Share

Bab 003

Apa yang ditemukan Eyang Ismaya pada jasad Ki Abiasa? Jawabannya disimpan dulu.

Keesokan paginya.

Sekarang berita tentang ditetapkannya Panji dan keluarga sebagai buronan kerajaan telah menyebar. Ini membuat Eyang Ismaya menjadi agak sempit gerakannya dalam membawa Bayu.

Tidak mungkin dia akan terus tinggal di rumahnya bersama Bayu. Pihak kerajaan sewaktu-waktu pasti akan datang karena tahu sang sesepuh dekat dengan keluarga Panji Saksana.

"Bayu, sepertinya kita harus mengembara dari tempat ke tempat guna menghindari pengejaran pihak kerajaan. Kasihan sekali masih muda sudah menjadi buronan. Padahal tidak ada sangkut pautnya dengan ayahmu!"

"Aku menuruti apa saja yang menurut Eyang baik," sahut Bayu tegas. Wajahnya tak sedikit pun menunjukkan rasa takut. Tidak seperti ayahnya yang tengil dan suka bercanda, sifat Bayu lebih mirip ibunya yang pendiam.

"Baiklah, terlebih dahulu kita akan mengubah penampilan agar tidak mudah dikenali orang."

Beberapa saat kemudian mereka sudah berganti pakaian dengan yang sangat sederhana bahkan cenderung seperti seorang pengemis.

Walaupun kepala mereka tidak ditutupi caping atau semacamnya, tetapi rambutnya dibuat tergerai bebas tanpa diikat dan terkesan acak-acakan.

Keduanya sudah berada di halaman bersiap hendak pergi meninggalkan rumah entah untuk berapa lama karena tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.

Baik Eyang Ismaya atau Bayu sama-sama memandang ke arah pintu rumah seolah di balik sana ada seseorang yang melepas kepergian mereka.

"Ayo pergi, kita akan mencari dan mengungkap kebenaran walaupun melewati jalan yang terjal!"

"Siap, Eyang!"

Dua orang yang tampak seperti kakek dan cucunya ini melangkah meninggalkan perkampungan yang masih sepi di pagi itu. Eyang Ismaya membawa Bayu ke arah timur.

Bayu membuang pikiran tentang kedua orang tuanya, dia yakin ayah dan ibunya pasti mampu menghadapi rintangan yang menghadang. Dia harus fokus mencari cara agar bisa mengendalikan tenaga angin dan petir tanpa bimbingan ayahnya.

Begitu juga Eyang Ismaya merasa memiliki tanggung jawab untuk mendidik Bayu Bentar. Tujuannya sama, menemukan cara mengendalikan kekuatan yang tertanam di tubuh Bayu sejak lahir.

Bahkan jika perlu dia akan mewariskan semua ilmu yang dimiliki kepada Bayu. Seandainya anak itu tidak juga bisa memanfaatkan kekuatannya, maka Bayu akan tetap memiliki ilmu-ilmu darinya.

Langkah kedua orang ini sudah jauh. Mereka memasuki daerah perkebunan yang luas dan sepi. Seperti penjelasan Eyang Ismaya, tidak sedikit pun Bayu merasa lelah atau pegal berkat Sabuk Ajaib.

Sampai di suatu tempat, Eyang Ismaya menghentikan langkahnya.

"Ada apa, Eyang?"

"Aku mencium ada jamur Suung di dalam sana. Coba kau ambil untuk bekal makanan kita." Eyang Ismaya menunjuk ke arah kebun sebelah kanan.

Sebuah kebun palawija yang telah dipanen menyisakan dedaunan dan jerami kering. Tanpa banyak tanya lagi Bayu segera masuk ke kebun tersebut.

"Aku tunggu di ujung jalan sana!" seru Eyang Ismaya sambil berlalu.

"Iya, Eyang!" balas Bayu dari kejauhan.

Anak ini segera mencari jamur yang dimaksud. Letaknya cukup dalam sehingga agak jauh ke jalan, tapi Bayu tidak merasa takut sedikit pun. Mungkin Eyang Ismaya sengaja meninggalkannya untuk menguji dirinya.

Tidak butuh waktu lama Bayu menemukan jamur Suung tersebut. Ternyata lumayan banyak. Bayu memetik dan memasukkannya ke dalam buntalan kecil yang tersampir di bahunya.

Ketika kembali ke jalan, Bayu mendapati seseorang tengah berdiri di jalan seperti sedang menunggunya. Dari jauh terlihat seperti anak seumuran dengannya.

Ternyata setelah dekat barulah terlihat kalau orang ini adalah kakek-kakek. Siapa dia? Sementara Eyang Ismaya sudah tidak kelihatan di kejauhan.

Si kakek yang langsung menghadang Bayu itu memiliki rambut lurus panjang sampai pertengahan punggung, warnanya putih semua.

Wajahnya tirus kedua matanya cekung kecil. Secara keseluruhan kakek ini terlihat kecil. Lebih kecil dari ukuran manusia biasa.

"Kakek siapa, kenapa menghadang jalanku?" tanya Bayu.

"Apa yang kau curi tadi?" sentak kakek kecil berambut putih ini dengan wajah angkuh bermaksud menakuti Bayu.

"Aku tidak mencuri, ladang ini sudah dipanen, aku hanya mengambil jamur Suung yang tumbuh di bawah jerami!" jawab Bayu dengan suara datar seperti wajahnya.

"Sama saja mencuri, bocah bangsat!"

"Semua orang tahu, jamur tumbuh dengan sendirinya. Siapa pun boleh mengambilnya. Cuma sekadar jamur, kenapa tidak cari sendiri. Kalau kau pemilik kebun ini, kenapa tidak segera diambil?" bentak Bayu tak kalah keras.

Hati anak ini mulai dongkol. Perkara jamur saja sampai dibesar-besarkan seperti mencuri emas. Kalau memang si kakek adalah pemilik kebun, sungguh sikap yang menyebalkan.

"Diam kau! Belum tahu siapa aku?"

Sikap Bayu yang sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Membuat kakek kurus ini merasa direndahkan.

Tiba-tiba tubuh kakek ini memancarkan energi kuat. Bayu merasakan ada sesuatu yang menekan tapi cuma sebentar. Seolah olah hilang begitu saja. Si kakek terkejut.

"Apa, dia tidak merasakannya? Siapa bocah ini?" batin si kakek. Dia mulai waspada.

Bayu juga bersikap sama, karena sejak awal dia merasakan hawa buruk yang dipancarkan si kakek. Orang kurus ini ternyata memiliki kesaktian.

Sebenarnya kakek ini pemilik kebun atau orang persilatan yang sedang cari masalah?

"Kau telah menghinaku, Bocah! Biar kuberi pelajaran!" teriak si kakek kurus berambut putih.

Secara fisik ukuran mereka sama saja, bahkan Bayu terlihat lebih besar sedikit. Si kakek jadi terlihat kerdil. Bayu menenangkan hatinya.

Si kakek pancarkan lagi energi untuk menakuti Bayu. Kali ini lebih kuat.

Memang Bayu sempat merasakan tekanan energi itu, tapi hanya sebentar saja. Seolah-olah hanya angin lewat saja. Ini membuat kakek kurus berambut putih semakin penasaran.

Bayu tahu bahwa hal itu berkat sabuk yang dipakainya. Sungguh beruntung dia memakainya. Kalau tidak mungkin dia sudah lemas terkena tekanan energi yang dipancarkan si kakek.

"Sudahlah, Kek. Aku tidak tidak kenal dan tidak mengusik Kakek sebelumnya, aku mau melanjutkan perjalanan!" bujuk Bayu karena memang dia tidak mau berurusan lebih jauh.

Tapi sifat orang-orang dunia persilatan kadang aneh, hal sepelepun resikonya nyawa. Seperti kakek kurus berambut putih ini.

"Kau boleh pergi ke akhirat, karena telah berani meremehkanku!"

"Kapan aku melakukan hal itu, Kek? Aku tidak mengerti sama sekali. Tiba-tiba menghadang, menuduh mencuri, sekarang dibilang menghina. Aneh! Teu paruguh aki-aki teh!"

"Kau benar-benar lancang bocah! Berani mempermainkan Setan Berambut Putih!" Walaupun melotot tetap saja mata si kakek cekung.

Si kakek tak bisa lagi menahan amarahnya. Tangannya meluncur cepat ke arah leher Bayu. Sebelum tangan itu sampai, hembusan angin yang membuat kulit terasa perih menyambar lebih dulu.

Waktu Bayu hanya sepersekian detik untuk menghindar. Ujung jari si kakek sudah menyentuh lehernya, beruntung dia bisa lepas dari cengkraman tangan itu walau kulitnya terasa perih.

Kejap berikutnya Bayu tidak mampu mengelak serangan si kakek yang kedua kalinya. Terpaksa dia mengangkat dua tangannya sebagai tameng. Sekuat tenaga dia tahan pukulan itu.

Dukk! Brugh!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status