BAB 5. Penaklukan Goa Hitam
Malam itu, udara malam itu terasa begitu pekat. Kelompok kecil yang dipimpin oleh Kenta telah berkumpul dalam radius 50 meter dari dekat mulut Gua Hitam, bersembunyi di balik formasi batu besar yang setengah terkikis waktu. Dari tempat mereka, cahaya bulan yang suram hanya cukup untuk menyoroti siluet besar goblin raksasa yang mondar-mandir di depan pintu masuk goa. Di belakang goblin, goa itu tampak seperti rahang raksasa, gelap, dan penuh rahasia mengerikan.
Kenta melirik peta tambang yang dipenuhi tanda posisi peledak, jalur mundur, dan rencana cadangan. Sekitar mereka, bebatuan dan pecahan pohon berserakan, seolah menjadi bukti pertempuran yang pernah terjadi di sini. “Kita tidak bisa membiarkan goblin itu keluar. Kalau dia menyerang desa, kita semua selesai,” katanya pelan namun tegas.
Di depan mereka, goblin raksasa itu berdiri, tubuhnya setinggi tiga meter dengan kulit bersisik seperti batu bara. Matanya kuning menyala, bergerak liar, mencari sesuatu yang mencurigakan. Tongkat besar di tangannya terbuat dari pohon yang telah dirampas dan diperkuat dengan logam hitam, diayunkan dengan gerakan malas, namun cukup untuk mengguncang tanah tiap kali menghantamnya.
“Semua sudah siap?” tanya Kenta, suaranya nyaris berbisik.
Liam mengangguk tegas, busurnya tergantung di punggung sementara beberapa anak panah tersusun rapi di tempatnya. Nenek Cio berdiri tidak jauh, menggenggam kantong kecil yang berisi bubuk pelemas hasil racikannya. Di samping mereka, beberapa penduduk desa yang mendaftar dalam sayembara memegang senjata seadanya tombak kayu, belati tumpul, juga beberapa rakitan peledak yang sudah mereka siapkan.
Tiba-tiba, suara dingin bergema di pikiran Kenta.
“Misi kelas Langka diaktifkan: Penaklukan Goblin Raksasa. Waspada! Tingkat bahaya: Tinggi.”
Kenta tertegun sejenak, membaca tampilan holografik di depannya. Dengan cepat, Kenta kembali fokus. “Kita bergerak sesuai rencana,” katanya. “Liam, formasi memanah dimulai dari sisi kanan. Nenek Cio, tebarkan bubuk pelemasnya. Kakek, kau dan aku akan menyerang dari depan. Kita akan menggunakan sihir api sebagai distraksi utama.”
“Dan aku?” tanya salah satu penduduk desa.
“Kalian melindungi jalur mundur. Ini tidak akan mudah,” jawab Kenta tegas. “Tapi kita harus melakukannya bersama.”
Ketika kelompok itu bergerak mendekati mulut goa, Nenek Cio mengambil alih langkah pertama.
“Nenek Cio, mulai bergerak sekarang,” bisik Kenta, menatap makhluk itu.
Nenek Cio, dengan tangan gemetar, melemparkan kantong berisi bubuk pelemas dari belakang batu. Angin malam menjadi sekutu mereka, membawa serbuk itu ke arah goblin. Awalnya, goblin hanya berdiri diam, mengendus udara. Tapi tiba-tiba, tubuhnya tersentak, dan langkahnya menjadi goyah. Suasana berubah mencekam.
“Peringatan sistem: Racun tidak efektif sepenuhnya pada target kelas Langka."
“Sial! Dia bereaksi, tapi sepertinya itu tidak cukup, dia terlalu besar.” gumam Kenta. “Racun ini tidak cukup.”
“Kita harus tetap menyerang,” jawab Kakek Ha.
Goblin berhenti sejenak, menoleh dengan gerakan lambat ke arah kelompok itu. Tiba-tiba, geramannya menggema seperti gemuruh badai. Mata kuningnya sekarang tertuju langsung ke arah Kenta dan timnya. Dengan satu langkah besar, tanah di bawah kakinya pecah, dan jarak 50 meter itu mulai menyusut.
“Dia bergerak! Liam, serang!” seru Kenta.
Liam mengangkat busurnya dan memanah dengan kecepatan luar biasa. Panah pertama menusuk bahu goblin, tetapi hanya meninggalkan luka kecil. Goblin bahkan tidak berhenti. Ia mengayunkan tongkatnya ke arah Liam, meskipun jaraknya masih cukup jauh. Tongkat itu menghantam tanah, menciptakan gelombang kejut yang membuat Liam terhuyung dan hampir terjatuh.
“Sekarang giliran kita!” teriak Kakek Ha.
Lingkaran sihir mulai bercahaya di bawah kakinya. Dalam sekejap, bola api besar melesat menuju goblin, meledak tepat di dada makhluk itu. Ledakan itu menggema hingga ke bukit sekitar, menerangi goa seperti siang hari sejenak. Goblin tersentak mundur beberapa langkah, tetapi kemudian, dengan raungan dahsyat, ia melompat ke depan, menghapus sisa jarak hingga hanya berjarak sekitar 20 meter dari tempat gerombolan Kenta berdiri.
“Semua, menyebar!” perintah Kenta. “Jangan biarkan dia fokus pada satu titik!”
Goblin mengayunkan tongkatnya, menghancurkan batu tempat Liam berlindung. Pecahan batu beterbangan, hampir mengenai wajahnya. Sementara itu, Nenek Cio mencoba mendekati goblin lebih jauh, melemparkan bubuk pelemas langsung ke tubuhnya. Makhluk itu tersentak lagi, tetapi efeknya terlalu lemah untuk menghentikannya.
Dengan langkah besar, goblin menubruk salah satu penduduk desa yang sedang memasang peledak. Tubuh penduduk itu terpental beberapa meter, menabrak pohon dengan bunyi yang mengerikan. “Dia tahu kita mencoba menjebaknya!” seru Kenta.
“Kenta, awas!” teriak Liam.
“Status pemain: Cedera sedang. Aktivasi darurat teknik penyembuhan ringan.”
Kenta melompat keluar dari persembunyian, menarik perhatian goblin. Dengan tangan yang memancarkan api, ia mengarahkan serangan bertubi-tubi ke makhluk itu, memaksa fokusnya menjauh dari penduduk desa yang tersisa. Goblin menyerbu ke arahnya, menghancurkan tanah di setiap langkahnya. Jarak antara mereka menyempit dengan cepat.
“Tahan dia di tempatnya!” teriak Kenta kepada Kakek Ha.
Kakek Ha memanggil semburan api yang menciptakan dinding panas di depan goblin. Makhluk itu berhenti sejenak, tetapi hanya untuk mengumpulkan tenaga. Ia menghantamkan tongkatnya ke tanah, menghilangkan sihir api itu dengan sekali ayunan.
Sementara itu, Liam, yang menemukan sudut yang aman, menembakkan panah tepat ke mata kanan goblin. Makhluk itu mengaum kesakitan, akhirnya melambat. “Sekarang! Pasang peledaknya!” seru Kenta.
Dengan keberanian yang luar biasa, para penduduk desa berlari melewati reruntuhan dan pecahan batu, memasang peledak terakhir di titik strategis. Goblin, yang kini setengah buta, mencoba menyerang mereka, tetapi tubuhnya mulai lemah.
“Kenta, peledaknya sudah siap!” seru salah satu penduduk desa.
“Jatuhkan dia di depan mulut goa!” balas Kenta dengan suara parau.
“Bawa dia ke jebakan!” teriak Nenek Cio.
Kenta menggunakan sisa kekuatan apinya, menciptakan ledakan kecil yang memaksa goblin mundur ke posisi jebakan. Kakek Ha kemudian melancarkan serangan api terakhirnya, menciptakan tekanan besar yang akhirnya menjatuhkan goblin ke tempat yang direncanakan.
“Bocah, energiku hampir habis! Cepat selesaikan!” teriak Kakek Ha, nafasnya mulai terdengar berat.
“Sekarang!” Kenta berteriak. Ia mengaktifkan sihir apinya, meluncurkan gelombang api untuk memaksa bubuk mesiu dalam kotak peledak disekitar goblin meledak secara instan.
Peledak meledak bersamaan, menghancurkan mulut goa dan menimbun goblin di bawah puing-puing. Debu tebal menyelimuti mereka, mengaburkan pandangan semua orang. Hanya suara batu runtuh yang terdengar, perlahan-lahan mereda.
Ketika debu mulai mereda, kelompok itu menyadari bahwa goblin telah dikalahkan. Mereka bersorak, tetapi perhatian mereka segera tertuju pada Kenta yang masih berdiri di depan, meskipun tubuhnya penuh luka.
“Kenta, kau terluka!” seru Liam.
Kenta tersenyum lemah. “Aku baik-baik saja. Yang penting kita berhasil.”
Para penduduk desa mendekat, wajah mereka yang awalnya dipenuhi ketakutan kini berubah menjadi kekaguman. Mereka melihat Kenta bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai pelindung yang bersedia mengorbankan dirinya demi orang lain.
“Misi selesai. Hadiah akan dikirim ke inventory.”
Namun, sebelum Kenta bisa merespons, sebuah notifikasi tambahan muncul:
“Peringatan sistem: Deteksi bug. Hadiah penyelesaian misi dihitung ulang,. Administrasi sistem akan memperbaiki kesalahan ini dalam 24 jam.”
“Bug?” pikir Kenta.
Bersambung…
Bab 6: Apakah ini hadiah dari surga?Malam di desa Lembah Babi terasa berbeda. Cahaya api unggun yang biasanya redup kini memancarkan semangat baru di antara penduduk. Kemenangan melawan goblin raksasa di Goa Hitam telah memberikan harapan baru. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Kenta memandangi layar sistem yang berpendar di depannya dengan ekspresi serius."Bug?" pikirnya, membaca notifikasi terakhir. "Apa maksudnya hadiah dihitung ulang?"Tiba-tiba, layar holografik di depannya menampilkan daftar hadiah yang baru saja diperbarui:- Cetak biru rancangan bangunan pertahanan desa kelas 1: menara kayu pemantau, arena latihan, balai perkumpulan, bengkel besi, dan gudang alat tempur.- 50 kotak bubuk mesiu.- 10 kotak biji-bijian.- Puluhan armor dan pedang rusak.- Undian karakter kelas spesial."Undian?" Mata Kenta melebar. "Apa lagi ini?"Sebuah roda berwarna cerah muncul di layar, berputar dengan cepat. Jarum perlahan melambat, melewati berbagai nama hingga akhirnya berhenti pada satu
BAB 7 : Jenderal Batu yang angkuh.Saat sebagian besar warga masih sibuk menyortir temuan dari Goa Hitam, sebuah teriakan tiba-tiba memecah keheningan."Tuan muda! Ada seseorang yang mengacau di gerbang desa!" seorang pria berlari tergesa-gesa menuju Kenta yang baru saja keluar dari gua bersama kelompoknya.Kenta menegakkan tubuhnya, wajahnya sedikit menyeringai, seolah menduga apa yang sedang terjadi. "Apakah hadiah karakter spesialku telah tiba?" gumamnya, nyaris terdengar seperti bisikan penuh antusiasme.Namun, sebelum ia sempat melangkah, Kakek Ha mengetuk kepala Kenta dengan tongkat kayunya. "Hentikan khayalanmu, bocah! Pergi dan lihat apa yang terjadi!" hardiknya dengan nada tajam."Hehe... Baik, Kek," jawab Kenta sambil terkekeh kecil.Saat Kenta tiba di gerbang utama desa, pemandangan di depannya cukup mengejutkan. Seorang pria bertubuh besar dengan otot yang menonjol di bawah baju kulitnya berdiri dengan kaki terpentang lebar, seperti gunung yang tak tergoyahkan. Wajahnya pen
BAB 8 : Rencana PerangLedakan energi dari sihir api Kenta mengguncang udara. Meski tampak yakin, dalam hatinya Kenta menahan napas, mengawasi apa yang akan terjadi pada Rengga. Ketika ledakan itu mereda, debu mengepul, dan semua orang menahan napas, Rengga berdiri di tempatnya. Tubuhnya kokoh, namun luka bakar menggores lengannya. Ia menatap Kenta dengan tatapan yang bercampur antara kekesalan dan penghormatan.“Kau bocah…,” Rengga akhirnya berkata dengan suara berat. “Aku tidak pernah menyangka seseorang sepertimu bisa melukaiku.” Ia melirik luka di lengannya, lalu tertawa kecil. “Kau menang. Aku tunduk.”Para warga terpana, beberapa bahkan membelalak tak percaya. Bisikan pelan menyelimuti kerumunan, mencerminkan perasaan campur aduk antara rasa kagum dan kekhawatiran. "Dia benar-benar membuat Jenderal Batu tunduk..." bisik seorang wanita tua. Anak-anak kecil yang mengintip dari balik kaki ibu mereka mulai berlari mendekat, melihat Kenta dengan mata penuh rasa bangga, sementara beber
BAB 9 : Hari Datangnya Perang [Peringatan!]Organisasi Bandit Pembunuh dalam perjalanan ke Desa Lembah Babi. Perkiraan waktu kedatangan: 1-2 jam.Kenta menatap layar itu dengan serius. Namun, perhatian utamanya tertuju pada notifikasi tambahan yang muncul di bawahnya:[Analisis Perang]Kekuatan Bandit: 74% (Dominan) Kekuatan Desa Lembah Babi: 26% (Lemah) Kemungkinan Kemenangan: 38%.“38 persen,” gumam Kenta sambil menghela napas panjang. “Tapi ini bukan nol.”Dengan tekad yang diperbarui, Kenta menutup layar holografiknya. “Jika aku tidak bisa menaikkan angka itu dengan kekuatan, aku akan melakukannya dengan akal.”Desa Lembah Babi tenggelam dalam bayang-bayang kecemasan. Cahaya redup dari lentera bergetar di antara deretan rumah kayu, seperti jantung warga yang berdetak gelisah. Suara langkah kaki tergesa-gesa bergema, bercampur dengan dentang alat dan bisikan doa yang lirih. Di aula desa, suasana seperti bara api yang siap menyala, menunggu kabar terakhir tentang musuh yang mendekat,
BAB 10 : Organisasi Bandit Pembunuh Tiba!Di tengah hutan yang gelap, Liam dan sepuluh pemanah tersembunyi di balik rerimbunan pepohonan. Mereka diam, menahan napas, memantau pasukan bandit berkuda yang mendekat dengan kecepatan tinggi. Derap kaki kuda menggema, membuat tanah bergetar seolah memperingatkan bahaya yang akan datang.Liam mengangkat tiga jarinya, memberi isyarat pada timnya untuk bersiap. Panah-panah sudah terpasang di busur, tegang menunggu aba-aba terakhir. “Satu… dua… tiga!” bisik Liam.Dalam hitungan ketiga, belasan anak panah melesat dari bayangan hutan, menyasar titik vital bandit dan kuda mereka. Jeritan terdengar saat beberapa bandit terjatuh dari kudanya, tubuh mereka terhantam panah tepat di leher atau dada. Kuda-kuda yang terluka meringkik keras, menyebabkan kekacauan di antara barisan pasukan musuh. Formasi mereka hancur, beberapa bandit saling bertabrakan, sementara yang lain berteriak panik mencoba mengendalikan tunggangan mereka.“Lari!” perintah Liam.Tanp
BAB 11 : Pertarungan Para JenderalRengga maju dengan langkah mantap, tombak di tangannya memantulkan cahaya bulan. Otot-ototnya menegang, penuh amarah yang tak tertahankan. Kebencian yang dia pendam bertahun-tahun terhadap “anjing-anjing penguasa kota” memuncak, menjadikannya kekuatan besar di medan perang.Namun, saat ia mendekati lawannya, suara Kenta memecah kemarahannya.“Ingat tujuanmu!” bisik Kenta dengan tegas. “Kau hanya perlu menahannya. Tunggu aba-aba dariku untuk mundur. Dirimu adalah kunci kemenangan kita!”Rengga melirik Kenta sejenak, lalu mengangguk singkat tanpa mengucapkan sepatah kata.Di depannya, seorang pria kekar dengan rambut kusut dan tatapan beringas mengangkat pisaunya yang melengkung seperti sabit. Mata pria itu bersinar dengan kebengisan yang murni.“Aku Holo,” teriak pria itu, menjilat mata pisau sabitnya hingga ujungnya menyentuh bibir. “Pangli
BAB 12. Administrator SistemCahaya pagi yang hangat menyinari lembah yang sebelumnya menjadi arena pertumpahan darah. Di kejauhan, asap tipis masih membubung dari reruntuhan bekas puluhan kotak bubuk mesiu yang meledak, mengingatkan penduduk desa akan kerasnya perjuangan semalam.Kenta berdiri di atas bukit kecil di pelataran aula pertemuan, mengamati pemandangan yang suram namun penuh arti. Pasukan bandit telah dihancurkan, dan penduduk desa yang bertahan kini mulai keluar dari persembunyian mereka dengan langkah ragu namun penuh harapan. Sisa- sisa kemenangan tampak jelas, kuda-kuda yang tertinggal di ladang, peralatan perang dari musuh yang berserakan, dan udara yang membawa bau mesiu dan tanah basah. Ia memandangi medan perang yang mulai tenang, mencoba merenungkan langkah berikutnya.Kenta tahu bahwa ini bukan akhir. Ia mengepalkan tangan, mengingat notifikasi sistem yang muncul di benaknya: “Misi Kelas Spesial: Penaklukan Penyerang
BAB 13. Pasca PerangKetika pintu aula terbuka, suasana di dalam langsung menyergap Kenta seperti gelombang. Ruangan besar itu dipenuhi oleh orang-orang yang duduk dalam lingkaran tidak sempurna, sebagian besar adalah wajah-wajah familiar. Para petani yang selama ini mengolah ladang, pandai besi yang tangannya dipenuhi bekas luka pekerjaan, bahkan beberapa orang bepengaruh di desa seperti Kakek Ha dan Nenek Cio. Mereka semua menoleh serempak saat pintu berderit terbuka.Keheningan menyelimuti ruangan.“Tuan Muda,” suara Nenek Cio memecah keheningan, lembut namun jelas. “Kami semua sudah menunggu Anda.”Kenta melangkah masuk, menganggukkan kepala dengan hormat kepada mereka yang menatapnya. Di dalam aula, meskipun ada kelelahan yang tergambar di wajah setiap orang, rasa bangga tampak jelas di mata mereka. Sebagian besar tersenyum kecil, bahkan ada yang menunduk sedikit, seolah menyembunyikan rasa gugup mereka.I
Bab 140 – Sampai JumpaKenta menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Angin sepoi-sepoi bertiup melewati wajahnya, membawa ketenangan yang aneh. Dunia ini… dunia nyata… terasa begitu berbeda dari dunia sistem yang selama ini ia jalani.Ia sudah kembali. Segalanya sudah berakhir. Namun, entah kenapa hatinya masih terasa berat. Maya… Apakah ia benar-benar pergi? Apakah tidak ada cara lain untuk bertemu dengannya lagi? Kenta mengepalkan tangannya, lalu menghela napas panjang.“Kau terlihat seperti orang yang kehilangan sesuatu.”Sebuah suara yang familiar terdengar dari belakangnya. Kenta menoleh dan mendapati seseorang berdiri di sana, seseorang yang seharusnya tidak mungkin ada di dunia ini.Matanya melebar. “…Maya?”Maya berdiri di sana, mengenakan pakaian serba putih yang bercahaya samar di bawah sinar bulan. Wajahnya tetap seperti yang Kenta ingat, tenang, lembut, dan penuh teka-
Bab 139 – Tamat: Menerima KenyataanKenta berdiri di depan sebuah gedung tua yang terlihat tak terawat.Alamat yang tertulis di surat membawanya ke sini. Bangunan ini berada di pinggiran kota, jauh dari keramaian. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitarnya, hanya cahaya redup dari lampu jalan yang sesekali berkelap-kelip.Hatinya masih dipenuhi keraguan."Apa ini jebakan?" pikirnya.Namun, jika ini adalah satu-satunya petunjuk untuk menemukan Maya atau mendapatkan jawaban tentang apa yang terjadi, ia tidak bisa mundur sekarang.Ia menarik napas dalam, lalu mendorong pintu kayu besar di hadapannya.Saat Kenta melangkah masuk, suara derit kayu memenuhi ruangan.Bangunan ini tampaknya adalah sebuah gudang lama. Debu memenuhi lantai, dan beberapa rak besi di sudut tampak berkarat.Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah sosok seorang pria tua yang duduk di kursi kayu, tepat di tengah ruangan.Pria itu
Bab 128 – Arch Akhir: Tanpa Maya, Kenta Hanya PecundangKenta duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong pada lantai kamarnya yang berantakan. Kertas-kertas catatan, botol minuman kosong, dan beberapa buku berserakan di sana. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, tetapi ia tidak merasa hangat sedikit pun.Sudah sebulan sejak ia kembali ke dunia nyata. Sudah sebulan sejak ia melihat sosok Maya di gang sempit itu atau lebih tepatnya, sejak ia berhalusinasi melihatnya. Kenta menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan berat."Bangkitlah sekali lagi, Kenta."Kata-kata itu masih terngiang di benaknya. Tapi bagaimana caranya? Tanpa sistem, tanpa status, tanpa teknik bertarung, tanpa Maya… ia bukan siapa-siapa. Di dunia sistem, ia bisa mengalahkan lawan yang lebih kuat, menerobos batasan dirinya, dan berdiri sebagai pemain terkuat.Di dunia ini? Ia bahkan tidak bisa mendapatkan pekerjaan paruh waktu karena riwayat medisnya. S
Bab 137 – Arch Akhir: Kembali Sebagai Kenta si Pecundang di Dunia NyataBIP. BIP. BIP.Suara mesin monitor berdenting pelan di ruangan yang sunyi. Aroma antiseptik bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Kelopak mata Kenta bergerak sedikit, lalu perlahan membuka.Seketika cahaya putih menyilaukan matanya.Ia merasakan sesuatu yang berat di tubuhnya—seperti ada beban yang tak kasat mata menekannya. Sensasi itu terasa aneh, jauh berbeda dari medan perang yang selama ini ia jalani.Kenta mencoba menggerakkan jarinya.Lambat.Lemah.Seolah-olah tubuhnya adalah milik orang lain."Dimana aku…?" gumamnya dengan suara serak.Matanya perlahan menyesuaikan diri. Ia bisa melihat langit-langit putih, ventilasi udara yang mengeluarkan suara halus, dan… tabung infus yang terhubung ke tangannya.Ini rumah sakit.Aku… kembali?Hatinya berdebar. Ia b
Bab 127 – Arch Akhir: Menempuh Jalan untuk KembaliLangit masih dipenuhi retakan dimensi yang berpendar dalam warna keemasan dan hitam. Sisa-sisa kekuatan yang bertarung di medan perang tadi kini mereda, menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.Di tengah-tengahnya, Kenta berdiri dengan tatapan teguh, meski dalam hatinya masih ada goncangan yang tak bisa ia redam.Ia telah membuat keputusannya.Sekarang, ia hanya perlu mencari jalan untuk mewujudkannya.Maya berdiri di hadapannya, matanya yang tajam menelisik ekspresi Kenta. "Kau sudah memutuskan?"Kenta mengangguk. "Ya."Maya menghela napas, lalu melangkah mendekat. "Jika kau benar-benar ingin kembali… maka ada satu cara. Tapi aku tidak yakin kau akan menyukainya."Kenta menajamkan pandangannya. "Apa itu?"Maya terdiam sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Sistem yang telah memulihkan dirinya sepenuhnya kini memiliki fungsi otomatis untuk mengembalika
Bab 134 – Arch Akhir: Lalu Bagaimana Caraku Kembali?Langit masih dipenuhi retakan-retakan dimensi. Pusaran energi kekacauan melayang di udara, menciptakan percikan cahaya yang terus menerus menyambar seperti petir abadi. Di tengah kehancuran yang melanda, Kenta berdiri terengah-engah, tubuhnya dipenuhi luka dan pakaiannya compang-camping.Di hadapannya, Maya menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Mereka baru saja mengungkap kebenaran tentang sistem, tentang asal usul dunia ini, dan mengapa Kenta menjadi bagian dari semua ini.Namun, satu pertanyaan besar masih menggantung di benaknya."Lalu… bagaimana caraku kembali?"Suara Kenta terdengar serak, nyaris berbisik. Entah kenapa, setelah semua ini, pertanyaan itu baru benar-benar menghantamnya dengan kesadaran yang menyakitkan.Apa yang akan terjadi setelah semuanya berakhir?Maya menutup matanya sejenak sebelum menjawab."Itu bukan sesuatu yang mudah dijawab
Bab 134 – Pemecahan Misteri Asal Usul Sistem (Bagian 3) – Mengapa Kenta Terpilih sebagai Player?Celah besar yang terbuka di atas mereka memperlihatkan lapisan dimensi lain—cahaya keemasan yang berkilauan bersanding dengan pusaran kegelapan yang meliuk-liuk, seolah mencoba menelan satu sama lain.Kenta masih berdiri diam, mencoba mencerna semua yang baru saja terungkap.Maya adalah bagian dari sistem.Ia adalah keseimbangan, eksistensi yang tidak seharusnya ada.Dan kini, ada satu pertanyaan yang masih belum terjawab.Mengapa dirinya yang terpilih sebagai Player?Dari semua orang di dunia ini—dari sekian banyak individu yang memiliki potensi—mengapa ia, Kenta, yang harus menanggung beban ini?Maya menatapnya dengan tatapan lembut, seakan tahu apa yang sedang dipikirkannya."Kau akhirnya sampai pada pertanyaan itu, ya?" katanya pelan.Kenta mendongak, menatap Maya dengan
Bab 133 – Pemecahan Misteri Asal Usul Sistem (Bagian 2) – Siapa Maya?Langit retak.Sebuah celah menganga di atas mereka, mengungkapkan kilauan cahaya keemasan dan kegelapan pekat yang berputar seperti pusaran tak berujung.Kenta dan Maya berdiri di tengah kekosongan itu. Mereka baru saja kembali dari Gerbang Ingatan, tempat di mana mereka menyaksikan bagaimana dunia dan Wadah Sistem tercipta. Namun, masih ada pertanyaan besar yang belum terjawab.Siapa Maya sebenarnya?Kenta menoleh ke arah Maya, yang berdiri dalam diam, wajahnya sulit dibaca. Sejak awal perjalanannya, Maya selalu berada di sisinya, terkadang sebagai sekutu, terkadang sebagai musuh. Namun, dalam ingatan yang mereka lihat tadi, Maya sama sekali tidak muncul.Itu tidak masuk akal. Jika Maya adalah bagian dari Wadah Sistem, seharusnya ada petunjuk tentang keberadaannya dalam sejarah itu.“Maya…” Kenta akhirnya berbicara, suaranya terdengar
Bab 132 – Pemecahan Misteri Asal Usul Sistem (Bagian 1)Langit yang semula dipenuhi kilatan cahaya akibat pertarungan dahsyat mulai meredup, menyisakan langit kelam yang perlahan kembali tenang. Kenta berdiri di tengah reruntuhan, napasnya terengah-engah sementara tubuhnya dipenuhi luka. Maya, yang berdiri tak jauh darinya, juga dalam kondisi serupa.Keduanya selamat… untuk saat ini.Namun, perasaan ganjil menyelimuti udara. Seakan ada sesuatu yang belum berakhir.Kenta menatap ke langit, dan untuk sesaat, ia merasa seperti dunia ini berbicara padanya.“Warisan yang kau kejar… kini tinggal satu misteri terakhir.”Seketika, kesadaran Kenta terguncang. Suara itu—ia pernah mendengarnya sebelumnya, dalam mimpi-mimpi samar yang terus menghantuinya.Maya berjalan mendekat, matanya menyorot keprihatinan. “Kau merasakannya juga, bukan?”Kenta mengangg