirapati yang dikenal dengan julukan Tapak Sakti dan Parwati yang dijuluki Walet Putih. Yang paling terpukul tentu saja Wirapati. Pada saat kejadian mereka berdua sedang berada di perguruan Teratai Emas, tempat tinggalnya Parwati. Kemudian karena Wirapati merindukan padepokan, maka mereka pergi ke gunung Cakrabuana. Sampai di sana ternyata mereka mendapati keadaan yang begitu mengerikan. Setelah diperiksa tidak ada satu pun yang masih bernyawa, termasuk istri rahasia Wirapati yang dinikahi secara diam-diam sebelum menikah dengan Parwati. (Baca Pendekar Angin Petir) "Ini tidak mungkin!" pekik Wirapati, "hanya orang berkekuatan seperti dewa yang bisa melakukan hal ini!" Sementara Parwati sedang memeriksa beberapa jasad yang terkapar di sekelilingnya. "Biadab!" Parwati terfokus pada bentuk luka di tubuh korban. Setelah beberapa saat murid Nyai Gandalaras ini terkesiap seperti teringat sesuatu. "Lihat ini!" seru Parwati. Wirapati yang sedang menangisi jasad istri rahasianya segera berpaling dan mendekati Parwati. Si cantik itu menunjuk pada bentuk luka di tubuh korban. "Apa yang kau temukan?" "Semua bentuk lukanya sama, pasti pembunuhnya satu orang dan sepertinya aku sangat mengenali ilmu yang digunakan untuk membunuh mereka semua!" "Ya! Aku juga tahu ciri-ciri ilmu ini!" sambung Wirapati. "Pukulan Geledek!" seru mereka berdua bersamaan. "Tidak salah, dia memang salah satu pendekar yang ilmunya mendekati dewa. Yang memiliki ilmu ini hanyalah Panji, Pendekar Angin Petir!" ungkap Wirapati. Di hati yang paling dalam Wirapati memang membenci Panji lantaran sang pendekar itulah yang pertama kali mengambil kesucian Parwati. Dengan melihat kejadian ini timbul niatnya untuk menekan Pendekar Angin Petir. "Ada dendam apa Panji terhadap padepokan, bukankah hubungannya baik-baik saja. Bahkan Eyang Ismaya dan Ki Abiasa tampak akrab walaupun Panji bukan murid padepokan?" pikir Parwati. "Yang terlihat di luar kadang bisa menipu untuk menutupi keadaan di dalam," ujar Wirapati. "Seperti kita!" sahut Parwati, tapi hanya dalam hati. Mereka berdua juga hanya terlihat seperti pasangan harmonis di luarnya, tapi sebenarnya keduanya tidak sejalan. Wirapati lebih mencintai istri rahasianya. Begitu juga Parwati lebih cenderung kepada Panji. "Apa pun yang terjadi sebenarnya, sudah jelas pelaku biadab ini tidak lain adalah Panji Saksana!" "Kenapa dia terang-terangan melakukannya dengan meninggalkan jejak?" tanya Parwati berusaha mencari alasan lain. "Apa yang dia takutkan? Satu-satunya pewaris dua tokoh berkekuatan dewa yang jejak ilmunya kita saksikan saat ini. Bisa dibilang dia termasuk tokoh paling sakti. Jadi buat apa sembunyi-sembunyi?" Apa yang dipaparkan Wirapati memang benar juga. Yang mampu menandingi Pendekar Angin Petir hanya sesepuh padepokan atau Maharaja Pajajaran. Namun, Ki Abiasa yang menjadi sesepuh juga ikut tewas. "Sekarang kita kabarkan ke dunia persilatan. Semua pendekar harus turun menangkap Panji untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya!" Wirapati segera mengajak istrinya turun gunung lagi. Pertama mereka kembali ke perguruan Teratai Emas untuk menyampaikan kabar duka ini. Maka beberapa hari kemudian berita tewasnya seluruh penghuni padepokan telah menyebar ke setiap penjuru dunia persilatan. Semua pendekar bisa percaya kalau Panji mampu melakukan pembunuhan tersebut. Namun, semuanya juga menaruh pertanyaan kenapa Panji melakukannya. Kenapa pendekar yang dikenal baik hati, pembela kebenaran penumpas kejahatan malah membantai padepokan aliran putih yang terbesar? Yakin karena bukti berupa bentuk luka yang tampak. Sekarang semua orang sudah tahu bagaimana kehebatan Pukulan Geledek milik Panji, tapi mereka ragu lantaran alasan apa Panji sampai tega dan keji seperti itu? Tidak lama kemudian bergeraklah para pendekar ke tempat tinggal Panji Saksana yang tidak jauh dari Pesantren Quro. ***000*** Sejak melahirkan anak pertama, Panji dan Paramita memilih pindah dari dalam lingkungan pesantren ke luar. Mereka membangun rumah sendiri di perkampungan yang masih sepi penduduk. Kabar tragis dari Padepokan Cakrabuana tentu saja sudah sampai ke telinga mereka. Di ruang depan dalam sebuah rumah kayu yang sederhana tampak empat orang duduk bersila berhadap-hadapan. Yang duduk di dekat pintu rumah tidak lain sepasang suami istri, Panji dan Paramita menghadap ke arah dalam. Dua orang lagi duduk menghadap ke arah suami istri tersebut. Yang satu seorang lelaki yang sudah sangat sepuh, tapi masih terlihat segar dengan wajah teduh memancarkan cahaya kewibawaan. Yang satu lagi seorang anak lelaki berumur dua belas tahun. Wajah anak ini perpaduan antara Panji dan Paramita. Sorot matanya tajam dan tegas. Dialah Bayu Bentar putra Panji dan Paramita, sedangkan si kakek sepuh adalah Eyang Ismaya. "Eyang adalah saksi pada saat kejadian aku selalu berada di dekat Eyang, Paramita dan juga Bayu. Tapi, aku yakin kesaksian Eyang akan diragukan. Mereka lebih percaya bukti yang tertampak," ucap Panji tampak tenang walau sudah tahu hari ini dia akan dikepung para pendekar. "Aku akan membantumu," ujar Eyang Ismaya. "Tidak perlu, Eyang. Aku sudah punya rencana sendiri mengatasi masalah ini. Aku hanya ingin Eyang merawat Bayu." "Merawat Bayu?" "Masalah sebesar ini tidak akan bisa diselesaikan dalam waktu singkat, dan pada saat itu aku tidak akan sempat membimbing Bayu. Ah... Sayang sekali!" desah Panji pelan. "Jadi, apa rencanamu?" tanya Eyang Ismaya. Panji menoleh ke arah istrinya. Paramita balas menatap suaminya, lalu mengangguk pelan. Wanita cantik juga tampak tegar atas kabar yang beredar menimpa suaminya. "Eyang dan Bayu jangan keluar saat aku dan Paramita menghadapi mereka. Jangan melakukan tindakan apa pun sampai para pendekar meninggalkan tempat ini. Cara ini harus aku lakukan demi mengungkap kebenaran." Panji menjelaskan. Eyang Ismaya angguk-angguk kecil sambil mengusap jenggotnya. Sepertinya sang sesepuh yang sudah berusia lebih dari seratus tahun ini sudah bisa membaca maksud Panji. Sementara Bayu yang hanya sedikit mengerti tentang kasus yang menimpa ayahnya hanya bisa menatap bergantian wajah ibu dan ayahnya. "Baiklah, aku mengerti," ujar Eyang Ismaya. "Selanjutnya aku serahkan Bayu kepada Eyang. Didiklah dia supaya menjadi orang berbudi baik." Panji menatap menyesal ke arah putranya. ***Secara alami pada saat lahir dalam tubuh Bayu sudah tertanam dua kekuatan angin dan petir, sementara kesaktian Darah Peri tidak ikut masuk ke dalamnya.Jadi anak ini sudah memiliki kelebihan dalam tubuhnya, hanya belum bisa mengendalikan dan memanfaatkannya.Bayu juga mewarisi bakat luar biasa ayahnya, yaitu daya ingat yang kuat. Hanya saja dia lambat dalam mempraktekkan arahan sang ayah untuk mengendalikan kekuatan yang dia miliki.Sehingga sampai di umur yang keduabelas, Bayu belum mampu mengendalikan dan memanfaatkan kesaktian angin petir dalam tubuhnya.Ditambah lagi peristiwa di Padepokan Cakrabuana yang menyeret nama Panji membuat upaya sang ayah dalam mengajari anaknya jadi terhambat.Akhirnya Panji menyerahkan pendidikan sang anak kepada Eyang Ismaya. Siapa tahu walaupun tidak bisa menggunakan kekuatan alami yang dimiliki, tapi masih memiliki ilmu lain warisan dari Eyang Ismaya."Tentu saja, aku sudah menganggap Bayu seperti cucuku sendiri. Aku juga senang ada orang yang akan
Apa yang ditemukan Eyang Ismaya pada jasad Ki Abiasa? Jawabannya disimpan dulu.Keesokan paginya.Sekarang berita tentang ditetapkannya Panji dan keluarga sebagai buronan kerajaan telah menyebar. Ini membuat Eyang Ismaya menjadi agak sempit gerakannya dalam membawa Bayu.Tidak mungkin dia akan terus tinggal di rumahnya bersama Bayu. Pihak kerajaan sewaktu-waktu pasti akan datang karena tahu sang sesepuh dekat dengan keluarga Panji Saksana."Bayu, sepertinya kita harus mengembara dari tempat ke tempat guna menghindari pengejaran pihak kerajaan. Kasihan sekali masih muda sudah menjadi buronan. Padahal tidak ada sangkut pautnya dengan ayahmu!""Aku menuruti apa saja yang menurut Eyang baik," sahut Bayu tegas. Wajahnya tak sedikit pun menunjukkan rasa takut. Tidak seperti ayahnya yang tengil dan suka bercanda, sifat Bayu lebih mirip ibunya yang pendiam."Baiklah, terlebih dahulu kita akan mengubah penampilan agar tidak mudah dikenali orang."Beberapa saat kemudian mereka sudah berganti pa
Bayu terpental sejauh tiga tombak setelah menahan pukulan si kakek yang bernama Setan Berambut Putih itu. Dalam beberapa saat dia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Setelah itu hilang lagi sakitnya dalam sekejap. Tenaganya kembali pulih.Ketika bangkit lagi, Setan Berambut Putih sudah tiga langkah di hadapannya dengan satu kaki mengangkat melepaskan tendangan ke arah kepala.Wush!Remaja ini cepat guling-gulingkan badannya hingga menjauh sampai mendapatkan kesempatan untuk berdiri. Setelah berhasil berdiri dia siap kabur.Namun, Setan Berambut Putih terus memburunya. Hawa membunuh kini terpancar dari tubuhnya. Dia tidak segan-segan walau korbannya masih anak remaja.Memiliki kesempatan untuk berlari, Bayu tak menyia-nyiakannya. Sekuat tenaga dia ambil langkah seribu.Setan Berambut Putih sangat geram. Bagaimana bisa anak yang dianggap masih ingusan ini begitu mudah lepas darinya? Tak ingin kehilangan muka, kakek kurus ini melesat menggunakan ilmu meringankan tubuh.Di depan, Bayu me
"Sudah malam, Eyang. Kita akan istirahat di mana?""Kita makan jamur Suung dulu. Mari, cari tempat yang nyaman!"Eyang Ismaya melangkah ke arah gubuk tempat tadi Bayu duduk. Walaupun gelap mereka berdua mampu melihat dalam kegelapan.Kalau Eyang Ismaya menggunakan hawa sakti yang disalurkan ke mata, sedangkan Bayu sudah pembawaan dari lahir karena adanya tenaga petir dalam tubuhnya.Sampai di gubuk, Bayu mengeluarkan jamur dari dalam buntalannya. Lalu tidak lama kemudian dia sudah mengumpulkan ranting-ranting kering untuk membuat pembakaran."Coba kau buatlah api dengan tenaga petirmu," suruh Eyang Ismaya.Untuk hal-hal yang ringan seperti itu, Bayu memang sudah bisa melakukannya berkat bimbingan sang ayah. Anak ini hanya mengibas kecil ujung tangan sebatas pergelangan.Praatt!Keluar percikan petir kecil dari salah satu jari menimpa ranting-ranting yang telah ditumpuk di atas tanah, lalu timbul api yang langsung membakar ranting-ranting tersebut.Seketika tempat itu jadi agak terang.
"Eh, kalau Tuhan belum mau ambil nyawaku, maka aku akan terus hidup. Kau juga sudah tua, apa itu cucumu?" Nenek ini menatap ke arah Bayu."Bukan, selama hidup di luar aku tidak pernah menikah dan punya anak. Dia muridku!""Aduh, kau ini bodoh sekali. Kenapa tidak kawin, nanti siapa yang meneruskan keluarga Pedang Pembelah Langit?""Mungkin anak ini yang berjodoh dengan pusaka itu, makanya aku bawa ke sini. Sekalian aku melepas rindu kepada orang-orang di sini.""Sudah, sudah. Bicaranya nanti saja, sudah malam, istirahat saja dulu!"Kemudian nenek ini membawa Eyang Ismaya dan Bayu ke dalam menapaki jalan kecil yang dipadati dengan batu-batu pipih dan rapi.Sepanjang jalan penuh dengan taman-taman indah. Suasana tengah hutan sudah tidak ada lagi. Mereka memasuki perkampungan yang asri dan nyaman.Keesokan harinya.Suasana kampung kecil ini semakin jelas keindahannya ketika tersiram oleh cahaya matahari pagi. Begitu tenang dan udara segar.Eyang Ismaya mengajak Bayu ke sebuah pemakaman.
Bayu tidak menjawab, kedua matanya terus terpaku pada lembaran pertama kitab Aksara Sakti. Anak ini melihat susunan aksara Sunda kuno.Untungnya sejak kecil Bayu diajari membaca beberapa aksara olah ayahnya. Di antaranya aksara Sunda, Jawa, Arab dan Palawa. Jadi Bayu bisa membaca rangkaian kalimat dalam kitab Aksara Sakti.Bayu hanya membaca dalam hati, tetapi dia merasakan ada sesuatu yang mengalir ke dalam tubuhnya. Seperti hawa sejuk merasuk menjalar ke setiap rongga dan syaraf dalam tubuhnya.Seketika Bayu merasakan tubuhnya menjadi segar, ringan dan berisi."Tampaknya dia merasakan sesuatu dalam tubuhnya seperti ayah kita dulu," ujar Nini Winah sambil memandangi wajah Bayu penuh selidik."Dia berjodoh dengan kitab itu," sahut Eyang Ismaya.Tanpa disadari Bayu membaca isi kitab itu sampai halaman terakhir. Beberapa saat anak ini termenung setelah selesai membaca. Lalu kitab itu ditutup kembali."Aku bisa melihat isinya, Eyang!" kata Bayu setelah menoleh kepada Eyang Ismaya. Dia ju
Lalu melesat beberapa kilatan petir menyambar semua lawannya kecuali satu, yaitu si guru cantik yang jadi incarannya.Sraaat! Byarr!Selain si guru tersebut, semuanya terlempar lalu terjatuh keras saat terkena hantaman petir tadi. Mereka kelojotan beberapa saat lalu diam tak berkutik.Tinggal si guru cantik ini tampak ketakutan ketika orang bertopeng kain itu mendekat dengan sorot mata penuh nafsu."Sepertinya kau harus mendapat perlakuan yang berbeda, Cantik. Tenanglah aku akan memberimu kenikmatan. Ha ha ha ...!"Tidak ada jalan lagi selain melarikan diri, maka si guru cantik segera bergerak cepat hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi gerakan si lelaki bertopeng lebih cepat lagi.Tahu-tahu si gadis sudah berada dalam dekapan lelaki yang tampak mengerikan itu. Selanjutnya si cantik ini tak memiliki daya lagi untuk melawan. Dia hanya bisa menjerit sekeras mungkin pada saat sekujur tubuhnya didera rasa sakit luar biasa.
Senapati Pranajaya tahu tiga senapati tua ini menyimpan dengki kepadanya. Ini pasti hanya siasat mereka saja untuk menyingkirkan dirinya."Kalian terlalu mengada-ada. Kalau ingin mengambil alih tugas ini tinggal bilang saja. Tidak perlu membuat fitnah seperti ini!" seru Senapati Pranajaya."Ini bukan fitnah. Kami punya bukti yang lain!" sanggah Senapati Bardasena."Tunjukkan!" teriak Senapati Wisrawa memberi perintah kepada beberapa prajurit.Kemudian dari dalam gerbang muncul empat prajurit yang menggiring dua wanita dalam keadaan terikat. Yang satu sudah dewasa, memiliki lekuk tubuh indah menggiurkan dan tentu saja berwajah menarik dengan sorot mata yang tajam.Yang satunya masih belia kira-kira baru berumur lima belas tahun, tapi bentuk tubuh dan wajahnya sudah mendekati wanita dewasa yang tidak lain adalah ibunya. Remaja putri ini calon gadis jelita yang akan menjadi rebutan para lelaki.Mereka adalah Nala Ratih dan Asmarini.