Kedua bola mata gadis cantik itu bisa melihat dengan jelas ada sesosok gadis yang sedang rebahan dalam posisi telanjang di atas ranjang. Namun yang menjadi bahan pertanyaannya, reaksi gadis tersebut ketika Ageng Pamuju naik ke atas ranjang tidak memperlihatkan seperti sedang diperkosa, melainkan penuh gairah dan hasrat. Tangannya meraih tubuh Ageng Pamuju yang sudah kembali telanjang dan menariknya hingga tubuh lelaki itu menindihnya. "Ayo, cepat lakukan!" rintih gadis tersebut mengiba. Wajahnya sedikit memerah terbakar hasrat yang membara. "Lihatlah gadis cantik, nantipun kau akan bersikap seperti dia. Kau akan memintaku untuk menyetubuhuimu." Ageng Pamuju menyeringai seraya menoleh ke arah Ayu Wulandari yang bahkan sulit untuk berkedip sekalipun. Ayu Wulandari menelan ludah. Apa yang terbayang saat ini di dalam pikirannya adalah jika diirinya menjadi gadis tersebut. Tak ingin larut dengan apa yang dilihatnya, diapun berusaha untuk memejamkan mata. "Hahaha … percuma saja kau me
Jalu yang sedari tadi menundukkan kepala sambil memainkan jari jemarinya di tanah, mendongak menatap anggota yang baru datang. Detak jantungnya sedikit berdegup kencang, bukan karena takut ketahuan, tapi karena Ayu Wulandari belum berhasil dia selamatkan. Jika gadis cantik itu bisa dia keluarkan dari perguruan laknat tersebut, maka pertarungan yang bahkan sampai mati pun tak masalah buatnya.Belasan anggota yang mengelilingi api unggun tersebut kemudian serentak berdiri. Begitu pula Jalu yang tentu tidak ingin penyamarannya terbongkar. Mereka pun mulai bergerak melakukan penyisiran. Tampak pula belasan atau bahkan puluhan kelompok lain yang juga melakukan hal serupa. Tidak sedikit pula yang berjalan sambil menahan kantuk. Di saat yang bersamaan, Janaka tampak berdiri bersama tiga tetua lainnya berdiri di hadapan Ageng Pamuju. Empat tetua perguruan Gunung Setan itu tidak berani sedikitpun mengangkat wajah ketika sang ketua sedang berbicara. "Aku bisa mendengar dengan jelas ada suara
Saking cepat dan mematikannya serangan yang dilakukan Jalu, hingga hampir tidak ada yang menjerit kesakitan. Kalaupun ada suara, hanyalah erangan kecil menuju kematian. Melihat belasan jasad tersebut tak ada lagi yang bergerak, Jalu menempelkan telapak tangannya di leher salah satu jasad. Darah yang menempel di telapak tangannya itu kemudian diusapkan di muka dan pakaiannya. Dan itu dilakukannya beberapa kali. Setelah dirasa sudah cukup meyakinkan, Jalu kemudian berjalan secepat mungkin mendekati kediaman Ageng Pamuju. "Tolong! Toloooong!" Jalu berteriak sedikit keras, ketika melihat sekelompok anggota perguruan yang juga sedang melakukan penyisiran dan berada dalam jarak dua puluh lima meter dari tempatnya berdiri. Untuk menambah agar sandiwara yang dilakukannya semakin meyakinkan, Jalu pun berlutut seraya memegang dadanya yang penuh dengan lumuran darah. Mendapati ada seorang saudara seperguruan yang berteriak meminta pertolongan, sekelompok anggota perguruan Gunung Setan yang
Baru tiga puluh lima kali ayunan langkah kakinya berlari, dari arah belakang perguruan berlarian dua anggota bergerak ke arahnya. "Gawat, Tetua! Belasan teman kami telah tewas. Luka yang mereka alami sama semua, sayatan dalam di leher," lapor salah satu anggota. "Apa mungkin pemuda tadi pelakunya?" Janaka berucap pelan, tapi masih terdengar anggota yang berada di dekatnya. "Pemuda siapa yang tetua maksud?" Janaka menoleh ke belakang, ke arah jasad pemuda yang tadi dilihatnya. "Sekarang lihatlah! Jasad pemuda yang tadi di sana sudah tidak ada lagi. Aku menduga dialah penyusup dan juga pelaku pembunuhan terhadap saudara-saudara kita." Anggota yang bertanya tadi mengikuti arah pandang Janaka. Matanya menyipit melihat dalam gelap. Semakin fokus pandangannya, semakin terlihat bahwa jasad pemuda yang tadi seperti sudah tewas ternyata tidak ada lagi. "Apa kalian tadi sudah memeriksa luka-luka pemuda itu?" tanya Janaka. "Tidak ada yang memeriksa luka-lukanya, Tetua. Kami percaya saja
Emosi Jalu meningkat drastis begitu mendengar suara lelaki dari dalam kamar. Firasatnya mengatakan bahwa Ayu Wulandari adalah obyek yang baru saja dikatakan suara lelaki tersebut. Ingin segera dia mendobrak pintu dan menyelamatkan Ayu Wulandari, tapi logikanya serasa menolak dan menyuruhnya untuk mencari cara lain. Jalu sadar tidak boleh sembrono dan gegabah. Bisa saja Ayu Wulandari dijadikan sandera dan itu akan membuatnya semakin kesulitan untuk melakukan penyelamatan. Pikirannya pemuda tampan itupun kembali bekerja. Dia perlu mencari cara untuk mengeluarkan lelaki itu dari dalam dan kemudian bergerak masuk untuk menyelamatkan putri Nyai Sundari tersebut. Jalu melihat sekeliling. Fokusnya tertuju kepada sebuah guci kecil dari tanah liat yang berada di atas meja dan berjarak sekitar lima belas langkah dari tempatnya berdiri. Di samping meja itu ada sebuah almari besar yang berisi berbagai macam hasil karya seni. Bergegas Jalu melangkah pelan, berjinjit agar tidak mengeluarkan sua
"Tenang saja. Aku pasti akan kembali untuk menjemputmu." Jalu bangkit berdiri. Ditatapnya wajah Ayu Wulandari sesaat sebelum kembali melesat menuju perguruan Gunung Setan. Seperginya Jalu, Ayu Wulandari merasa kuatir jika ada hewan buas atau ular beracun yang tiba-tiba mendatanginya. Dia tentu tidak ingin mengalami situasi yang lebih buruk selepas berhasil keluar dari sekapan manusia biadab.Ketakutan yang dia rasakan membuat tubuhnya seketika bergetar cukup hebat. Dinginnya embun malam nyatanya tidak juga menghalangi keringat merembes keluar dari pori-pori kulitnya. Di saat yang sama, Jalu sudah berhasil kembali masuk ke dalam kompleks perguruan Gunung Setan. Dengan sudah berhasil diselamatkannya Ayu Wulandari, kali ini dia tidak perlu lagi mengendap-endap seperti tadi. Langkahnya tegap tanpa perlu merasa kuatir sedikitpun. "Hei kau …!" Langkah kaki Jalu terhenti ketika dari arah samping kanannya terdengar teriakan keras. Dilihatnya ada sekitar lima puluhan anggota perguruan Gunu
Tidak sampai di situ saja. Sosok bertubuh tinggi besar yang baru saja mengadu kekuatan dengan Jalu, tiba tiba saja tumbang dengan kepala yang sudah terpisah dari batang leher. Dan itu semakin menambah kengerian yang dilakukan Jalu.Tanpa berpikir lebih lama, Jalu langsung bergerak cepat memberi serangan. Sepasang pedang di tangannya bergerak lincah membabat setiap bagian tubuh yang menjadi sasaran. Satu persatu anggota perguruan Gunung Setan pun bertumbangan kehilangan nyawa.Saking cepatnya pergerakan yang dilakukan Jalu, hingga tidak ada perlawanan yang bisa dilakukan. Mereka bahkan tidak bisa melihat kemana pemuda itu bergerak mencari korban. Mereka juga tidak mungkin asal menebaskan pedang karena bisa jadi teman sendiri yang akan menjadi korban.Dalam jarak 40 meter, Janaka bersama tiga tetua lainnya terkejut mendapati anggotanya yang seolah tidak bisa berbuat apapun menghadapi satu orang saja. Segera saja keempat tetua di perguruan aliran hitam itu melesat mendekati titik pertar
Janaka dan ketiga tetua lainnya cukup kagum dengan aura kebiruan yang muncul dari pedang di tangan Jalu. Mereka sadar jika pedang tersebut bukanlah pedang biasa, melainkan sebuah pedang pusaka. Itu bisa dirasakan dari energi yang keluar dan langsung menghentak memberi tekanan. Tapi mereka berpikir, sekuat apapun pedang pusaka yang digunakan lawan, tidak akan mampu berbuat banyak melawan mereka berempat.Para tetua perguruan Gunung Setan yang di tangannya masing-masing sudah tergenggam pedang tidak langsung menyerang Jalu. Mereka memanfaatkan luasnya tempat untuk mengurung pemuda tersebut, Pergerakan keempat tetua itu sangat lincah dalam menerapkan formasi yang hendak digunakan untuk menyerang Jalu. Di sisi lain Jalu diam tak bergerak dan hanya melihat pergerakan mereka. Sesaat kemudian, satu orang melesat ke arahnya memberikan serangan dan ditambah satu orang lagi yang menyerang dari sisi lainnya. Jalu bergerak meloncat ke samping lalu melenting ke atas untuk menghindari dua serangan