Apa yang ditemukan Eyang Ismaya pada jasad Ki Abiasa? Jawabannya disimpan dulu.
Keesokan paginya. Sekarang berita tentang ditetapkannya Panji dan keluarga sebagai buronan kerajaan telah menyebar. Ini membuat Eyang Ismaya menjadi agak sempit gerakannya dalam membawa Bayu. Tidak mungkin dia akan terus tinggal di rumahnya bersama Bayu. Pihak kerajaan sewaktu-waktu pasti akan datang karena tahu sang sesepuh dekat dengan keluarga Panji Saksana. "Bayu, sepertinya kita harus mengembara dari tempat ke tempat guna menghindari pengejaran pihak kerajaan. Kasihan sekali masih muda sudah menjadi buronan. Padahal tidak ada sangkut pautnya dengan ayahmu!" "Aku menuruti apa saja yang menurut Eyang baik," sahut Bayu tegas. Wajahnya tak sedikit pun menunjukkan rasa takut. Tidak seperti ayahnya yang tengil dan suka bercanda, sifat Bayu lebih mirip ibunya yang pendiam. "Baiklah, terlebih dahulu kita akan mengubah penampilan agar tidak mudah dikenali orang." Beberapa saat kemudian mereka sudah berganti pakaian dengan yang sangat sederhana bahkan cenderung seperti seorang pengemis. Walaupun kepala mereka tidak ditutupi caping atau semacamnya, tetapi rambutnya dibuat tergerai bebas tanpa diikat dan terkesan acak-acakan. Keduanya sudah berada di halaman bersiap hendak pergi meninggalkan rumah entah untuk berapa lama karena tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Baik Eyang Ismaya atau Bayu sama-sama memandang ke arah pintu rumah seolah di balik sana ada seseorang yang melepas kepergian mereka. "Ayo pergi, kita akan mencari dan mengungkap kebenaran walaupun melewati jalan yang terjal!" "Siap, Eyang!" Dua orang yang tampak seperti kakek dan cucunya ini melangkah meninggalkan perkampungan yang masih sepi di pagi itu. Eyang Ismaya membawa Bayu ke arah timur. Bayu membuang pikiran tentang kedua orang tuanya, dia yakin ayah dan ibunya pasti mampu menghadapi rintangan yang menghadang. Dia harus fokus mencari cara agar bisa mengendalikan tenaga angin dan petir tanpa bimbingan ayahnya. Begitu juga Eyang Ismaya merasa memiliki tanggung jawab untuk mendidik Bayu Bentar. Tujuannya sama, menemukan cara mengendalikan kekuatan yang tertanam di tubuh Bayu sejak lahir. Bahkan jika perlu dia akan mewariskan semua ilmu yang dimiliki kepada Bayu. Seandainya anak itu tidak juga bisa memanfaatkan kekuatannya, maka Bayu akan tetap memiliki ilmu-ilmu darinya. Langkah kedua orang ini sudah jauh. Mereka memasuki daerah perkebunan yang luas dan sepi. Seperti penjelasan Eyang Ismaya, tidak sedikit pun Bayu merasa lelah atau pegal berkat Sabuk Ajaib. Sampai di suatu tempat, Eyang Ismaya menghentikan langkahnya. "Ada apa, Eyang?" "Aku mencium ada jamur Suung di dalam sana. Coba kau ambil untuk bekal makanan kita." Eyang Ismaya menunjuk ke arah kebun sebelah kanan. Sebuah kebun palawija yang telah dipanen menyisakan dedaunan dan jerami kering. Tanpa banyak tanya lagi Bayu segera masuk ke kebun tersebut. "Aku tunggu di ujung jalan sana!" seru Eyang Ismaya sambil berlalu. "Iya, Eyang!" balas Bayu dari kejauhan. Anak ini segera mencari jamur yang dimaksud. Letaknya cukup dalam sehingga agak jauh ke jalan, tapi Bayu tidak merasa takut sedikit pun. Mungkin Eyang Ismaya sengaja meninggalkannya untuk menguji dirinya. Tidak butuh waktu lama Bayu menemukan jamur Suung tersebut. Ternyata lumayan banyak. Bayu memetik dan memasukkannya ke dalam buntalan kecil yang tersampir di bahunya. Ketika kembali ke jalan, Bayu mendapati seseorang tengah berdiri di jalan seperti sedang menunggunya. Dari jauh terlihat seperti anak seumuran dengannya. Ternyata setelah dekat barulah terlihat kalau orang ini adalah kakek-kakek. Siapa dia? Sementara Eyang Ismaya sudah tidak kelihatan di kejauhan. Si kakek yang langsung menghadang Bayu itu memiliki rambut lurus panjang sampai pertengahan punggung, warnanya putih semua. Wajahnya tirus kedua matanya cekung kecil. Secara keseluruhan kakek ini terlihat kecil. Lebih kecil dari ukuran manusia biasa. "Kakek siapa, kenapa menghadang jalanku?" tanya Bayu. "Apa yang kau curi tadi?" sentak kakek kecil berambut putih ini dengan wajah angkuh bermaksud menakuti Bayu. "Aku tidak mencuri, ladang ini sudah dipanen, aku hanya mengambil jamur Suung yang tumbuh di bawah jerami!" jawab Bayu dengan suara datar seperti wajahnya. "Sama saja mencuri, bocah bangsat!" "Semua orang tahu, jamur tumbuh dengan sendirinya. Siapa pun boleh mengambilnya. Cuma sekadar jamur, kenapa tidak cari sendiri. Kalau kau pemilik kebun ini, kenapa tidak segera diambil?" bentak Bayu tak kalah keras. Hati anak ini mulai dongkol. Perkara jamur saja sampai dibesar-besarkan seperti mencuri emas. Kalau memang si kakek adalah pemilik kebun, sungguh sikap yang menyebalkan. "Diam kau! Belum tahu siapa aku?" Sikap Bayu yang sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Membuat kakek kurus ini merasa direndahkan. Tiba-tiba tubuh kakek ini memancarkan energi kuat. Bayu merasakan ada sesuatu yang menekan tapi cuma sebentar. Seolah olah hilang begitu saja. Si kakek terkejut. "Apa, dia tidak merasakannya? Siapa bocah ini?" batin si kakek. Dia mulai waspada. Bayu juga bersikap sama, karena sejak awal dia merasakan hawa buruk yang dipancarkan si kakek. Orang kurus ini ternyata memiliki kesaktian. Sebenarnya kakek ini pemilik kebun atau orang persilatan yang sedang cari masalah? "Kau telah menghinaku, Bocah! Biar kuberi pelajaran!" teriak si kakek kurus berambut putih. Secara fisik ukuran mereka sama saja, bahkan Bayu terlihat lebih besar sedikit. Si kakek jadi terlihat kerdil. Bayu menenangkan hatinya. Si kakek pancarkan lagi energi untuk menakuti Bayu. Kali ini lebih kuat. Memang Bayu sempat merasakan tekanan energi itu, tapi hanya sebentar saja. Seolah-olah hanya angin lewat saja. Ini membuat kakek kurus berambut putih semakin penasaran. Bayu tahu bahwa hal itu berkat sabuk yang dipakainya. Sungguh beruntung dia memakainya. Kalau tidak mungkin dia sudah lemas terkena tekanan energi yang dipancarkan si kakek. "Sudahlah, Kek. Aku tidak tidak kenal dan tidak mengusik Kakek sebelumnya, aku mau melanjutkan perjalanan!" bujuk Bayu karena memang dia tidak mau berurusan lebih jauh. Tapi sifat orang-orang dunia persilatan kadang aneh, hal sepelepun resikonya nyawa. Seperti kakek kurus berambut putih ini. "Kau boleh pergi ke akhirat, karena telah berani meremehkanku!" "Kapan aku melakukan hal itu, Kek? Aku tidak mengerti sama sekali. Tiba-tiba menghadang, menuduh mencuri, sekarang dibilang menghina. Aneh! Teu paruguh aki-aki teh!" "Kau benar-benar lancang bocah! Berani mempermainkan Setan Berambut Putih!" Walaupun melotot tetap saja mata si kakek cekung. Si kakek tak bisa lagi menahan amarahnya. Tangannya meluncur cepat ke arah leher Bayu. Sebelum tangan itu sampai, hembusan angin yang membuat kulit terasa perih menyambar lebih dulu. Waktu Bayu hanya sepersekian detik untuk menghindar. Ujung jari si kakek sudah menyentuh lehernya, beruntung dia bisa lepas dari cengkraman tangan itu walau kulitnya terasa perih. Kejap berikutnya Bayu tidak mampu mengelak serangan si kakek yang kedua kalinya. Terpaksa dia mengangkat dua tangannya sebagai tameng. Sekuat tenaga dia tahan pukulan itu. Dukk! Brugh! ***Bayu terpental sejauh tiga tombak setelah menahan pukulan si kakek yang bernama Setan Berambut Putih itu. Dalam beberapa saat dia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Setelah itu hilang lagi sakitnya dalam sekejap. Tenaganya kembali pulih.Ketika bangkit lagi, Setan Berambut Putih sudah tiga langkah di hadapannya dengan satu kaki mengangkat melepaskan tendangan ke arah kepala.Wush!Remaja ini cepat guling-gulingkan badannya hingga menjauh sampai mendapatkan kesempatan untuk berdiri. Setelah berhasil berdiri dia siap kabur.Namun, Setan Berambut Putih terus memburunya. Hawa membunuh kini terpancar dari tubuhnya. Dia tidak segan-segan walau korbannya masih anak remaja.Memiliki kesempatan untuk berlari, Bayu tak menyia-nyiakannya. Sekuat tenaga dia ambil langkah seribu.Setan Berambut Putih sangat geram. Bagaimana bisa anak yang dianggap masih ingusan ini begitu mudah lepas darinya? Tak ingin kehilangan muka, kakek kurus ini melesat menggunakan ilmu meringankan tubuh.Di depan, Bayu me
"Sudah malam, Eyang. Kita akan istirahat di mana?""Kita makan jamur Suung dulu. Mari, cari tempat yang nyaman!"Eyang Ismaya melangkah ke arah gubuk tempat tadi Bayu duduk. Walaupun gelap mereka berdua mampu melihat dalam kegelapan.Kalau Eyang Ismaya menggunakan hawa sakti yang disalurkan ke mata, sedangkan Bayu sudah pembawaan dari lahir karena adanya tenaga petir dalam tubuhnya.Sampai di gubuk, Bayu mengeluarkan jamur dari dalam buntalannya. Lalu tidak lama kemudian dia sudah mengumpulkan ranting-ranting kering untuk membuat pembakaran."Coba kau buatlah api dengan tenaga petirmu," suruh Eyang Ismaya.Untuk hal-hal yang ringan seperti itu, Bayu memang sudah bisa melakukannya berkat bimbingan sang ayah. Anak ini hanya mengibas kecil ujung tangan sebatas pergelangan.Praatt!Keluar percikan petir kecil dari salah satu jari menimpa ranting-ranting yang telah ditumpuk di atas tanah, lalu timbul api yang langsung membakar ranting-ranting tersebut.Seketika tempat itu jadi agak terang.
"Eh, kalau Tuhan belum mau ambil nyawaku, maka aku akan terus hidup. Kau juga sudah tua, apa itu cucumu?" Nenek ini menatap ke arah Bayu."Bukan, selama hidup di luar aku tidak pernah menikah dan punya anak. Dia muridku!""Aduh, kau ini bodoh sekali. Kenapa tidak kawin, nanti siapa yang meneruskan keluarga Pedang Pembelah Langit?""Mungkin anak ini yang berjodoh dengan pusaka itu, makanya aku bawa ke sini. Sekalian aku melepas rindu kepada orang-orang di sini.""Sudah, sudah. Bicaranya nanti saja, sudah malam, istirahat saja dulu!"Kemudian nenek ini membawa Eyang Ismaya dan Bayu ke dalam menapaki jalan kecil yang dipadati dengan batu-batu pipih dan rapi.Sepanjang jalan penuh dengan taman-taman indah. Suasana tengah hutan sudah tidak ada lagi. Mereka memasuki perkampungan yang asri dan nyaman.Keesokan harinya.Suasana kampung kecil ini semakin jelas keindahannya ketika tersiram oleh cahaya matahari pagi. Begitu tenang dan udara segar.Eyang Ismaya mengajak Bayu ke sebuah pemakaman.
Bayu tidak menjawab, kedua matanya terus terpaku pada lembaran pertama kitab Aksara Sakti. Anak ini melihat susunan aksara Sunda kuno.Untungnya sejak kecil Bayu diajari membaca beberapa aksara olah ayahnya. Di antaranya aksara Sunda, Jawa, Arab dan Palawa. Jadi Bayu bisa membaca rangkaian kalimat dalam kitab Aksara Sakti.Bayu hanya membaca dalam hati, tetapi dia merasakan ada sesuatu yang mengalir ke dalam tubuhnya. Seperti hawa sejuk merasuk menjalar ke setiap rongga dan syaraf dalam tubuhnya.Seketika Bayu merasakan tubuhnya menjadi segar, ringan dan berisi."Tampaknya dia merasakan sesuatu dalam tubuhnya seperti ayah kita dulu," ujar Nini Winah sambil memandangi wajah Bayu penuh selidik."Dia berjodoh dengan kitab itu," sahut Eyang Ismaya.Tanpa disadari Bayu membaca isi kitab itu sampai halaman terakhir. Beberapa saat anak ini termenung setelah selesai membaca. Lalu kitab itu ditutup kembali."Aku bisa melihat isinya, Eyang!" kata Bayu setelah menoleh kepada Eyang Ismaya. Dia ju
Lalu melesat beberapa kilatan petir menyambar semua lawannya kecuali satu, yaitu si guru cantik yang jadi incarannya.Sraaat! Byarr!Selain si guru tersebut, semuanya terlempar lalu terjatuh keras saat terkena hantaman petir tadi. Mereka kelojotan beberapa saat lalu diam tak berkutik.Tinggal si guru cantik ini tampak ketakutan ketika orang bertopeng kain itu mendekat dengan sorot mata penuh nafsu."Sepertinya kau harus mendapat perlakuan yang berbeda, Cantik. Tenanglah aku akan memberimu kenikmatan. Ha ha ha ...!"Tidak ada jalan lagi selain melarikan diri, maka si guru cantik segera bergerak cepat hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi gerakan si lelaki bertopeng lebih cepat lagi.Tahu-tahu si gadis sudah berada dalam dekapan lelaki yang tampak mengerikan itu. Selanjutnya si cantik ini tak memiliki daya lagi untuk melawan. Dia hanya bisa menjerit sekeras mungkin pada saat sekujur tubuhnya didera rasa sakit luar biasa.
Senapati Pranajaya tahu tiga senapati tua ini menyimpan dengki kepadanya. Ini pasti hanya siasat mereka saja untuk menyingkirkan dirinya."Kalian terlalu mengada-ada. Kalau ingin mengambil alih tugas ini tinggal bilang saja. Tidak perlu membuat fitnah seperti ini!" seru Senapati Pranajaya."Ini bukan fitnah. Kami punya bukti yang lain!" sanggah Senapati Bardasena."Tunjukkan!" teriak Senapati Wisrawa memberi perintah kepada beberapa prajurit.Kemudian dari dalam gerbang muncul empat prajurit yang menggiring dua wanita dalam keadaan terikat. Yang satu sudah dewasa, memiliki lekuk tubuh indah menggiurkan dan tentu saja berwajah menarik dengan sorot mata yang tajam.Yang satunya masih belia kira-kira baru berumur lima belas tahun, tapi bentuk tubuh dan wajahnya sudah mendekati wanita dewasa yang tidak lain adalah ibunya. Remaja putri ini calon gadis jelita yang akan menjadi rebutan para lelaki.Mereka adalah Nala Ratih dan Asmarini.
Mereka berdua duduk di ruang depan rumah peninggalan orang tua Eyang Ismaya."Apakah Eyang ada petunjuk lain?" tanya Bayu yang bentuk tubuhnya semakin menjadi. Tampak gagah dan kekar walaupun masih enam belas tahun. Sorot matanya pun semakin matang dan tajam."Ini hanya perkiraanku saja, mungkin guruku, Resi Kuncung Putih memiliki petunjuk.""Guru Eyang, apakah masih hidup?"Wajar saja Bayu bertanya seperti itu. Sebab Eyang Ismaya sendiri sudah berumur lebih seratus tahun. Kedua orang tua si Eyang juga sudah meninggal."Tentu saja masih, makanya aku membicarakan beliau. Seperti aku yang sudah mundur dari sesepuh Padepokan Cakrabuana, beliau juga hidup menyepi," jawab Eyang Ismaya."Di mana dia, Eyang?""Nanti aku kasih tahu, tapi kau harus pulang dulu ke rumahku yang di sana. Melihat keadaan dia yang aku tinggalkan."Bayu tampak menerawang lalu angguk-angguk, dia tahu siapa yang dimaksud Eyang Ismaya."
"Aki Baplang, Nini Padma, terima kasih sudah terus menjaga!" ucap Bayu kepada sepasang manusia setengah baya yang sedang menjaga seseorang yang duduk bersila di sudut ruangan."Bayu, kau sudah besar sekarang. Kenapa datang dari belakang? Di mana Eyang Ismaya?" tanya wanita setengah baya yang disebut Nini Padma."Eyang berada di tempat tinggal leluhurnya." Kemudian Bayu menceritakan secara singkat tentang alam dimensi lain tempat leluhur Eyang Ismaya."Begitu rupanya!" sahut lelaki setengah baya yang disebut Aki Baplang.Mereka berdua ikut mengasuh Bayu sejak lahir. Namun, sampai sekarang Bayu tidak tahu kalau mereka sebenarnya bukan manusia, tapi sepasang makhluk dari bangsa guriang.Bayu hanya tahu mereka berdua masih ada hubungan kekerabatan dengan ayahnya Lalu siapa yang duduk bersila di sudut ruangan? Dialah Ki Abiasa sesepuh Padepokan Cakrabuana. Empat tahun lalu jasadnya dibawa diam-diam oleh Pendekar Angin Petir.