Raut wajah gadis cantik itu begitu tegang, takut terjadi sesuatu pada Jalu, Ayu Wulandari pun bergegas keluar untuk mencari ayah dan ibunya yang sedang berada di teras rumah. Namun karena kedua orang tuanya sibuk memberi penjelasan kepada anak buahnya yang bertugas menjual barang dagangan, gadis cantik itupun tidak berani menganggu. Ayu Wulandari hanya bisa menunggu dengan perasaan cemas. Sikapnya menunjukkan kegelisahan yang teramat kuat. “Kau kenapa, Putriku?” tanya Nyi Sundari ketika melihat putrinya mondar-mandir di dekatnya. “Jalu, Bu …” “Kenapa dengan Jalu? Bukankah dia masih di kamarnya?” potong Nyi Sundari. Ayu Wulandari mengangguk, kemudian diraihnya tangan ibunya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. “Ikut aku, Bu. Sepertinya sedang terjadi masalah pada Jalu, aku takut Bu!” ucapnya. Raut wajah Nyi Sundari langsung berubah. Ayunan langkahnya dipercepat agar segera sampai di kamar Jalu. Ibu dan anak itupun masuk ke dalam kamar. Sementara Jalu masih tetap dalam meditasiny
Ayu Wulandari beserta ayah dan ibunya tampak terpukul mendengar penuturan Ki Puguh. Berita yang mereka dapat mengenai kondisi Jalu tentu tidak sesuai yang diharapkan. Ketiganya semula berharap jika Jalu hanya kelelahan atau mungkin mengalami luka biasa, tapi tidak tahunya ternyata terkena racun tingkat tinggi. Belum percaya dengan hasil analisa pertamanya, Ki Puguh pun kembali memeriksa darah Jalu. Kali ini darah berwarna hitam dan berbau busuk di dalam baskom yang dia periksa. Tabib tua itu menggeleng pelan. Sungguh dia masih belum bisa percaya jika pemuda berparas tampan itu mampu bertahan hidup dalam kondisi racun yang sudah menjalar di tubuhnya. "Bagaimana, Ki?" tanya Aji. "Pemuda ini memang terkena racun. Aku tidak tahu jenis racun apa yang berada di dalam tubuhnya, tapi aku yakin pasti racun tingkat tinggi." Kali ini Ayu Wulandari tidak bisa menahan suara tangisannya yang akhirnya pecah. Di sisi lain, Nyi Sundari yang mencoba bertahan agar tidak sampai terbawa suasana, akhi
Jalu masih sedikit kebingungan dengan sikap yang ditunjukkan Ayu Wulandari. Arah pandangnya lantas tertuju kepada Nyi Sundari dan bertanya kenapa dengan membuka mulut tapi tanpa bersuara.“Ayu tadi menangis histeris ketika melihat darah yang terkumpul di baskom itu, Jalu,” kata Nyi Sundari. Ayu Wulandari langsung menoleh kepada ibunya dan membuka matanya lebar-lebar. Wajahnya langsung merah merona oleh rasa malu. “Oh, darah ini?” Jalu menunjuk baskom kuningan di depannya. “Begini Bi, dalam pertarungan terakhir sebelum berhasil menyelamatkan Ayu, aku mengalami luka dalam karena terkena pukulan. Tadi aku bermeditasi untuk untuk menyembuhkan luka dalam yang kualami. Sekarang aku sudah baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikuatirkan,” sambungnya tanpa sekalipun menyebut kata racun. Dia tidak ingin membuat ibu dan anak itu kuatir atas kondisinya. Dalam meditasinya tadi, kelima panca indera Jalu benar-benar tidak berfungsi, sehingga diirinya tidak sadar jika keluarga Nyi Sundari sudah
Gambaran akan mendapatkan uang yang cukup besar sudah tergambar di dalam benak kelima perampok tersebut. Mereka terus bercanda hingga tiba di depan rumah yang sangatlah besar untuk ukuran di desa. Kalau di Kotaraja mungkin tidaklah heran, tapi di sebuah desa tentu sebuah kemustahilan yang sulit untuk dipercaya ada. Di depan pintu gerbang, beberapa lelaki yang ditugaskan untuk menjaga, menatap heran dengan adanya lima orang yang membawa gerobak. “Kang, apa benar ini rumah Nyi Sundari?” tanya salah satu perampok yang wajahnya terdapat bekas luka memanjang dari kening sampai dagu.“Iya, benar. Kalian siapa dan mau apa datang kemari?” salah satu penjaga balik bertanya.“Kami dari desa sebelah hendak menjual hasil panen, Kang.” Perampok tersebut menjawab dengan ekspresi meyakinkan. “Ikut aku!” Penjaga yang tubuhnya paling kekar membuka pintu gerbang, kemudian masuk ke dalam. Lima orang perampok membawa masuk gerobak yang mereka bawa hingga di halaman.“Tunggu di sini. Kupanggilkan dulu
"Cepat, Istriku, kapal sudah hendak berlayar!" seru seorang lelaki berparas tampan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Di pundaknya tergantung sebilah pedang dan di tangannya sebuah kotak kayu berukuran sedang dibawanya sambil berlari.Di sampingnya, sesosok wanita cantik berambut panjang sepunggung dan kurang lebih baru berusia dua puluh tiga tahun, tampak berlari ketakutan sambil menggendong seorang bayi mungil yang baru beberapa bulan terlahir ke dunia.Keduanya tampak panik dan berekspresi sama seperti penumpang lain yang berlarian ketika kapal hendak berlayar. Sesekali si suami menoleh ke belakang ketakutan. Tidak ada satupun yang peduli dengan kepanikan keduanya, sebab kepanikan seperti itu adalah sesuatu yang biasa terlihat.Dalam jarak cukup jauh di belakang, puluhan prajurit bergerak memasuki wilayah pelabuhan yang hari itu cukup ramai. Sorot mata mereka semua tertuju tajam kepada seluruh orang yang ada di pelabuhan."Itu mereka berdua! Cepat kejar dan tangkap atau kalian
"Tolong jangan panik. Ada perompak Hantu Laut yang sedang mengejar kapal kita.""Baik, Kang. Terima kasih informasinya," jawab Panji. Perasaannya mulai dihinggapi kekuatiran yang teramat besar. Kuatir terhadap keselamatan anak dan istrinya.Lelaki tampan berusia dua puluh tujuh tahun itu menutup kembali pintu kamar selepas kepergian pekerja kapal. Dia berjalan mendekati Nilam yang sedang menatapnya."Ada apa?""Ada perompak yang hendak merampok kapal kita. Kau tidak perlu takut, ada aku yang akan menjaga kalian berdua," jawab Panji sambil menahan ekspresinya agar istrinya tidak ketakutan.Bola mata Nilam berkaca-kaca mendengar berita buruk dari suaminya. Sungguh sulit dipercaya jika pertama kali naik kapal harus menghadapi masalah yang begitu berat. Apakah ucapan suaminya tadi menjadi sebuah kenyataan bahwa maut yang akan memisahkan mereka berdua?Panji berdiri dan meraih pedang yang diletakkannya di samping putranya. Ditatapnya wajah putranya yang begitu polos tanpa dosa."Kakang mau
Dua anggota perompak yang masih berada di salah satu kapal kecil bergegas melepaskan tali tambang dan berusaha mengejar. Tapi baru beberapa meter bergerak, terdengar petir menggelegar di angkasa. Mending tebal bergulung-gulung menghitam begitu cepat dan angin berhembus sangat kencang."Tidak perlu dikejar, cepat kembali!" teriak pemimpin perompak begitu menyadari badai datang secara tiba-tiba.Hujan deras yang disertai badai dan petir tak henti menyambar pun akhirnya melanda. Tubuh Nilam dan peti kayu yang dipeluknya erat terombang-ambing di lautan lepas. Jarak dengan kapal yang sudah dikuasai perompak Hantu Laut semakin jauh dan akhirnya tak terlihat.***Di sebuah pantai berpasir putih, seorang lelaki tua yang tubuhnya tidak terawat dengan pakaian penuh koyakan berjalan sambil terus mengucap sumpah serapah.Ayunan langkahnya seketika terhenti. Bola matanya menyipit menyaksikan sesosok tubuh yang sedang memeluk peti terdampar di bibir pantai. Penasaran dengan apa yang dilihatnya, lel
"Kakek, tumpukan batu di dalam hutan yang tertutupi semak-semak itu apa Kakek yang menatanya?"tanya Jalu setelah duduk bersimpuh di samping Caraka.Lelaki tua itu cukup lama memandang Jalu dengan tatapan nanar. Ada perasaan sedih ketika menerima kenyataan bahwa dia harus kembali hidup sendirian.Ya, Caraka dulu pernah bersumpah jika Jalu sudah menemukan kuburan ibunya, dia akan membuka semua masa lalu pemuda tampan itu. Dia juga akan mengatakan apa tujuannya mengajari pemuda tersebut denga ilmu Kanuragan mumpuni hingga dalam usia delapan belas tahun sudah berada pada tingkatan pendekar tanpa tanding.Meski Jalu tidak memiliki keistimewaan apapun di dalam tubuhnya, tapi Caraka berhasil mendidik pemuda tampan itu untuk menjadi pribadi yang tidak malas untuk berusaha. Tak luput juga dia menanamkan nilai-nilai aliran hitam agar 'cucunya' itu siap ketika terjun di dunia yang ramai. Ilmu membaca dan berhitung pun dia ajarkan juga, sebab dia tidak ingin pemuda itu nantinya menjadi bahan olok