Jalu yang melihat secara langsung bagaimana Wirasoka menjilat bibirnya, langsung teringat dengan Purnomo yang pernah berniat untuk memperkosa Ayu Wulandari. Seketika emosinya pun terangkat naik dan kemudian bangkit berdiri setelah mengetahui niat buruk lelaki setengah baya tersebut. "Seharusnya orang seumuranmu itu lebih banyak mendekatkan diri kepada sang pencipta. Bukannya malah menambah dosa dan membuat orang lain menderita," ujarnya. Wirasoka dan ketujuh orang bayaran yang disewanya secara serta merta menolehkan pandangannya tertuju kepada Jalu. Pendekar muda berparas tampan itu berjalan mendekati Prawira dan Ratih yang juga sedang menatap kehadirannya. "Kalian berdua menyingkirlah. Biar aku yang memberi pelajaran kepada manusia berhati busuk seperti mereka." Prawira terkejut mendengar ucapan Jalu. Lelaki yang hampir seumuran Wirasoka itu tak percaya jika pemuda yang menurutnya masih belum genap dua puluh tahun tersebut mau membantunya. "Tapi mereka jumlahnya tidak sedikit?"
"Apa Paman mengetahuinya?" tanya Jalu penasaran. Prawira tidak langsung menjawab pertanyaan Jalu. Terlebih dahulu dia melirik putrinya yang tak henti menatap wajah Jalu. Senyum kecil terkembang di bibir ketika menyadari putri satu-satunya itu sedang merasakan jatuh cinta. "Sebelum aku menjawab pertanyaamu, bolehkah aku tahu apa alasanmu mencari mereka, Anak muda? Oh, iya, kenalkan namaku Prawira, dan ini putriku Ratih." Jalu tersenyum lebar. Harapannya untuk menemukan Ayu Wulandari kini mulai terbuka. Reaksi yang ditunjukkan Prawira menunjukkan kalau lelaki setengah baya itu mengetahui tentang gerombolan perampok penculik Ayu Wulandari. "Namaku Jalu, Paman," balas Jalu memperkenalkan dirinya. "Temanku dibawa oleh gerombolan perampok yang memiliki lambang gunung dilingkari api itu. Aku harus menyelamatkannya segera sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan." Prawira menghela napas berat dan panjang. "Kenapa, Paman?" Jalu semakin penasaran dengan reaksi yang ditunjukkan Prawir
Prawira menggeleng pelan. Desahan halus keluar dari bibirnya sebelum membalas ucapan Nimas. "Itu hanya kedoknya saja ternyata. Malah aku beranggapan jika hilangnya dua gadis dari kampung kita itu Wirasoka pelakunya."Nimas memasang wajah serius. Pikirannya langsung tertuju kepada dua gadis yang seumuran dengan Ratih, begitu suaminya membeberkan dugaannya. "Ya. Aku ingat jika Wulan dan Suci telah menghilang tanpa jejak dan tidak pernah ditemukan hingga sekarang." "Sudahlah, tidak perlu dipikir lagi." Prawira tersenyum, lantas menoleh kepada Jalu. "Wirasoka dan orang-orang bayaran yang selama ini melindunginya tidak akan bisa berbuat jahat lagi. Jalu telah mengirim nyawa mereka ke Neraka!" Nimas memandang Jalu dan menatapnya lekat-lekat. Terbersit sedikit rasa tak percaya jika pemuda sebelia Jalu dan memiliki wajah yang terbilang polos, bisa membunuh Wirasoka dan anak buahnya. Tapi kesaksian suaminya dan juga Ratih tentu tidak akan bisa dibantahnya sedikitpun. Wanita berusia empat p
Wanita yang dipilih Janaka menjadi khawatir, setelah tanpa sengaja ekor matanya melihat penjaga sedang meliriknya buas. Dari gerakan jakun serta lidah yang menjilat bibir, tahulah dia kalau penjaga itu menginginkan tubuhnya. "Ayo ikut aku!" Janaka menarik tangan wanita tersebut dengan sedikit kasar."Kau mau membawaku kemana?" Wanita berusia dua puluh tahunan itu berusaha mempertahankan diri. Dia sadar kalau lelaki bertubuh tinggi besar itu pasti akan memperkosanya. Janaka berbalik badan dan kemudian melayangkan tamparannya yang telak mengenai wanita itu. Plaaak! Wanita berwajah cukup cantik dengan dua bulatan yang membusung di dada itu terhuyung-huyung sebelum Janaka menangkap tubuhnya. Tanpa belas kasihan lelaki bertubuh tinggi besar itu memanggulnya di pundak seperti sedang membawa karung beras.Janaka tidak peduli meski wanita yang dipanggulnya berusaha memberontak. Dia terus berjalan hingga memasuki kamar pribadinya. Dengan sedikit kasar Janaka meletakkan tubuh wanita terseb
Kedua sosok yang ternyata lelaki dan perempuan itu menatap Jalu dengan tatapan curiga. "Berhenti, Kisanak!" Si lelaki memajukan tangannya Jalu menghentikan ayunan langkah kakinya. Sikap waspada seketika dipasangnya untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun pemuda berparas tampan itu kemudian sadar jika sudah memakai seragam dari perguruan yang hendak ditujunya. Selain itu, dia juga membawa segel perguruan Gunung Setan yang diberikan Prawira kepadanya. "Tunjukkan tanda pengenalmu!" Tangan kanan Jalu langsung merogoh bagian dalam pakaiannya. Setelah itu dia mengeluarkan lempengan kecil berbahan logam kuningan yang berbentuk sama persis dengan lambang dari perguruan Gunung Setan. "Ini, Kang." Jalu menyerahkan segel kecil itu kepada salah satu sosok yang menghadangnya. Tanpa perlu memegang dan hanya melihatnya saja, kedua sosok tersebut sudah bisa memastikan jika lambang tersebut berasal dari perguruan yang menjadi tempat mereka bernaung. "Katakan kenapa kau naik
Tanpa berpikir panjang, Suryo langsung melesat meninggalkan Sri yang masih termangu di belakang. Lelaki berusia hampir setengah baya mendapat amanat sebagai penjaga pertama itu merasa telah kecolongan dengan kepolosan wajah pemuda yang tadi mereka berdua temui. Dalam jarak 15 meter di belakang, Sri berlari mengejar sembari mendumel karena Suryo meninggalkannya begitu saja. "Tunggu, Kang! Jangan main tinggal saja!" teriaknya kesal bukan bukan main. Sebagai sepasang pendekar yang ditugaskan Supraba untuk menjaga titik awal memasuki wilayah perguruan Gunung Setan, sudah barang tentu wanita empat puluh tahunan itu merasa ketakutan juga jika sampai gagal menjalankan perintah. Sri menambahkan lagi kecepatannya hingga bisa mengimbangi laju lari Suryo. Keduanya begitu lihai meliuk-liuk menghindari pepohonan yang serasa menjadi ranjau penghadang. Malam yang gelap bukan menjadi masalah berarti lagi Suryo dan Sri yang sudah sangat hapal wilayah tersebut. Setibanya di jalan kembar yang salah
Sri mendekatkan tubuhnya hingga hampir tidak berjarak lagi. Setelah itu dia berbisik pelan di telinga Suryo, "Kang aku rasa dia bukan pemuda sembarangan. Sebaiknya kita harus berhati-hati." "Diam kau Sri! Dia telah menghina perguruan kita. Sekuat apapun dia, aku tak peduli. Dia harus dihabisi untuk menjaga nama besar perguruan kita!" sahut Suryo dengan suara sedikit keras. Sri beringsut satu langkah. Hanya helaan napas berat yang meluncur deras dari bibir untuk menanggapi kerasnya hati Suryo. Firasat buruk sudah menghampiri pikirannya. Takut jika dia dan Suryo bernasib sama dengan dengan anggota perguruan Gunung Setan yang telah tewas terlebih dahulu. Jalu tersenyum menyeringai mendengar ancaman yang dilontarkan Suryo kepadanya. Ditatapnya wajah Suryo yang meskipun gelap tapi masih bisa terlihat oleh ketajaman matanya. "Buktikan saja kalau kau mampu! Jangan kau sendiri, tapi kalian berdua majulah!" "Bangsat!" Suryo menghardik keras. "Mulut besarmu itu akan menerima akibatnya!" L
Pandangan mata wanita empat puluh tahunan itu mengamati pertarungan yang kembali terjadi. Dia masih menunggu waktu yang tepat untuk melarikan diri, sebab hanya dalam beberapa gebrakan saja pedang di tangan Suryo sudah buntung terpotong separuh. Suryo sendiri tidak habis pikir dengan kejadian yang dialami pedangnya. Meski bukan termasuk pedang pusaka, tapi dia masih mengalirkan tenaga dalamnya untuk memperkuat tingkat kekerasan bilah pedangnya. Namun nyatanya pedang yang sudah menemaninya selama bertahun tahun itu kini sudah menjadi rongsokan dan hampir tidak bisa digunakan lagi. "Cepat pergi!" teriak Suryo yang melihat Sri masih berada di sekitar titik pertarungan. "Seharusnya kau lebih khawatir terhadap keselamatanmu sendiri dibanding keselamatan orang lain!" Jalu menyahuti teriakan Suryo. "Aku belum kalah bedebah!" Suryo bergerak maju menyerang. Walau bilah pedangnya hanya tinggal separuh, tapi itu tidak menjadikannya berhenti untuk menyerang. Sadar jika keselamatan Suryo sudah