Jalu yang sedari tadi menundukkan kepala sambil memainkan jari jemarinya di tanah, mendongak menatap anggota yang baru datang. Detak jantungnya sedikit berdegup kencang, bukan karena takut ketahuan, tapi karena Ayu Wulandari belum berhasil dia selamatkan. Jika gadis cantik itu bisa dia keluarkan dari perguruan laknat tersebut, maka pertarungan yang bahkan sampai mati pun tak masalah buatnya.Belasan anggota yang mengelilingi api unggun tersebut kemudian serentak berdiri. Begitu pula Jalu yang tentu tidak ingin penyamarannya terbongkar. Mereka pun mulai bergerak melakukan penyisiran. Tampak pula belasan atau bahkan puluhan kelompok lain yang juga melakukan hal serupa. Tidak sedikit pula yang berjalan sambil menahan kantuk. Di saat yang bersamaan, Janaka tampak berdiri bersama tiga tetua lainnya berdiri di hadapan Ageng Pamuju. Empat tetua perguruan Gunung Setan itu tidak berani sedikitpun mengangkat wajah ketika sang ketua sedang berbicara. "Aku bisa mendengar dengan jelas ada suara
Saking cepat dan mematikannya serangan yang dilakukan Jalu, hingga hampir tidak ada yang menjerit kesakitan. Kalaupun ada suara, hanyalah erangan kecil menuju kematian. Melihat belasan jasad tersebut tak ada lagi yang bergerak, Jalu menempelkan telapak tangannya di leher salah satu jasad. Darah yang menempel di telapak tangannya itu kemudian diusapkan di muka dan pakaiannya. Dan itu dilakukannya beberapa kali. Setelah dirasa sudah cukup meyakinkan, Jalu kemudian berjalan secepat mungkin mendekati kediaman Ageng Pamuju. "Tolong! Toloooong!" Jalu berteriak sedikit keras, ketika melihat sekelompok anggota perguruan yang juga sedang melakukan penyisiran dan berada dalam jarak dua puluh lima meter dari tempatnya berdiri. Untuk menambah agar sandiwara yang dilakukannya semakin meyakinkan, Jalu pun berlutut seraya memegang dadanya yang penuh dengan lumuran darah. Mendapati ada seorang saudara seperguruan yang berteriak meminta pertolongan, sekelompok anggota perguruan Gunung Setan yang
Baru tiga puluh lima kali ayunan langkah kakinya berlari, dari arah belakang perguruan berlarian dua anggota bergerak ke arahnya. "Gawat, Tetua! Belasan teman kami telah tewas. Luka yang mereka alami sama semua, sayatan dalam di leher," lapor salah satu anggota. "Apa mungkin pemuda tadi pelakunya?" Janaka berucap pelan, tapi masih terdengar anggota yang berada di dekatnya. "Pemuda siapa yang tetua maksud?" Janaka menoleh ke belakang, ke arah jasad pemuda yang tadi dilihatnya. "Sekarang lihatlah! Jasad pemuda yang tadi di sana sudah tidak ada lagi. Aku menduga dialah penyusup dan juga pelaku pembunuhan terhadap saudara-saudara kita." Anggota yang bertanya tadi mengikuti arah pandang Janaka. Matanya menyipit melihat dalam gelap. Semakin fokus pandangannya, semakin terlihat bahwa jasad pemuda yang tadi seperti sudah tewas ternyata tidak ada lagi. "Apa kalian tadi sudah memeriksa luka-luka pemuda itu?" tanya Janaka. "Tidak ada yang memeriksa luka-lukanya, Tetua. Kami percaya saja
Emosi Jalu meningkat drastis begitu mendengar suara lelaki dari dalam kamar. Firasatnya mengatakan bahwa Ayu Wulandari adalah obyek yang baru saja dikatakan suara lelaki tersebut. Ingin segera dia mendobrak pintu dan menyelamatkan Ayu Wulandari, tapi logikanya serasa menolak dan menyuruhnya untuk mencari cara lain. Jalu sadar tidak boleh sembrono dan gegabah. Bisa saja Ayu Wulandari dijadikan sandera dan itu akan membuatnya semakin kesulitan untuk melakukan penyelamatan. Pikirannya pemuda tampan itupun kembali bekerja. Dia perlu mencari cara untuk mengeluarkan lelaki itu dari dalam dan kemudian bergerak masuk untuk menyelamatkan putri Nyai Sundari tersebut. Jalu melihat sekeliling. Fokusnya tertuju kepada sebuah guci kecil dari tanah liat yang berada di atas meja dan berjarak sekitar lima belas langkah dari tempatnya berdiri. Di samping meja itu ada sebuah almari besar yang berisi berbagai macam hasil karya seni. Bergegas Jalu melangkah pelan, berjinjit agar tidak mengeluarkan sua
"Tenang saja. Aku pasti akan kembali untuk menjemputmu." Jalu bangkit berdiri. Ditatapnya wajah Ayu Wulandari sesaat sebelum kembali melesat menuju perguruan Gunung Setan. Seperginya Jalu, Ayu Wulandari merasa kuatir jika ada hewan buas atau ular beracun yang tiba-tiba mendatanginya. Dia tentu tidak ingin mengalami situasi yang lebih buruk selepas berhasil keluar dari sekapan manusia biadab.Ketakutan yang dia rasakan membuat tubuhnya seketika bergetar cukup hebat. Dinginnya embun malam nyatanya tidak juga menghalangi keringat merembes keluar dari pori-pori kulitnya. Di saat yang sama, Jalu sudah berhasil kembali masuk ke dalam kompleks perguruan Gunung Setan. Dengan sudah berhasil diselamatkannya Ayu Wulandari, kali ini dia tidak perlu lagi mengendap-endap seperti tadi. Langkahnya tegap tanpa perlu merasa kuatir sedikitpun. "Hei kau …!" Langkah kaki Jalu terhenti ketika dari arah samping kanannya terdengar teriakan keras. Dilihatnya ada sekitar lima puluhan anggota perguruan Gunu
Tidak sampai di situ saja. Sosok bertubuh tinggi besar yang baru saja mengadu kekuatan dengan Jalu, tiba tiba saja tumbang dengan kepala yang sudah terpisah dari batang leher. Dan itu semakin menambah kengerian yang dilakukan Jalu.Tanpa berpikir lebih lama, Jalu langsung bergerak cepat memberi serangan. Sepasang pedang di tangannya bergerak lincah membabat setiap bagian tubuh yang menjadi sasaran. Satu persatu anggota perguruan Gunung Setan pun bertumbangan kehilangan nyawa.Saking cepatnya pergerakan yang dilakukan Jalu, hingga tidak ada perlawanan yang bisa dilakukan. Mereka bahkan tidak bisa melihat kemana pemuda itu bergerak mencari korban. Mereka juga tidak mungkin asal menebaskan pedang karena bisa jadi teman sendiri yang akan menjadi korban.Dalam jarak 40 meter, Janaka bersama tiga tetua lainnya terkejut mendapati anggotanya yang seolah tidak bisa berbuat apapun menghadapi satu orang saja. Segera saja keempat tetua di perguruan aliran hitam itu melesat mendekati titik pertar
Janaka dan ketiga tetua lainnya cukup kagum dengan aura kebiruan yang muncul dari pedang di tangan Jalu. Mereka sadar jika pedang tersebut bukanlah pedang biasa, melainkan sebuah pedang pusaka. Itu bisa dirasakan dari energi yang keluar dan langsung menghentak memberi tekanan. Tapi mereka berpikir, sekuat apapun pedang pusaka yang digunakan lawan, tidak akan mampu berbuat banyak melawan mereka berempat.Para tetua perguruan Gunung Setan yang di tangannya masing-masing sudah tergenggam pedang tidak langsung menyerang Jalu. Mereka memanfaatkan luasnya tempat untuk mengurung pemuda tersebut, Pergerakan keempat tetua itu sangat lincah dalam menerapkan formasi yang hendak digunakan untuk menyerang Jalu. Di sisi lain Jalu diam tak bergerak dan hanya melihat pergerakan mereka. Sesaat kemudian, satu orang melesat ke arahnya memberikan serangan dan ditambah satu orang lagi yang menyerang dari sisi lainnya. Jalu bergerak meloncat ke samping lalu melenting ke atas untuk menghindari dua serangan
"Gila! Bocah ini kecepatannya terus meningkat," gumam Janaka keheranan. Dia yang sudah mengerahkan seluruh kemampuannya jelas dibuat bingung dengan kemampuan lawan. Seolah-olah pemuda yang telah menyusup ke dalam perguruan Gunung Setan itu tidak memiliki batas ilmu kanuragan. Ketiga tetua lainnya pun merasakan hal sama seperti yang dirasakan Janaka. Bisa terlihat sekarang posisi mereka yang semula terus menekan menjadi tertekan. Dan itu akibat dari lawan yang menambahkan kecepatannya. “Sudah muak aku dengan permainan ini!” teriak Jalu. Pendekar muda itu berpikir akan mengalami kesulitan sendiri jika tidak segera menyelesaikan pertarungan yang saat ini terjadi. Dan itu jelas karena racun yang berada di tubuhnya kembali menunjukkan reaksinya.Jalu mengalirkan lebih banyak tenaga dalam pada bilah pedangnya. Cahaya yang semakin terang pun menyeruak keluar, hingga membuat mata keempat tetua itu tidak bisa fokus pada pertarungan. Dan kesempatan itu dimanfaatkan Jalu untuk terus memberi s
Gambaran akan mendapatkan uang yang cukup besar sudah tergambar di dalam benak kelima perampok tersebut. Mereka terus bercanda hingga tiba di depan rumah yang sangatlah besar untuk ukuran di desa. Kalau di Kotaraja mungkin tidaklah heran, tapi di sebuah desa tentu sebuah kemustahilan yang sulit untuk dipercaya ada. Di depan pintu gerbang, beberapa lelaki yang ditugaskan untuk menjaga, menatap heran dengan adanya lima orang yang membawa gerobak. “Kang, apa benar ini rumah Nyi Sundari?” tanya salah satu perampok yang wajahnya terdapat bekas luka memanjang dari kening sampai dagu.“Iya, benar. Kalian siapa dan mau apa datang kemari?” salah satu penjaga balik bertanya.“Kami dari desa sebelah hendak menjual hasil panen, Kang.” Perampok tersebut menjawab dengan ekspresi meyakinkan. “Ikut aku!” Penjaga yang tubuhnya paling kekar membuka pintu gerbang, kemudian masuk ke dalam. Lima orang perampok membawa masuk gerobak yang mereka bawa hingga di halaman.“Tunggu di sini. Kupanggilkan dulu
Jalu masih sedikit kebingungan dengan sikap yang ditunjukkan Ayu Wulandari. Arah pandangnya lantas tertuju kepada Nyi Sundari dan bertanya kenapa dengan membuka mulut tapi tanpa bersuara.“Ayu tadi menangis histeris ketika melihat darah yang terkumpul di baskom itu, Jalu,” kata Nyi Sundari. Ayu Wulandari langsung menoleh kepada ibunya dan membuka matanya lebar-lebar. Wajahnya langsung merah merona oleh rasa malu. “Oh, darah ini?” Jalu menunjuk baskom kuningan di depannya. “Begini Bi, dalam pertarungan terakhir sebelum berhasil menyelamatkan Ayu, aku mengalami luka dalam karena terkena pukulan. Tadi aku bermeditasi untuk untuk menyembuhkan luka dalam yang kualami. Sekarang aku sudah baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikuatirkan,” sambungnya tanpa sekalipun menyebut kata racun. Dia tidak ingin membuat ibu dan anak itu kuatir atas kondisinya. Dalam meditasinya tadi, kelima panca indera Jalu benar-benar tidak berfungsi, sehingga diirinya tidak sadar jika keluarga Nyi Sundari sudah
Ayu Wulandari beserta ayah dan ibunya tampak terpukul mendengar penuturan Ki Puguh. Berita yang mereka dapat mengenai kondisi Jalu tentu tidak sesuai yang diharapkan. Ketiganya semula berharap jika Jalu hanya kelelahan atau mungkin mengalami luka biasa, tapi tidak tahunya ternyata terkena racun tingkat tinggi. Belum percaya dengan hasil analisa pertamanya, Ki Puguh pun kembali memeriksa darah Jalu. Kali ini darah berwarna hitam dan berbau busuk di dalam baskom yang dia periksa. Tabib tua itu menggeleng pelan. Sungguh dia masih belum bisa percaya jika pemuda berparas tampan itu mampu bertahan hidup dalam kondisi racun yang sudah menjalar di tubuhnya. "Bagaimana, Ki?" tanya Aji. "Pemuda ini memang terkena racun. Aku tidak tahu jenis racun apa yang berada di dalam tubuhnya, tapi aku yakin pasti racun tingkat tinggi." Kali ini Ayu Wulandari tidak bisa menahan suara tangisannya yang akhirnya pecah. Di sisi lain, Nyi Sundari yang mencoba bertahan agar tidak sampai terbawa suasana, akhi
Raut wajah gadis cantik itu begitu tegang, takut terjadi sesuatu pada Jalu, Ayu Wulandari pun bergegas keluar untuk mencari ayah dan ibunya yang sedang berada di teras rumah. Namun karena kedua orang tuanya sibuk memberi penjelasan kepada anak buahnya yang bertugas menjual barang dagangan, gadis cantik itupun tidak berani menganggu. Ayu Wulandari hanya bisa menunggu dengan perasaan cemas. Sikapnya menunjukkan kegelisahan yang teramat kuat. “Kau kenapa, Putriku?” tanya Nyi Sundari ketika melihat putrinya mondar-mandir di dekatnya. “Jalu, Bu …” “Kenapa dengan Jalu? Bukankah dia masih di kamarnya?” potong Nyi Sundari. Ayu Wulandari mengangguk, kemudian diraihnya tangan ibunya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. “Ikut aku, Bu. Sepertinya sedang terjadi masalah pada Jalu, aku takut Bu!” ucapnya. Raut wajah Nyi Sundari langsung berubah. Ayunan langkahnya dipercepat agar segera sampai di kamar Jalu. Ibu dan anak itupun masuk ke dalam kamar. Sementara Jalu masih tetap dalam meditasiny
Tanpa perlu diarahkan, puluhan anggota Ageng Pamuju itu membuat 8 tim yang masing-masing berisikan minimal 5 orang. Setiap tim nantinya akan bergerak sesuai arah mata angin yang juga berjumlah 8. “Jika nanti ada dari kalian yang berhasil menemukan penyusup itu, segera cari aku di tempat ini,” kata Ageng Pamuju. “Maaf, ketua, tapi bukankah ketua tadi bilang hendak mencari tempat lain untuk mendirikan perguruan?” tanya seorang anggota. “Itu nanti setelah aku berhasil membunuh penyusup yang sudah memporak-porandakan perguruan kita. Aku beri kalian waktu dua minggu dari sekarang, jika kalian tidak berhasil menemukannya, aku akan menghilang dari dunia persilatan entah untuk berapa lama.” Lebih dari 40 anggota perguruan Gunung Setan itu menatap tak percaya akan ucapan pemimpinnya. Sebagian besar dari mereka tidak punya keluarga, juga tidak memiliki tempat tinggal untuk berlindung dari terik matahari dan air hujan. Selain itu, mereka tidak pernah bekerja secara halal dan selama ini hanya
Ketua perguruan aliran hitam yang berdiri di puncak Gunung Setan itu berjalan meninggalkan bekas perguruannya yang sudah hampir rata dengan tanah. Setelah berjalan hampir lima ratus meter, dilihatnya puluhan orang yang berkumpul di dekat sebuah pohon besar. Bola matanya menyipit untuk memastikan bahwa seragam yang dikenakan sekumpulan orang-orang itu adalah murid-muridnya. Ageng Pamuju pun berjalan mendekat begitu memastikan penglihatannya tidak salah. “Apa yang sedang kalian lakukan di sini?” Sontak orang-orang yang sedang berbicara satu sama lain itu menoleh ke belakang. Begitu mengetahui jika sosok yang baru menegur mereka itu adalah Ageng Pamuju, puluhan murid perguruan Gunung Setan tersebut langsung memberi sikap hormat. “Maaf, Ketua. Kami berkumpul di tempat ini karena bingung tidak tahu harus kemana. Mau kembali ke perguruan, tapi takut jika pendekar itu kembali lagi dan menghabisi kami semua,” balas seorang anggota yang paling senior di antara lainnya. “Sebenarnya kalian
Beberapa saat lamanya beristirahat, rasa lelah yang mendera tubuh Jalu pun berangsur menghilang. Pemuda berparas tampan itupun bangkit berdiri dan diikuti Ayu Wulandari yang juga berdiri setelahnya. “Ayo kita pulang. Ibumu saat ini pasti sangat cemas,” ajak Jalu. Memang benar apa yang dikatakan pemuda itu, Nyi Sundari dalam beberapa hari terakhir kebingungan menunggu kedatangan Jalu dan putrinya yang belum juga kembali. Rasa cemasnya begitu besar akan keselamatan mereka berdua. Bahkan dalam dua hari terakhir dia tidak tidur sama sekali, sehingga Aji sampai memanggil tabib untuk menjaga kesehatan istrinya. Dua hari berikutnya, sudah empat hari Nyi Sundari tidak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Tidak hanya itu, bahkan dia pun tidak berhasrat untuk mengisi perutnya. Tubuhnya terduduk lemas di kursi dalam rangkulan suaminya.“Kalaupun mereka ada masalah di perjalanan, aku yakin Jalu pasti akan bisa mengatasinya,” kata Aji menenangkan istrinya. Nyi Sundari hanya diam seribu bahasa.
“Bedebah! Pasti penyusup itu yang telah membuat semua anggotaku ketakutan.” Ageng Pamuju merutuk dalam hati. Ada rasa sesal kenapa tadi dia harus mementingkan memenuhi syahwatnya terlebih dahulu dari pada melawan si penyusup. Rasa percayanya yang terlalu tinggi kepada empat orang tetua bawahannya, kini berakibat dia harus sendirian di perguruan yang telah didirikan sejak empat puluh tahun lalu. Lelaki tua yang memiliki ajian awet muda itu berjalan lunglai masuk ke dalam rumahnya. Melihat banyaknya jasad anggota yang telah tewas telah membuatnya mual. Dia berpikir jika tidak mungkin untuk menguburkan semua sendiri, tapi jika bertahan di tempat itu, pasti bau busuk dari jasad yang sudah menjadi bangkai akan membuatnya kesulitan sendiri. Ageng Pamuju memasuki kamanrnya. Dia berpikir harus bisa mengambil langkah selanjutnya untuk kembali mengumpulkan anggota. Nama besar perguruan Gunung Setan harus kembali bergabung di blantika dunia persilatan. Di dalam sebuah bangunan, suasana heni
“Baiklah, kalian berdua boleh pergi. Tapi jangan pernah kembali lagi ke tempat ini atau nyawa kalian berdua tidak akan kuberi ampun!” ucap Jalu datar dan mengancam. Reso dan Waji menghela napas lega. Keduanya tanpa berpikir lagi langsung melesat meninggalkan Perguruan Gunung Setan secepat mungkin. Mereka berdua tidak peduli lagi dengan anggota perguruan yang masih bergerombol dalam jarak empat puluhan meter. Kepergian tetua dua dan tetua empat meninggalkan pertanyaan dalam benak ratusan anggota yang kebingungan. Mereka tak menyangka jika dua tetua tersisa yang diharapkan bisa menjadi dewa penolong nyatanya telah pergi tanpa pamit. Rasa takut akan kematian jelas menguasai pikiran setiap anggota perguruan yang masih hidup. Entah siapa yang memulai, tapi tiba-tiba saja anggota yang jumlahnya masih dua pertiga dari keseluruhan anggota perguruan Gunung Setan itu tiba-tiba berhamburan berlarian pergi dari perguruan menyusul Reso dan Waji. Jalu tersenyum tipis melihat hal itu. Dia tidak