BAB 5. Penaklukan Goa Hitam
Malam itu, udara malam itu terasa begitu pekat. Kelompok kecil yang dipimpin oleh Kenta telah berkumpul dalam radius 50 meter dari dekat mulut Gua Hitam, bersembunyi di balik formasi batu besar yang setengah terkikis waktu. Dari tempat mereka, cahaya bulan yang suram hanya cukup untuk menyoroti siluet besar goblin raksasa yang mondar-mandir di depan pintu masuk goa. Di belakang goblin, goa itu tampak seperti rahang raksasa, gelap, dan penuh rahasia mengerikan.
Kenta melirik peta tambang yang dipenuhi tanda posisi peledak, jalur mundur, dan rencana cadangan. Sekitar mereka, bebatuan dan pecahan pohon berserakan, seolah menjadi bukti pertempuran yang pernah terjadi di sini. “Kita tidak bisa membiarkan goblin itu keluar. Kalau dia menyerang desa, kita semua selesai,” katanya pelan namun tegas.
Di depan mereka, goblin raksasa itu berdiri, tubuhnya setinggi tiga meter dengan kulit bersisik seperti batu bara. Matanya kuning menyala, bergerak liar, mencari sesuatu yang mencurigakan. Tongkat besar di tangannya terbuat dari pohon yang telah dirampas dan diperkuat dengan logam hitam, diayunkan dengan gerakan malas, namun cukup untuk mengguncang tanah tiap kali menghantamnya.
“Semua sudah siap?” tanya Kenta, suaranya nyaris berbisik.
Liam mengangguk tegas, busurnya tergantung di punggung sementara beberapa anak panah tersusun rapi di tempatnya. Nenek Cio berdiri tidak jauh, menggenggam kantong kecil yang berisi bubuk pelemas hasil racikannya. Di samping mereka, beberapa penduduk desa yang mendaftar dalam sayembara memegang senjata seadanya tombak kayu, belati tumpul, juga beberapa rakitan peledak yang sudah mereka siapkan.
Tiba-tiba, suara dingin bergema di pikiran Kenta.
“Misi kelas Langka diaktifkan: Penaklukan Goblin Raksasa. Waspada! Tingkat bahaya: Tinggi.”
Kenta tertegun sejenak, membaca tampilan holografik di depannya. Dengan cepat, Kenta kembali fokus. “Kita bergerak sesuai rencana,” katanya. “Liam, formasi memanah dimulai dari sisi kanan. Nenek Cio, tebarkan bubuk pelemasnya. Kakek, kau dan aku akan menyerang dari depan. Kita akan menggunakan sihir api sebagai distraksi utama.”
“Dan aku?” tanya salah satu penduduk desa.
“Kalian melindungi jalur mundur. Ini tidak akan mudah,” jawab Kenta tegas. “Tapi kita harus melakukannya bersama.”
Ketika kelompok itu bergerak mendekati mulut goa, Nenek Cio mengambil alih langkah pertama.
“Nenek Cio, mulai bergerak sekarang,” bisik Kenta, menatap makhluk itu.
Nenek Cio, dengan tangan gemetar, melemparkan kantong berisi bubuk pelemas dari belakang batu. Angin malam menjadi sekutu mereka, membawa serbuk itu ke arah goblin. Awalnya, goblin hanya berdiri diam, mengendus udara. Tapi tiba-tiba, tubuhnya tersentak, dan langkahnya menjadi goyah. Suasana berubah mencekam.
“Peringatan sistem: Racun tidak efektif sepenuhnya pada target kelas Langka."
“Sial! Dia bereaksi, tapi sepertinya itu tidak cukup, dia terlalu besar.” gumam Kenta. “Racun ini tidak cukup.”
“Kita harus tetap menyerang,” jawab Kakek Ha.
Goblin berhenti sejenak, menoleh dengan gerakan lambat ke arah kelompok itu. Tiba-tiba, geramannya menggema seperti gemuruh badai. Mata kuningnya sekarang tertuju langsung ke arah Kenta dan timnya. Dengan satu langkah besar, tanah di bawah kakinya pecah, dan jarak 50 meter itu mulai menyusut.
“Dia bergerak! Liam, serang!” seru Kenta.
Liam mengangkat busurnya dan memanah dengan kecepatan luar biasa. Panah pertama menusuk bahu goblin, tetapi hanya meninggalkan luka kecil. Goblin bahkan tidak berhenti. Ia mengayunkan tongkatnya ke arah Liam, meskipun jaraknya masih cukup jauh. Tongkat itu menghantam tanah, menciptakan gelombang kejut yang membuat Liam terhuyung dan hampir terjatuh.
“Sekarang giliran kita!” teriak Kakek Ha.
Lingkaran sihir mulai bercahaya di bawah kakinya. Dalam sekejap, bola api besar melesat menuju goblin, meledak tepat di dada makhluk itu. Ledakan itu menggema hingga ke bukit sekitar, menerangi goa seperti siang hari sejenak. Goblin tersentak mundur beberapa langkah, tetapi kemudian, dengan raungan dahsyat, ia melompat ke depan, menghapus sisa jarak hingga hanya berjarak sekitar 20 meter dari tempat gerombolan Kenta berdiri.
“Semua, menyebar!” perintah Kenta. “Jangan biarkan dia fokus pada satu titik!”
Goblin mengayunkan tongkatnya, menghancurkan batu tempat Liam berlindung. Pecahan batu beterbangan, hampir mengenai wajahnya. Sementara itu, Nenek Cio mencoba mendekati goblin lebih jauh, melemparkan bubuk pelemas langsung ke tubuhnya. Makhluk itu tersentak lagi, tetapi efeknya terlalu lemah untuk menghentikannya.
Dengan langkah besar, goblin menubruk salah satu penduduk desa yang sedang memasang peledak. Tubuh penduduk itu terpental beberapa meter, menabrak pohon dengan bunyi yang mengerikan. “Dia tahu kita mencoba menjebaknya!” seru Kenta.
“Kenta, awas!” teriak Liam.
“Status pemain: Cedera sedang. Aktivasi darurat teknik penyembuhan ringan.”
Kenta melompat keluar dari persembunyian, menarik perhatian goblin. Dengan tangan yang memancarkan api, ia mengarahkan serangan bertubi-tubi ke makhluk itu, memaksa fokusnya menjauh dari penduduk desa yang tersisa. Goblin menyerbu ke arahnya, menghancurkan tanah di setiap langkahnya. Jarak antara mereka menyempit dengan cepat.
“Tahan dia di tempatnya!” teriak Kenta kepada Kakek Ha.
Kakek Ha memanggil semburan api yang menciptakan dinding panas di depan goblin. Makhluk itu berhenti sejenak, tetapi hanya untuk mengumpulkan tenaga. Ia menghantamkan tongkatnya ke tanah, menghilangkan sihir api itu dengan sekali ayunan.
Sementara itu, Liam, yang menemukan sudut yang aman, menembakkan panah tepat ke mata kanan goblin. Makhluk itu mengaum kesakitan, akhirnya melambat. “Sekarang! Pasang peledaknya!” seru Kenta.
Dengan keberanian yang luar biasa, para penduduk desa berlari melewati reruntuhan dan pecahan batu, memasang peledak terakhir di titik strategis. Goblin, yang kini setengah buta, mencoba menyerang mereka, tetapi tubuhnya mulai lemah.
“Kenta, peledaknya sudah siap!” seru salah satu penduduk desa.
“Jatuhkan dia di depan mulut goa!” balas Kenta dengan suara parau.
“Bawa dia ke jebakan!” teriak Nenek Cio.
Kenta menggunakan sisa kekuatan apinya, menciptakan ledakan kecil yang memaksa goblin mundur ke posisi jebakan. Kakek Ha kemudian melancarkan serangan api terakhirnya, menciptakan tekanan besar yang akhirnya menjatuhkan goblin ke tempat yang direncanakan.
“Bocah, energiku hampir habis! Cepat selesaikan!” teriak Kakek Ha, nafasnya mulai terdengar berat.
“Sekarang!” Kenta berteriak. Ia mengaktifkan sihir apinya, meluncurkan gelombang api untuk memaksa bubuk mesiu dalam kotak peledak disekitar goblin meledak secara instan.
Peledak meledak bersamaan, menghancurkan mulut goa dan menimbun goblin di bawah puing-puing. Debu tebal menyelimuti mereka, mengaburkan pandangan semua orang. Hanya suara batu runtuh yang terdengar, perlahan-lahan mereda.
Ketika debu mulai mereda, kelompok itu menyadari bahwa goblin telah dikalahkan. Mereka bersorak, tetapi perhatian mereka segera tertuju pada Kenta yang masih berdiri di depan, meskipun tubuhnya penuh luka.
“Kenta, kau terluka!” seru Liam.
Kenta tersenyum lemah. “Aku baik-baik saja. Yang penting kita berhasil.”
Para penduduk desa mendekat, wajah mereka yang awalnya dipenuhi ketakutan kini berubah menjadi kekaguman. Mereka melihat Kenta bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai pelindung yang bersedia mengorbankan dirinya demi orang lain.
“Misi selesai. Hadiah akan dikirim ke inventory.”
Namun, sebelum Kenta bisa merespons, sebuah notifikasi tambahan muncul:
“Peringatan sistem: Deteksi bug. Hadiah penyelesaian misi dihitung ulang,. Administrasi sistem akan memperbaiki kesalahan ini dalam 24 jam.”
“Bug?” pikir Kenta.
Bersambung…
Bab 6: Apakah ini hadiah dari surga?Malam di desa Lembah Babi terasa berbeda. Cahaya api unggun yang biasanya redup kini memancarkan semangat baru di antara penduduk. Kemenangan melawan goblin raksasa di Goa Hitam telah memberikan harapan baru. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Kenta memandangi layar sistem yang berpendar di depannya dengan ekspresi serius."Bug?" pikirnya, membaca notifikasi terakhir. "Apa maksudnya hadiah dihitung ulang?"Tiba-tiba, layar holografik di depannya menampilkan daftar hadiah yang baru saja diperbarui:- Cetak biru rancangan bangunan pertahanan desa kelas 1: menara kayu pemantau, arena latihan, balai perkumpulan, bengkel besi, dan gudang alat tempur.- 50 kotak bubuk mesiu.- 10 kotak biji-bijian.- Puluhan armor dan pedang rusak.- Undian karakter kelas spesial."Undian?" Mata Kenta melebar. "Apa lagi ini?"Sebuah roda berwarna cerah muncul di layar, berputar dengan cepat. Jarum perlahan melambat, melewati berbagai nama hingga akhirnya berhenti pada satu
BAB 7 : Jenderal Batu yang angkuh.Saat sebagian besar warga masih sibuk menyortir temuan dari Goa Hitam, sebuah teriakan tiba-tiba memecah keheningan."Tuan muda! Ada seseorang yang mengacau di gerbang desa!" seorang pria berlari tergesa-gesa menuju Kenta yang baru saja keluar dari gua bersama kelompoknya.Kenta menegakkan tubuhnya, wajahnya sedikit menyeringai, seolah menduga apa yang sedang terjadi. "Apakah hadiah karakter spesialku telah tiba?" gumamnya, nyaris terdengar seperti bisikan penuh antusiasme.Namun, sebelum ia sempat melangkah, Kakek Ha mengetuk kepala Kenta dengan tongkat kayunya. "Hentikan khayalanmu, bocah! Pergi dan lihat apa yang terjadi!" hardiknya dengan nada tajam."Hehe... Baik, Kek," jawab Kenta sambil terkekeh kecil.Saat Kenta tiba di gerbang utama desa, pemandangan di depannya cukup mengejutkan. Seorang pria bertubuh besar dengan otot yang menonjol di bawah baju kulitnya berdiri dengan kaki terpentang lebar, seperti gunung yang tak tergoyahkan. Wajahnya pen
BAB 8 : Rencana PerangLedakan energi dari sihir api Kenta mengguncang udara. Meski tampak yakin, dalam hatinya Kenta menahan napas, mengawasi apa yang akan terjadi pada Rengga. Ketika ledakan itu mereda, debu mengepul, dan semua orang menahan napas, Rengga berdiri di tempatnya. Tubuhnya kokoh, namun luka bakar menggores lengannya. Ia menatap Kenta dengan tatapan yang bercampur antara kekesalan dan penghormatan.“Kau bocah…,” Rengga akhirnya berkata dengan suara berat. “Aku tidak pernah menyangka seseorang sepertimu bisa melukaiku.” Ia melirik luka di lengannya, lalu tertawa kecil. “Kau menang. Aku tunduk.”Para warga terpana, beberapa bahkan membelalak tak percaya. Bisikan pelan menyelimuti kerumunan, mencerminkan perasaan campur aduk antara rasa kagum dan kekhawatiran. "Dia benar-benar membuat Jenderal Batu tunduk..." bisik seorang wanita tua. Anak-anak kecil yang mengintip dari balik kaki ibu mereka mulai berlari mendekat, melihat Kenta dengan mata penuh rasa bangga, sementara beber
BAB 9 : Hari Datangnya Perang [Peringatan!]Organisasi Bandit Pembunuh dalam perjalanan ke Desa Lembah Babi. Perkiraan waktu kedatangan: 1-2 jam.Kenta menatap layar itu dengan serius. Namun, perhatian utamanya tertuju pada notifikasi tambahan yang muncul di bawahnya:[Analisis Perang]Kekuatan Bandit: 74% (Dominan) Kekuatan Desa Lembah Babi: 26% (Lemah) Kemungkinan Kemenangan: 38%.“38 persen,” gumam Kenta sambil menghela napas panjang. “Tapi ini bukan nol.”Dengan tekad yang diperbarui, Kenta menutup layar holografiknya. “Jika aku tidak bisa menaikkan angka itu dengan kekuatan, aku akan melakukannya dengan akal.”Desa Lembah Babi tenggelam dalam bayang-bayang kecemasan. Cahaya redup dari lentera bergetar di antara deretan rumah kayu, seperti jantung warga yang berdetak gelisah. Suara langkah kaki tergesa-gesa bergema, bercampur dengan dentang alat dan bisikan doa yang lirih. Di aula desa, suasana seperti bara api yang siap menyala, menunggu kabar terakhir tentang musuh yang mendekat,
BAB 10 : Organisasi Bandit Pembunuh Tiba!Di tengah hutan yang gelap, Liam dan sepuluh pemanah tersembunyi di balik rerimbunan pepohonan. Mereka diam, menahan napas, memantau pasukan bandit berkuda yang mendekat dengan kecepatan tinggi. Derap kaki kuda menggema, membuat tanah bergetar seolah memperingatkan bahaya yang akan datang.Liam mengangkat tiga jarinya, memberi isyarat pada timnya untuk bersiap. Panah-panah sudah terpasang di busur, tegang menunggu aba-aba terakhir. “Satu… dua… tiga!” bisik Liam.Dalam hitungan ketiga, belasan anak panah melesat dari bayangan hutan, menyasar titik vital bandit dan kuda mereka. Jeritan terdengar saat beberapa bandit terjatuh dari kudanya, tubuh mereka terhantam panah tepat di leher atau dada. Kuda-kuda yang terluka meringkik keras, menyebabkan kekacauan di antara barisan pasukan musuh. Formasi mereka hancur, beberapa bandit saling bertabrakan, sementara yang lain berteriak panik mencoba mengendalikan tunggangan mereka.“Lari!” perintah Liam.Tanp
BAB 11 : Pertarungan Para JenderalRengga maju dengan langkah mantap, tombak di tangannya memantulkan cahaya bulan. Otot-ototnya menegang, penuh amarah yang tak tertahankan. Kebencian yang dia pendam bertahun-tahun terhadap “anjing-anjing penguasa kota” memuncak, menjadikannya kekuatan besar di medan perang.Namun, saat ia mendekati lawannya, suara Kenta memecah kemarahannya.“Ingat tujuanmu!” bisik Kenta dengan tegas. “Kau hanya perlu menahannya. Tunggu aba-aba dariku untuk mundur. Dirimu adalah kunci kemenangan kita!”Rengga melirik Kenta sejenak, lalu mengangguk singkat tanpa mengucapkan sepatah kata.Di depannya, seorang pria kekar dengan rambut kusut dan tatapan beringas mengangkat pisaunya yang melengkung seperti sabit. Mata pria itu bersinar dengan kebengisan yang murni.“Aku Holo,” teriak pria itu, menjilat mata pisau sabitnya hingga ujungnya menyentuh bibir. “Pangli
BAB 12. Administrator SistemCahaya pagi yang hangat menyinari lembah yang sebelumnya menjadi arena pertumpahan darah. Di kejauhan, asap tipis masih membubung dari reruntuhan bekas puluhan kotak bubuk mesiu yang meledak, mengingatkan penduduk desa akan kerasnya perjuangan semalam.Kenta berdiri di atas bukit kecil di pelataran aula pertemuan, mengamati pemandangan yang suram namun penuh arti. Pasukan bandit telah dihancurkan, dan penduduk desa yang bertahan kini mulai keluar dari persembunyian mereka dengan langkah ragu namun penuh harapan. Sisa- sisa kemenangan tampak jelas, kuda-kuda yang tertinggal di ladang, peralatan perang dari musuh yang berserakan, dan udara yang membawa bau mesiu dan tanah basah. Ia memandangi medan perang yang mulai tenang, mencoba merenungkan langkah berikutnya.Kenta tahu bahwa ini bukan akhir. Ia mengepalkan tangan, mengingat notifikasi sistem yang muncul di benaknya: “Misi Kelas Spesial: Penaklukan Penyerang
BAB 13. Pasca PerangKetika pintu aula terbuka, suasana di dalam langsung menyergap Kenta seperti gelombang. Ruangan besar itu dipenuhi oleh orang-orang yang duduk dalam lingkaran tidak sempurna, sebagian besar adalah wajah-wajah familiar. Para petani yang selama ini mengolah ladang, pandai besi yang tangannya dipenuhi bekas luka pekerjaan, bahkan beberapa orang bepengaruh di desa seperti Kakek Ha dan Nenek Cio. Mereka semua menoleh serempak saat pintu berderit terbuka.Keheningan menyelimuti ruangan.“Tuan Muda,” suara Nenek Cio memecah keheningan, lembut namun jelas. “Kami semua sudah menunggu Anda.”Kenta melangkah masuk, menganggukkan kepala dengan hormat kepada mereka yang menatapnya. Di dalam aula, meskipun ada kelelahan yang tergambar di wajah setiap orang, rasa bangga tampak jelas di mata mereka. Sebagian besar tersenyum kecil, bahkan ada yang menunduk sedikit, seolah menyembunyikan rasa gugup mereka.I
Bab 22: Perang di Ambang PintuMatahari terbit di atas Lembah Babi, cahayanya menyinari desa yang kini telah bersiap menghadapi ancaman yang belum usai. Semalam, mereka berhasil menangkap Yara, mata-mata dari Kerajaan Pembunuh Bayaran, menggagalkan salah satu bagian dari rencana musuh. Namun, Kenta tahu betul bahwa ini hanya awal dari sesuatu yang lebih besar.Di dalam balai desa, Yara diikat di kursi dengan tangan terborgol. Wajahnya lebam akibat pukulan Rengga semalam, tetapi matanya masih menyala penuh kebencian. Di sekelilingnya, Kenta, Hakka, Rengga, Jenderal Batu, dan beberapa pemimpin desa berdiri dalam diam, menatapnya dengan penuh kewaspadaan."Kau akan bicara," kata Kenta, suaranya tenang tapi tajam. "Kami ingin tahu seberapa dalam rencana kerajaanmu."Yara menyeringai, seolah tak takut sedikit pun. "Kalian pikir hanya karena menangkapku, kalian sudah menyelamatkan desa ini?" Ia tertawa pelan. "Kalian hanya memperl
Bab 21: Bayangan yang MengintaiMalam itu, setelah menemukan mayat mata-mata dari Kerajaan Pembunuh Bayaran, Kenta duduk di balai desa bersama Hakka, Rengga, Jenderal Batu, dan beberapa tokoh penting lainnya. Di atas meja kayu yang usang, surat yang ditemukan di genggaman si mata-mata terbuka, tintanya masih jelas meski sudah terkena sedikit darah."Misi gagal. Lembah Babi masih berdiri. Kirim laporan ke markas utama. Siapkan rencana kedua."Kenta membaca ulang tulisan itu, mencoba memahami apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia menoleh ke arah Jenderal Batu yang berdiri dengan tangan menyilang, wajahnya penuh pertimbangan.“Apa menurutmu mereka akan segera menyerang lagi?” tanya Kenta.Jenderal Batu mengangguk pelan. “Jika mereka sampai mengirim mata-mata, itu berarti mereka sedang menyusun strategi baru. Mereka tidak akan menyerah hanya karena satu kekalahan.”Hakka menghembusk
Bab 20: Antara Kekaisaran dan KebebasanUdara pagi di Lembah Babi terasa lebih dingin dari biasanya. Meskipun pertempuran telah usai, ketegangan masih menggantung di antara penduduk desa. Mereka telah berhasil bertahan dari serangan Kerajaan Pembunuh Bayaran, tetapi kini ancaman baru datang dalam bentuk Kekaisaran yang ingin menjadikan desa mereka sebagai benteng pertahanan.Di balai desa, Kenta duduk di depan meja besar bersama para pemimpin desa. Hakka, Rengga, Jenderal Batu, Nenek Cio, dan beberapa tokoh lain hadir dalam pertemuan ini. Semua mata tertuju pada Kenta, menunggu keputusan yang akan ia buat."Dalam tiga hari, Kekaisaran akan menuntut jawaban," kata Hakka, suaranya dalam dan serius. "Jika kita menerima tawaran mereka, kita mendapatkan perlindungan. Tapi kita juga kehilangan kendali atas desa ini."Jenderal Batu menyilangkan tangan. "Jika kita menolak, kita harus bersiap menghadapi konsekuensinya. Kekaisaran tid
Bab 19: Luka dan KebangkitanMalam di Lembah Babi terasa sunyi setelah pertempuran dahsyat yang baru saja berlalu. Udara masih berbau darah dan asap dari rumah-rumah yang terbakar, tanah penuh dengan mayat prajurit musuh yang gagal melarikan diri. Beberapa penduduk yang selamat mulai mengumpulkan tubuh-tubuh itu, memisahkan mereka yang masih bernapas dari yang sudah tiada.Di tengah desa, di dalam sebuah rumah yang tersisa utuh, Kenta berbaring tak sadarkan diri. Napasnya lemah, tubuhnya penuh luka akibat pertempuran sengit melawan Ragnos. Inferno Overdrive telah menguras seluruh energinya, membuatnya nyaris kehilangan kesadaran begitu serangan terakhirnya berhasil.Hakka duduk di sampingnya, menggenggam pergelangan tangan Kenta sambil memeriksa denyut nadinya. Ia menghela napas lega. “Bocah ini masih hidup… tapi kondisinya parah.”Nenek Cio, yang bertugas merawat para korban luka, masuk k
Bab 18: Inferno GuardianApi yang dilepaskan Kenta menyala dengan hebat, bergulung-gulung seperti naga liar yang berusaha menelan Ragnos. Tanah di sekitarnya menghitam, udara mendidih oleh panasnya. Semua orang di medan perang berhenti bertarung sejenak, terpaku melihat gelombang api yang begitu besar meluncur ke arah algojo kerajaan.Namun, Ragnos hanya menyeringai. Dengan gerakan cepat, ia menghunus pedangnya ke depan.CLANG!Pedang hitamnya berpendar dengan cahaya merah gelap, dan dalam sekejap, api yang menghampirinya terbelah menjadi dua. Gelombang api yang seharusnya menghancurkannya malah terpencar ke samping, membakar rumah-rumah kosong di sekitar medan pertempuran.Kenta terkejut. "Tidak mungkin... dia menebas apiku?"Ragnos menatapnya dengan senyum dingin. "Sihir api yang mengandalkan kekuatan mentah? Itu terlalu mudah untuk ditangkis."Dalam sekejap, ia menghilang.Kent
Bab 17: Benteng TerakhirSuara dentingan senjata beradu dengan jeritan pertempuran mengisi udara. Lembah Babi, desa kecil yang dulunya hampir terlupakan, kini berubah menjadi medan perang. Pasukan dari Kerajaan Pembunuh Bayaran terus menyerang, sementara penduduk desa yang telah dipersiapkan oleh Kenta dan Rengga bertahan mati-matian.Di tengah kekacauan itu, Kenta berdiri di atas menara pemantau, mengamati jalannya pertempuran. Hatinya berdegup kencang. Meski strategi awal mereka berhasil menghambat musuh, pasukan dari barat masih terlalu banyak.Di bawah, Rengga bertarung dengan brutal. Pedangnya menebas tanpa ampun, setiap gerakannya penuh ketepatan. Beberapa prajurit musuh yang mencoba menyerang langsung terhempas oleh kekuatannya. Namun, bahkan dengan keterampilan bertarung yang luar biasa, ia sadar bahwa mereka berada dalam posisi sulit."Jangan biarkan mereka menembus barikade!" seru Rengga sambil menangkis serangan seorang prajuri
Bab 16: Perang di Gerbang DesaUdara pagi di Lembah Babi terasa berat. Kabut tipis melayang di antara pohon-pohon yang mengelilingi desa, menambah kesan suram di tengah ketegangan yang semakin memuncak. Di menara pemantau, Kenta berdiri dengan mata tajam mengamati perbatasan barat. Di kejauhan, kepulan asap hitam terlihat membumbung ke langit, menandakan pergerakan musuh semakin dekat.Di bawah menara, para penduduk bersiap dalam diam. Ada yang memperbaiki tombak dan pedang di bengkel baru, ada yang mengisi anak panah dengan racun buatan Nenek Cio, dan beberapa orang lainnya menggali parit jebakan di sepanjang jalan masuk desa. Meskipun ketakutan masih menyelimuti hati mereka, tidak ada satu pun yang memilih untuk lari. Mereka telah memutuskan: mereka akan bertarung.Hakka mendekat ke arah Kenta, ekspresinya penuh kekhawatiran. "Mereka akan tiba sebelum matahari mencapai puncaknya. Kita tidak bisa berharap pada bantuan Kekaisaran. Desa ini sepen
Bab 15: Benteng Pertama yang TerancamKehidupan di Lembah Babi mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan. Desa yang selama ini terlupakan oleh dunia luar, kini perlahan-lahan dibangkitkan kembali. Pembangunan tembok pertahanan semakin menyelesaikan tahap awal, dengan menara pemantau tinggi yang baru selesai dibangun di ujung desa. Dari menara ini, Kenta bisa memandang jauh ke lembah yang sunyi. Jalan desa yang dulu penuh debu dan lumpur kini berubah, dengan rumah-rumah warga yang mulai diperbaiki.Tidak hanya infrastruktur yang dibangun. Sebuah bengkel besar baru dibuka di pusat desa, mengolah logam dari Tambang Besi Hitam yang sebelumnya terkubur dalam gua. Di bengkel ini, penduduk desa mulai memproduksi senjata dan baju zirah, berusaha menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Para pemuda yang terpilih dalam sayembara mulai dilatih oleh Rengga, sang Jenderal Batu, dengan keterampi
BAB 14 : ZeroSeorang pria bertubuh kekar dengan postur tegap muncul dari balik pintu. Dia mengenakan pakaian sederhana namun terlihat kuat, dengan lengan berotot yang terlihat jelas dari balik bajunya yang tergulung. Sebuah ikat kepala cokelat mengikat rambutnya yang gelap, dan pensil tersembul dari telinga kiri, seolah ia sedang siap untuk bekerja dengan tangan terampilnya. Wajahnya tampak penuh dengan bekas luka kecil, bukti dari banyaknya pengalaman dan kerja keras yang telah dilalui. Meskipun usianya cukup tua, ada kesan lembut yang terpancar dari sorot matanya yang tajam dan wajah yang tegas.“Tuan Muda, ini dia. Zero, pandai besi terkenal di desa ini. Seorang ahli yang dapat membuat senjata dan peralatan dengan kualitas terbaik,” ujar Liam dengan suara penuh kebanggaan.Zero mengangguk perlahan, menyapa Kenta dengan tatapan tajam dan penuh penghormatan. “Tuan Muda, saya dengar Anda sedang berencana membangun kembali desa in