BAB 5. Penaklukan Goa Hitam
Malam itu, udara malam itu terasa begitu pekat. Kelompok kecil yang dipimpin oleh Kenta telah berkumpul dalam radius 50 meter dari dekat mulut Gua Hitam, bersembunyi di balik formasi batu besar yang setengah terkikis waktu. Dari tempat mereka, cahaya bulan yang suram hanya cukup untuk menyoroti siluet besar goblin raksasa yang mondar-mandir di depan pintu masuk goa. Di belakang goblin, goa itu tampak seperti rahang raksasa, gelap, dan penuh rahasia mengerikan.
Kenta melirik peta tambang yang dipenuhi tanda posisi peledak, jalur mundur, dan rencana cadangan. Sekitar mereka, bebatuan dan pecahan pohon berserakan, seolah menjadi bukti pertempuran yang pernah terjadi di sini. “Kita tidak bisa membiarkan goblin itu keluar. Kalau dia menyerang desa, kita semua selesai,” katanya pelan namun tegas.
Di depan mereka, goblin raksasa itu berdiri, tubuhnya setinggi tiga meter dengan kulit bersisik seperti batu bara. Matanya kuning menyala, bergerak liar, mencari sesuatu yang mencurigakan. Tongkat besar di tangannya terbuat dari pohon yang telah dirampas dan diperkuat dengan logam hitam, diayunkan dengan gerakan malas, namun cukup untuk mengguncang tanah tiap kali menghantamnya.
“Semua sudah siap?” tanya Kenta, suaranya nyaris berbisik.
Liam mengangguk tegas, busurnya tergantung di punggung sementara beberapa anak panah tersusun rapi di tempatnya. Nenek Cio berdiri tidak jauh, menggenggam kantong kecil yang berisi bubuk pelemas hasil racikannya. Di samping mereka, beberapa penduduk desa yang mendaftar dalam sayembara memegang senjata seadanya tombak kayu, belati tumpul, juga beberapa rakitan peledak yang sudah mereka siapkan.
Tiba-tiba, suara dingin bergema di pikiran Kenta.
“Misi kelas Langka diaktifkan: Penaklukan Goblin Raksasa. Waspada! Tingkat bahaya: Tinggi.”
Kenta tertegun sejenak, membaca tampilan holografik di depannya. Dengan cepat, Kenta kembali fokus. “Kita bergerak sesuai rencana,” katanya. “Liam, formasi memanah dimulai dari sisi kanan. Nenek Cio, tebarkan bubuk pelemasnya. Kakek, kau dan aku akan menyerang dari depan. Kita akan menggunakan sihir api sebagai distraksi utama.”
“Dan aku?” tanya salah satu penduduk desa.
“Kalian melindungi jalur mundur. Ini tidak akan mudah,” jawab Kenta tegas. “Tapi kita harus melakukannya bersama.”
Ketika kelompok itu bergerak mendekati mulut goa, Nenek Cio mengambil alih langkah pertama.
“Nenek Cio, mulai bergerak sekarang,” bisik Kenta, menatap makhluk itu.
Nenek Cio, dengan tangan gemetar, melemparkan kantong berisi bubuk pelemas dari belakang batu. Angin malam menjadi sekutu mereka, membawa serbuk itu ke arah goblin. Awalnya, goblin hanya berdiri diam, mengendus udara. Tapi tiba-tiba, tubuhnya tersentak, dan langkahnya menjadi goyah. Suasana berubah mencekam.
“Peringatan sistem: Racun tidak efektif sepenuhnya pada target kelas Langka."
“Sial! Dia bereaksi, tapi sepertinya itu tidak cukup, dia terlalu besar.” gumam Kenta. “Racun ini tidak cukup.”
“Kita harus tetap menyerang,” jawab Kakek Ha.
Goblin berhenti sejenak, menoleh dengan gerakan lambat ke arah kelompok itu. Tiba-tiba, geramannya menggema seperti gemuruh badai. Mata kuningnya sekarang tertuju langsung ke arah Kenta dan timnya. Dengan satu langkah besar, tanah di bawah kakinya pecah, dan jarak 50 meter itu mulai menyusut.
“Dia bergerak! Liam, serang!” seru Kenta.
Liam mengangkat busurnya dan memanah dengan kecepatan luar biasa. Panah pertama menusuk bahu goblin, tetapi hanya meninggalkan luka kecil. Goblin bahkan tidak berhenti. Ia mengayunkan tongkatnya ke arah Liam, meskipun jaraknya masih cukup jauh. Tongkat itu menghantam tanah, menciptakan gelombang kejut yang membuat Liam terhuyung dan hampir terjatuh.
“Sekarang giliran kita!” teriak Kakek Ha.
Lingkaran sihir mulai bercahaya di bawah kakinya. Dalam sekejap, bola api besar melesat menuju goblin, meledak tepat di dada makhluk itu. Ledakan itu menggema hingga ke bukit sekitar, menerangi goa seperti siang hari sejenak. Goblin tersentak mundur beberapa langkah, tetapi kemudian, dengan raungan dahsyat, ia melompat ke depan, menghapus sisa jarak hingga hanya berjarak sekitar 20 meter dari tempat gerombolan Kenta berdiri.
“Semua, menyebar!” perintah Kenta. “Jangan biarkan dia fokus pada satu titik!”
Goblin mengayunkan tongkatnya, menghancurkan batu tempat Liam berlindung. Pecahan batu beterbangan, hampir mengenai wajahnya. Sementara itu, Nenek Cio mencoba mendekati goblin lebih jauh, melemparkan bubuk pelemas langsung ke tubuhnya. Makhluk itu tersentak lagi, tetapi efeknya terlalu lemah untuk menghentikannya.
Dengan langkah besar, goblin menubruk salah satu penduduk desa yang sedang memasang peledak. Tubuh penduduk itu terpental beberapa meter, menabrak pohon dengan bunyi yang mengerikan. “Dia tahu kita mencoba menjebaknya!” seru Kenta.
“Kenta, awas!” teriak Liam.
“Status pemain: Cedera sedang. Aktivasi darurat teknik penyembuhan ringan.”
Kenta melompat keluar dari persembunyian, menarik perhatian goblin. Dengan tangan yang memancarkan api, ia mengarahkan serangan bertubi-tubi ke makhluk itu, memaksa fokusnya menjauh dari penduduk desa yang tersisa. Goblin menyerbu ke arahnya, menghancurkan tanah di setiap langkahnya. Jarak antara mereka menyempit dengan cepat.
“Tahan dia di tempatnya!” teriak Kenta kepada Kakek Ha.
Kakek Ha memanggil semburan api yang menciptakan dinding panas di depan goblin. Makhluk itu berhenti sejenak, tetapi hanya untuk mengumpulkan tenaga. Ia menghantamkan tongkatnya ke tanah, menghilangkan sihir api itu dengan sekali ayunan.
Sementara itu, Liam, yang menemukan sudut yang aman, menembakkan panah tepat ke mata kanan goblin. Makhluk itu mengaum kesakitan, akhirnya melambat. “Sekarang! Pasang peledaknya!” seru Kenta.
Dengan keberanian yang luar biasa, para penduduk desa berlari melewati reruntuhan dan pecahan batu, memasang peledak terakhir di titik strategis. Goblin, yang kini setengah buta, mencoba menyerang mereka, tetapi tubuhnya mulai lemah.
“Kenta, peledaknya sudah siap!” seru salah satu penduduk desa.
“Jatuhkan dia di depan mulut goa!” balas Kenta dengan suara parau.
“Bawa dia ke jebakan!” teriak Nenek Cio.
Kenta menggunakan sisa kekuatan apinya, menciptakan ledakan kecil yang memaksa goblin mundur ke posisi jebakan. Kakek Ha kemudian melancarkan serangan api terakhirnya, menciptakan tekanan besar yang akhirnya menjatuhkan goblin ke tempat yang direncanakan.
“Bocah, energiku hampir habis! Cepat selesaikan!” teriak Kakek Ha, nafasnya mulai terdengar berat.
“Sekarang!” Kenta berteriak. Ia mengaktifkan sihir apinya, meluncurkan gelombang api untuk memaksa bubuk mesiu dalam kotak peledak disekitar goblin meledak secara instan.
Peledak meledak bersamaan, menghancurkan mulut goa dan menimbun goblin di bawah puing-puing. Debu tebal menyelimuti mereka, mengaburkan pandangan semua orang. Hanya suara batu runtuh yang terdengar, perlahan-lahan mereda.
Ketika debu mulai mereda, kelompok itu menyadari bahwa goblin telah dikalahkan. Mereka bersorak, tetapi perhatian mereka segera tertuju pada Kenta yang masih berdiri di depan, meskipun tubuhnya penuh luka.
“Kenta, kau terluka!” seru Liam.
Kenta tersenyum lemah. “Aku baik-baik saja. Yang penting kita berhasil.”
Para penduduk desa mendekat, wajah mereka yang awalnya dipenuhi ketakutan kini berubah menjadi kekaguman. Mereka melihat Kenta bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai pelindung yang bersedia mengorbankan dirinya demi orang lain.
“Misi selesai. Hadiah akan dikirim ke inventory.”
Namun, sebelum Kenta bisa merespons, sebuah notifikasi tambahan muncul:
“Peringatan sistem: Deteksi bug. Hadiah penyelesaian misi dihitung ulang,. Administrasi sistem akan memperbaiki kesalahan ini dalam 24 jam.”
“Bug?” pikir Kenta.
Bersambung…
Bab 1: Kebangkitan di Lembah BabiGang sempit itu pengap, dipenuhi aroma keringat, asap rokok, dan lumpur basah. Lampu jalan redup berkedip lemas, menciptakan bayangan samar di malam yang pekat. Kenta terjatuh, tubuhnya penuh lebam dan luka. Napasnya tersengal-sengal, sementara dunia di sekelilingnya berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.Beberapa pria berdiri mengepungnya, tatapan mereka tajam penuh kebencian, seperti pemburu yang menemukan mangsa tak berdaya. Tawa dingin mereka menggema di malam kelam, menusuk hati. Salah satu dari mereka maju, tendangannya menghantam kepala Kenta dengan brutal. Darah hangat mengalir dari bibirnya yang pecah.“Uangnya mana? Beri sekarang, atau kau mati di sini!” suara pria itu pendek dan menusuk.Kenta mencoba menegakkan kepala, tapi pandangannya kabur. Tubuhnya gemetar, seperti lentera kecil yang nyaris padam. "Maaf... aku tidak punya apa-apa lagi," suaranya serak, hampir tenggelam dalam tawa para pria itu. "Tolong... jangan bunuh aku.
Bab 2 : Berburu Babi HutanMatahari pagi baru saja muncul di langit timur ketika Kenta terbangun oleh suara keras yang memekakkan telinga.“Bangun, bocah! Kalau kau terus tidur seperti ini, kita takkan pernah memulai!” seru Hakka sambil mengetuk pintu kamar Kenta dengan tongkat kayunya.Kenta membuka matanya dengan berat, kepalanya masih terasa pening. Malam sebelumnya terasa seperti mimpi buruk, terutama interaksinya dengan Hakka. Namun, suara kasar pria tua itu adalah bukti nyata bahwa dia tak bermimpi."Baik, baik! Aku bangun!" balas Kenta, mencoba bangkit dari tempat tidur dengan malas.Namun, Hakka sudah membuka pintu tanpa menunggu izin. “Lihat dirimu, seperti pangeran manja yang tersesat di pondok petani! Cepat siap-siap. Kita akan pergi ke hutan sebelum matahari terlalu tinggi,” perintahnya sambil melipat tangan, ekspresinya penuh ketidaksabaran.Kenta mendesah panjang, menyadari bahwa tidak ada gunanya membantah. “Kenapa kau begitu bersemangat membawaku ke hutan?” gumamnya, l
Bab 3 : Sistem yang TerbangunKenta mengatur napasnya dalam-dalam, mencoba mengatasi kelelahan yang masih terasa setelah pertarungan sengit melawan babi hutan. Tubuhnya yang lelah bersandar pada salah satu pilar aula keluarga, sementara pandangannya sesekali melirik ke arah Hakka yang sedang memeriksa tumpukan daging babi hasil buruan mereka."Atur napasmu, dan coba evaluasi apa yang kau pelajari di hutan tadi," kata Hakka tanpa menoleh. Nada suaranya tegas namun tidak setajam biasanya. "Aku akan ke dapur untuk menyerahkan daging ini kepada tukang masak. Kalau kita beruntung, malam ini kita makan sup daging babi." Ia mengangkat bungkusan daging dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban Kenta.Kenta hanya mengangguk pelan. Setelah Hakka keluar dari aula, ia duduk bersila, mencoba menenangkan pikirannya. Di saat itulah, sesuatu yang penting terlintas di benaknya.“Bukankah aku mendapatkan hadiah dari misi sebelumnya?” gumamnya. Ia memejamkan mata, mencoba memusatkan perhatian.Tiba-tib
BAB 4 : SayembaraKenta mengangguk dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya berdegup keras. Dia menatap peta di tangannya dengan serius, seolah-olah peta itu adalah kunci terakhir untuk menyelamatkan desa. “Kita adakan sayembara,” katanya, suaranya tegas. “Kita kumpulkan orang-orang yang memiliki kemampuan dari desa ini.”Hakka, yang berdiri di sisinya, memandangnya dengan tatapan tajam sebelum tersenyum tipis. “Rencanamu lumayan juga bocah, tapi biar bagaimanapun dirimu harus waspada, Bocah. Desa ini sedang di ambang kehancuran. Orang-orangnya tidak mudah percaya. Luka mereka dalam, seperti jurang yang sulit dijembatani.”Tanpa membuang waktu, keduanya berjalan menuju pusat desa, di mana sebuah batu besar yang biasa digunakan untuk pengumuman penting berdiri megah di tengah alun-alun. Setiap langkah terasa berat bagi Kenta, karena dia tahu tanggung jawab yang menanti. Ketika mereka tiba, sebuah kerumunan kecil telah berkumpul. Wajah-wajah kusam itu mencerminkan kelelahan, kemarahan y
BAB 5. Penaklukan Goa HitamMalam itu, udara malam itu terasa begitu pekat. Kelompok kecil yang dipimpin oleh Kenta telah berkumpul dalam radius 50 meter dari dekat mulut Gua Hitam, bersembunyi di balik formasi batu besar yang setengah terkikis waktu. Dari tempat mereka, cahaya bulan yang suram hanya cukup untuk menyoroti siluet besar goblin raksasa yang mondar-mandir di depan pintu masuk goa. Di belakang goblin, goa itu tampak seperti rahang raksasa, gelap, dan penuh rahasia mengerikan.Kenta melirik peta tambang yang dipenuhi tanda posisi peledak, jalur mundur, dan rencana cadangan. Sekitar mereka, bebatuan dan pecahan pohon berserakan, seolah menjadi bukti pertempuran yang pernah terjadi di sini. “Kita tidak bisa membiarkan goblin itu keluar. Kalau dia menyerang desa, kita semua selesai,” katanya pelan namun tegas.Di depan mereka, goblin raksasa itu berdiri, tubuhnya setinggi tiga meter dengan kulit bersisik seperti batu bara. Matanya kuning menyala, bergerak liar, mencari sesuatu
BAB 4 : SayembaraKenta mengangguk dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya berdegup keras. Dia menatap peta di tangannya dengan serius, seolah-olah peta itu adalah kunci terakhir untuk menyelamatkan desa. “Kita adakan sayembara,” katanya, suaranya tegas. “Kita kumpulkan orang-orang yang memiliki kemampuan dari desa ini.”Hakka, yang berdiri di sisinya, memandangnya dengan tatapan tajam sebelum tersenyum tipis. “Rencanamu lumayan juga bocah, tapi biar bagaimanapun dirimu harus waspada, Bocah. Desa ini sedang di ambang kehancuran. Orang-orangnya tidak mudah percaya. Luka mereka dalam, seperti jurang yang sulit dijembatani.”Tanpa membuang waktu, keduanya berjalan menuju pusat desa, di mana sebuah batu besar yang biasa digunakan untuk pengumuman penting berdiri megah di tengah alun-alun. Setiap langkah terasa berat bagi Kenta, karena dia tahu tanggung jawab yang menanti. Ketika mereka tiba, sebuah kerumunan kecil telah berkumpul. Wajah-wajah kusam itu mencerminkan kelelahan, kemarahan y
Bab 3 : Sistem yang TerbangunKenta mengatur napasnya dalam-dalam, mencoba mengatasi kelelahan yang masih terasa setelah pertarungan sengit melawan babi hutan. Tubuhnya yang lelah bersandar pada salah satu pilar aula keluarga, sementara pandangannya sesekali melirik ke arah Hakka yang sedang memeriksa tumpukan daging babi hasil buruan mereka."Atur napasmu, dan coba evaluasi apa yang kau pelajari di hutan tadi," kata Hakka tanpa menoleh. Nada suaranya tegas namun tidak setajam biasanya. "Aku akan ke dapur untuk menyerahkan daging ini kepada tukang masak. Kalau kita beruntung, malam ini kita makan sup daging babi." Ia mengangkat bungkusan daging dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban Kenta.Kenta hanya mengangguk pelan. Setelah Hakka keluar dari aula, ia duduk bersila, mencoba menenangkan pikirannya. Di saat itulah, sesuatu yang penting terlintas di benaknya.“Bukankah aku mendapatkan hadiah dari misi sebelumnya?” gumamnya. Ia memejamkan mata, mencoba memusatkan perhatian.Tiba-tib
Bab 2 : Berburu Babi HutanMatahari pagi baru saja muncul di langit timur ketika Kenta terbangun oleh suara keras yang memekakkan telinga.“Bangun, bocah! Kalau kau terus tidur seperti ini, kita takkan pernah memulai!” seru Hakka sambil mengetuk pintu kamar Kenta dengan tongkat kayunya.Kenta membuka matanya dengan berat, kepalanya masih terasa pening. Malam sebelumnya terasa seperti mimpi buruk, terutama interaksinya dengan Hakka. Namun, suara kasar pria tua itu adalah bukti nyata bahwa dia tak bermimpi."Baik, baik! Aku bangun!" balas Kenta, mencoba bangkit dari tempat tidur dengan malas.Namun, Hakka sudah membuka pintu tanpa menunggu izin. “Lihat dirimu, seperti pangeran manja yang tersesat di pondok petani! Cepat siap-siap. Kita akan pergi ke hutan sebelum matahari terlalu tinggi,” perintahnya sambil melipat tangan, ekspresinya penuh ketidaksabaran.Kenta mendesah panjang, menyadari bahwa tidak ada gunanya membantah. “Kenapa kau begitu bersemangat membawaku ke hutan?” gumamnya, l
Bab 1: Kebangkitan di Lembah BabiGang sempit itu pengap, dipenuhi aroma keringat, asap rokok, dan lumpur basah. Lampu jalan redup berkedip lemas, menciptakan bayangan samar di malam yang pekat. Kenta terjatuh, tubuhnya penuh lebam dan luka. Napasnya tersengal-sengal, sementara dunia di sekelilingnya berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.Beberapa pria berdiri mengepungnya, tatapan mereka tajam penuh kebencian, seperti pemburu yang menemukan mangsa tak berdaya. Tawa dingin mereka menggema di malam kelam, menusuk hati. Salah satu dari mereka maju, tendangannya menghantam kepala Kenta dengan brutal. Darah hangat mengalir dari bibirnya yang pecah.“Uangnya mana? Beri sekarang, atau kau mati di sini!” suara pria itu pendek dan menusuk.Kenta mencoba menegakkan kepala, tapi pandangannya kabur. Tubuhnya gemetar, seperti lentera kecil yang nyaris padam. "Maaf... aku tidak punya apa-apa lagi," suaranya serak, hampir tenggelam dalam tawa para pria itu. "Tolong... jangan bunuh aku.