Wanita yang dipilih Janaka menjadi khawatir, setelah tanpa sengaja ekor matanya melihat penjaga sedang meliriknya buas. Dari gerakan jakun serta lidah yang menjilat bibir, tahulah dia kalau penjaga itu menginginkan tubuhnya. "Ayo ikut aku!" Janaka menarik tangan wanita tersebut dengan sedikit kasar."Kau mau membawaku kemana?" Wanita berusia dua puluh tahunan itu berusaha mempertahankan diri. Dia sadar kalau lelaki bertubuh tinggi besar itu pasti akan memperkosanya. Janaka berbalik badan dan kemudian melayangkan tamparannya yang telak mengenai wanita itu. Plaaak! Wanita berwajah cukup cantik dengan dua bulatan yang membusung di dada itu terhuyung-huyung sebelum Janaka menangkap tubuhnya. Tanpa belas kasihan lelaki bertubuh tinggi besar itu memanggulnya di pundak seperti sedang membawa karung beras.Janaka tidak peduli meski wanita yang dipanggulnya berusaha memberontak. Dia terus berjalan hingga memasuki kamar pribadinya. Dengan sedikit kasar Janaka meletakkan tubuh wanita terseb
Kedua sosok yang ternyata lelaki dan perempuan itu menatap Jalu dengan tatapan curiga. "Berhenti, Kisanak!" Si lelaki memajukan tangannya Jalu menghentikan ayunan langkah kakinya. Sikap waspada seketika dipasangnya untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun pemuda berparas tampan itu kemudian sadar jika sudah memakai seragam dari perguruan yang hendak ditujunya. Selain itu, dia juga membawa segel perguruan Gunung Setan yang diberikan Prawira kepadanya. "Tunjukkan tanda pengenalmu!" Tangan kanan Jalu langsung merogoh bagian dalam pakaiannya. Setelah itu dia mengeluarkan lempengan kecil berbahan logam kuningan yang berbentuk sama persis dengan lambang dari perguruan Gunung Setan. "Ini, Kang." Jalu menyerahkan segel kecil itu kepada salah satu sosok yang menghadangnya. Tanpa perlu memegang dan hanya melihatnya saja, kedua sosok tersebut sudah bisa memastikan jika lambang tersebut berasal dari perguruan yang menjadi tempat mereka bernaung. "Katakan kenapa kau naik
Tanpa berpikir panjang, Suryo langsung melesat meninggalkan Sri yang masih termangu di belakang. Lelaki berusia hampir setengah baya mendapat amanat sebagai penjaga pertama itu merasa telah kecolongan dengan kepolosan wajah pemuda yang tadi mereka berdua temui. Dalam jarak 15 meter di belakang, Sri berlari mengejar sembari mendumel karena Suryo meninggalkannya begitu saja. "Tunggu, Kang! Jangan main tinggal saja!" teriaknya kesal bukan bukan main. Sebagai sepasang pendekar yang ditugaskan Supraba untuk menjaga titik awal memasuki wilayah perguruan Gunung Setan, sudah barang tentu wanita empat puluh tahunan itu merasa ketakutan juga jika sampai gagal menjalankan perintah. Sri menambahkan lagi kecepatannya hingga bisa mengimbangi laju lari Suryo. Keduanya begitu lihai meliuk-liuk menghindari pepohonan yang serasa menjadi ranjau penghadang. Malam yang gelap bukan menjadi masalah berarti lagi Suryo dan Sri yang sudah sangat hapal wilayah tersebut. Setibanya di jalan kembar yang salah
Sri mendekatkan tubuhnya hingga hampir tidak berjarak lagi. Setelah itu dia berbisik pelan di telinga Suryo, "Kang aku rasa dia bukan pemuda sembarangan. Sebaiknya kita harus berhati-hati." "Diam kau Sri! Dia telah menghina perguruan kita. Sekuat apapun dia, aku tak peduli. Dia harus dihabisi untuk menjaga nama besar perguruan kita!" sahut Suryo dengan suara sedikit keras. Sri beringsut satu langkah. Hanya helaan napas berat yang meluncur deras dari bibir untuk menanggapi kerasnya hati Suryo. Firasat buruk sudah menghampiri pikirannya. Takut jika dia dan Suryo bernasib sama dengan dengan anggota perguruan Gunung Setan yang telah tewas terlebih dahulu. Jalu tersenyum menyeringai mendengar ancaman yang dilontarkan Suryo kepadanya. Ditatapnya wajah Suryo yang meskipun gelap tapi masih bisa terlihat oleh ketajaman matanya. "Buktikan saja kalau kau mampu! Jangan kau sendiri, tapi kalian berdua majulah!" "Bangsat!" Suryo menghardik keras. "Mulut besarmu itu akan menerima akibatnya!" L
Pandangan mata wanita empat puluh tahunan itu mengamati pertarungan yang kembali terjadi. Dia masih menunggu waktu yang tepat untuk melarikan diri, sebab hanya dalam beberapa gebrakan saja pedang di tangan Suryo sudah buntung terpotong separuh. Suryo sendiri tidak habis pikir dengan kejadian yang dialami pedangnya. Meski bukan termasuk pedang pusaka, tapi dia masih mengalirkan tenaga dalamnya untuk memperkuat tingkat kekerasan bilah pedangnya. Namun nyatanya pedang yang sudah menemaninya selama bertahun tahun itu kini sudah menjadi rongsokan dan hampir tidak bisa digunakan lagi. "Cepat pergi!" teriak Suryo yang melihat Sri masih berada di sekitar titik pertarungan. "Seharusnya kau lebih khawatir terhadap keselamatanmu sendiri dibanding keselamatan orang lain!" Jalu menyahuti teriakan Suryo. "Aku belum kalah bedebah!" Suryo bergerak maju menyerang. Walau bilah pedangnya hanya tinggal separuh, tapi itu tidak menjadikannya berhenti untuk menyerang. Sadar jika keselamatan Suryo sudah
Serentak para penjaga itu mengarahkan pandangan mereka ke sekeliling mencari keberadaan Jalu. Sesuatu yang mustahil jelas mereka rasakan, sebab mungkin tidak lebih dari dua detik mereka mengalihkan pandangan namun pemuda berparas tampan itu kini sudah menghilang."Apa ka;ian melihat pemuda tadi pergi?" tanya salah satu penjaga. Tiga penjaga lainnya hanya bisa menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu.Sebab pada kenyataannya mereka bahkan tidak mendengar tapak kaki pemuda tampan tersebut ketika melangkah."Apa kita harus mencarinya?" Penjaga yang bertubuh paling pendek dan berambut keriting mencoba bertanya."Buat apa?" Sosok penjaga lain yang bertubuh tinggi kurus dan berambut panjang bertanya balik."Apa kau tidak menaruh sedikitpun kecurigaan kepada pemuda tadi?""Apa yang harus dicurigai dan dikuatirkan dari seorang pemuda seperti dia?"Helaan napas berat meluncur keluar dari penjaga yang bertubuh pendek. "Ternyata hanya tubuhmu saja yang tinggi, Widji, tapi tidak dengan cara bepik
Kedua bola mata gadis cantik itu bisa melihat dengan jelas ada sesosok gadis yang sedang rebahan dalam posisi telanjang di atas ranjang. Namun yang menjadi bahan pertanyaannya, reaksi gadis tersebut ketika Ageng Pamuju naik ke atas ranjang tidak memperlihatkan seperti sedang diperkosa, melainkan penuh gairah dan hasrat. Tangannya meraih tubuh Ageng Pamuju yang sudah kembali telanjang dan menariknya hingga tubuh lelaki itu menindihnya. "Ayo, cepat lakukan!" rintih gadis tersebut mengiba. Wajahnya sedikit memerah terbakar hasrat yang membara. "Lihatlah gadis cantik, nantipun kau akan bersikap seperti dia. Kau akan memintaku untuk menyetubuhuimu." Ageng Pamuju menyeringai seraya menoleh ke arah Ayu Wulandari yang bahkan sulit untuk berkedip sekalipun. Ayu Wulandari menelan ludah. Apa yang terbayang saat ini di dalam pikirannya adalah jika diirinya menjadi gadis tersebut. Tak ingin larut dengan apa yang dilihatnya, diapun berusaha untuk memejamkan mata. "Hahaha … percuma saja kau me
Jalu yang sedari tadi menundukkan kepala sambil memainkan jari jemarinya di tanah, mendongak menatap anggota yang baru datang. Detak jantungnya sedikit berdegup kencang, bukan karena takut ketahuan, tapi karena Ayu Wulandari belum berhasil dia selamatkan. Jika gadis cantik itu bisa dia keluarkan dari perguruan laknat tersebut, maka pertarungan yang bahkan sampai mati pun tak masalah buatnya.Belasan anggota yang mengelilingi api unggun tersebut kemudian serentak berdiri. Begitu pula Jalu yang tentu tidak ingin penyamarannya terbongkar. Mereka pun mulai bergerak melakukan penyisiran. Tampak pula belasan atau bahkan puluhan kelompok lain yang juga melakukan hal serupa. Tidak sedikit pula yang berjalan sambil menahan kantuk. Di saat yang bersamaan, Janaka tampak berdiri bersama tiga tetua lainnya berdiri di hadapan Ageng Pamuju. Empat tetua perguruan Gunung Setan itu tidak berani sedikitpun mengangkat wajah ketika sang ketua sedang berbicara. "Aku bisa mendengar dengan jelas ada suara