Blaphh..!Seketika Ki Antapani, Restu, dan Resti, lenyap dari tempatnya."Mereka sudah tiba di markas sekte Pallawa saat ini Kirana. Sebaiknya kita pindah dan beristirahat di bekas rumahku saja," ujar Jalu pada Kirana."Baik Mas Jalu."Akhirnya mereka menghampiri tempat Wali berada, di sebuah semak yang cukup tinggi. Ya, Wali memang susah untuk terbang di malam hari.Blaph..!Dan malam itu mereka beristirahat di bekas kediaman Jalu di desa Trowulan. *** Sementara di markas sekte Elang Harimau.Nampak Arya yang tengah duduk di kursi kehormatan ketua sekte memasang wajah penuh amarah. Bagaimana tidak?!Ya, Arya baru saja mendapat laporan dari seorang utusan, tentang hancur leburnya gudang logistik persenjataan pasukkan sekte gabungan Elang Harimau di hutan Rancamaya.Tentu saja tidak hanya Arya yang merasa marah, penasaran setengah mati, serta bertanya-tanya atas kejadian itu. Bahkan semua para pimpinan sekte yang berada di markas sekte Elang Harimau juga sangat marah, dan mendendam p
'Hmm. Itu dia!' seru gembira bathin Dipa, saat melihat Kirana ternyata masih berada di salah satu lapak pedagang bumbu dan sayur di pasar itu.Dipa segera menjaga jaraknya agar pengintaiannya tak di sadari oleh Kirana. Sementara Kirana sendiri memang tak begitu peduli dengan pandangan para lelaki di pasar itu, yang seolah menelusuri lekuk tubuhnya yang memang indah menawan.Ya, bagi Kirana hal itu sudah biasa di alaminya, bila ia sedang berada di keramaian.'Sepertinya semua sudah kubeli, kini saatnya pulang. Kasihan Mas Jalu pasti kelaparan karena kelelahan membersihkan rumahnya', pikir Kirana. Segera saja Kirana bergegas kembali ke rumah tua Jalu, senyumnya nampak tak pernah hilang dari wajahnya.Ya, kenangan perjalanannya bersama Jalu, sungguh membuat Kirana merasa telah menjadi wanita seutuhnya. Sebuah bayangan olah asmara yang memuaskan semalam pun melintas di benaknya. Semalam memang mereka sempat bercinta di rumah Jalu. 'Kau memang perkasa Mas Jalu. Kirana bahagia hidup bersam
Wukkhh!Ayunan tongkat Dipa menderu dahsyat ke arah kepala Jalu. Nampak sekali ayunan itu dilambari dengan tenaga dalam yang cukup tinggi.Ya, Dipa yang masih menganggap remeh Jalu memang hanya kerahkan sebagian saja powernya dalam serangan itu.Sementara Jalu tampak tenang tak bergeming. Namun sesaat sebelum tongkat itu menyentuh kepalanya, Jalu jentikkan jari telunjuknya ke arah pangkal lengan Dipa, selarik angin tajam membersit secepat kilat.Stagkh!"Argghks!" Dipa sontak berteriak kesakitan, seraya terhuyung mundur dengan lengan membalik ke belakang. Serangan tongkat Dipa pun gagal total."Keparat! Siapa kau sebenarnya?!" Dipa memaki, seraya bertanya kaget. Matanya baru terbuka kini, bahwa pemuda yang tampak sederhana di hadapannya itu bukanlah orang sembarangan."Apakah kau lupa dengan anak yang dulu kau aniaya bersama temanmu Arya di pasar Trowulan, Dipa? Akulah anak yang mau menjual ayam itu..?!" sahut Jalu tersenyum dingin."Hahh! K-kau anak yang gembel itukah?!" sentak Dipa
"Hahahaaa! Aku menemukanmu, aku menemukanmu lagi! Saatnya kita minum bersama, pemuda gagah!" seru tergelak sosok sepuh berkain putih. Dia pun mendarat di dekat bumi berlubang yang baru dipukulnya tadi."Hhh! Eyang sepuh Bardasena memang keterlaluan bercandanya!" seru Jalu seraya menghela nafas kesal. Dia pun membawa Kirana kembali turun ke bumi. Jalu agak kesal dengan cara paman guru Eyang Cakradewa itu bercanda."Hihihii! Namanya juga sepuh sudah agak pikun Mas Jalu," sahut Kirana tertawa geli."Hahaa..! Pemuda gagah! Kemarilah ... kemarilah, aku membawa arak bagus untuk kita berdua!" seru Eyang Bardasena, seraya berjingkrakkan melambai-lambaikan dua guci arak di tangannya. Sementara tongkatnya tertancap begitu saja di tanah."Tidak Eyang sepuh! Kita harus makan dulu sekarang, barulah boleh minum arak. Ayo Eyang sepuh kita makan dulu!" seru Kirana, seraya mengajak Eyang Bardasena makan bersama."Wah! Makan..? Makan dulu! Asikk! Kita makan dulu pemuda gagah! Siapa namamu?!" seru Eyang
Blaph..!Jalu lenyap seketika dari sisi Eyang Bardasena, dan tiba-tiba saja Jalu sudah berada di ruang bawah tanah Istana Pasir Bumi.Jalu mengambil 7 guci Arak Pasir 1000 Tahun, dari ratusan guci Arak Pasir 1000 tahun yang berada di ruang penyimpanan bawah tanah itu.Di bungkusnya ketujuh guci arak pasir itu dengan sebuah kain, yang terdapat di ruang penyimpanan bawah tanah Istana Pasir Bumi itu. Lalu Jalu pun langsung lenyap kembali dengan aji 'Sabda Lampah'nya dari situ.Ya, Jalu memang tak berniat menemui Ratri saat itu, dia takut merasa trenyuh melihat kesendirian Ratri menjalani hidupnya di istana itu. Dan menjadikannya berlama-lama di istana itu.Blaph..!Jalu kembali muncul di dekat Eyang Bardasena, dilihatnya Eyang Bardasena tengah menikmati sensasi melayang dari Arak Pasir 1000 Tahunnya."Wah Jalu! Darimana kau?! Kau tahu, minum sendirian sungguh tak mengasikkan!" seru kesal Eyang Bardasena, namun dia tetap tersenyum."Eyang, bawalah 5 guci arak pasir ini. Untuk Jalu cukup 2
"Ahh! Kenapa bisa sampai begitu Ayu?" Baruna tersentak bingung."Ini pasti karena Eyang Guru dan Ayahanda terpengaruh oleh janji-janji manis Eyang Gentaloka guru si Arya itu, Mas Baruna," sahut Ayu geram, teringat pada Arya yang pernah membohonginya habis-habisan."Dan itu berarti pasukkan Bantala akan berteman dengan Eyang Balatapa, yang kemungkinan juga melarikan diri ke dimensi ini Ayu," sahut Baruna, wajahnya nampak muram."Hmm. Kita lihat kondisi saja dulu sementara waktu ini. Gusti Prabu Alugoro Wisesa sendiri sudah berjanji membantu perjuangan Tlatah Pallawa, untuk menumpas pemberontakkan itu dengan sepenuh kekuatannya," ucap Eyang Waranaya pelan."Itulah yang membuat Ayu bingung dan cemas Eyang sepuh.""Namun pinangan tetap pinangan. Kita harus tetap menemui Ayahandamu dahulu Ayu. Baiknya kita ke istana Bantala sekarang," ucap Eyang Waranaya lagi. "Benar Eyang Guru. Tujuan kita memang hendak meminang Ayu lebih dulu, setelah itu kita akan menemui Mas Jalu dan Kirana."Akhirnya
Slaaph..!Ayu seketika melesat lenyap dengan cepatnya dari ruang dalem istana itu. Dia berniat menyusul Eyang Waranaya dan Baruna, menuju ke Tlatah Pallawa saat itu juga."Aduh Kanda Kiskenda! Bagaimana dengan putri kita itu?! Kenapa Kanda mengusir putri kita dari istana?!" seru sang Permaisuri panik dengan sepasang mata yang beriak basah. Seketika airmatanya jatuh berguliran di pipinya.Sementara sang Maharaja masih berdiri tegak terdiam di tempatnya. Dalam kemurkaannya tadi dia sampai bangkit dari singgasananya. Wajahnya masih menampakkan kemurkaan, namun perlahan kemurkaannya bercampur dengan kebingungan.'Dasar putri keras kepala! Hhh! Ini jadi membingungkan, kini dia pergi lagi dari istana ini! Bagaimana jika Arya datang menjemputnya, namun Ayu masih belum pulang?!' maki batin sang Maharaja, bingung dan kesal."Pengawal! Perintahkan semua penjaga di pantai Kattaya..! Untuk menghadang putriku Ayu keluar dari Tlatah ini! Cepat laksanakan!" perintah sang Maharaja pada pengawal istan
'Eyang sepuh, saat ini Jalu sedang di desa Trowulan. Sebaiknya Eyang Waranaya dan Mas Baruna langsung saja mendatangi markas sekte Pallawa di sana. Karena letaknya tak jauh, bersebelahan dengan kerajaan Pallawa. Tapi tunggulah sebentar Eyang Waranaya, biar Jalu yang ke sana sekarang', Jalu pancarkan suara bathinnya, menjawab suara bathin Eyang Waranaya."Kirana, Wali. Mas ke Pallawa dulu sebentar menemui Eyang Waranaya dan Mas Baruna di sana. Mas akan mengantarkan mereka ke markas sekte Pallawa sebentar, kemudian Mas akan segera kembali ke sini," ucap Jalu."Wah! Kenapa mereka hanya berdua Mas Jalu?! Ayu kenapa tak ada bersama mereka?!" seru Kirana heran."Semuanya akan jelas setelah Mas bertemu dengan mereka, temani Wali dulu ya Kirana," ucap Jalu."Baik Mas Jalu."Blaph! Jalu pun langsung lenyap dari hadapan Kirana dan Wali."Eyang Guru. Adalah lebih baik jika saat ini Baruna ikut berperang bersama Mas Jalu dan Kirana, sesuai janji kerajaan Kashimpa pada mereka," ucap Baruna pada Ey