Bab 1: Kebangkitan di Lembah Babi
Gang sempit itu pengap, dipenuhi aroma keringat, asap rokok, dan lumpur basah. Lampu jalan redup berkedip lemas, menciptakan bayangan samar di malam yang pekat. Kenta terjatuh, tubuhnya penuh lebam dan luka. Napasnya tersengal-sengal, sementara dunia di sekelilingnya berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.
Beberapa pria berdiri mengepungnya, tatapan mereka tajam penuh kebencian, seperti pemburu yang menemukan mangsa tak berdaya. Tawa dingin mereka menggema di malam kelam, menusuk hati. Salah satu dari mereka maju, tendangannya menghantam kepala Kenta dengan brutal. Darah hangat mengalir dari bibirnya yang pecah.
“Uangnya mana? Beri sekarang, atau kau mati di sini!” suara pria itu pendek dan menusuk.
Kenta mencoba menegakkan kepala, tapi pandangannya kabur. Tubuhnya gemetar, seperti lentera kecil yang nyaris padam. "Maaf... aku tidak punya apa-apa lagi," suaranya serak, hampir tenggelam dalam tawa para pria itu. "Tolong... jangan bunuh aku."
Pukulan lain menghantam wajahnya, membuat dunia terasa semakin gelap. Tangannya meraba seolah mencoba menemukan sesuatu, mencari pegangan, tetapi salah seorang preman itu langsung menginjaknya dengan keras. Kesadaran Kenta mulai pudar, tubuhnya menggigil dalam diam yang menakutkan.
Dalam sisa-sisa kekuatannya, sebuah kalimat lirih meluncur dari bibirnya. “Aku lelah... Aku hanya ingin hidup seperti orang normal, sekali saja.”
Dalam sekejap, ingatan masa kecil Kenta saat kedua orang tuanya masih hidup melintas, tawa ibunya saat mengajarinya membuat layangan, tangan kecilnya yang dulu kuat mengangkat hasil tangkapan pertama dari sungai, dan suara ayahnya yang selalu berkata, “Kita tidak boleh menyerah, apapun yang terjadi.” Sekarang, ia hanya seorang pecundang yang terbaring di lumpur. Tapi... jika ada sedikit kesempatan untuk mengubah segalanya...
Lalu, itu terjadi. Di ambang kegelapan, suara mekanis tiba-tiba menggema di kepalanya, dingin dan tanpa emosi.
“Sistem diaktifkan. Pilih sekarang: Mati sebagai pecundang atau hidup penuh bahaya sebagai Tuan Muda dari desa yang hancur. Perjuangan tanpa akhir menanti.”
Sebuah hitungan mundur mulai berputar dalam pikirannya: 5... 4... 3....
Di dasar keputusasaan, nyala kecil di dalam diri Kenta menyala kembali, keinginan untuk bertahan, untuk membuktikan bahwa dirinya bukan pecundang. Dengan suara lemah, ia berbisik, “Aku memilih hidup. Aku akan bertahan.”
“Pilihan dikonfirmasi. Sistem dimuat…” Suara mekanis itu hilang. Dunia terasa runtuh, lalu sunyi.
Beberapa saat kemudian kegelapan sebelumnya mulai pudar, rasa dingin yang tajam menyeruak menembus kulit, memaksa Kenta membuka matanya perlahan. Kenta duduk perlahan, punggungnya bersandar pada dinding. Pandangannya mulai menjelajahi ruangan sempit itu. Batu-batu besar yang menjadi dindingnya dihiasi ukiran aneh yang tampak kuno. Di tengah ruangan terdapat altar kecil, dikelilingi lilin yang hampir habis, mangkuk berisi abu, dan patung-patung usang yang menyeramkan.
Perasaan asing terus membuncah. Ia memukul pelipisnya dengan ringan, mencoba memastikan ia tidak bermimpi. “Ini... ini gila! Aku… Aku dimana!” Kenta meracau, suaranya penuh rasa tidak percaya.
Plak! Sebuah pukulan ringan menghantam belakang kepalanya. "Dasar bodoh! Apa otakmu terguncang setelah dihajar bandit?" Suara berat itu muncul bersamaan dengan pukulan di belakang kepalanya.
“Aduh! Apa-apaan ini?!” protes Kenta, mengusap kepalanya yang terasa nyeri.
Kenta mendongak dengan kaget. Seorang pria tua berjubah kelabu berdiri di sana, wajahnya penuh kerutan namun matanya tajam seperti elang. Tanpa ragu, pria itu melangkah mendekat dan menjewer kuping Kenta.
“Bangun! Jangan berpura-pura bodoh!” hardiknya. “Kau pikir siapa dirimu? Kau adalah Tuan Muda dari Lembah Babi! Garis keturunan terakhir dari pemimpin desa ini.”
Kenta melongo, bingung mendengar kata-kata pria itu. "Apa... aku?"
"Jangan banyak protes! Desa ini hancur. Kau tidak punya waktu untuk bersantai!"
Saat kakek tua itu berbicara, sebuah papan informasi muncul di depan mata Kenta. Di layar itu, muncul tulisan :
“Memuat Data Target: Hakka. Status: Penasehat Bijaksana, Pemburu Kelas Langka, Pengguna Sihir Api.”
Kenta bangun dengan langkah yang sedikit berat, mengikuti Hakka yang berjalan menuju latar depan dari aula keluarga. Keduanya berdiri di sebuah pelataran kecil yang cukup strategis karena aula keluarga yang lokasinya berada di ketinggian 50 kaki diatas lembah. Darisitu jalan desa dan puluhan rumah warga dapat terlihat dalam sekali sapuan mata.
Hakka mendengus, memandangi lembah dengan tatapan berat. “Aku tidak tahu apakah kepalamu yang keras itu akan berguna sekarang, tapi dengarkan ini baik-baik. Desa ini... sudah di ambang kehancuran.”
Kenta mendengarkan dengan bingung, mencoba memproses apa yang dikatakan pria tua itu. "Apa maksudmu? Seberapa buruk kondisinya?" tanyanya perlahan.
“Seberapa buruk?” Hakka mendongak ke arah Kenta, wajahnya penuh keletihan. “Lihat sendiri, anak muda. Sungai itu... dulunya menghidupi desa ini. Sawah-sawah seharusnya hijau dan penuh hasil panen. Tapi sekarang? Semua mati. Tidak ada yang tersisa.”
Kenta memandang lembah yang gelap di bawah mereka. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya bayangan sunyi dan beberapa rumah yang hampir runtuh. “Kenapa sampai seperti ini?” bisiknya.
Hakka menghela napas panjang, suaranya bergetar dengan kemarahan yang ditahan. “Gagal panen. Tahun demi tahun. Sekarang kelaparan menjadi musuh terbesar kami. Dan ketika orang-orang kelaparan, mereka menjadi seperti binatang.” Ia menatap Kenta tajam. “Anak-anak dijual untuk sepotong roti. Perempuan-perempuan dipaksa menjadi budak demi biji-bijian. Kau pikir itu tidak buruk?”
Kenta bergidik, tidak mampu berkata apa-apa. Ia merasa seperti seorang penonton yang dipaksa menyaksikan tragedi yang terlalu besar untuk dipahami. Jelas, pria tua ini tidak tahu bahwa Kenta yang asli sudah tiada, digantikan oleh jiwa asing dengan tubuh yang sama. Namun, meskipun keras, ada ketulusan dalam mata Hakka yang membuat Kenta merasa dihargai walau ia tahu itu ditujukan kepada pemilik tubuh sebelumnya.
“Jika kau ingin hidup bebas, lupakan saja. Mulai sekarang, aku akan memastikan kau menjadi pemimpin sejati!”
Namun, sebelum Kenta bisa bertanya lebih lanjut, sesuatu yang aneh terjadi. Suara mekanis terdengar di dalam pikirannya, dingin dan asing.
"Sistem dimulai…"
Kenta tersentak. Apa itu?! Ia melirik ke sekitar, berharap menemukan asal suara, namun ruangan itu kosong kecuali dirinya dan Hakka.
"Hadiah kebangkitan telah diberikan kepada pemain. Skill Random Copier : Mulai mengacak kemampuan target."
Mata Kenta membelalak. Apa ini? Sebuah permainan? Ia mencoba memproses apa yang terjadi, namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, layar holografik muncul di pikirannya. Sebuah papan berputar dengan kecepatan tinggi, memancarkan cahaya-cahaya cerah. Papan itu melambat, membuat jantung Kenta berdebar kencang. Akhirnya, jarum berhenti pada tulisan bercahaya emas:
"Kloning skill berhasil : Anda telah membuka Skill Mantra Api: Kelas Langka."
“Kenapa kau bengong?” bentak Hakka. “Hanya melihat wajah tuaku ini sudah cukup membuatmu terpana?”
“Tidak, tidak! Aku hanya... mencoba memahami sesuatu,” elak Kenta, gugup. Dalam pikirannya, ia mendengar suara dingin sistem:
Kenta membeku. Sihir? Apa ini nyata? Tubuhnya merasakan aliran energi hangat, seolah kekuatan yang baru ditemukan itu mulai mengalir melalui nadinya. Ia mengalihkan pandangannya ke Hakka, satu-satunya orang di ruangan itu.
Kenta mengerutkan dahi, tatapannya penuh kebingungan. “Jadi… aku bisa menyalin kekuatan orang lain?” bisiknya pelan, hampir tak percaya. Ia memandang tangannya, seolah mencari tanda-tanda dari kekuatan baru itu.
Sebuah pikiran terlintas di benaknya, membuat napasnya tertahan. “Tapi… bagaimana kalau kekuatannya tidak berguna? Atau malah merugikan?” Ia teringat pada layar berputar tadi, betapa acaknya sistem itu. “Ini seperti undian... Aku tidak bisa selalu berharap dapat sesuatu yang bagus.”
Kenta menggeleng, mencoba menenangkan pikirannya. “Kalau begitu, aku harus berhati-hati. Jangan sampai salah memilih target. Kalau tidak…” Ia menelan ludah, merasa sedikit gugup. “Salah langkah sedikit saja, mungkin aku akan menyesal seumur hidup.”
Ia mengepalkan tangannya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. “Tapi kalau aku bisa memilih dengan cerdas, ini... ini bisa menjadi keunggulanku. Aku harus memanfaatkannya.”
“Kek,” panggil Kenta ragu. “Kau bisa menggunakan sihir?”
Hakka terlihat terkejut, namun senyumnya tak memudar. "Sedikit, aku bisa mempraktikkan beberapa mantra api. Aku ingat pernah mengajarimu, tapi kau kabur kehutan untuk mencari biji eg dan mencuri madu di sarang lebah!”
Kenta terdiam sejenak, memandangi tangan kosongnya yang gemetar menyadari dia memiliki kemampuan sihir api yang ia dapat dari Hakka. Pikirannya berkecamuk, apa yang bisa ia lakukan di dunia asing ini? Seolah ada lubang menganga di dadanya, membuatnya merasa kecil dan tak berdaya.
Hakka, melirik sekilas ke arah Kenta. “Kau kenapa? Bengong seperti ikan mati. Kau bahkan lebih lemah dari anak-anak di sini,” gerutunya.
Kenta menggertakkan gigi. “Aku... Aku ingin belajar bertarung.”
Hakka menatapnya dengan alis terangkat. “Oh? Tiba-tiba saja ingin menjadi pahlawan, ya?”
“Bukan itu!” Kenta menggeleng cepat, lalu menatap mata Hakka dengan kesungguhan. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan di sini. Tapi kalau aku tidak punya kekuatan, aku tidak akan bertahan. Ajari aku. Apa saja.”
Pria tua itu terdiam, menatap Kenta lekat-lekat, seolah menimbang permintaannya. Akhirnya, ia mendengus pelan. “Hm, setidaknya kau sadar dirimu lemah. Itu awal yang bagus.”
“Jadi, kau mau mengajariku?” tanya Kenta, penuh harap.
Hakka tersenyum tipis, sebuah senyum yang tak sepenuhnya ramah. “Tentu saja. Tapi jangan harap aku akan mudah padamu. Ayahmu dulu juga keras kepala, dan aku yang membentuknya. Sekarang giliranmu.”
Sebelum Kenta sempat merespons, suara dingin tiba-tiba bergema di dalam pikirannya:
“Player terverifikasi. Memicu misi pertama: Perburuan babi hutan. Kelas Normal.”
Kenta tersentak, melihat sekeliling, tetapi tak ada siapa pun selain dirinya dan Hakka. Ia menelan ludah. "Perburuan... babi hutan?" gumamnya nyaris tak terdengar.
Hakka, yang tampaknya tidak menyadari apapun, menepuk bahu Kenta dengan kasar. “Bagus. Besok kita mulai. Dan sebagai ujian pertamamu, kau akan ikut berburu. Jangan berharap ini akan mudah.”
Kenta menatap pria tua itu, lalu mengangguk pelan. “Aku akan lakukan yang terbaik.”
Bersambung...
Bab 2 : Berburu Babi HutanMatahari pagi baru saja muncul di langit timur ketika Kenta terbangun oleh suara keras yang memekakkan telinga.“Bangun, bocah! Kalau kau terus tidur seperti ini, kita takkan pernah memulai!” seru Hakka sambil mengetuk pintu kamar Kenta dengan tongkat kayunya.Kenta membuka matanya dengan berat, kepalanya masih terasa pening. Malam sebelumnya terasa seperti mimpi buruk, terutama interaksinya dengan Hakka. Namun, suara kasar pria tua itu adalah bukti nyata bahwa dia tak bermimpi."Baik, baik! Aku bangun!" balas Kenta, mencoba bangkit dari tempat tidur dengan malas.Namun, Hakka sudah membuka pintu tanpa menunggu izin. “Lihat dirimu, seperti pangeran manja yang tersesat di pondok petani! Cepat siap-siap. Kita akan pergi ke hutan sebelum matahari terlalu tinggi,” perintahnya sambil melipat tangan, ekspresinya penuh ketidaksabaran.Kenta mendesah panjang, menyadari bahwa tidak ada gunanya membantah. “Kenapa kau begitu bersemangat membawaku ke hutan?” gumamnya, l
Bab 3 : Sistem yang TerbangunKenta mengatur napasnya dalam-dalam, mencoba mengatasi kelelahan yang masih terasa setelah pertarungan sengit melawan babi hutan. Tubuhnya yang lelah bersandar pada salah satu pilar aula keluarga, sementara pandangannya sesekali melirik ke arah Hakka yang sedang memeriksa tumpukan daging babi hasil buruan mereka."Atur napasmu, dan coba evaluasi apa yang kau pelajari di hutan tadi," kata Hakka tanpa menoleh. Nada suaranya tegas namun tidak setajam biasanya. "Aku akan ke dapur untuk menyerahkan daging ini kepada tukang masak. Kalau kita beruntung, malam ini kita makan sup daging babi." Ia mengangkat bungkusan daging dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban Kenta.Kenta hanya mengangguk pelan. Setelah Hakka keluar dari aula, ia duduk bersila, mencoba menenangkan pikirannya. Di saat itulah, sesuatu yang penting terlintas di benaknya.“Bukankah aku mendapatkan hadiah dari misi sebelumnya?” gumamnya. Ia memejamkan mata, mencoba memusatkan perhatian.Tiba-tib
BAB 4 : SayembaraKenta mengangguk dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya berdegup keras. Dia menatap peta di tangannya dengan serius, seolah-olah peta itu adalah kunci terakhir untuk menyelamatkan desa. “Kita adakan sayembara,” katanya, suaranya tegas. “Kita kumpulkan orang-orang yang memiliki kemampuan dari desa ini.”Hakka, yang berdiri di sisinya, memandangnya dengan tatapan tajam sebelum tersenyum tipis. “Rencanamu lumayan juga bocah, tapi biar bagaimanapun dirimu harus waspada, Bocah. Desa ini sedang di ambang kehancuran. Orang-orangnya tidak mudah percaya. Luka mereka dalam, seperti jurang yang sulit dijembatani.”Tanpa membuang waktu, keduanya berjalan menuju pusat desa, di mana sebuah batu besar yang biasa digunakan untuk pengumuman penting berdiri megah di tengah alun-alun. Setiap langkah terasa berat bagi Kenta, karena dia tahu tanggung jawab yang menanti. Ketika mereka tiba, sebuah kerumunan kecil telah berkumpul. Wajah-wajah kusam itu mencerminkan kelelahan, kemarahan y
BAB 5. Penaklukan Goa HitamMalam itu, udara malam itu terasa begitu pekat. Kelompok kecil yang dipimpin oleh Kenta telah berkumpul dalam radius 50 meter dari dekat mulut Gua Hitam, bersembunyi di balik formasi batu besar yang setengah terkikis waktu. Dari tempat mereka, cahaya bulan yang suram hanya cukup untuk menyoroti siluet besar goblin raksasa yang mondar-mandir di depan pintu masuk goa. Di belakang goblin, goa itu tampak seperti rahang raksasa, gelap, dan penuh rahasia mengerikan.Kenta melirik peta tambang yang dipenuhi tanda posisi peledak, jalur mundur, dan rencana cadangan. Sekitar mereka, bebatuan dan pecahan pohon berserakan, seolah menjadi bukti pertempuran yang pernah terjadi di sini. “Kita tidak bisa membiarkan goblin itu keluar. Kalau dia menyerang desa, kita semua selesai,” katanya pelan namun tegas.Di depan mereka, goblin raksasa itu berdiri, tubuhnya setinggi tiga meter dengan kulit bersisik seperti batu bara. Matanya kuning menyala, bergerak liar, mencari sesuatu
BAB 5. Penaklukan Goa HitamMalam itu, udara malam itu terasa begitu pekat. Kelompok kecil yang dipimpin oleh Kenta telah berkumpul dalam radius 50 meter dari dekat mulut Gua Hitam, bersembunyi di balik formasi batu besar yang setengah terkikis waktu. Dari tempat mereka, cahaya bulan yang suram hanya cukup untuk menyoroti siluet besar goblin raksasa yang mondar-mandir di depan pintu masuk goa. Di belakang goblin, goa itu tampak seperti rahang raksasa, gelap, dan penuh rahasia mengerikan.Kenta melirik peta tambang yang dipenuhi tanda posisi peledak, jalur mundur, dan rencana cadangan. Sekitar mereka, bebatuan dan pecahan pohon berserakan, seolah menjadi bukti pertempuran yang pernah terjadi di sini. “Kita tidak bisa membiarkan goblin itu keluar. Kalau dia menyerang desa, kita semua selesai,” katanya pelan namun tegas.Di depan mereka, goblin raksasa itu berdiri, tubuhnya setinggi tiga meter dengan kulit bersisik seperti batu bara. Matanya kuning menyala, bergerak liar, mencari sesuatu
BAB 4 : SayembaraKenta mengangguk dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya berdegup keras. Dia menatap peta di tangannya dengan serius, seolah-olah peta itu adalah kunci terakhir untuk menyelamatkan desa. “Kita adakan sayembara,” katanya, suaranya tegas. “Kita kumpulkan orang-orang yang memiliki kemampuan dari desa ini.”Hakka, yang berdiri di sisinya, memandangnya dengan tatapan tajam sebelum tersenyum tipis. “Rencanamu lumayan juga bocah, tapi biar bagaimanapun dirimu harus waspada, Bocah. Desa ini sedang di ambang kehancuran. Orang-orangnya tidak mudah percaya. Luka mereka dalam, seperti jurang yang sulit dijembatani.”Tanpa membuang waktu, keduanya berjalan menuju pusat desa, di mana sebuah batu besar yang biasa digunakan untuk pengumuman penting berdiri megah di tengah alun-alun. Setiap langkah terasa berat bagi Kenta, karena dia tahu tanggung jawab yang menanti. Ketika mereka tiba, sebuah kerumunan kecil telah berkumpul. Wajah-wajah kusam itu mencerminkan kelelahan, kemarahan y
Bab 3 : Sistem yang TerbangunKenta mengatur napasnya dalam-dalam, mencoba mengatasi kelelahan yang masih terasa setelah pertarungan sengit melawan babi hutan. Tubuhnya yang lelah bersandar pada salah satu pilar aula keluarga, sementara pandangannya sesekali melirik ke arah Hakka yang sedang memeriksa tumpukan daging babi hasil buruan mereka."Atur napasmu, dan coba evaluasi apa yang kau pelajari di hutan tadi," kata Hakka tanpa menoleh. Nada suaranya tegas namun tidak setajam biasanya. "Aku akan ke dapur untuk menyerahkan daging ini kepada tukang masak. Kalau kita beruntung, malam ini kita makan sup daging babi." Ia mengangkat bungkusan daging dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban Kenta.Kenta hanya mengangguk pelan. Setelah Hakka keluar dari aula, ia duduk bersila, mencoba menenangkan pikirannya. Di saat itulah, sesuatu yang penting terlintas di benaknya.“Bukankah aku mendapatkan hadiah dari misi sebelumnya?” gumamnya. Ia memejamkan mata, mencoba memusatkan perhatian.Tiba-tib
Bab 2 : Berburu Babi HutanMatahari pagi baru saja muncul di langit timur ketika Kenta terbangun oleh suara keras yang memekakkan telinga.“Bangun, bocah! Kalau kau terus tidur seperti ini, kita takkan pernah memulai!” seru Hakka sambil mengetuk pintu kamar Kenta dengan tongkat kayunya.Kenta membuka matanya dengan berat, kepalanya masih terasa pening. Malam sebelumnya terasa seperti mimpi buruk, terutama interaksinya dengan Hakka. Namun, suara kasar pria tua itu adalah bukti nyata bahwa dia tak bermimpi."Baik, baik! Aku bangun!" balas Kenta, mencoba bangkit dari tempat tidur dengan malas.Namun, Hakka sudah membuka pintu tanpa menunggu izin. “Lihat dirimu, seperti pangeran manja yang tersesat di pondok petani! Cepat siap-siap. Kita akan pergi ke hutan sebelum matahari terlalu tinggi,” perintahnya sambil melipat tangan, ekspresinya penuh ketidaksabaran.Kenta mendesah panjang, menyadari bahwa tidak ada gunanya membantah. “Kenapa kau begitu bersemangat membawaku ke hutan?” gumamnya, l
Bab 1: Kebangkitan di Lembah BabiGang sempit itu pengap, dipenuhi aroma keringat, asap rokok, dan lumpur basah. Lampu jalan redup berkedip lemas, menciptakan bayangan samar di malam yang pekat. Kenta terjatuh, tubuhnya penuh lebam dan luka. Napasnya tersengal-sengal, sementara dunia di sekelilingnya berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.Beberapa pria berdiri mengepungnya, tatapan mereka tajam penuh kebencian, seperti pemburu yang menemukan mangsa tak berdaya. Tawa dingin mereka menggema di malam kelam, menusuk hati. Salah satu dari mereka maju, tendangannya menghantam kepala Kenta dengan brutal. Darah hangat mengalir dari bibirnya yang pecah.“Uangnya mana? Beri sekarang, atau kau mati di sini!” suara pria itu pendek dan menusuk.Kenta mencoba menegakkan kepala, tapi pandangannya kabur. Tubuhnya gemetar, seperti lentera kecil yang nyaris padam. "Maaf... aku tidak punya apa-apa lagi," suaranya serak, hampir tenggelam dalam tawa para pria itu. "Tolong... jangan bunuh aku.